Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.
Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia.
"Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."
Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.
Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia harus menutup bab dalam hidupnya yang berkaitan dengan Livia.
Setibanya di kafe, Ezra melihat Livia duduk di salah satu meja, tampak menunggunya. Dia terlihat berbeda dari dulu—lebih dewasa, lebih tenang, tapi sorot matanya masih menyimpan kenangan masa lalu. Saat melihat Ezra, senyum kecil tersungging di wajahnya.
"Terima kasih sudah datang," kata Livia ketika Ezra duduk di depannya. "Aku tahu ini sulit bagimu."
Ezra hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang basa-basi. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Livia?"
Livia menghela napas, terlihat gugup sejenak sebelum berbicara. "Aku tahu aku menghilang tanpa penjelasan beberapa tahun lalu, dan itu adalah kesalahan besar. Aku tidak akan menyalahkanmu jika kamu masih marah atau terluka. Tapi aku kembali karena aku ingin memperbaiki segalanya, setidaknya menjelaskan apa yang terjadi."
Ezra mendengarkan dalam diam, hatinya sedikit tergerak oleh kata-kata Livia. Tapi di balik itu, dia tetap fokus pada tujuannya untuk tidak membiarkan masa lalu menguasai hidupnya.
Livia melanjutkan, "Dulu, aku pergi karena ada masalah keluarga yang harus aku hadapi sendiri. Aku terlalu takut untuk melibatkanmu, dan aku merasa tidak adil jika kamu harus ikut terjebak dalam kekacauan itu. Jadi aku memilih untuk pergi... tanpa penjelasan."
Ezra memejamkan matanya sejenak, menahan perasaan campur aduk yang mulai muncul. "Aku mengerti, Livia. Tapi kamu harus tahu, itu sangat menyakitkan. Aku merasa dikhianati, ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan."
"Aku tahu," Livia menjawab lirih. "Itu salahku. Aku ingin meminta maaf. Aku hanya berharap kamu bisa memaafkanku, bahkan jika kamu tidak bisa menerima aku kembali dalam hidupmu."
Ezra tersenyum tipis. "Aku tidak menyimpan dendam, Livia. Aku sudah mencoba melupakan semuanya. Tapi kita tidak bisa kembali ke masa lalu."
Livia menunduk, tampak menerima kenyataan itu. "Aku tidak berharap kita kembali seperti dulu, Ezra. Aku hanya ingin mengakui kesalahanku dan meminta maaf. Aku harap kamu bisa memulai lembaran baru, dengan atau tanpa aku."
Ezra mengangguk pelan. "Aku menghargai permintaan maafmu, Livia. Aku sudah memulai hidup baru, dan sekarang, ada seseorang yang sangat berarti bagiku."
Wajah Livia berubah sedikit, seolah menerima kenyataan yang sudah dia duga sejak awal. "Kaira, ya?" tanyanya lembut.
Ezra mengangguk, tanpa ragu kali ini. "Ya, Kaira. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan kami karena masa lalu yang belum selesai."
Livia tersenyum tipis, walaupun ada sedikit rasa sedih di balik matanya. "Aku senang kamu menemukan kebahagiaanmu, Ezra. Kaira wanita yang baik. Aku harap hubungan kalian bisa bertahan."
"Aku juga berharap begitu," balas Ezra. "Dan terima kasih karena kamu datang dan menjelaskan semuanya. Sekarang aku bisa menutup bab ini dengan damai."
Pertemuan itu berakhir dengan tenang. Tidak ada drama atau tangisan berlebihan, hanya dua orang yang akhirnya berdamai dengan masa lalu mereka. Ezra merasa lega, meskipun masih ada bagian kecil dari dirinya yang merasakan perpisahan ini berat. Tapi dia tahu, ini adalah langkah yang benar.
