Langit senja di kota kecil itu selalu memberikan kesan tenang, meski kini terasa berbeda bagi Ezra Mahendra. Ia memandang keluar dari jendela kereta yang bergerak perlahan menuju stasiun terakhir. Pepohonan yang melambai di sepanjang jalan dan deretan rumah-rumah kecil di kejauhan membawa kembali kenangan yang selama ini ia coba tinggalkan. Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini—kota kecil yang pernah ia sebut rumah.
Dulu, ia meninggalkan semuanya dengan ambisi besar. Meninggalkan ibunya yang tinggal sendirian, teman-temannya, dan yang paling sulit, Kaira. Nama itu berputar dalam pikirannya seperti sebuah lagu lama yang tak bisa ia hentikan. Kaira Alyssa. Cinta pertamanya. Seseorang yang ia tinggalkan tanpa memberikan penjelasan, hanya demi mengejar mimpi besar di kota metropolitan.
Ezra menghela napas panjang. Kereta akhirnya berhenti. Stasiun tua yang kini terlihat lebih kusam daripada yang ia ingat, dengan beberapa papan kayu yang sudah lapuk dimakan waktu. Ketika ia turun dari kereta, aroma udara kota kecil itu menyambutnya dengan perasaan nostalgia yang menyesakkan. Ada banyak hal yang berubah, tetapi perasaan asing dan akrab ini tetap sama.
Dia menatap sekeliling, mencari wajah yang dikenalnya, tetapi tidak ada satu pun yang tampak. Ibunya seharusnya sudah di rumah, menunggu kepulangannya. Sudah terlalu lama ia mengabaikan panggilan-panggilan telepon dari ibunya. Kini, kondisi kesehatannya yang memburuk menjadi alasan utama Ezra kembali. Bukan hanya untuk menebus kesalahannya sebagai anak, tetapi mungkin juga sebagai manusia.
"Ezra?"
Suara lembut itu menghentikan langkahnya. Suara yang begitu ia kenal, yang selama ini hanya menjadi bayangan di pikirannya. Ia berbalik perlahan, dan di sana, berdiri seseorang yang tidak pernah ia sangka akan dilihatnya secepat ini.
Kaira Alyssa.
Wanita itu berdiri di ambang pintu toko bunga kecil di seberang stasiun. Dia masih sama seperti yang Ezra ingat—lembut, namun kuat dalam caranya sendiri. Rambut hitamnya yang panjang tertiup angin lembut, dan mata hazel yang dulu pernah membuat Ezra merasa bahwa dia bisa menaklukkan dunia hanya dengan dukungan Kaira kini memandangnya dengan perasaan yang campur aduk.
"Kamu... benar-benar kembali," ucap Kaira pelan, suaranya penuh keraguan, seolah-olah ia tidak percaya pria yang berdiri di depannya adalah Ezra yang sama yang meninggalkannya bertahun-tahun lalu.
Ezra tidak tahu harus berkata apa. Di kepalanya, ia sudah mempersiapkan banyak kata-kata jika suatu hari mereka bertemu lagi. Namun, di saat ini, semua kata-kata itu lenyap.
"Ya, aku kembali," jawabnya, suaranya sedikit gemetar.
Kaira menatapnya untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Mata mereka bertemu, dan di sana, Ezra bisa melihat bayangan luka lama. Kaira tak pernah bertanya mengapa ia pergi tanpa kata perpisahan. Tidak ada penjelasan yang cukup untuk menutupi rasa sakit yang ditinggalkannya begitu saja.
"Toko ini masih milik keluargamu?" Ezra berusaha mencari percakapan kecil, meski tahu itu tidak akan menyelesaikan apapun.
Kaira tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Ya. Tidak banyak yang berubah di sini, Ezra. Kota ini tetap sama. Kami tetap menjalani hidup kami, meskipun beberapa dari kami harus belajar menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang kami cintai."
Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada yang Ezra bayangkan. Kaira tidak perlu mengatakan lebih. Ia tahu, luka yang ditinggalkannya padanya tidak pernah benar-benar sembuh.
"Aku... Aku datang untuk ibuku," Ezra menjelaskan, merasa perlu memberikan alasan meski tahu itu tidak akan mengurangi apa pun.
"Ya, aku dengar tentang ibumu. Aku harap dia baik-baik saja." Kaira berkata dengan nada yang lebih tenang, tapi tetap saja ada jarak yang jelas di antara mereka.
