Di mata Max, gadis muda itu terlalu polos untuk mengenakan gaun mini halter neck yang memeluk setiap lekuk tubuhnya. Jelas gadis yang dipanggil ke hadapan para pelelang yang kebanyakan pria hidung belang itu memiliki bentuk tubuh seorang wanita muda, namun dari ekspresi wajahnya dia masih lugu. Sorot matanya begitu naif hingga Max hampir merasa tidak tega melihatnya.
"Wah, bodinya OK juga... masih asli semua." Bisik seseorang yang duduk di belakangnya. Nada suaranya begitu mesum, bahkan Max sempat mendengar decakan kagum yang disusul dengan helaan napas birahi."All natural, mantap nih." Timpal kawannya."Virgin oil harganya mahal, bro.""Nggak masalah, ada harga ada rupa."Keduanya terkekeh menjijikkan. Max melirik ke balik bahunya dan mendapati dua pria setengah baya yang wajahnya sering wara-wiri di televisi sebagai pejabat publik kini dengan santainya mengomentari tubuh seorang gadis muda yang mungkin saja seumuran dengan anak bungsu atau cucu pertama mereka.Max menarik napasnya dalam-dalam dan mengalihkan perhatiannya pada kertas yang dipegangnya. Kertas yang dibagikan oleh penyelenggara acara berisikan profil para gadis yang dipamerkan malam ini. Nama Jasmine terpampang jelas sebagai primadona, cewek yang diunggulkan selalu dipanggil paling buncit, ditunggu-tunggu oleh semua orang.Dalam profilnya terdapat info singkat untuk menarik minat para pelelang. Jasmine si Jelita, 1st timer, Virgin. h:165 cm, w:45 kg, 34B.Alis Max terangkat, gadis yang imut. Pantas saja ada banyak pria yang menginginkannya. MC berteriak menunjuk papan-papan yang terangkat, semakin lama nilainya semakin tinggi."50 juta dari nomor 4, oh... 55 juta dari nomor 2, baik... 57 juta dari nomor 15, yak... 60 dari 18! Oh, oh... 80 juta dari nomor 8! Wow!""Berengsek, bujet gue cuma cepek!" Maki pria yang duduk di belakangnya. Max melirik papan angka 7 yang tergeletak di atas meja, dia belum menggunakannya sama sekali. Sejak tadi tak ada gadis yang menarik di matanya."Bos," Anto, asistennya datang menghampiri dan berbisik di telinga Max "itu Jasmine Hermawan."Max menoleh dan balas berbisik, "Lo yakin?"Anto mengangguk, "Positif. Dia dibawa Anita, istrinya Karan."Bangsat. Tanpa banyak gaya, Max mengangkat papannya tinggi-tinggi dan berseru, "200!"Seketika hening, bahkan sang MC sempat terpaku beberapa detik sebelum akhirnya berseru, "200 juta dari pria angka tujuh! Ada yang berani melawannya?"Beberapa orang berbisik-bisik, namun tak ada papan yang teracung untuk melawan penawaran dari Max. Setelah memastikan bahwa tak ada yang menawar lebih tinggi lagi, MC mengumumkan "Ya! Pemenangnya adalah pria dengan papan nomor tujuh! 200 juta untuk Jasmine si Jelita... SOLD!"Max mengembuskan napas lega, dia berdiri dari duduknya, mengancingkan jasnya dengan penuh gaya dan berpaling pada pria-pria paruh baya yang duduk di deretan belakangnya, "Excuse me, Gentlemen."Anggukannya dibalas ekspresi masam dari mereka. Para lelaki yang sudah berumur itu dongkol luar biasa karena dikalahkan oleh Max, yang sejak tadi diperhatikan hanya sebagai penonton saja."Siapa dia?" Bisik pria yang menyebut Jasmine sebagai 'Virgin oil'"Entah, belum pernah lihat." Sahut kawannya. Mereka keheranan dengan sosok Max yang baru pertama kali dilihatnya dalam event ini."Tanya Anita, cek siapa begundal itu. Dia udah ngerusak harga pasar." Gerutu pria gendut yang bergerak gelisah di bangkunya, dia jengkel sekali padahal sudah berhasil menawar hingga 80 juta untuk Jasmine.Kawannya terkekeh