Jasmine si kutu buku punya khayalan tingkat tinggi. Dia memiliki segunung novel romansa yang seringkali menceritakan kisah cinta epik dari tokoh utamanya. Kebanyakan penulis menjabarkan seperti apa rasanya bertemu dengan cinta pertama, menjalani hari-hari penuh antisipasi dan debaran jantung yang membuat pipi bersemu kemerahan hingga akhirnya sepasang insan itu berbagi ciuman. Semuanya begitu indah dan mendebarkan!
Jasmine sampai-sampai membayangkan seperti apa ciuman pertamanya nanti. Lelaki seperti apa yang akan dia nikahi, bagaimana rupanya, seperti apa sikap romantisnya. Dan apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan.Auw, membayangkannya saja membuat Jasmine menjerit-jerit menggigit selimut kesenangan sekaligus malu.Sebenarnya, Jasmine tidak sepolos itu, dia pernah curi-curi membaca novel dan manga erotis. Ibunya bahkan tanpa sadar membayarkan tagihan pembelian buku impor berbahasa Inggris yang berkisah tentang BDSM. Ah, andai saja Lily Hermawan tahu apa bacaan Jasmine di tengah malam. Sejak saat itu, Jasmine sering membayangkan seperti apa rasanya berciuman ...."Hmph...!" Jasmine terhenyak, dia hampir kehabisan napas.Tubuh Max mendesaknya hingga dia setengah berbaring di sofa. Kedua tangan Jasmine menahan dada Max, dia merasakan bulu-bulu halus di permukaan dadanya yang bidang dan keras, namun tangannya ditepis Max. Lelaki itu mendekapnya erat dan memperdalam ciuman mereka. Bukan, bukan 'ciuman mereka' karena Jasmine sebagai pihak yang tak menginginkan terjadinya pertemuan dua bibir itu. Max memaksakan kehendaknya, ini pelecehan!Tak tahan dengan pemaksaan itu, Jasmine menggeliat-geliat dalam pelukan Max, dia berusaha membuat jarak agar Max melepaskan mulutnya. Pria itu melumat bibirnya seperti orang kesetanan. "Max!"Max terdorong dan terhenti, napasnya terengah-engah. Seperti tersadar dari mabuk, Max memandang Jasmine. Bibirnya bengkak dan bernoda lipstik, pipinya bersemu, matanya sayu.Goddamnit. She's a cocktease."You look sexy, I can't help myself." Max mengusap wajahnya, sejenak pikirannya berkabut, tergoda oleh birahi sejak ruang pandangnya disuguhi tubuh molek gadis muda.Jasmine buru-buru menutup kembali kimononya, dia mendekap dirinya erat-erat."Berapa umurmu?" Tanya Max, dia mengalihkan perhatiannya dengan meneguk air mineral langsung dari botolnya."Delapan belas."Bruusssttt! Max menyemburkan air kemudian terbatuk-batuk. Jasmine menepuk-nepuk punggungnya sambil memutar mata "Kamu sendiri?"Max mengelap mulutnya dengan lengan kemeja lalu menoleh pada Jasmine, "Umurmu dikali dua."Jasmine membelalak, "Kamu nggak kelihatan setua itu!""Well, thanks." Gerutu Max jengkel, dia setengah membanting botol di atas meja."Kamu sudah menikah?" Tanya Jasmine yang melipat kakinya di sofa, dia meringkuk sambil memeluk tubuhnya, melindungi dirinya dari serangan Max.Max menoleh, dia menjawab sebal "Kalau sudah menikah, buat apa aku di sini?"Pandangan Jasmine berkelana ke tangan Max, tak ada cincin di jari manisnya. Satu-satunya cincin yang dipakainya adalah cincin organisasi "Apa setiap orang di organisasi memakai cincin yang sama?" Tanyanya.Max mengikuti pandangan Jasmine yang terpaku pada jari kelingkingnya, dia mengangkat tangannya dan memutar cincin di jarinya "Nggak semua orang punya cincin, ini khusus bagi orang-orang terpilih."Jasmine