Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A
Pagi di toko bunga terasa lebih tenang dari biasanya. Kaira berdiri di sudut ruangan, menata buket mawar merah dengan tangan yang sedikit gemetar. Pikirannya masih penuh dengan surat dari Adrian dan dokumen-dokumen yang ia baca semalam. Kenyataan bahwa orang tuanya mungkin memiliki alasan lebih besar untuk meninggalkannya terus mengusik hatinya.Di luar toko, Ezra sedang memarkirkan motornya. Setelah pertemuan mereka di taman malam itu, Ezra merasa dorongan kuat untuk memastikan Kaira tidak menghadapi semua ini sendirian. Ia masuk ke toko dengan langkah mantap, membawa kotak kecil berisi donat favorit Kaira."Kaira," panggil Ezra lembut sambil meletakkan kotak donat di meja dekat kasir. "Aku tahu kamu pasti lelah, jadi aku pikir ini bisa sedikit mencerahkan harimu."Kaira tersenyum kecil, meski sorot matanya masih menunjukkan kelelahan. "Terima kasih, Ezra. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."Ezra memperhatikan wajah Kaira yang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kamu
Kaira dan Ezra melangkah cepat keluar dari rumah tua itu, napas mereka tersengal-sengal setelah pria misterius yang mengaku sebagai ayah Kaira mendesak mereka untuk pergi. Suasana malam yang tadinya sunyi kini terasa dipenuhi ketegangan, seolah ada sesuatu yang mengikuti mereka dari balik bayangan.“Kaira, kau yakin dia benar-benar ayahmu?” Ezra bertanya sambil membuka pintu mobil, suaranya dipenuhi keraguan.Kaira menatap Ezra dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Aku... aku tidak tahu. Tapi matanya, suaranya... itu semua terasa begitu familiar.”Ezra mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus cari tahu kebenarannya. Tapi tidak malam ini. Kita perlu tenang dulu.”Keesokan PaginyaKaira duduk di meja kecil di apartemennya, menatap secangkir teh yang hampir dingin. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun potongan-potongan kenangan masa kecilnya dengan apa yang baru saja terjadi.Ezra datang membawa map cokelat di tangannya. “Aku meminta bantuan seorang teman untuk mencari tahu ten
Udara pagi yang segar menyapa saat Kaira dan Ezra melintasi jalanan pedesaan yang mengarah ke Danau Biru. Mereka hampir tidak tidur semalam, terlalu sibuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Kaira memegang surat dari ibunya dengan erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya penghubung yang tersisa antara dirinya dan masa lalunya.“Apa kau yakin tentang pondok ini?” Ezra bertanya sambil tetap fokus pada jalan.Kaira mengangguk, meskipun rasa ragu mengintip di sudut hatinya. “Aku ingat pondok itu dengan jelas. Itu tempat favorit ibu, tempat dia merasa paling damai. Tapi aku tidak tahu apa yang akan kita temukan di sana.”Ezra tersenyum kecil, mencoba memberinya ketenangan. “Apa pun itu, kita akan menghadapinya bersama.”Di Tepi DanauPondok kecil itu akhirnya terlihat di kejauhan, tersembunyi di antara pepohonan rindang yang mengelilingi Danau Biru. Bangunan kayu itu tampak sunyi dan sepi, tetapi an
Pagi itu, matahari menyusup melalui celah pepohonan, menciptakan bayangan lembut yang menari di permukaan tanah. Ezra dan Kaira berjalan dengan langkah hati-hati, mata mereka terus awas memperhatikan sekitar. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, mereka akhirnya menemukan sebuah jalan setapak yang tampak jarang dilalui manusia.“Kita harus segera menemukan tempat untuk beristirahat,” Ezra berkata sambil menatap wajah lelah Kaira.Kaira mengangguk, meskipun pikirannya masih sibuk dengan semua yang terjadi. Ia merogoh kantongnya dan memegang kunci kecil yang selama ini ia bawa, berharap benda kecil itu dapat memberi jawaban atas teka-teki yang semakin rumit.“Menurutmu, mereka masih mengejar kita?” tanya Kaira, suaranya dipenuhi kekhawatiran.Ezra mengangguk pelan. “Aku yakin mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka cari. Tapi kita tidak bisa terus melarikan diri tanpa rencana.”
