Sejak kedatangan Anita ke hidupnya hampir setahun yang lalu, Jasmine tak pernah tidur tenang. Dia terusir dari kamarnya sendiri yang berada di paviliun samping, sekarang kamar itu digunakan Aris, anak Karan dan Anita, seorang mahasiswa tingkat tiga Fakultas Hukum di Universitas ternama. Anita selalu membanggakan anak semata wayangnya itu, memanjakannya hingga batas yang sangat mengkhawatirkan.
Di pertemuan pertama mereka, Aris sudah naksir Jasmine, namun Anita tak suka melihat mereka mengobrol. Walau tinggal satu atap, Aris dan Jasmine tak pernah terlihat akrab. Memang sudah sepantasnya seperti itu, karena siapa sih yang malah bermanis-manis dengan penjajah yang menduduki wilayah?Bagi Jasmine, Karan dan anak istrinya tak ubahnya penjajah yang menginvansi rumahnya. Mereka datang dan memorak porandakan kehidupan Jasmine. Tak sampai di situ, ternyata Anita dengan beraninya melelang Jasmine pada lelaki hidung belang!"Jasmine," panggil Aris ketika Jasmine turun dari panggung. Gadis itu menoleh dan langsung membuang muka begitu menyadari siapa yang memanggil namanya. Namun Aris tak patah arang menerima sikap ketus Jasmine, dia menghampiri gadis itu. Sorot matanya lapar memandangi penampilan Jasmine yang sangat berbeda dari biasanya, "Kamu cantik sekali malam ini," puji Aris, tangannya terjulur hendak menyentuh bahu Jasmine, namun gadis itu melengos "Ada apa datang kemari?"Aris memasukkan tangannya ke saku jins dan mengendikkan bahunya, "Mami ngasih tahu kalau ada event malam ini, jadi aku datang... biasanya suka banyak cewek cantik, hehehe..."Jasmine mencibir, dasar buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Otak ibu dan anak hanya di sekitar selangkangan. Si ibu pemasok cewek murahan sedangkan anaknya penikmat cewek gampangan. Klop."Aku nggak nyangka kamu join juga sama Mami?" Tanya Aris, diam-diam dia melirik bokong Jasmine. Hampir saja dia menitikkan air liur melihatnya. Bokong mungil yang padat, buah dada kencang, pinggang kecil dan rambut sebahu yang tergerai membingkai wajah manis Jasmine. Sudah lama Aris mendamba gadis SMA itu. Sayangnya Anita tak pernah membiarkan Aris mendekati Jasmine. Sekarang Aris tahu mengapa ibunya sangat ketat menjaga Jasmine, ternyata ada agenda tersembunyi. Mami Anita hendak melelang keperawanan Jasmine pada lelaki kaya raya. Aris terperanjat ketika ada yang berani menawar 200 juta untuk semalam bersama Jasmine."Aku nggak sudi join Mami kamu," gerutu Jasmine, "ini jebakan. Aku harus keluar dari sini."Aris mendengus, dia mengisap vape dan mengembuskan asapnya "Sekali kamu masuk, kamu nggak akan bisa keluar. Anak buah Mami ada di mana-mana."Jasmine menyadari bahwa jaringan Anita sangat ketat dan loyal. Wanita itu punya banyak kenalan, buktinya sedari tadi Jasmine melihat wajah-wajah tak asing berseliweran di sekitarnya. Mereka sering muncul di kanal berita dan TV; pejabat publik, politikus, pebisnis, artis, atlet hingga kalangan jetset yang namanya identik dengan merk perusahaan terkenal."Tapi..." Aris melirik Jasmine dengan tatapan penuh makna, dia berbisik di dekat telinga Jasmine "kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu."Alis Jasmine terangkat, dia balas berbisik "Aku tahu kamu pasti nggak akan mau bantu aku secara gratis.""Anak pinter..." Aris menepuk-nepuk puncak kepala Jasmine, dia mengedipkan matanya "aku bisa bawa kamu keluar dari sini, asal kamu mau nemenin aku malam ini."Itu sih namanya keluar kandang macan, masuk kandang singa!"Eits, jangan ngambek dulu... pilih mana? Aku yang udah lama kamu kenal, atau cowok berengsek yang nggak kamu kenal?" Tanya Aris berusaha memasukkan logika konyol