Sepulang dari kafe, Ezra merasa lebih ringan. Beban yang selama ini membebani pikirannya akhirnya terlepas. Namun, dia tahu bahwa langkah berikutnya lebih penting—memastikan Kaira bahwa masa lalu itu benar-benar sudah selesai dan tidak akan mempengaruhi hubungan mereka.
Malamnya, Ezra memutuskan untuk menelepon Kaira. Suara lembutnya terdengar di ujung sana, dan Ezra langsung merasa lebih tenang.
"Kaira, aku ingin bicara," kata Ezra dengan hati-hati.
Kaira terdiam sejenak. "Tentang Livia?"
"Ya," jawab Ezra. "Aku bertemu dengannya hari ini. Aku ingin semuanya jelas di antara kita."
Kaira tidak langsung menjawab, membuat Ezra sedikit cemas. Tapi akhirnya, dia mendengar Kaira berkata, "Aku senang kamu tidak menyembunyikannya dariku, Ezra. Apa yang terjadi?"
Ezra menceritakan segalanya—tentang pertemuan mereka, percakapan mereka, dan bagaimana akhirnya dia bisa berdamai dengan masa lalunya. Dia memastikan Kaira bahwa perasaannya tidak lagi terjebak di masa lalu, dan bahwa fokus utamanya sekarang adalah hubungan mereka.
Kaira mendengarkan dengan seksama. Setelah Ezra selesai bercerita, Kaira akhirnya berkata, "Aku senang kamu menyelesaikan semuanya, Ezra. Tapi yang paling penting adalah kamu jujur padaku. Itu yang membuatku merasa lebih tenang."
Ezra tersenyum lega. "Aku janji, Kaira. Tidak ada lagi rahasia. Mulai sekarang, kita hadapi semuanya bersama."
Ezra dan Kaira berbicara hingga larut malam, saling terbuka tentang kekhawatiran dan harapan mereka. Percakapan itu membawa mereka ke pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain, membuat mereka semakin yakin bahwa hubungan ini pantas diperjuangkan. Ezra merasakan kehangatan di hatinya ketika Kaira berkata, "Aku percaya padamu, Ezra. Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sini."
Setelah menutup telepon, Ezra termenung sejenak. Meskipun Livia sudah menjadi bagian dari masa lalunya, hari ini adalah titik balik bagi hubungannya dengan Kaira. Ezra tahu perjalanan mereka tidak akan selalu mulus, tapi dia merasa lebih kuat dan siap menghadapi segala tantangan yang mungkin datang. Masa lalu telah tertutup rapat, dan masa depan dengan Kaira terlihat jauh lebih cerah.
Ezra menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang sejuk. Senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah semesta memberi tanda bahwa dia telah mengambil langkah yang benar. Di tengah kesunyian malam, hatinya berbisik lembut, meyakinkan dirinya bahwa cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang keberanian untuk terus berjalan bersama meski ada badai yang menghadang.
Ezra menatap ke luar jendela kamar, memandang bintang-bintang yang berkilauan di langit malam. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa bab baru dalam hidupnya telah dimulai—sebuah kisah cinta yang kini ia tulis bersama Kaira, dengan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi semuanya bersama.
Malam itu, meski mereka hanya berbicara melalui telepon, Ezra merasa hubungannya dengan Kaira semakin kuat. Mereka telah melewati ujian pertama dalam hubungan mereka—ujian kepercayaan.
Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.
Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be
Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d
Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha
Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan
Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A
Pagi di toko bunga terasa lebih tenang dari biasanya. Kaira berdiri di sudut ruangan, menata buket mawar merah dengan tangan yang sedikit gemetar. Pikirannya masih penuh dengan surat dari Adrian dan dokumen-dokumen yang ia baca semalam. Kenyataan bahwa orang tuanya mungkin memiliki alasan lebih besar untuk meninggalkannya terus mengusik hatinya.Di luar toko, Ezra sedang memarkirkan motornya. Setelah pertemuan mereka di taman malam itu, Ezra merasa dorongan kuat untuk memastikan Kaira tidak menghadapi semua ini sendirian. Ia masuk ke toko dengan langkah mantap, membawa kotak kecil berisi donat favorit Kaira."Kaira," panggil Ezra lembut sambil meletakkan kotak donat di meja dekat kasir. "Aku tahu kamu pasti lelah, jadi aku pikir ini bisa sedikit mencerahkan harimu."Kaira tersenyum kecil, meski sorot matanya masih menunjukkan kelelahan. "Terima kasih, Ezra. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."Ezra memperhatikan wajah Kaira yang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kamu
Kaira dan Ezra melangkah cepat keluar dari rumah tua itu, napas mereka tersengal-sengal setelah pria misterius yang mengaku sebagai ayah Kaira mendesak mereka untuk pergi. Suasana malam yang tadinya sunyi kini terasa dipenuhi ketegangan, seolah ada sesuatu yang mengikuti mereka dari balik bayangan.“Kaira, kau yakin dia benar-benar ayahmu?” Ezra bertanya sambil membuka pintu mobil, suaranya dipenuhi keraguan.Kaira menatap Ezra dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Aku... aku tidak tahu. Tapi matanya, suaranya... itu semua terasa begitu familiar.”Ezra mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus cari tahu kebenarannya. Tapi tidak malam ini. Kita perlu tenang dulu.”Keesokan PaginyaKaira duduk di meja kecil di apartemennya, menatap secangkir teh yang hampir dingin. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun potongan-potongan kenangan masa kecilnya dengan apa yang baru saja terjadi.Ezra datang membawa map cokelat di tangannya. “Aku meminta bantuan seorang teman untuk mencari tahu ten
Kaira dan Ezra melangkah cepat keluar dari rumah tua itu, napas mereka tersengal-sengal setelah pria misterius yang mengaku sebagai ayah Kaira mendesak mereka untuk pergi. Suasana malam yang tadinya sunyi kini terasa dipenuhi ketegangan, seolah ada sesuatu yang mengikuti mereka dari balik bayangan.“Kaira, kau yakin dia benar-benar ayahmu?” Ezra bertanya sambil membuka pintu mobil, suaranya dipenuhi keraguan.Kaira menatap Ezra dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Aku... aku tidak tahu. Tapi matanya, suaranya... itu semua terasa begitu familiar.”Ezra mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus cari tahu kebenarannya. Tapi tidak malam ini. Kita perlu tenang dulu.”Keesokan PaginyaKaira duduk di meja kecil di apartemennya, menatap secangkir teh yang hampir dingin. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun potongan-potongan kenangan masa kecilnya dengan apa yang baru saja terjadi.Ezra datang membawa map cokelat di tangannya. “Aku meminta bantuan seorang teman untuk mencari tahu ten
Pagi di toko bunga terasa lebih tenang dari biasanya. Kaira berdiri di sudut ruangan, menata buket mawar merah dengan tangan yang sedikit gemetar. Pikirannya masih penuh dengan surat dari Adrian dan dokumen-dokumen yang ia baca semalam. Kenyataan bahwa orang tuanya mungkin memiliki alasan lebih besar untuk meninggalkannya terus mengusik hatinya.Di luar toko, Ezra sedang memarkirkan motornya. Setelah pertemuan mereka di taman malam itu, Ezra merasa dorongan kuat untuk memastikan Kaira tidak menghadapi semua ini sendirian. Ia masuk ke toko dengan langkah mantap, membawa kotak kecil berisi donat favorit Kaira."Kaira," panggil Ezra lembut sambil meletakkan kotak donat di meja dekat kasir. "Aku tahu kamu pasti lelah, jadi aku pikir ini bisa sedikit mencerahkan harimu."Kaira tersenyum kecil, meski sorot matanya masih menunjukkan kelelahan. "Terima kasih, Ezra. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."Ezra memperhatikan wajah Kaira yang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kamu
Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A
Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan
Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha
Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d
Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be
Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.
Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia."Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia ha