Ezra hanya mengangguk, tidak mampu menambahkan apa pun. Pertemuan ini terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, dan emosinya terlalu banyak untuk ditangani sekaligus. Sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, Kaira mengangguk pelan dan kembali ke dalam tokonya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ezra berdiri di sana, masih memandangi pintu toko bunga yang kini tertutup rapat. Langkah pertamanya di kota ini telah diwarnai dengan kenangan pahit yang dulu coba ia lupakan, tapi kini tak terhindarkan.
Dia kembali. Tapi pertanyaannya adalah, apakah dia benar-benar siap untuk menghadapi semua yang telah ditinggalkannya?
Ezra memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya menuju rumah ibunya, meskipun pertemuan singkat dengan Kaira tadi masih terus mengganggu pikirannya. Jalan menuju rumah itu terasa jauh lebih panjang dari yang dia ingat, meski ia tahu jaraknya tak pernah berubah. Setiap sudut kota kecil itu seakan mengingatkan Ezra pada kenangan lama, pada dirinya yang dulu, pada masa-masa ketika hidup terasa jauh lebih sederhana.
Rumah tua itu akhirnya terlihat dari kejauhan. Dindingnya sudah mulai kusam, cat putihnya mengelupas di beberapa bagian. Di halaman depan, taman yang dulu penuh dengan bunga kini terlihat tidak terawat. Rumput tumbuh liar, dan bunga-bunga mawar yang dulu selalu terawat rapi kini hampir mati. Ezra merasa bersalah. Seharusnya ia ada di sini, membantu ibunya menjaga rumah ini.
Dia melangkah masuk ke halaman, lalu berhenti sejenak di depan pintu kayu yang sudah mulai berderit. Di balik pintu itu, ibunya menunggunya—wanita yang selalu ada untuknya, meski dia seringkali absen dari kehidupannya. Ezra menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar, lalu mengetuk pintu perlahan.
Pintu terbuka, dan di sana berdiri ibunya, Sarah Mahendra. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dari yang Ezra ingat, dengan garis-garis halus yang semakin dalam di sekitar matanya. Tapi senyum hangat itu masih ada, senyum yang selalu membuat Ezra merasa pulang.
"Ezra..." Suaranya lembut, penuh kelegaan sekaligus rasa rindu.
"Ibu..." Ezra hanya bisa berbisik saat memeluknya erat. Ia merasakan tubuh ibunya yang lemah di pelukannya, dan ia harus berjuang menahan air mata yang hampir jatuh.
"Sudah lama sekali," ucap ibunya pelan, sambil menepuk bahunya. "Aku tidak percaya kau benar-benar pulang."
Ezra mengangguk, masih memeluk ibunya. "Aku juga rindu, Bu."
Mereka berdua masuk ke dalam rumah, yang meski terlihat tua dari luar, di dalamnya masih sama hangatnya. Ruangan kecil itu dipenuhi perabotan kayu yang usang, namun tetap bersih dan terawat. Di sudut ruangan, ada foto keluarga mereka—foto Ezra bersama ayah dan ibunya, diambil bertahun-tahun lalu ketika semuanya masih terasa utuh.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Sarah mengajak Ezra duduk di meja makan. "Bagaimana pekerjaanmu di kota besar? Kamu tidak pernah banyak bercerita."
Ezra terdiam sejenak. Pekerjaannya di kota besar memang sukses, namun harga yang ia bayar begitu tinggi—ia kehilangan hubungan dengan keluarganya, dan lebih dari itu, kehilangan cinta dalam hidupnya. "Semua berjalan baik, Bu. Tapi aku merasa ada yang hilang di sana."
Ibunya menatapnya dengan pandangan penuh pengertian. "Dan itulah kenapa kau kembali?"
Ezra mengangguk. "Ya, Ibu. Dan... aku ingin menebus banyak hal, termasuk waktu yang sudah hilang."
Sarah tersenyum lembut. "Kau selalu punya tempat di sini, Ezra. Kota ini, rumah ini, selalu akan menjadi rumahmu."
Ezra merasa hangat mendengar kata-kata itu. Namun di sudut hatinya, ia tahu bahwa kepulangannya ini tidak akan sesederhana itu. Terlalu banyak yang telah berubah, terlalu banyak yang harus ia perbaiki—bukan hanya hubungan dengan ibunya, tetapi juga dengan Kaira.
Saat malam tiba, Ezra berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang sudah lama tidak ia tempati. Kenangan masa lalu mulai kembali menghantuinya. Bayangan wajah Kaira, senyumnya, dan momen-momen indah mereka dulu mengalir seperti film di benaknya. Tapi bersamaan dengan itu, muncul pula rasa bersalah yang tak kunjung hilang. Ia tahu, keputusannya meninggalkan Kaira tanpa penjelasan adalah kesalahan besar.