mengangguk-angguk setengah tercenung. Jadi ayahnya orang terpilih? "Apa benar kamu satu organisasi dengan ayahku? Kamu nggak menipuku, kan?"Max menyeringai, "Buat apa aku menipumu? Tak ada untungnya..."Jasmine mencibir "Aku ini anak Hermawan."Akhirnya Max mengangguk setuju, "Ya, benar juga... sorry, kamu memang bukan gadis sembarangan."Alis Jasmine terangkat, dia malah heran Max memujinya "Karena aku bukan gadis sembarangan, makanya jangan macam-macam..."Max tergelak, "Hahaha... sayangnya aku sudah telanjur bertransaksi dengan Anita, tantemu tersayang itu."Seketika ekspresi Jasmine bete, kedua alisnya bertaut dan bibirnya ditekuk. Hal itu membuat Max kembali geli "Kenapa? Apa kamu sudah punya pacar?"Jasmine menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia berbohong dengan mengatakan bahwa dia sudah punya kekasih dan hendak menikah maka jangan coba-coba menjamahnya, kekasih khayalannya akan menuntut balas!"Ah, nggak mungkin cewek kutu buku kaya kamu udah punya pacar... bukannya selama ini kamu dijaga ketat bodyguard?" Max membantah sendiri pertanyaannya, membuat Jasmine mendongkol."Aku masih delapan belas tahun, buat apa punya pacar? Masih banyak yang ingin kulakukan!""Apa itu?" Tanya Max.Jasmine mengangkat dagunya sambil membalas tatapan Max dan menjawab lugas, "Aku ingin membuktikan diri bahwa aku bukan sekadar anak Hermawan."Alis Max terangkat, dia bertanya lagi "Lalu seperti apa Jasmine anak Hermawan itu?" Godanya.Huh, dasar nyebelin!"Aku akan belajar keliling dunia, membuat perubahan, menemukan penemuan besar..."Max mendengus keras-keras, dia tertawa lagi, kali ini terdengar begitu geli sampai-sampai dia memegangi perutnya "Seperti apa contohnya?"Jasmine terkesiap, dia tak menyiapkan jawaban untuk pertanyaan lanjutan.Tawa Max masih berderai, dia mengacak rambut Jasmine sambil berseru, "Dream on... sweetheart.""Huh!" Jasmine menepis tangan Max dari kepalanya. Bukannya dia tak bisa menjawab, namun terlalu banyak jawaban yang berseliweran di kepalanya hingga dia kesal sendiri. Terkadang otaknya bekerja terlalu cepat hingga seringkali tidak padu dengan mulutnya."Hey, Jas..." Max menyudahi tawanya, kini ekspresinya kembali serius, dia menatap Jasmine dan berbisik di telinga gadis itu, "kamu bisa melakukan semua itu sambil menikmati seks."Jasmine mengerjap kaget, lagi-lagi semua bulu di tubuhnya berdiri. Dasar lelaki mesum!"Lebih baik kamu menyerah daripada dirudapaksa, sweetheart. Sesungguhnya aku nggak mau memaksa kamu, Jas. Tapi salahmu sendiri pakai baju seksi..." pandangan Max sekali lagi tertuju pada buah dadanya, Jasmine semakin erat memeluk dirinya, menghalangi pandangan. Max mendengus lalu melanjutkan, "lagipula tak akan ada orang yang mau jadi saksi, semua orang tahu bahwa aku memenangkan lelang untuk bermalam bersamamu."Jasmine tahu bahwa dia sudah kalah sebelum berperang, namun terkutuklah dirinya jika menyerah begitu saja. Diperasnya otak agar bisa lolos dari situasi ini."Tunggu," tahan Jasmine ketika Max hendak memeluknya lagi, "ada yang ingin aku tanyakan.""Malam ini bukan waktunya tanya jawab." Gerutu Max "aku sudah mendapatkan info darimu.""Info apa?""Bahwa kamu tertipu oleh Karan, bahwa kamu tak tahu apa-apa soal organisasi, bahwa kamu tak tahu seberapa besar warisanmu sendiri.... hehehe... bahwa kamu gadis polos yang masih