ke dalam pemahaman Jasmine.Dia pikir Jasmine bodoh? Gadis itu tahu akal bulus cowok yang kuliahnya berantakan dan sudah dua kali pindah universitas demi menghindari DO.Belum sempat Jasmine membalas, Welin datang dan menarik tangannya "Jas, ngapain kamu di sini? Cepat pergi ke paviliun Lily!"Jasmine menggertakkan giginya mendengar nama ibunya disebut. Vila dan paviliun tempat event ini diadakan adalah warisan Jasmine dari ibunya. Paviliun ini diberi nama 'Lily' persis nama pemiliknya. Debur jantungnya bergemuruh dalam dadanya. Jasmine menahan diri agar tak berontak ketika dua orang lelaki menggiringnya pergi dari sana. Setidaknya dia terbebas dari si mesum Aris. Sempat didengarnya Aris protes pada Welin yang dibalas Welin dengan sengit."Lin, gue kan masih ngobrol sama Jasmine!""Nggak ada waktu, Jasmine harus siap-siap di kamar! Ngapain lo di sini? Gue kasih tahu Mami, lho!"Tak terdengar lagi percakapan Aris-Welin karena Jasmine telah berjalan keluar diapit dua orang lelaki di kiri-kanannya.Sesampainya di paviliun Lily, mbok Kanti, salah satu pembantu kepercayaan Mami Anita segera menggamitnya ke dalam kamar, "Cepat lepas bajunya!"Jasmine tergeragap ketika tangan-tangan cekatan mbok Kanti yang sudah berkeriput melucuti pakaiannya hingga Jasmine telanjang bulat di hadapannya."Mbok..." Jasmine menyilangkan kedua tangannya menutupi alat vitalnya. Dia meringis ketika mbok Kanti membolak-balik dirinya seperti sedang menginspeksi barang."Bagus, kamu mulus. Cepat ke kamar mandi dan cuci kelamin kamu. Pastikan bilas dengan bersih!"Hah? Jasmine terperangah."Bocah bodoh!" Mbok Kanti mengumpat sembari menarik Jasmine masuk ke dalam kamar mandi, wanita judes itu mencebokinya dengan cairan pembersih kemudian membilasnya, mengeringkannya dengan handuk sembari mengomelinya. Semua itu dilakukannya dengan kasar.Jasmine menggigit bibirnya menahan tangis, dia tahu mbok Kanti ditugaskan untuk menyiapkan dirinya yang akan direnggut kegadisannya oleh orang asing."Pakai ini," mbok Kanti membantunya memakai lingerie hitam tipis menerawang. Kamisol itu hanya selembar kain tembus pandang dengan tali di bahu dan sebuah pita di dadanya, seolah dirinya adalah kado persembahan, panjangnya tak sampai menutupi perut hingga pusarnya terekspos begitu saja. Celana dalamnya secarik kain segitiga yang menutupi bagian depan namun hanya ada satu tali G-string di belakang. Jasmine risih dengan celananya, bokongnya tak tertutupi sama sekali."Mbok, aku nggak bisa..." Jasmine menggeleng dengan tampang memelas.Mbok Kanti menyampirkan sebuah kimono satin berwarna merah muda di bahunya, memaksa Jasmine untuk memasukkan lengannya sementara gadis itu sekuat tenaga menahan tangis "Jangan cengeng! Nanti riasannya luntur!"Jasmine menarik napas dalam-dalam selagi mbok Kanti mengikatkan tali kimono dengan rapi."Wis, jangan nangis... sebentar lagi cowokmu datang. Pasang senyum manis, buka pahamu lebar-lebar, jangan jerit kencang-kencang kalau sakit, santai saja... lemesin. Kalau kaku malah tambah nyeri. Nikmati saja, nanti juga enak..."Jasmine memejamkan matanya mendengar nasihat dari mbok Kanti. Bagaimana mungkin wanita lebih tua yang seharusnya melindunginya malah mengumpaninya pada lelaki sembarangan?"Mbok..." panggil Jasmine berusaha memancing iba wanita itu, namun mbok Kanti malah menyusutkan air matanya, memoles kembali riasan Jasmine dan menepuk pipinya "Kalau dia keluarin di dalam, besok pagi segera minum pil yang ada di kabinet. Jangan sampai lupa, kalau ndak, kamu bisa bunting!"Tepat ketika itu sebuah ketukan terdengar, mbok Kanti buru-buru membukakan pintu. Jasmine menenangkan diri di kamar, bersiap menyambut pemerkosanya.