Ezra memejamkan mata, berharap tidur bisa membantunya melupakan sejenak semua perasaan yang berkecamuk. Namun, ia tahu, cepat atau lambat, dia harus menghadapi semua yang ditinggalkannya.
Keesokan paginya, Ezra terbangun dengan perasaan berat. Udara di kamar yang dulu pernah menjadi tempat perlindungannya kini terasa hampa, seolah waktu telah membawa pergi semua kehangatan yang pernah ada. Ia melangkah ke jendela, membiarkan sinar matahari pagi masuk, tapi yang ia rasakan bukan kehangatan melainkan kekosongan. Ada sesuatu yang tertinggal di kota ini, sebuah bagian dari dirinya yang belum ia temukan kembali.Setelah sarapan singkat bersama ibunya, Ezra memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Ia butuh waktu untuk meresapi semua perubahan yang terjadi selama bertahun-tahun ia pergi, dan mungkin, untuk menemukan jawabannya sendiri. Langkah kakinya membawanya ke tempat-tempat yang dulu akrab: taman kecil di pusat kota, kafe tempat ia dan teman-temannya berkumpul, dan lapangan basket tempat ia menghabiskan masa remajanya.Namun, semua terasa berbeda sekarang. Orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan hanya melemparkan pandangan singkat—tidak ada lagi sapaan akrab
Beberapa minggu telah berlalu sejak malam itu, dan perlahan hubungan Ezra dan Kaira mulai tumbuh kembali. Mereka tidak lagi menghindari satu sama lain, dan bahkan sesekali keluar bersama untuk makan siang atau sekadar berjalan-jalan di taman. Meski demikian, hubungan mereka tetap dilingkupi kehati-hatian—seperti dua orang yang sedang meniti jalan di atas es tipis.Di sela-sela momen kebersamaan itu, Ezra terus bekerja keras untuk memperbaiki hidupnya. Ia mulai aktif membantu ibunya di rumah, dan bahkan mempertimbangkan untuk membuka usaha kecil-kecilan di kota. Namun, meski semua tampak berjalan baik, ada sesuatu yang terus menghantuinya—masa lalunya.Suatu siang, ketika Ezra sedang membersihkan halaman belakang rumah ibunya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor yang sudah lama tidak ia lihat—nomor dari seseorang yang pernah menjadi bagian penting dari hidupnya dulu. Dada Ezra mendadak terasa sesak, tangannya gemetar saat ia me
Keesokan harinya, Ezra bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya di festival bersama Kaira berakhir dengan baik, tapi pertemuan tak terduga dengan Livia masih menghantui pikirannya. Meski Ezra telah berjanji pada dirinya sendiri dan Kaira bahwa masa lalunya dengan Livia tidak akan mengganggu mereka, perasaan tak menentu itu tetap ada.Ezra memutuskan untuk melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, berusaha menenangkan pikirannya dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, saat dia duduk di meja kerjanya dan membuka ponsel, ada pesan lain dari Livia."Ezra, aku menunggu di kafe di sudut jalan. Aku harap kita bisa bicara."Ezra menatap pesan itu lama, mencoba memutuskan apakah dia harus menemuinya. Meski ia merasa ragu, bagian dari dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang harus diselesaikan. Dia tidak bisa lari dari masa lalu selamanya.Dengan berat hati, Ezra memutuskan untuk menemui Livia, tapi kali ini dia bertekad untuk memperjelas semuanya. Tidak akan ada ruang abu-abu; dia ha
Pagi itu, Ezra terbangun dengan semangat baru. Setelah menyelesaikan semua yang membebani pikirannya, hari ini terasa berbeda. Ia merasakan kebebasan yang sudah lama tak ia rasakan, seolah rantai masa lalu yang membelenggunya kini telah terlepas.Ezra menyiapkan kopi pagi di dapur sambil memikirkan langkah selanjutnya dengan Kaira. Hari ini adalah kesempatan untuk memulai hubungan mereka dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengganggu. Saat ia menyesap kopi, pikirannya melayang pada sebuah ide: bagaimana jika dia dan Kaira menghabiskan waktu akhir pekan bersama untuk lebih mengenal satu sama lain, jauh dari kesibukan kota?Seiring dengan itu, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Kaira muncul di layar, "Good morning, Ezra. Aku punya kejutan kecil untuk kita hari ini. Bisa ketemu nanti?"Ezra tersenyum, hatinya berdebar-debar. Kejutan? Rasa penasaran menyelimuti pikirannya. "Tentu, aku tak sabar menunggu," balasnya dengan penuh antusias.
