Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.
Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?
Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"
Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.
Pukul 10 pagi, Ezra tiba di tempat yang Kaira sebutkan. Itu adalah sebuah taman kecil yang sepi, dikelilingi oleh pepohonan rindang dan udara segar. Saat Ezra berjalan menuju pusat taman, ia melihat Kaira sudah duduk di sebuah bangku, tersenyum hangat saat melihatnya datang. Di sebelahnya, ada sebuah keranjang piknik yang penuh dengan makanan.
"Selamat pagi," kata Kaira dengan riang, "Aku berpikir kita bisa menikmati hari ini dengan santai di sini. Apa kamu suka?"
Ezra tertawa kecil. "Kamu benar-benar tahu cara membuatku terkejut. Ini sempurna," jawabnya sambil duduk di sebelah Kaira. Mereka berdua menghabiskan waktu berbicara santai, membahas hal-hal ringan yang membuat mereka semakin dekat.
Namun, di tengah tawa dan obrolan, Kaira tiba-tiba terdiam sejenak, lalu memandang Ezra dengan lebih serius. "Ezra, aku ingin kita jujur satu sama lain sejak awal. Ada satu hal yang ingin aku bicarakan denganmu, sesuatu yang aku rasa harus kamu tahu."
Ezra merasakan perubahan dalam suasana hati Kaira, dan dia menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa itu, Kaira? Kamu bisa mengatakan apa saja padaku."
Kaira menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ezra, sebelum kita semakin jauh dalam hubungan ini, aku ingin kamu tahu bahwa aku punya masa lalu yang mungkin akan mempengaruhi kita. Aku tidak ingin ada rahasia di antara kita."
Ezra terdiam sejenak, mencerna apa yang Kaira katakan. Meskipun hatinya sedikit was-was, dia tahu bahwa kejujuran adalah landasan penting dalam hubungan mereka. "Aku mendengarkan, Kaira. Ceritakan padaku," ucap Ezra dengan lembut, siap mendengarkan apapun yang akan Kaira ungkapkan.
Kaira menundukkan kepalanya, seolah sedang mencari keberanian untuk memulai. Ezra tetap tenang, meski hatinya berdebar-debar. Setelah beberapa saat, Kaira akhirnya mulai berbicara, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Ezra, beberapa tahun yang lalu, aku menjalin hubungan yang cukup rumit dengan seseorang. Awalnya, semuanya berjalan baik, tapi seiring waktu, hubungan itu berubah menjadi sesuatu yang beracun. Dia mengendalikan hidupku, membuatku merasa tak berharga, dan pada akhirnya, aku harus berjuang keras untuk keluar dari situasi itu.”
Ezra merasa hatinya tersentuh mendengar pengakuan Kaira. Dia bisa melihat betapa beratnya beban yang selama ini Kaira sembunyikan. Dengan tenang, dia mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Kaira dengan lembut, memberinya dukungan yang tak terucap.
“Sejak saat itu, aku selalu berhati-hati dengan orang baru. Aku butuh waktu untuk mempercayai orang lain lagi. Aku takut jika aku membuka diri, aku akan terluka lagi. Tapi denganmu, Ezra… aku merasa berbeda. Aku merasa aman. Tapi aku juga tak ingin hubungan ini dimulai tanpa kejujuran.”
Ezra tersenyum lembut. "Kaira, aku sangat menghargai kejujuranmu. Aku tahu betapa sulitnya berbicara tentang masa lalu yang menyakitkan. Tapi yang paling penting sekarang adalah kita ada di sini, bersama. Aku tak akan memaksamu untuk terburu-buru, dan aku akan selalu ada di sini, mendukungmu."
Mata Kaira berkilauan, seolah beban berat yang selama ini menekan jiwanya mulai terangkat. "Terima kasih, Ezra. Aku takut kamu akan berpikir aku membawa terlalu banyak beban, tapi kamu selalu mengerti."
Ezra menggeleng pelan. "Setiap orang punya masa lalu, Kaira. Yang penting adalah bagaimana kita melangkah ke depan bersama."
Mereka berdua saling menatap, tanpa kata-kata, tapi dengan pemahaman yang semakin dalam. Hubungan mereka, meski masih baru, terasa jauh lebih kuat setelah percakapan ini. Mereka tidak hanya berbagi tawa dan kebahagiaan, tapi juga rasa sakit dan ketakutan yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang lebih berarti.
Hari itu, di bawah langit biru cerah dan pepohonan yang bergoyang lembut, Ezra dan Kaira tahu bahwa mereka telah memulai babak baru. Bukan hanya tentang cinta yang berkembang, tapi juga tentang saling menerima dan mendukung sepenuhnya, apa pun yang akan datang di masa depan.
