Lorong yang memisahkan Kaira dan Ezra seakan menjadi simbol jarak yang semakin melebar di antara mereka. Ezra memukul pintu batu di depannya dengan frustrasi, tangannya terluka akibat kerasnya permukaan itu. Namun, dia tidak menyerah.
"Kaira! Aku tidak akan meninggalkanmu!" teriak Ezra, napasnya terengah-engah.
Dia memandang sekeliling lorong sempit itu, mencari celah atau petunjuk yang mungkin membantunya membuka pintu tersebut. Pada dinding dekat pintu, matanya menangkap simbol mawar samar yang bercahaya redup.
“Ini seperti simbol yang pernah aku lihat di toko bunga Kaira,” gumamnya, mencoba mengingat detail kecil dari waktu mereka bersama. Dia menekan simbol itu dengan hati-hati, berharap sesuatu terjadi.
Kaira dan Pilihan yang Sulit
Di dalam ruangan besar, Kaira berdiri tegar di hadapan pria itu. Dua pria bersenjata di belakangnya mulai bergerak mendekat, sementara pria yang memimpin masih memandangnya
Kaira merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Tempat ini terasa asing—ruangan besar yang seakan tidak memiliki ujung. Pintu-pintu yang berukir rumit di sekeliling mereka tampak seperti jalan keluar, namun ada sesuatu yang sangat salah. Ezra berdiri di sampingnya, matanya fokus pada setiap gerakan mereka."Ini bukan tempat biasa," gumam Ezra, suaranya penuh dengan kewaspadaan. "Kita harus hati-hati."Kaira mengangguk, mencoba mengendalikan dirinya. Hatinya berdegup kencang, tetapi dia berusaha menenangkan diri. "Tapi, Ezra... di mana kita? Apa yang sebenarnya terjadi?"Ezra menatap ruang di sekeliling mereka dengan tajam. "Aku tidak tahu, Kaira. Tapi satu hal yang pasti, kita harus keluar dari sini. Apa pun yang terjadi."Mereka mulai berjalan pelan, setiap langkah mereka bergema di ruang yang seolah tak berujung ini. Suasana mencekam, dan ketegangan semakin terasa. Setiap pintu yang mereka dekati terasa penuh dengan ancaman yang tidak terucapkan."Ezra," suara Kaira bergetar
Kata-kata di tanda itu menggema dalam pikiran mereka. "HANYA SATU YANG BOLEH MASUK." Kalimat itu terasa seperti ancaman, dan Ezra merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Dia menoleh ke arah Kaira, yang tampak terdiam, matanya terpaku pada tulisan di depan mereka."Kaira..." Ezra memanggil lembut, mencoba membaca apa yang ada di pikirannya. "Kita tidak harus mengikuti aturan ini. Mungkin ada jalan lain."Kaira menggeleng pelan, wajahnya menunjukkan keraguan yang mendalam. "Ezra, aku rasa ini bukan hanya soal aturan. Sesuatu di tempat ini... mereka ingin menguji kita. Jika kita mencoba melawan, mungkin malah akan lebih buruk."Ezra menatap Kaira dengan pandangan penuh tekad. "Tapi aku tidak akan meninggalkanmu. Apa pun yang terjadi, kita akan melewati ini bersama."Kaira tersenyum kecil, meskipun masih ada bayangan ketakutan di wajahnya. "Aku tahu itu, Ezra. Tapi... jika benar hanya satu yang boleh masuk, kita harus memutuskan dengan hati-hati."Mereka berdiri di sana cukup lama, men
Langit gelap di atas Kaira seperti terbelah. Hembusan angin dingin membawa bisikan-bisikan aneh yang memanggil namanya, namun kali ini terdengar berbeda. Lebih nyata. Lebih dekat.Kaira berdiri di depan pintu besar berwarna hitam, pintu terakhir yang harus ia buka. Namun, ia ragu. Perasaan takut menyelimuti dirinya, seolah-olah sesuatu yang lebih besar sedang menantinya di balik pintu itu. Ezra berada jauh di belakangnya, memanggil-manggil, tapi suaranya terdengar seperti bergema dari tempat yang sangat jauh.“Aku nggak bisa... Aku nggak tahu apa yang ada di sana…” gumam Kaira sambil memegangi dadanya yang sesak.Namun tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan. Suara itu datang bukan dari dunia ini. Suara yang hangat dan penuh harapan."Kaira… aku di sini. Jangan takut. Bangunlah."Kaira tersentak. Itu suara Ezra—bukan Ezra yang bersamanya di dunia horor ini, melainkan Ezra yang terasa lebih nyata. Ia merasa tubuhnya ditarik oleh sesuatu, seperti gravitasi yang membawanya menuju caha