Ezra duduk di kafe tempat biasanya ia dan Kaira bertemu, namun kali ini sendirian. Kopinya sudah dingin, tetapi pikirannya sibuk berputar, mencoba mencerna perubahan sikap Kaira dalam beberapa hari terakhir. Meski hubungan mereka baru mulai berkembang, Ezra bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ia tidak mengerti.Sementara itu, Kaira berdiri di tengah deretan bunga mawar dan anggrek yang menghiasi toko bunganya. Tangan Kaira menggenggam ponsel yang baru saja ia matikan, setelah menerima panggilan tak terjawab dari mantan kekasihnya, Dimas. Kaira menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan gugup yang terus mengganggunya. Kehadiran Dimas kembali, meski hanya melalui telepon, membuatnya teringat pada masa-masa kelam yang ingin ia lupakan.Di tengah suasana toko bunga yang seharusnya membawa ketenangan, pikiran Kaira kacau. Dimas adalah masa lalunya—sosok yang seharusnya sudah terkubur bersama kenangan pahit. Namun, entah mengapa, ia merasa semakin sulit untuk be
Esok harinya, Ezra terbangun dengan perasaan gelisah yang belum juga hilang. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan semalam dengan Kaira. Meski ia yakin Kaira tulus, bayangan tentang Dimas tak mau pergi dari benaknya. Apakah pria itu akan kembali dalam kehidupan Kaira dengan cara yang lebih mengganggu?Ezra meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Kaira: “Apa kau baik-baik saja hari ini?” Ia menunggu beberapa saat, berharap Kaira segera membalas, tapi yang diterimanya hanyalah tanda pesan terkirim. Ezra menghela napas dan memutuskan untuk keluar rumah, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan.Sementara itu, Kaira sedang sibuk di toko bunganya, menata rangkaian bunga untuk seorang pelanggan yang akan menikah akhir pekan ini. Namun, pikirannya jauh dari pekerjaan. Percakapan dengan Ezra tadi malam membuatnya merasa lega, tetapi kehadiran Dimas kembali membawa begitu banyak kenangan yang ia coba lupakan selama ini.Ponselnya bergetar. Kaira melihat layar, ada pesan d
Hari itu Kaira tiba lebih awal di toko bunganya. Pagi ini terasa berbeda, seolah udara lebih segar dan matahari lebih cerah dari biasanya. Meski semalam ia merasa sangat lelah, perasaan lega yang muncul setelah menutup bab tentang Dimas membuatnya memiliki semangat baru. Ia sibuk merapikan beberapa bunga mawar yang baru datang, menyiapkan pesanan untuk pernikahan yang akan diantarkan sore nanti.Sementara Kaira sibuk bekerja, pintu toko terbuka pelan. Ezra masuk dengan langkah ringan, membawa secangkir kopi untuknya."Selamat pagi, sang wanita sibuk," Ezra menyapa dengan senyum hangat.Kaira mendongak dan tersenyum lebar melihat kedatangan Ezra. "Pagi, kamu bawa kopi lagi? Kamu tahu caraku untuk tetap semangat.""Kamu pantas mendapatkannya," Ezra meletakkan kopi itu di meja. "Bagaimana tidurmu? Setelah semua yang terjadi kemarin."Kaira menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidur dengan sangat nyenyak. Rasanya beban yang sudah lama aku bawa akhirnya hilang."Ezra menatapnya penuh perha
Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Kaira menata bunga-bunga yang baru tiba di tokonya sambil merenungkan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Kata-kata pria itu masih terngiang di benaknya. Perasaan yang semula samar kini mulai lebih jelas, seakan hati kecilnya mulai memberikan jawaban, meski ia belum sepenuhnya siap untuk mengambil keputusan.Saat Kaira sedang sibuk, pintu toko terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kaira mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya, tersenyum ramah padanya."Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" Kaira menyapa dengan hangat."Pagi, saya sedang mencari bunga yang spesial untuk ulang tahun pernikahan saya," jawab wanita itu. "Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi bermakna."Kaira berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mawar putih yang melambangkan kesetiaan dan kebersihan cinta? Kami juga bisa menggabungkannya dengan lavender yang melambangkan ketenangan dan kesucian hubungan."Wanita itu tersenyum, jelas terkesan dengan