perawan." Max membelai pipi Jasmine lembut, tatapannya jatuh pada bibir ranum Jasmine "dan bahwa berciuman dengan perawan membuatku ketagihan."Tanpa bisa dicegah lagi, semburat merah merambat di pipi Jasmine, napasnya memberat seiring debar jantungnya yang bergemuruh di dada.Senyuman Max membuatnya terpana, lelaki itu tak memaksa seperti tadi, dia hanya memandangi Jasmine sembari mengelus-elus pipinya, kali ini buku jarinya bergerak menyapu permukaan bibir bawahnya, membuatnya tersentak."Rileks, sweetheart... sudah kubilang aku tak akan menyakitimu. The more you resist, the more I persist."Jasmine menelan ludahnya, terpaku di bawah sentuhan Max.Senyuman Max makin lebar, ketika dia merasa Jasmine sudah mengalah, dicondongkannya lagi wajahnya mendekat, namun Jasmine malah memalingkan wajahnya hingga ciumannya mendarat di pipi.Bangsat, gadis ini keras kepala juga!"Kulit kamu cerah, kontras dengan warna hitam, jadi kelihatan lebih anggun!" Anita, istri pamannya yang baru dikenalnya selama beberapa bulan berdecak kagum pada pantulan Jasmine di cermin. Matanya berbinar-binar melihat kecantikan paripurna seorang gadis yang masih perawan. Ini pertama kalinya Jasmine mengenakan lingerie. Akhir-akhir ini dia memang sering memakai warna hitam, namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa hitam akan membuatnya terlihat lebih menarik di ranjang. "Coba kamu lepas kacamatanya, biar kelihatan makin seksi." Sambil menggigit bibir bawahnya, Jasmine melepaskan kacamata berminus yang selama ini tak pernah lepas bertengger di hidungnya. Jasmine melepaskan kacamata dan mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya dia perlu kontrol ke Optometris lagi. Pandangannya semakin mengabur... "Lho, kok malah nangis?" Tanya Anita dengan nada suara keibuan yang terdengar palsu, dia merangkul bahu Jasmine sambil memandang cermin, air mata gadis itu meleleh di pipinya "a
Di mata Max, gadis muda itu terlalu polos untuk mengenakan gaun mini halter neck yang memeluk setiap lekuk tubuhnya. Jelas gadis yang dipanggil ke hadapan para pelelang yang kebanyakan pria hidung belang itu memiliki bentuk tubuh seorang wanita muda, namun dari ekspresi wajahnya dia masih lugu. Sorot matanya begitu naif hingga Max hampir merasa tidak tega melihatnya. "Wah, bodinya OK juga... masih asli semua." Bisik seseorang yang duduk di belakangnya. Nada suaranya begitu mesum, bahkan Max sempat mendengar decakan kagum yang disusul dengan helaan napas birahi. "All natural, mantap nih." Timpal kawannya. "Virgin oil harganya mahal, bro." "Nggak masalah, ada harga ada rupa." Keduanya terkekeh menjijikkan. Max melirik ke balik bahunya dan mendapati dua pria setengah baya yang wajahnya sering wara-wiri di televisi sebagai pejabat publik kini dengan santainya mengomentari tubuh seorang gadis muda yang mungkin saja seumuran dengan anak bungsu atau cucu pertama mereka. Max menarik nap