Kaira duduk di ranjang rumah sakit, masih memegang tangan Ezra yang menggenggamnya erat. Pikirannya berkelana, mencoba memahami semua yang terjadi—baik di dunia nyata maupun di dunia gelap yang ia alami selama koma. Namun, satu hal terus membayang di pikirannya: surat dari Adrian."Ezra," Kaira memecah keheningan, suaranya lemah namun tegas. "Hari kecelakaan itu… aku menerima surat. Surat dari Adrian."Ekspresi Ezra berubah. Nama itu membawa kenangan masa lalu yang tak mudah dilupakan. Adrian adalah mantan tunangan Kaira yang menghilang tanpa jejak tiga tahun lalu. Bagi Kaira, kepergian Adrian adalah luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh."Adrian?" Ezra menatap Kaira dengan alis berkerut. "Surat apa? Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini?"Kaira menghela napas, mencoba mengingat detailnya. "Aku juga nggak paham, Ezra. Surat itu datang ke toko bunga hari itu. Ada namaku di amplopnya. Tapi sebelum aku sempat membaca seluruhnya, aku langsung pergi karena... karena perasaanku kacau."
Kaira memandang kosong meja kayu di toko bunganya. Hari-hari terasa berjalan lambat sejak Adrian menghilang tanpa penjelasan. Sudah seminggu berlalu, tetapi pesan-pesan dan teleponnya tidak pernah berbalas. Satu-satunya yang ia tahu hanyalah sebuah pesan singkat yang Adrian tinggalkan di mejanya beberapa hari lalu:"Kaira, maafkan aku. Aku butuh waktu untuk sendiri. Jangan cari aku."Kalimat itu terus terngiang di benaknya. Tidak ada penjelasan, tidak ada alasan yang jelas. Hanya rasa kosong yang menyakitkan. Ia mencoba mengingat kembali percakapan terakhir mereka, mencari tanda-tanda apa yang salah. Namun, Adrian terlihat biasa saja, meski belakangan memang ia sering terlihat gelisah dan sulit diajak berbicara terbuka.“Kaira, kamu baik-baik saja?” suara Renata, sahabat sekaligus rekan kerja Kaira, memecah lamunan.Kaira tersentak, lalu mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat. Tapi Renata tahu itu tidak benar.“Ini tentang Adrian, kan?” Renata duduk di sampingnya, me
memberikan kejelasan yang ia butuhkan, meskipun rasa sakitnya masih ada. Ia sadar bahwa hidupnya tidak bisa terus terjebak di masa lalu. Ada seseorang yang selama ini hadir di sisinya, mencintainya dengan tulus tanpa syarat—Ezra.Saat membuka toko bunga, suara lonceng pintu berbunyi. Kaira mendongak dan melihat Ezra masuk dengan membawa kotak kecil berwarna biru di tangannya. Senyumnya yang hangat seperti sinar matahari pagi membuat Kaira seketika merasa lebih tenang."Selamat pagi, Kai," sapa Ezra ceria sambil meletakkan kotak itu di meja. "Aku bawakan sarapan. Kupikir kamu mungkin lupa makan karena sibuk."Kaira tersenyum lembut. "Terima kasih, Ezra. Kamu selalu perhatian.""Sudah tugas teman, kan?" Ezra mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. Tapi ada sesuatu di matanya yang menyiratkan lebih dari sekadar 'teman.'Mereka duduk bersama di meja kecil di sudut toko, menikmati kopi dan roti isi yang dibawa Ezra. Obrolan mereka mengalir dengan mudah, seperti biasa. Ezra bercerita tentan