Ezra memandang pria bersenjata di depan mereka dengan penuh kewaspadaan. Jarak mereka begitu dekat sehingga setiap detik terasa seperti ledakan ketegangan. Kaira, berdiri di sisinya, mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan."Serahkan apa yang kalian ambil," perintah pria itu, suaranya dingin dan penuh otoritas.Ezra mencoba membaca situasi. Dengan tangan kanannya, dia perlahan mengeluarkan peta dari sakunya dan mengangkatnya. "Ini yang kamu cari?" tanyanya, mencoba membeli waktu.Pria itu tersenyum tipis, matanya penuh kemenangan. "Bagus. Lemparkan ke sini, atau teman wanitamu jadi korban."Kaira mencengkeram lengan Ezra lebih erat, matanya menatap pria itu dengan ketakutan bercampur keberanian. “Kita tidak tahu apa yang kamu inginkan dari semua ini! Kenapa memburu kami?” Kaira berseru, meski suaranya sedikit bergetar.Pria itu tertawa kecil. "Kalian pikir rahasia ini hanya milik kalian? Apa yang ada di tangan kalian adalah kunci
Lorong yang memisahkan Kaira dan Ezra seakan menjadi simbol jarak yang semakin melebar di antara mereka. Ezra memukul pintu batu di depannya dengan frustrasi, tangannya terluka akibat kerasnya permukaan itu. Namun, dia tidak menyerah."Kaira! Aku tidak akan meninggalkanmu!" teriak Ezra, napasnya terengah-engah.Dia memandang sekeliling lorong sempit itu, mencari celah atau petunjuk yang mungkin membantunya membuka pintu tersebut. Pada dinding dekat pintu, matanya menangkap simbol mawar samar yang bercahaya redup.“Ini seperti simbol yang pernah aku lihat di toko bunga Kaira,” gumamnya, mencoba mengingat detail kecil dari waktu mereka bersama. Dia menekan simbol itu dengan hati-hati, berharap sesuatu terjadi.Kaira dan Pilihan yang SulitDi dalam ruangan besar, Kaira berdiri tegar di hadapan pria itu. Dua pria bersenjata di belakangnya mulai bergerak mendekat, sementara pria yang memimpin masih memandangnya
Kaira merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Tempat ini terasa asing—ruangan besar yang seakan tidak memiliki ujung. Pintu-pintu yang berukir rumit di sekeliling mereka tampak seperti jalan keluar, namun ada sesuatu yang sangat salah. Ezra berdiri di sampingnya, matanya fokus pada setiap gerakan mereka."Ini bukan tempat biasa," gumam Ezra, suaranya penuh dengan kewaspadaan. "Kita harus hati-hati."Kaira mengangguk, mencoba mengendalikan dirinya. Hatinya berdegup kencang, tetapi dia berusaha menenangkan diri. "Tapi, Ezra... di mana kita? Apa yang sebenarnya terjadi?"Ezra menatap ruang di sekeliling mereka dengan tajam. "Aku tidak tahu, Kaira. Tapi satu hal yang pasti, kita harus keluar dari sini. Apa pun yang terjadi."Mereka mulai berjalan pelan, setiap langkah mereka bergema di ruang yang seolah tak berujung ini. Suasana mencekam, dan ketegangan semakin terasa. Setiap pintu yang mereka dekati terasa penuh dengan ancaman yang tidak terucapkan."Ezra," suara Kaira bergetar