Setelah beberapa saat hening, Kaira melepaskan napas panjang, seolah melepaskan semua rasa cemas yang telah ia pendam selama ini. "Aku tak pernah merasa selega ini, Ezra. Rasanya seperti aku bisa bernapas lagi."
Ezra tersenyum hangat dan mengusap lembut punggung tangan Kaira. "Aku senang mendengarnya. Kita sama-sama berhak untuk merasa tenang, tanpa tekanan dari masa lalu."
Mereka berdua duduk bersama di bangku taman itu, menikmati kebersamaan yang lebih berarti setelah percakapan mendalam mereka. Sesekali, angin sejuk berhembus, membawa aroma rumput segar yang menenangkan. Hari itu tak hanya mempererat hubungan mereka, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk membuka hati lebih dalam lagi.
Ezra menyadari bahwa hubungan ini tidak akan selalu berjalan mulus. Akan ada tantangan dan masalah yang harus mereka hadapi bersama. Namun, dia merasa yakin bahwa Kaira adalah orang yang tepat. Dia merasakan sesuatu yang lebih kuat dari sekadar cinta, yaitu rasa saling percaya dan keinginan untuk terus bersama.
"Kaira," Ezra berkata, mengalihkan pandangannya dari langit cerah dan menatap wajahnya, "apa pun yang terjadi ke depannya, aku ingin kita selalu jujur satu sama lain. Tidak ada rahasia. Kita hadapi semuanya bersama, oke?"
Kaira tersenyum kecil, matanya bersinar penuh rasa syukur. "Setuju. Kita mulai sesuatu yang baru, tanpa beban."
Mereka berdua menghabiskan sisa hari itu dengan canda tawa, menikmati piknik sederhana yang disiapkan Kaira. Dalam kebersamaan itu, Ezra menyadari bahwa cinta tidak hanya tentang perasaan yang mendalam, tapi juga tentang menerima masa lalu seseorang dan tumbuh bersama di masa depan.
Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, mereka memutuskan untuk pulang. Ezra mengantarkan Kaira ke mobilnya dan sebelum berpisah, mereka berpelukan erat, seolah tak ingin waktu berlalu terlalu cepat.
"Sampai jumpa lagi, Ezra," kata Kaira dengan suara lembut.
Ezra tersenyum. "Sampai jumpa, Kaira. Aku akan menunggu kejutanmu yang berikutnya."
Saat Kaira pergi, Ezra berdiri sejenak, memandangi mobilnya menjauh. Ada kehangatan yang tersisa dalam dirinya, sebuah perasaan baru yang semakin kuat dan nyata. Dia tahu, ini adalah awal yang baik bagi hubungan mereka. Dan di dalam hatinya, Ezra merasakan harapan besar bahwa perjalanan ini akan membawa mereka ke tempat yang lebih indah bersama-sama.
Ezra menatap punggung Kaira yang semakin menjauh, lalu tanpa berpikir panjang, ia berlari kecil untuk mengejarnya. "Kaira, tunggu!" teriak Ezra, suaranya membuat Kaira berhenti dan menoleh ke belakang, kebingungan.
"Ada apa?" tanya Kaira sambil tersenyum, meski wajahnya menunjukkan tanda-tanda penasaran.
Ezra menarik napas panjang dan berhenti di depannya. "Aku hanya... aku merasa kita belum selesai bicara."
Kaira menatap Ezra, kini lebih serius. "Apa maksudmu, Ezra? Aku sudah ceritakan semuanya."
Ezra menggeleng pelan. "Bukan itu. Maksudku, aku belum benar-benar mengungkapkan perasaanku. Setelah semua yang kita bicarakan tadi, aku hanya ingin kamu tahu betapa pentingnya kamu untukku."
Kaira menatapnya sejenak, matanya berkedip lembut, seakan mempelajari setiap kata yang keluar dari mulut Ezra. "Kamu nggak perlu khawatir, Ezra. Aku sudah mengerti. Aku juga merasakan hal yang sama."
"Tapi tetap saja, aku ingin kamu mendengar ini dariku." Ezra melangkah lebih dekat, matanya menatap langsung ke dalam mata Kaira. "Aku tahu kita baru saja memulai, dan aku tahu ada banyak hal yang masih harus kita pelajari tentang satu sama lain. Tapi yang jelas, aku sangat peduli padamu. Bukan hanya sekadar suka, tapi... aku merasa seperti hidupku lebih lengkap denganmu di dalamnya."