Sabtu pagi, Kaira berdiri di depan cermin, mengenakan gaun musim panas berwarna pastel dengan motif bunga kecil. Ia menggerai rambutnya dan memastikan riasannya terlihat natural. Hari ini terasa istimewa, dan ia ingin terlihat baik. Pukul sembilan pagi, bunyi bel pintu rumahnya membuat Kaira tersenyum. Ia tahu siapa yang datang.Ketika Kaira membuka pintu, Ezra berdiri di sana dengan senyumnya yang khas, mengenakan kemeja putih santai dan jeans. Di tangannya, ia membawa sebuah buket kecil bunga matahari."Untukmu," kata Ezra, menyerahkan buket itu.Kaira tertawa kecil, menerima buket tersebut. "Aku kan punya banyak bunga di toko, Ezra.""Tapi yang ini spesial. Aku memilihnya sendiri," balas Ezra sambil tersenyum lebar.Kaira menggeleng pelan, tetapi senyum manis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Terima kasih. Ayo, kita berangkat."Mereka berjalan menuju taman kota yang telah dihiasi dengan berbagai warna bunga. Udara pagi terasa segar, dan suara musik lembut mengalun dari pangg
Beberapa hari setelah festival bunga, Kaira merasa dunianya mulai terasa lebih stabil. Hubungannya dengan Ezra berkembang secara alami—tidak ada tekanan, tidak ada tuntutan, hanya kenyamanan yang tumbuh dari kebersamaan mereka. Namun, ada sesuatu yang belum selesai dalam pikirannya: percakapannya dengan Adrian.Sore itu, Kaira duduk di beranda belakang rumahnya, memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Tumpukan dokumen toko bunga yang perlu diurus tergeletak di meja, tetapi pikirannya melayang-layang. Ia masih memikirkan apa yang dikatakan Adrian tentang perjuangannya dengan kesehatan mental dan traumanya.Ezra muncul di pintu, membawa dua cangkir teh hangat. "Kupikir kamu butuh ini," katanya sambil menyerahkan secangkir ke Kaira."Terima kasih," jawab Kaira sambil tersenyum kecil. Ia memandang Ezra yang duduk di sampingnya, lalu berkata, "Ezra, boleh aku tanya sesuatu?""Tentu. Apa pun," jawab Ezra dengan nada tenang."Kalau kamu punya kesempatan untuk memperbaiki s
Bab 57: Akhir yang kacauKesibukan di kamp semakin terasa. Di bawah redupnya sinar obor, orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, ketegangan memuncak di udara malam. Ezra berdiri di tengah lingkaran, suaranya tegas dan penuh keyakinan saat ia memberi arahan terakhir kepada para pejuang."Kita mungkin tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap mata mereka satu per satu. "Tapi yang pasti, kita tidak akan menyerah. Tetap waspada. Bertahan hidup adalah prioritas kita."Raka berdiri di samping Ezra, pandangannya tajam mengamati persiapan. "Pemanah sudah di posisi tinggi. Kalau musuh mendekat, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk. Namun, rasa gelisah tak kunjung surut dari dadanya. Bayangan di hutan terus mengusik pikirannya, terlebih ancaman pengkhianatan yang perlahan menjadi nyata.Tiba-tiba, suara jeritan menggema dari sisi utara kamp. Semua mata langsung tertuju ke arah itu."Musuh datang!" teriak salah
Kesibukan di kamp semakin terasa. Orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, siap menghadapi ancaman yang mendekat. Ezra berdiri di tengah lingkaran, memberi arahan terakhir dengan suara tegas."Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap tajam ke wajah para pejuangnya. "Tapi satu hal yang pasti: kita tidak akan menyerah begitu saja. Tetap waspada dan jangan bertindak gegabah."Raka berdiri di sampingnya, mengamati persiapan dengan cermat. "Aku sudah menempatkan pemanah di posisi tinggi. Kalau mereka mendekat, kita bisa menjatuhkan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk, tapi rasa gelisah di dadanya tak kunjung reda. Pikirannya terus memikirkan bayangan di hutan dan kemungkinan pengkhianatan dari kelompok Sinta.Belum sempat mereka menyusun strategi lebih jauh, suara jeritan tiba-tiba terdengar dari sisi utara kamp. Semua orang langsung memandang ke arah suara itu dengan waspada."Musuh datang!" teriak salah satu penjaga.Ezr