Pagi itu, Kaira sibuk merapikan bunga-bunga di toko, tetapi pikirannya melayang. Langit yang cerah tak mampu menyembunyikan awan gelap yang menggantung di hatinya. Setiap kelopak bunga yang ia sentuh terasa seperti pengingat akan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Suaranya yang penuh emosi masih terngiang di telinganya, menyakitkan sekaligus membingungkan.Sementara itu, Ezra duduk di ruangannya, mencoba mengalihkan diri dengan pekerjaannya. Namun, setiap goresan pena di kertas hanya membawa pikirannya kembali pada Kaira. Ia tahu ada sesuatu yang salah—sesuatu yang tidak mereka ungkapkan satu sama lain. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya ketika ia sendiri belum memahami seluruh situasinya?Telepon Ezra berdering, memecah lamunannya. "Ezra Mahendra," sapanya dengan nada profesional.Suara di seberang terdengar akrab, tetapi nada dinginnya membuat Ezra menegakkan punggung. "Ezra, aku rasa kita perlu bicara. Ada sesuatu yang mungkin ingin kau tahu tentang Kaira," kata pria itu,
Pagi itu, suasana terasa berbeda. Langit yang biasanya cerah tampak kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Ezra dan Kaira. Meskipun mereka duduk di meja makan yang sama, jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang dalam.“Bagaimana tidurnya?” Ezra mencoba memecah keheningan, suaranya terdengar datar.Kaira mengangkat bahu, matanya menatap secangkir teh di depannya. “Cukup baik, aku rasa.”Ezra mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Tetapi setiap kalimat yang ia pikirkan terasa tidak cukup. Ia tahu, ini bukan hanya tentang perasaan sesaat—ada sesuatu yang lebih dalam yang membuat mereka terjebak dalam situasi ini.Setelah beberapa saat, Kaira akhirnya berbicara. “Ezra, aku ingin kita jujur. Aku ingin kita bicara, bukan saling menghindar seperti ini.”Ezra menatapnya, matanya menunjukkan campuran harapan dan kecemasan. “Aku setuju. Tapi... aku tidak tahu harus mulai dari mana.”Kaira menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku me
Langit malam mulai gelap ketika Kaira tiba di depan apartemen Ezra. Ia berdiri di depan pintu, mencoba mengatur napas. Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop pintu. Hatinya terasa berat dengan semua percakapan yang baru saja ia lalui bersama Adrian.Ezra yang sedang duduk di ruang tamu mendongak ketika Kaira masuk. Ia langsung menyadari perubahan di wajah Kaira—ekspresi penuh kebingungan dan kecemasan. “Kaira? Kamu nggak apa-apa?”Kaira terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Aku... aku butuh bicara sama kamu, Ezra.”Nada suaranya membuat Ezra berhenti. Ia menaruh buku yang sedang dibacanya ke meja dan berdiri, mendekati Kaira. “Ada apa? Apa yang terjadi?”Kaira menatap mata Ezra, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. “Aku tadi ketemu Adrian.”Ezra tertegun sejenak. Ia menatap Kaira, berusaha memahami maksud kata-katanya. “Adrian? Maksudmu... mantan kamu?”Kaira mengangguk pelan. “Dia... dia bilang ingin bicara tentang masa lalu. Aku pikir aku sudah selesa
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Hari-hari setelah pertemuan Kaira dengan Adrian berlalu dengan tenang, tetapi bukan tanpa tantangan. Meskipun Adrian telah menghilang dari kehidupan mereka, bayangan masa lalu dan kekhawatiran yang tersisa masih menyelimuti hubungan Kaira dan Ezra.Ezra semakin sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang larut malam karena proyek besar yang tengah ia tangani. Di sisi lain, Kaira merasa waktu kebersamaan mereka semakin sedikit, meskipun ia memahami bahwa Ezra melakukannya untuk masa depan mereka. Namun, jarak yang perlahan terbentuk itu membuat Kaira mulai merasakan kekosongan.Suatu malam, Ezra pulang lebih lambat dari biasanya. Kaira yang sudah menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh hangat terlihat lelah. Saat Ezra membuka pintu, ia mencoba tersenyum, tetapi Kaira tahu ada sesuatu yang tidak beres.“Kamu baik-baik saja?” tanya Kaira, meletakkan cangkir tehnya di meja.Ezra mengangguk sambil melepas jasnya. “Hanya lelah. Hari ini sangat berat.”Kaira berdiri, mendekat untuk memelukn