Kaira tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca. "Ezra, kamu nggak tahu betapa bahagianya aku mendengar itu."
Ezra tertawa pelan, gugup. "Aku tidak pandai mengungkapkan perasaan, tapi ini semua jujur dari hatiku."
Kaira tertawa kecil, melangkah lebih dekat hingga jarak mereka hampir hilang. "Kamu sudah cukup pandai, Ezra. Dan kamu nggak harus selalu sempurna. Aku juga punya ketakutan, aku juga punya keraguan, tapi bersamamu, semuanya terasa lebih ringan. Aku merasa... aman."
Ezra meraih tangan Kaira dan menggenggamnya erat. "Aku juga merasa begitu. Kita mungkin belum tahu ke mana semua ini akan membawa kita, tapi aku ingin menjalaninya bersamamu, tanpa terburu-buru, dan tanpa beban. Setuju?"
Kaira mengangguk lembut, tersenyum penuh kehangatan. "Setuju. Kita jalani dengan perlahan, tapi pasti."
Mereka berdiri di sana beberapa saat, hanya menikmati kebersamaan tanpa banyak kata. Dalam diam itu, ada perasaan saling memahami yang lebih kuat daripada sekadar ungkapan verbal. Hubungan ini tidak perlu terburu-buru. Mereka tahu, apa pun yang terjadi, mereka memiliki satu sama lain.
Setelah beberapa saat, Kaira menarik napas dalam dan melepaskan tangannya dari genggaman Ezra dengan lembut. "Aku benar-benar harus pergi sekarang. Janji deh, kita ketemu lagi secepatnya."
Ezra tersenyum, lalu mengangguk. "Aku akan menunggu pesanmu. Hati-hati di jalan, ya."
Kaira berjalan menuju mobilnya, namun sebelum masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Ezra dan berkata, "Aku senang kita punya kesempatan untuk jujur seperti ini. Terima kasih, Ezra."
Ezra hanya mengangguk sambil tersenyum. "Aku juga, Kaira. Sampai bertemu lagi."
Kaira masuk ke dalam mobil, dan saat ia menyalakan mesin, Ezra melambai perlahan. Saat mobil Kaira perlahan menghilang di tikungan, Ezra merasa hatinya lebih ringan dari sebelumnya. Hari ini bukan hanya tentang mengungkap perasaan, tetapi juga awal dari perjalanan mereka yang lebih mendalam.
Ezra berdiri sejenak, memandangi jalan yang kosong, lalu berbalik dan berjalan pulang dengan perasaan yang tak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Satu hal yang pasti, di dalam hatinya, ada harapan besar untuk masa depan mereka.
Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be
Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d
Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha
Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan
Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A
Pagi di toko bunga terasa lebih tenang dari biasanya. Kaira berdiri di sudut ruangan, menata buket mawar merah dengan tangan yang sedikit gemetar. Pikirannya masih penuh dengan surat dari Adrian dan dokumen-dokumen yang ia baca semalam. Kenyataan bahwa orang tuanya mungkin memiliki alasan lebih besar untuk meninggalkannya terus mengusik hatinya.Di luar toko, Ezra sedang memarkirkan motornya. Setelah pertemuan mereka di taman malam itu, Ezra merasa dorongan kuat untuk memastikan Kaira tidak menghadapi semua ini sendirian. Ia masuk ke toko dengan langkah mantap, membawa kotak kecil berisi donat favorit Kaira."Kaira," panggil Ezra lembut sambil meletakkan kotak donat di meja dekat kasir. "Aku tahu kamu pasti lelah, jadi aku pikir ini bisa sedikit mencerahkan harimu."Kaira tersenyum kecil, meski sorot matanya masih menunjukkan kelelahan. "Terima kasih, Ezra. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."Ezra memperhatikan wajah Kaira yang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kamu
Kaira dan Ezra melangkah cepat keluar dari rumah tua itu, napas mereka tersengal-sengal setelah pria misterius yang mengaku sebagai ayah Kaira mendesak mereka untuk pergi. Suasana malam yang tadinya sunyi kini terasa dipenuhi ketegangan, seolah ada sesuatu yang mengikuti mereka dari balik bayangan.“Kaira, kau yakin dia benar-benar ayahmu?” Ezra bertanya sambil membuka pintu mobil, suaranya dipenuhi keraguan.Kaira menatap Ezra dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Aku... aku tidak tahu. Tapi matanya, suaranya... itu semua terasa begitu familiar.”Ezra mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus cari tahu kebenarannya. Tapi tidak malam ini. Kita perlu tenang dulu.”Keesokan PaginyaKaira duduk di meja kecil di apartemennya, menatap secangkir teh yang hampir dingin. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun potongan-potongan kenangan masa kecilnya dengan apa yang baru saja terjadi.Ezra datang membawa map cokelat di tangannya. “Aku meminta bantuan seorang teman untuk mencari tahu ten