Malam semakin larut, namun Ezra dan Raka masih sibuk mematangkan strategi mereka. Di bawah sinar redup lentera minyak, mereka membentangkan peta di atas meja kayu sederhana. Setiap titik dan rute yang digambar di peta diperiksa dengan saksama. Suara binatang malam terdengar dari kejauhan, namun itu tidak cukup untuk meredakan ketegangan di antara mereka."Patroli Ryan biasanya lewat sekitar fajar," Raka berkata sambil menunjuk sebuah jalur di peta. "Jika kita ingin menyerang, kita harus memanfaatkan kegelapan malam untuk mendekati mereka."Ezra mengangguk, matanya masih terpaku pada peta. "Kita harus memblokir rute mundur mereka. Kalau tidak, mereka bisa memanggil bala bantuan, dan kita akan kewalahan."Raka mengusap dagunya, berpikir keras. "Kelompok Sinta memiliki beberapa pemanah yang cukup terlatih. Kita bisa memposisikan mereka di titik-titik strategis untuk menjatuhkan musuh dari kejauhan.""Tapi kita tetap butuh lebih dari itu," Ezra menimpali. "Mereka membawa suplai penting, j
Malam itu, di tengah dinginnya udara dan sinar redup dari api unggun, Ezra duduk termenung. Suara angin yang berdesir di sela-sela pepohonan seakan membawa bisikan-bisikan masa lalu yang tak henti mengganggu pikirannya. Di depannya, Sinta masih sibuk berdiskusi dengan para pemimpin kelompok perlawanan, sementara Raka duduk tak jauh darinya, tampak sibuk dengan catatan mereka.Namun, sesuatu terasa aneh. Ezra bisa merasakan ketegangan yang lebih dari sekadar tekanan akibat perang yang akan mereka hadapi. Beberapa orang dari kelompok itu sering kali meliriknya dengan tatapan tak bersahabat. Bahkan Sinta, meskipun sudah menunjukkan penerimaan terhadap rencana mereka, masih tampak menjaga jarak."Ezra," suara Raka memecah keheningan, membuat Ezra menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Ezra mengangguk pelan, meski raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku hanya... merasa ada yang salah di sini. Kamu tidak merasakannya?"Raka menatap sekeliling dengan hati-hati, lalu mencondongkan tubuhnya mendek
Kaira duduk di tepi danau kecil yang tersembunyi di dalam hutan, jauh dari tempat persembunyian utama. Air yang tenang memantulkan bayangan langit malam yang kelam, seolah menjadi cermin bagi kegelisahannya. Tangannya meremas ujung selendang yang melilit bahunya, sementara pikirannya terus-menerus memikirkan Ezra.Dia tahu Ezra selalu mengambil keputusan yang bijaksana, tapi kali ini hatinya dipenuhi rasa takut. Ancaman Ryan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, dan meskipun Kaira percaya pada kemampuan Ezra, bayang-bayang kekalahan terus menghantui pikirannya.“Kaira,” suara lembut seorang wanita memanggil dari belakang.Kaira menoleh dan melihat Bu Hana, wanita tua bijaksana yang sering memberinya nasihat. “Bu Hana,” kata Kaira, mencoba tersenyum meski matanya masih dipenuhi kecemasan.Bu Hana duduk di samping Kaira, mengamati air danau yang berkilauan samar di bawah sinar bulan. “Kau memikirkan Ezra, bukan?” tanyanya lembut.Kaira mengangguk pelan. “Aku tahu dia kuat, Bu Hana. Tapi