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah perbincangan jujur itu. Ezra dan Kaira mulai membangun kembali kepercayaan yang sempat terguncang. Hubungan mereka tampak lebih kokoh, tetapi kehidupan tidak pernah berhenti memberikan ujian.Pagi itu, Ezra sedang bersiap untuk pergi ke kantor ketika sebuah telepon datang dari nomor tak dikenal. Ia menjawab dengan santai, tetapi suaranya berubah serius setelah beberapa detik mendengar isi pembicaraan di ujung sana.“Aku akan segera ke sana,” jawab Ezra singkat sebelum menutup panggilan.Kaira, yang baru saja keluar dari dapur dengan secangkir teh di tangannya, memperhatikan ekspresi Ezra yang berubah tegang. “Ada apa, Ezra?” tanyanya, cemas.Ezra menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ada masalah di kantor. Salah satu proyek besar yang aku tangani mengalami kendala. Mereka butuh aku di sana segera.”Kaira mendekatinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. “Apa aku bisa membantu?”Ezra tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran di matanya. “Kam
Pagi itu, sinar matahari mengintip dari sela-sela tirai kamar Kaira, menandakan awal dari hari yang baru. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah pesan masuk di ponselnya dari Adrian. Meski ragu, Kaira akhirnya membaca pesan itu:"Aku ingin bicara lagi, Kaira. Hanya sebentar, tolong."Kaira menggigit bibirnya. Ia tahu ini bukan keputusan mudah. Setelah pertemuan terakhir mereka, Kaira merasa hubungannya dengan Adrian sudah menemukan titik akhir. Tapi pesan itu menyalakan percikan rasa penasaran—atau mungkin rasa tanggung jawab—untuk memberi kejelasan.Sementara itu, Ezra sedang sibuk mempersiapkan kejutan kecil untuk Kaira. Setelah percakapan mendalam mereka beberapa malam lalu, ia merasa perlu memastikan bahwa Kaira tahu betapa seriusnya ia terhadap hubungan mereka. Ia menyiapkan makan siang piknik di taman favorit Kaira, lengkap dengan bunga-bunga yang ia pilih sendiri dari toko Kaira tanpa sepengetahuannya.Ketika Ezra akhirnya menghubungi Kaira untuk mengajaknya bertemu, suara di
Kaira berdiri di depan cermin, memandangi bayangan dirinya sendiri. Pikirannya penuh dengan keraguan. Pesan dari Adrian masih menghantui benaknya, meskipun Ezra sudah berusaha menenangkannya. Di satu sisi, ia ingin menutup bab masa lalunya, tetapi di sisi lain, ia tahu pertemuan itu mungkin hanya akan memperkeruh keadaan.Ezra duduk di sofa ruang tamu Kaira, memainkan mug berisi teh hangat di tangannya. Ia tampak tenang, tetapi matanya mengamati setiap gerakan Kaira dengan penuh perhatian. "Kaira, aku tidak akan memaksamu mengambil keputusan. Tapi aku ingin kamu tahu, apa pun yang kamu putuskan, aku ada di sini."Kaira berbalik, menatap Ezra dengan ragu. "Aku hanya takut... Jika aku bertemu dengannya, itu akan menyakiti kita. Tapi jika aku tidak menemuinya, aku merasa tidak adil untuk mengabaikannya begitu saja."Ezra mengangguk perlahan. "Aku mengerti. Mungkin yang terpenting adalah apa yang kamu inginkan, bukan apa yang dia inginkan. Pertanyaan yang harus kamu tanyakan adalah: Apaka