*Namanya Max dan dia memakai cincin yang sama milik Ayah.Jasmine menelan ludahnya ketika mendengar kata-kata Max, "Aku mengenal ayahmu, kami satu organisasi.""Organisasi? Apa itu semacam partai?" Refleks Jasmine menceplos begitu saja. Dia tak tahu menahu apa kegiatan ayahnya di luar sana, yang dia tahu ayahnya seorang pekerja keras, pengusaha sukses dan seorang kepala keluarga yang penyayang. Seringkali mereka liburan ke luar negeri, hanya bertiga dan semuanya terpatri jelas dalam kenangan Jasmine.Max mendengus menahan tawa, dia menggeleng "Bukan partai, tapi sebuah perkumpulan para pengusaha yang berbisnis bersama.""Oh.""Kamu kelihatan cantik, Jasmine. Apa kabarmu?"Jasmine tersentak dengan pertanyaan Max, dia tak menyangka Max akan berbasa-basi dahulu. Tanpa sadar, giginya mulai menggigiti bibir bawahnya "Um..."Max melepaskan jasnya dan melemparkannya sembarangan ke sofa, "Maaf aku tak datang ke pemakaman orang tuamu."Jasmine menggeleng, lagipula kalau dia datang, Jasmine tak akan ingat. Dia terlalu terpukul hingga ingatannya kabur saat kejadian dan pemakaman. Dia sendiri tak paham bagaimana bisa sekarang dia masih hidup padahal dulu dia pikir tak akan sanggup bertahan tanpa kedua orang tuanya."Aku hendak datang menemuimu sejak dulu, tapi tak ada kesempatan..." Max melanjutkan, dia berjalan menuju sofa sembari mengendurkan dasinya. Lelaki itu kembali berbalik dan bertatapan dengan Jasmine "karena Karan tak mengizinkan siapapun bertemu denganmu."Kening Jasmine berkerut, "Apa maksudnya?"Max mengempaskan tubuhnya di sofa dan menghembuskan napas, "Yah, dia tak ingin kawan lama Hermawan bertemu denganmu. Terutama yang tahu bahwa sebenarnya dia bukan adik Hermawan. Karan bukan pamanmu yang tinggal di luar negeri, dia seorang penipu.""Pe-penipu...?" Napas Jasmine tercekat, dia tersedak emosinya. Tangannya terangkat menutup mulut seiring dengan air mata membayang di pelupuknya. Max mengangguk santai, dia menarik dasi lepas dari lehernya, membuangnya ke lantai dan memberi kode pada Jasmine agar mendekat. Sedikit ragu, Jasmine melangkah. Dia berdiri cukup dekat namun tetap menjaga jarak dari lelaki asing yang membawa berita tak menyenangkan. Mana mungkin Karan, pamannya itu bukan adik dari ayahnya? Lalu siapa dia? "Kamu mau tahu siapa dia?" Max seolah bisa membaca pikiran Jasmine. Gadis itu mengangguk. Max tersenyum, Jasmine ini begitu polos. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka; Max bisa membaca semuanya dari sirat wajahnya. Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok. Max terdiam seketika manik mata biji almon itu menatapnya menuntut jawaban. "Duduk sini," Max menepuk pahanya, meminta Jasmine duduk di pangkuannya. Tak disangka, Jasmine menggeleng, "Tidak, terima kasih." "Oh, nggak perlu sungkan, sweetheart
Jasmine si kutu buku punya khayalan tingkat tinggi. Dia memiliki segunung novel romansa yang seringkali menceritakan kisah cinta epik dari tokoh utamanya. Kebanyakan penulis menjabarkan seperti apa rasanya bertemu dengan cinta pertama, menjalani hari-hari penuh antisipasi dan debaran jantung yang membuat pipi bersemu kemerahan hingga akhirnya sepasang insan itu berbagi ciuman. Semuanya begitu indah dan mendebarkan! Jasmine sampai-sampai membayangkan seperti apa ciuman pertamanya nanti. Lelaki seperti apa yang akan dia nikahi, bagaimana rupanya, seperti apa sikap romantisnya. Dan apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan. Auw, membayangkannya saja membuat Jasmine menjerit-jerit menggigit selimut kesenangan sekaligus malu. Sebenarnya, Jasmine tidak sepolos itu, dia pernah curi-curi membaca novel dan manga erotis. Ibunya bahkan tanpa sadar membayarkan tagihan pembelian buku impor berbahasa Inggris yang berkisah tentang BDSM. Ah, andai saja Lily Hermawan tahu apa bacaan