Sejak kedatangan Anita ke hidupnya hampir setahun yang lalu, Jasmine tak pernah tidur tenang. Dia terusir dari kamarnya sendiri yang berada di paviliun samping, sekarang kamar itu digunakan Aris, anak Karan dan Anita, seorang mahasiswa tingkat tiga Fakultas Hukum di Universitas ternama. Anita selalu membanggakan anak semata wayangnya itu, memanjakannya hingga batas yang sangat mengkhawatirkan. Di pertemuan pertama mereka, Aris sudah naksir Jasmine, namun Anita tak suka melihat mereka mengobrol. Walau tinggal satu atap, Aris dan Jasmine tak pernah terlihat akrab. Memang sudah sepantasnya seperti itu, karena siapa sih yang malah bermanis-manis dengan penjajah yang menduduki wilayah? Bagi Jasmine, Karan dan anak istrinya tak ubahnya penjajah yang menginvansi rumahnya. Mereka datang dan memorak porandakan kehidupan Jasmine. Tak sampai di situ, ternyata Anita dengan beraninya melelang Jasmine pada lelaki hidung belang! "Jasmine," panggil Aris ketika Jasmine turun dari panggung. Gadis it
"Pe-penipu...?" Napas Jasmine tercekat, dia tersedak emosinya. Tangannya terangkat menutup mulut seiring dengan air mata membayang di pelupuknya. Max mengangguk santai, dia menarik dasi lepas dari lehernya, membuangnya ke lantai dan memberi kode pada Jasmine agar mendekat. Sedikit ragu, Jasmine melangkah. Dia berdiri cukup dekat namun tetap menjaga jarak dari lelaki asing yang membawa berita tak menyenangkan. Mana mungkin Karan, pamannya itu bukan adik dari ayahnya? Lalu siapa dia? "Kamu mau tahu siapa dia?" Max seolah bisa membaca pikiran Jasmine. Gadis itu mengangguk. Max tersenyum, Jasmine ini begitu polos. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka; Max bisa membaca semuanya dari sirat wajahnya. Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok. Max terdiam seketika manik mata biji almon itu menatapnya menuntut jawaban. "Duduk sini," Max menepuk pahanya, meminta Jasmine duduk di pangkuannya. Tak disangka, Jasmine menggeleng, "Tidak, terima kasih." "Oh, nggak perlu sungkan, sweetheart
Jasmine si kutu buku punya khayalan tingkat tinggi. Dia memiliki segunung novel romansa yang seringkali menceritakan kisah cinta epik dari tokoh utamanya. Kebanyakan penulis menjabarkan seperti apa rasanya bertemu dengan cinta pertama, menjalani hari-hari penuh antisipasi dan debaran jantung yang membuat pipi bersemu kemerahan hingga akhirnya sepasang insan itu berbagi ciuman. Semuanya begitu indah dan mendebarkan! Jasmine sampai-sampai membayangkan seperti apa ciuman pertamanya nanti. Lelaki seperti apa yang akan dia nikahi, bagaimana rupanya, seperti apa sikap romantisnya. Dan apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan. Auw, membayangkannya saja membuat Jasmine menjerit-jerit menggigit selimut kesenangan sekaligus malu. Sebenarnya, Jasmine tidak sepolos itu, dia pernah curi-curi membaca novel dan manga erotis. Ibunya bahkan tanpa sadar membayarkan tagihan pembelian buku impor berbahasa Inggris yang berkisah tentang BDSM. Ah, andai saja Lily Hermawan tahu apa bacaan
"Pe-penipu...?" Napas Jasmine tercekat, dia tersedak emosinya. Tangannya terangkat menutup mulut seiring dengan air mata membayang di pelupuknya. Max mengangguk santai, dia menarik dasi lepas dari lehernya, membuangnya ke lantai dan memberi kode pada Jasmine agar mendekat. Sedikit ragu, Jasmine melangkah. Dia berdiri cukup dekat namun tetap menjaga jarak dari lelaki asing yang membawa berita tak menyenangkan. Mana mungkin Karan, pamannya itu bukan adik dari ayahnya? Lalu siapa dia? "Kamu mau tahu siapa dia?" Max seolah bisa membaca pikiran Jasmine. Gadis itu mengangguk. Max tersenyum, Jasmine ini begitu polos. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka; Max bisa membaca semuanya dari sirat wajahnya. Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok. Max terdiam seketika manik mata biji almon itu menatapnya menuntut jawaban. "Duduk sini," Max menepuk pahanya, meminta Jasmine duduk di pangkuannya. Tak disangka, Jasmine menggeleng, "Tidak, terima kasih." "Oh, nggak perlu sungkan, sweetheart