Pagi itu, Kaira sibuk merapikan bunga-bunga di toko, tetapi pikirannya melayang. Langit yang cerah tak mampu menyembunyikan awan gelap yang menggantung di hatinya. Setiap kelopak bunga yang ia sentuh terasa seperti pengingat akan percakapan terakhirnya dengan Ezra. Suaranya yang penuh emosi masih terngiang di telinganya, menyakitkan sekaligus membingungkan.Sementara itu, Ezra duduk di ruangannya, mencoba mengalihkan diri dengan pekerjaannya. Namun, setiap goresan pena di kertas hanya membawa pikirannya kembali pada Kaira. Ia tahu ada sesuatu yang salah—sesuatu yang tidak mereka ungkapkan satu sama lain. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya ketika ia sendiri belum memahami seluruh situasinya?Telepon Ezra berdering, memecah lamunannya. "Ezra Mahendra," sapanya dengan nada profesional.Suara di seberang terdengar akrab, tetapi nada dinginnya membuat Ezra menegakkan punggung. "Ezra, aku rasa kita perlu bicara. Ada sesuatu yang mungkin ingin kau tahu tentang Kaira," kata pria itu,
Pagi itu, suasana terasa berbeda. Langit yang biasanya cerah tampak kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Ezra dan Kaira. Meskipun mereka duduk di meja makan yang sama, jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang dalam.“Bagaimana tidurnya?” Ezra mencoba memecah keheningan, suaranya terdengar datar.Kaira mengangkat bahu, matanya menatap secangkir teh di depannya. “Cukup baik, aku rasa.”Ezra mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Tetapi setiap kalimat yang ia pikirkan terasa tidak cukup. Ia tahu, ini bukan hanya tentang perasaan sesaat—ada sesuatu yang lebih dalam yang membuat mereka terjebak dalam situasi ini.Setelah beberapa saat, Kaira akhirnya berbicara. “Ezra, aku ingin kita jujur. Aku ingin kita bicara, bukan saling menghindar seperti ini.”Ezra menatapnya, matanya menunjukkan campuran harapan dan kecemasan. “Aku setuju. Tapi... aku tidak tahu harus mulai dari mana.”Kaira menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku me
Langit malam mulai gelap ketika Kaira tiba di depan apartemen Ezra. Ia berdiri di depan pintu, mencoba mengatur napas. Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop pintu. Hatinya terasa berat dengan semua percakapan yang baru saja ia lalui bersama Adrian.Ezra yang sedang duduk di ruang tamu mendongak ketika Kaira masuk. Ia langsung menyadari perubahan di wajah Kaira—ekspresi penuh kebingungan dan kecemasan. “Kaira? Kamu nggak apa-apa?”Kaira terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Aku... aku butuh bicara sama kamu, Ezra.”Nada suaranya membuat Ezra berhenti. Ia menaruh buku yang sedang dibacanya ke meja dan berdiri, mendekati Kaira. “Ada apa? Apa yang terjadi?”Kaira menatap mata Ezra, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. “Aku tadi ketemu Adrian.”Ezra tertegun sejenak. Ia menatap Kaira, berusaha memahami maksud kata-katanya. “Adrian? Maksudmu... mantan kamu?”Kaira mengangguk pelan. “Dia... dia bilang ingin bicara tentang masa lalu. Aku pikir aku sudah selesa
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Pagi itu, mentari menyapa dengan hangat, menyinari setiap sudut apartemen Ezra. Di meja makan, Kaira sedang menuangkan secangkir kopi untuk Ezra, sementara pria itu sibuk membaca koran digital di tablet miliknya. Suasana terasa nyaman, seperti pagi-pagi lainnya sejak mereka memutuskan untuk melangkah bersama lagi.Namun, di dalam hati Kaira, ada pergolakan yang tak bisa ia abaikan. Pesan dari Adrian yang belum dibacanya malam itu masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang maksud Adrian dan apa yang ia inginkan terus mengisi benaknya.“Kaira, kamu baik-baik saja?” tanya Ezra tiba-tiba, memecah keheningan. Ia meletakkan tabletnya dan menatap Kaira dengan alis sedikit terangkat.Kaira tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit melamun.”Ezra memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresi Kaira. “Kamu kelihatan seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”Kaira men