"Kulit kamu cerah, kontras dengan warna hitam, jadi kelihatan lebih anggun!" Anita, istri pamannya yang baru dikenalnya selama beberapa bulan berdecak kagum pada pantulan Jasmine di cermin. Matanya berbinar-binar melihat kecantikan paripurna seorang gadis yang masih perawan. Ini pertama kalinya Jasmine mengenakan lingerie. Akhir-akhir ini dia memang sering memakai warna hitam, namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa hitam akan membuatnya terlihat lebih menarik di ranjang. "Coba kamu lepas kacamatanya, biar kelihatan makin seksi." Sambil menggigit bibir bawahnya, Jasmine melepaskan kacamata berminus yang selama ini tak pernah lepas bertengger di hidungnya. Jasmine melepaskan kacamata dan mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya dia perlu kontrol ke Optometris lagi. Pandangannya semakin mengabur... "Lho, kok malah nangis?" Tanya Anita dengan nada suara keibuan yang terdengar palsu, dia merangkul bahu Jasmine sambil memandang cermin, air mata gadis itu meleleh di pipinya "a
Di mata Max, gadis muda itu terlalu polos untuk mengenakan gaun mini halter neck yang memeluk setiap lekuk tubuhnya. Jelas gadis yang dipanggil ke hadapan para pelelang yang kebanyakan pria hidung belang itu memiliki bentuk tubuh seorang wanita muda, namun dari ekspresi wajahnya dia masih lugu. Sorot matanya begitu naif hingga Max hampir merasa tidak tega melihatnya. "Wah, bodinya OK juga... masih asli semua." Bisik seseorang yang duduk di belakangnya. Nada suaranya begitu mesum, bahkan Max sempat mendengar decakan kagum yang disusul dengan helaan napas birahi. "All natural, mantap nih." Timpal kawannya. "Virgin oil harganya mahal, bro." "Nggak masalah, ada harga ada rupa." Keduanya terkekeh menjijikkan. Max melirik ke balik bahunya dan mendapati dua pria setengah baya yang wajahnya sering wara-wiri di televisi sebagai pejabat publik kini dengan santainya mengomentari tubuh seorang gadis muda yang mungkin saja seumuran dengan anak bungsu atau cucu pertama mereka. Max menarik nap
Jasmine si kutu buku punya khayalan tingkat tinggi. Dia memiliki segunung novel romansa yang seringkali menceritakan kisah cinta epik dari tokoh utamanya. Kebanyakan penulis menjabarkan seperti apa rasanya bertemu dengan cinta pertama, menjalani hari-hari penuh antisipasi dan debaran jantung yang membuat pipi bersemu kemerahan hingga akhirnya sepasang insan itu berbagi ciuman. Semuanya begitu indah dan mendebarkan! Jasmine sampai-sampai membayangkan seperti apa ciuman pertamanya nanti. Lelaki seperti apa yang akan dia nikahi, bagaimana rupanya, seperti apa sikap romantisnya. Dan apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan. Auw, membayangkannya saja membuat Jasmine menjerit-jerit menggigit selimut kesenangan sekaligus malu. Sebenarnya, Jasmine tidak sepolos itu, dia pernah curi-curi membaca novel dan manga erotis. Ibunya bahkan tanpa sadar membayarkan tagihan pembelian buku impor berbahasa Inggris yang berkisah tentang BDSM. Ah, andai saja Lily Hermawan tahu apa bacaan