Langit senja di kota kecil itu selalu memberikan kesan tenang, meski kini terasa berbeda bagi Ezra Mahendra. Ia memandang keluar dari jendela kereta yang bergerak perlahan menuju stasiun terakhir. Pepohonan yang melambai di sepanjang jalan dan deretan rumah-rumah kecil di kejauhan membawa kembali kenangan yang selama ini ia coba tinggalkan. Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini—kota kecil yang pernah ia sebut rumah.Dulu, ia meninggalkan semuanya dengan ambisi besar. Meninggalkan ibunya yang tinggal sendirian, teman-temannya, dan yang paling sulit, Kaira. Nama itu berputar dalam pikirannya seperti sebuah lagu lama yang tak bisa ia hentikan. Kaira Alyssa. Cinta pertamanya. Seseorang yang ia tinggalkan tanpa memberikan penjelasan, hanya demi mengejar mimpi besar di kota metropolitan.Ezra menghela napas panjang. Kereta akhirnya berhenti. Stasiun tua yang kini terlihat lebih kusam daripada yang ia ingat, dengan beberapa papan kayu yang sudah
Kaira dan Ezra melangkah cepat keluar dari rumah tua itu, napas mereka tersengal-sengal setelah pria misterius yang mengaku sebagai ayah Kaira mendesak mereka untuk pergi. Suasana malam yang tadinya sunyi kini terasa dipenuhi ketegangan, seolah ada sesuatu yang mengikuti mereka dari balik bayangan.“Kaira, kau yakin dia benar-benar ayahmu?” Ezra bertanya sambil membuka pintu mobil, suaranya dipenuhi keraguan.Kaira menatap Ezra dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Aku... aku tidak tahu. Tapi matanya, suaranya... itu semua terasa begitu familiar.”Ezra mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus cari tahu kebenarannya. Tapi tidak malam ini. Kita perlu tenang dulu.”Keesokan PaginyaKaira duduk di meja kecil di apartemennya, menatap secangkir teh yang hampir dingin. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun potongan-potongan kenangan masa kecilnya dengan apa yang baru saja terjadi.Ezra datang membawa map cokelat di tangannya. “Aku meminta bantuan seorang teman untuk mencari tahu ten
Pagi di toko bunga terasa lebih tenang dari biasanya. Kaira berdiri di sudut ruangan, menata buket mawar merah dengan tangan yang sedikit gemetar. Pikirannya masih penuh dengan surat dari Adrian dan dokumen-dokumen yang ia baca semalam. Kenyataan bahwa orang tuanya mungkin memiliki alasan lebih besar untuk meninggalkannya terus mengusik hatinya.Di luar toko, Ezra sedang memarkirkan motornya. Setelah pertemuan mereka di taman malam itu, Ezra merasa dorongan kuat untuk memastikan Kaira tidak menghadapi semua ini sendirian. Ia masuk ke toko dengan langkah mantap, membawa kotak kecil berisi donat favorit Kaira."Kaira," panggil Ezra lembut sambil meletakkan kotak donat di meja dekat kasir. "Aku tahu kamu pasti lelah, jadi aku pikir ini bisa sedikit mencerahkan harimu."Kaira tersenyum kecil, meski sorot matanya masih menunjukkan kelelahan. "Terima kasih, Ezra. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."Ezra memperhatikan wajah Kaira yang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kamu
Kaira berlari menyusuri trotoar dengan hati yang diliputi kegelisahan. Surat di tangannya terasa berat, bukan karena materi yang tertulis di dalamnya, melainkan oleh kenangan yang terpendam. Surat itu membuka luka lama, kenangan pahit yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia menuju taman kecil di dekat toko bunganya, tempat ia sering mencari ketenangan.Setibanya di sana, ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, seakan mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya. Ia membuka surat itu lagi, membaca setiap kata dengan seksama. Surat itu berasal dari seorang pria bernama Adrian—nama yang tak asing baginya, seseorang dari masa lalunya yang telah ia hindari selama bertahun-tahun.Kaira,Aku tahu ini mendadak. Tapi aku perlu bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan. Hal ini tidak bisa ditunda lagi. Aku akan menunggumu di kafe di ujung jalan utama, pukul 5 sore besok. Tolong datang.Kaira meremas surat itu dengan emosi yang campur aduk. A
Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan
Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha
Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d
Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be
Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.
Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia."Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia ha