Hari-hari setelah pertemuan Kaira dengan Adrian berlalu dengan tenang, tetapi bukan tanpa tantangan. Meskipun Adrian telah menghilang dari kehidupan mereka, bayangan masa lalu dan kekhawatiran yang tersisa masih menyelimuti hubungan Kaira dan Ezra.Ezra semakin sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang larut malam karena proyek besar yang tengah ia tangani. Di sisi lain, Kaira merasa waktu kebersamaan mereka semakin sedikit, meskipun ia memahami bahwa Ezra melakukannya untuk masa depan mereka. Namun, jarak yang perlahan terbentuk itu membuat Kaira mulai merasakan kekosongan.Suatu malam, Ezra pulang lebih lambat dari biasanya. Kaira yang sudah menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh hangat terlihat lelah. Saat Ezra membuka pintu, ia mencoba tersenyum, tetapi Kaira tahu ada sesuatu yang tidak beres.“Kamu baik-baik saja?” tanya Kaira, meletakkan cangkir tehnya di meja.Ezra mengangguk sambil melepas jasnya. “Hanya lelah. Hari ini sangat berat.”Kaira berdiri, mendekat untuk memelukn
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah perbincangan jujur itu. Ezra dan Kaira mulai membangun kembali kepercayaan yang sempat terguncang. Hubungan mereka tampak lebih kokoh, tetapi kehidupan tidak pernah berhenti memberikan ujian.Pagi itu, Ezra sedang bersiap untuk pergi ke kantor ketika sebuah telepon datang dari nomor tak dikenal. Ia menjawab dengan santai, tetapi suaranya berubah serius setelah beberapa detik mendengar isi pembicaraan di ujung sana.“Aku akan segera ke sana,” jawab Ezra singkat sebelum menutup panggilan.Kaira, yang baru saja keluar dari dapur dengan secangkir teh di tangannya, memperhatikan ekspresi Ezra yang berubah tegang. “Ada apa, Ezra?” tanyanya, cemas.Ezra menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ada masalah di kantor. Salah satu proyek besar yang aku tangani mengalami kendala. Mereka butuh aku di sana segera.”Kaira mendekatinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. “Apa aku bisa membantu?”Ezra tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran di matanya. “Kam
Pagi itu, sinar matahari mengintip dari sela-sela tirai kamar Kaira, menandakan awal dari hari yang baru. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah pesan masuk di ponselnya dari Adrian. Meski ragu, Kaira akhirnya membaca pesan itu:"Aku ingin bicara lagi, Kaira. Hanya sebentar, tolong."Kaira menggigit bibirnya. Ia tahu ini bukan keputusan mudah. Setelah pertemuan terakhir mereka, Kaira merasa hubungannya dengan Adrian sudah menemukan titik akhir. Tapi pesan itu menyalakan percikan rasa penasaran—atau mungkin rasa tanggung jawab—untuk memberi kejelasan.Sementara itu, Ezra sedang sibuk mempersiapkan kejutan kecil untuk Kaira. Setelah percakapan mendalam mereka beberapa malam lalu, ia merasa perlu memastikan bahwa Kaira tahu betapa seriusnya ia terhadap hubungan mereka. Ia menyiapkan makan siang piknik di taman favorit Kaira, lengkap dengan bunga-bunga yang ia pilih sendiri dari toko Kaira tanpa sepengetahuannya.Ketika Ezra akhirnya menghubungi Kaira untuk mengajaknya bertemu, suara di
Kaira berdiri di depan cermin, memandangi bayangan dirinya sendiri. Pikirannya penuh dengan keraguan. Pesan dari Adrian masih menghantui benaknya, meskipun Ezra sudah berusaha menenangkannya. Di satu sisi, ia ingin menutup bab masa lalunya, tetapi di sisi lain, ia tahu pertemuan itu mungkin hanya akan memperkeruh keadaan.Ezra duduk di sofa ruang tamu Kaira, memainkan mug berisi teh hangat di tangannya. Ia tampak tenang, tetapi matanya mengamati setiap gerakan Kaira dengan penuh perhatian. "Kaira, aku tidak akan memaksamu mengambil keputusan. Tapi aku ingin kamu tahu, apa pun yang kamu putuskan, aku ada di sini."Kaira berbalik, menatap Ezra dengan ragu. "Aku hanya takut... Jika aku bertemu dengannya, itu akan menyakiti kita. Tapi jika aku tidak menemuinya, aku merasa tidak adil untuk mengabaikannya begitu saja."Ezra mengangguk perlahan. "Aku mengerti. Mungkin yang terpenting adalah apa yang kamu inginkan, bukan apa yang dia inginkan. Pertanyaan yang harus kamu tanyakan adalah: Apaka