"Pe-penipu...?" Napas Jasmine tercekat, dia tersedak emosinya. Tangannya terangkat menutup mulut seiring dengan air mata membayang di pelupuknya. Max mengangguk santai, dia menarik dasi lepas dari lehernya, membuangnya ke lantai dan memberi kode pada Jasmine agar mendekat. Sedikit ragu, Jasmine melangkah. Dia berdiri cukup dekat namun tetap menjaga jarak dari lelaki asing yang membawa berita tak menyenangkan. Mana mungkin Karan, pamannya itu bukan adik dari ayahnya? Lalu siapa dia? "Kamu mau tahu siapa dia?" Max seolah bisa membaca pikiran Jasmine. Gadis itu mengangguk. Max tersenyum, Jasmine ini begitu polos. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka; Max bisa membaca semuanya dari sirat wajahnya. Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok. Max terdiam seketika manik mata biji almon itu menatapnya menuntut jawaban. "Duduk sini," Max menepuk pahanya, meminta Jasmine duduk di pangkuannya. Tak disangka, Jasmine menggeleng, "Tidak, terima kasih." "Oh, nggak perlu sungkan, sweetheart
Sejak kedatangan Anita ke hidupnya hampir setahun yang lalu, Jasmine tak pernah tidur tenang. Dia terusir dari kamarnya sendiri yang berada di paviliun samping, sekarang kamar itu digunakan Aris, anak Karan dan Anita, seorang mahasiswa tingkat tiga Fakultas Hukum di Universitas ternama. Anita selalu membanggakan anak semata wayangnya itu, memanjakannya hingga batas yang sangat mengkhawatirkan. Di pertemuan pertama mereka, Aris sudah naksir Jasmine, namun Anita tak suka melihat mereka mengobrol. Walau tinggal satu atap, Aris dan Jasmine tak pernah terlihat akrab. Memang sudah sepantasnya seperti itu, karena siapa sih yang malah bermanis-manis dengan penjajah yang menduduki wilayah? Bagi Jasmine, Karan dan anak istrinya tak ubahnya penjajah yang menginvansi rumahnya. Mereka datang dan memorak porandakan kehidupan Jasmine. Tak sampai di situ, ternyata Anita dengan beraninya melelang Jasmine pada lelaki hidung belang! "Jasmine," panggil Aris ketika Jasmine turun dari panggung. Gadis it
Di mata Max, gadis muda itu terlalu polos untuk mengenakan gaun mini halter neck yang memeluk setiap lekuk tubuhnya. Jelas gadis yang dipanggil ke hadapan para pelelang yang kebanyakan pria hidung belang itu memiliki bentuk tubuh seorang wanita muda, namun dari ekspresi wajahnya dia masih lugu. Sorot matanya begitu naif hingga Max hampir merasa tidak tega melihatnya. "Wah, bodinya OK juga... masih asli semua." Bisik seseorang yang duduk di belakangnya. Nada suaranya begitu mesum, bahkan Max sempat mendengar decakan kagum yang disusul dengan helaan napas birahi. "All natural, mantap nih." Timpal kawannya. "Virgin oil harganya mahal, bro." "Nggak masalah, ada harga ada rupa." Keduanya terkekeh menjijikkan. Max melirik ke balik bahunya dan mendapati dua pria setengah baya yang wajahnya sering wara-wiri di televisi sebagai pejabat publik kini dengan santainya mengomentari tubuh seorang gadis muda yang mungkin saja seumuran dengan anak bungsu atau cucu pertama mereka. Max menarik nap
"Kulit kamu cerah, kontras dengan warna hitam, jadi kelihatan lebih anggun!" Anita, istri pamannya yang baru dikenalnya selama beberapa bulan berdecak kagum pada pantulan Jasmine di cermin. Matanya berbinar-binar melihat kecantikan paripurna seorang gadis yang masih perawan. Ini pertama kalinya Jasmine mengenakan lingerie. Akhir-akhir ini dia memang sering memakai warna hitam, namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa hitam akan membuatnya terlihat lebih menarik di ranjang. "Coba kamu lepas kacamatanya, biar kelihatan makin seksi." Sambil menggigit bibir bawahnya, Jasmine melepaskan kacamata berminus yang selama ini tak pernah lepas bertengger di hidungnya. Jasmine melepaskan kacamata dan mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya dia perlu kontrol ke Optometris lagi. Pandangannya semakin mengabur... "Lho, kok malah nangis?" Tanya Anita dengan nada suara keibuan yang terdengar palsu, dia merangkul bahu Jasmine sambil memandang cermin, air mata gadis itu meleleh di pipinya "a