Ezra berdiri di depan pintu gudang tua, napasnya perlahan namun berat. Udara malam terasa dingin menusuk, namun ia tidak merasakannya. Yang memenuhi pikirannya hanyalah wajah Kaira dan ancaman yang baru saja diterimanya. Ia tahu ini adalah saat yang tidak bisa dihindari lagi.Pintu gudang itu terbuka perlahan, suara berdecitnya memenuhi kesunyian malam. Di dalam, beberapa pria bersandar di dinding dengan ekspresi dingin. Di tengah ruangan, Ryan duduk di sebuah kursi kayu, kakinya terangkat ke meja, menunjukkan sikap santai namun penuh kesombongan.“Ah, Ezra,” sapa Ryan dengan nada sinis. “Akhirnya kau datang. Aku tahu kau tidak akan mengabaikan undanganku.”Ezra melangkah masuk tanpa gentar, menatap Ryan dengan tajam. “Kita selesaikan ini sekarang. Jangan libatkan Kaira atau siapa pun lagi.”Ryan tertawa kecil, mengguncangkan kepala seolah mendengar lelucon lucu. “Kau ini terlalu serius, Ezra. Kau tahu dunia ini tidak bekerja seperti itu. Jika kau berani menantangku, maka segalanya—or
Pagi itu, Ezra memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia sudah cukup lama menghindar dari masalah yang berhubungan dengan Ryan, tapi kali ini, dia tahu tidak ada pilihan lain selain menghadapi pria itu. Ancaman Ryan bukan hanya tentang dirinya lagi; kini Kaira juga terlibat, dan Ezra tidak akan membiarkan orang yang ia cintai berada dalam bahaya.“Ezra, apa kau yakin ini langkah yang benar?” tanya Kaira, mengerutkan kening saat melihat Ezra bersiap untuk pergi. Di atas meja, ponsel Ezra terus berbunyi, menunjukkan pesan-pesan dari kontak yang jarang ia hubungi.Ezra mengangguk, meski wajahnya tampak tegang. “Aku harus melakukannya, Kaira. Jika aku tidak menghadapi dia sekarang, dia akan terus mendekati kita. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kuterima.”Kaira meraih tangan Ezra, mencoba mencari keberanian di balik ketakutan yang meliputi dirinya. “Tapi jangan lakukan ini sendirian. Aku tahu kau kuat, Ezra, tapi Ryan bukan orang biasa. Dia licik dan tidak terduga.”Ezra memandang Kai
Ezra merasa darahnya mengalir lebih cepat ketika mengenali wajah orang di hadapannya. Itu adalah seseorang yang dulu menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari masa lalu yang sudah lama ia kubur. Wajah itu, dengan sorot mata tajam penuh amarah, adalah milik Ryan—teman lama yang pernah menjadi rekan terdekatnya sebelum segalanya berubah.“Ryan...” Ezra akhirnya berkata dengan nada bergetar. “Kau... Aku pikir kita sudah menyelesaikan semua ini bertahun-tahun lalu.”Ryan tersenyum tipis, tapi ada api dendam di balik senyuman itu. “Menyelesaikan? Tidak, Ezra. Kau yang memilih untuk pergi, meninggalkan semuanya dan memulai hidup baru. Tapi aku? Aku yang menanggung semua akibatnya.”Ezra mengerutkan kening. “Aku tidak pernah meninggalkanmu begitu saja. Aku harus pergi karena keadaan memaksa. Kau tahu itu.”“Keadaan?” Ryan mendekatkan tubuhnya ke meja, menatap Ezra dengan intens. “Kau bisa saja tetap tinggal, Ezra. Kau bisa membantuku. Tapi kau memilih kabur. Dan sekarang, aku di sini untuk m
Matahari pagi perlahan muncul di balik tirai jendela kamar Ezra, memberikan cahaya hangat yang menyinari ruangan yang masih dipenuhi suasana hening. Ezra bangun lebih awal dari biasanya, membawa secangkir kopi hitam ke balkon apartemennya. Ia memandang ke kejauhan, menyaksikan hiruk-pikuk kota yang mulai menggeliat. Namun pikirannya tetap tertuju pada Kaira.Kaira, di sisi lain, juga terbangun lebih pagi. Ia memutuskan untuk berjalan kaki di taman dekat apartemennya. Langkah-langkahnya kecil, tetapi cukup untuk membuatnya merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri. Pikiran tentang Ezra dan pesan singkat mereka malam tadi terus terngiang di benaknya. Itu memberinya perasaan tenang, meski ada kekhawatiran yang tetap mengendap.Saat itu, ponsel Kaira bergetar di sakunya. Pesan dari Ezra masuk."Pagi, Kaira. Aku harap hari ini lebih baik untukmu. Kalau kau punya waktu, bagaimana kalau kita bertemu sore ini di kafe biasa? Aku ingin berbicara."Kaira membaca pesan itu dengan hati-hati. Kata-