Sejak kedatangan Anita ke hidupnya hampir setahun yang lalu, Jasmine tak pernah tidur tenang. Dia terusir dari kamarnya sendiri yang berada di paviliun samping, sekarang kamar itu digunakan Aris, anak Karan dan Anita, seorang mahasiswa tingkat tiga Fakultas Hukum di Universitas ternama. Anita selalu membanggakan anak semata wayangnya itu, memanjakannya hingga batas yang sangat mengkhawatirkan. Di pertemuan pertama mereka, Aris sudah naksir Jasmine, namun Anita tak suka melihat mereka mengobrol. Walau tinggal satu atap, Aris dan Jasmine tak pernah terlihat akrab. Memang sudah sepantasnya seperti itu, karena siapa sih yang malah bermanis-manis dengan penjajah yang menduduki wilayah? Bagi Jasmine, Karan dan anak istrinya tak ubahnya penjajah yang menginvansi rumahnya. Mereka datang dan memorak porandakan kehidupan Jasmine. Tak sampai di situ, ternyata Anita dengan beraninya melelang Jasmine pada lelaki hidung belang! "Jasmine," panggil Aris ketika Jasmine turun dari panggung. Gadis it
Di mata Max, gadis muda itu terlalu polos untuk mengenakan gaun mini halter neck yang memeluk setiap lekuk tubuhnya. Jelas gadis yang dipanggil ke hadapan para pelelang yang kebanyakan pria hidung belang itu memiliki bentuk tubuh seorang wanita muda, namun dari ekspresi wajahnya dia masih lugu. Sorot matanya begitu naif hingga Max hampir merasa tidak tega melihatnya. "Wah, bodinya OK juga... masih asli semua." Bisik seseorang yang duduk di belakangnya. Nada suaranya begitu mesum, bahkan Max sempat mendengar decakan kagum yang disusul dengan helaan napas birahi. "All natural, mantap nih." Timpal kawannya. "Virgin oil harganya mahal, bro." "Nggak masalah, ada harga ada rupa." Keduanya terkekeh menjijikkan. Max melirik ke balik bahunya dan mendapati dua pria setengah baya yang wajahnya sering wara-wiri di televisi sebagai pejabat publik kini dengan santainya mengomentari tubuh seorang gadis muda yang mungkin saja seumuran dengan anak bungsu atau cucu pertama mereka. Max menarik nap
"Kulit kamu cerah, kontras dengan warna hitam, jadi kelihatan lebih anggun!" Anita, istri pamannya yang baru dikenalnya selama beberapa bulan berdecak kagum pada pantulan Jasmine di cermin. Matanya berbinar-binar melihat kecantikan paripurna seorang gadis yang masih perawan. Ini pertama kalinya Jasmine mengenakan lingerie. Akhir-akhir ini dia memang sering memakai warna hitam, namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa hitam akan membuatnya terlihat lebih menarik di ranjang. "Coba kamu lepas kacamatanya, biar kelihatan makin seksi." Sambil menggigit bibir bawahnya, Jasmine melepaskan kacamata berminus yang selama ini tak pernah lepas bertengger di hidungnya. Jasmine melepaskan kacamata dan mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya dia perlu kontrol ke Optometris lagi. Pandangannya semakin mengabur... "Lho, kok malah nangis?" Tanya Anita dengan nada suara keibuan yang terdengar palsu, dia merangkul bahu Jasmine sambil memandang cermin, air mata gadis itu meleleh di pipinya "a