padanya, "Wah, udah horny aja si abang...""Tenang, bang, masih ada yang lebih cakep daripada si Jasmine ini. Anita punya banyak stok cewek yang goyangannya yahud!""Ane maunya yang masih perawan, pengen rasain lagi belah duren!"Sementara itu Max digiring ke belakang panggung, di sana Anita sudah menunggu dengan senyuman lebar "Wah, beruntung sekali Jasmine!" Komentarnya saat melihat penampilan Max yang gagah, dia mengulurkan tangan memberi selamat."Hai, di mana dia?" Tanya Max sambil mengedarkan pandang. Begitu diumumkan bahwa Max telah resmi membeli Jasmine, gadis itu menghilang ke balik panggung."Sebelum transaksi, saya perlu memastikan identitas anda, mister. Boleh lihat papan nomor anda?" Tanya Anita.Max memberikan papan nomor yang dibaliknya terdapat barcode yang segera dipindai oleh asisten Anita. Sejenak mereka berdua mengecek identitas yang terdaftar dan wajah Max, setelah semuanya dirasa cocok, Anita berkata dengan keramahan yang overdosis "Mister Max, sekali lagi selamat! Saya senang sekali Jasmine mendapatkan pasangan seperti anda. Saya pastikan malam ini anda akan puas."Max mengangguk dan berkata singkat, "Saya ingin segera menemui Jasmine.""Baik, tapi mohon bersabar dahulu. Kami sedang menyiapkan segala keperluan untuk anda. Jasmine akan siap di kamar dalam lima belas menit. Sebelum itu, silakan tanda tangan ini dulu." Anita menyodorkan dokumen pada Max. Sebelum lelaki itu bertanya, Anita sudah mencerocos "Ini dokumen kerahasiaan, agar kita sama-sama tenang. Deposit anda akan dikembalikan setelah pembayaran diterima penuh."Max paham maksud Anita, dia menjentikkan jarinya dan Anto tergopoh-gopoh datang membawa sebuah tas. Max merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan segepok uang dolar "Kalian menerima cash?"Tentu saja Anita tak menolak, gemerlap di matanya mengalahkan kerlip lampu kristal yang berpendar di atas mereka."Saya akan berikan 15 ribu dolar, tunai, sekarang. Asal jangan ganggu kami sehari semalam, deal?"Senyum Anita semanis sakarin, dia mengangguk "Jasmine milik anda malam ini sampai besok sore."Tanpa banyak bicara, Max membubuhkan tanda tangan kemudian menumpuk beberapa gepok dolar di atas dokumen "Done."Anita mengambil dokumen dan uang dolar, dengan sikap khidmat, dia memberi salam "Thank you and congratulations, sir. Asisten saya akan mengantar anda ke kamar. Selamat malam."*Welin, asisten Anita memberi kode agar Max mengikutinya. Mereka keluar dari ruang pertemuan menuju halaman belakang. Taman yang ditumbuhi berbagai macam tanaman, malam itu terasa syahdu dihiasi lampu-lampu temaram, gemericik suara air kolam ditingkahi oleh suara binatang malam yang bersahut-sahutan. Max melangkah santai mengikuti Welin melintasi jalan setapak yang membawa mereka ke bangunan lain yang agak terpencil, terpisah dari bangunan utama vila. Keriuhan acara seketika teredam oleh jarak dan pepohonan rindang yang mengelilinginya. Bangunan itu berupa rumah satu setengah lantai dengan teras dan balkon kamar. Welin mengetuk tiga kali, pintu dibuka oleh seorang wanita. Tanpa berbicara, dia memberi jalan pada Welin dan Max untuk masuk, kemudian cepat-cepat menutup pintu."Jasmine sudah siap?" Tanya Welin.Wanita itu mengangguk, "Sudah, Bu. Nona Jasmine sedang menunggu di kamar."Welin mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan, memastikan semua sempurna sebelum berpaling pada Max "Ini mbok Kanti, beliau akan membawakan makanan setiap jam makan, anda bisa memesan apa saja--""Saya ingin berduaan saja dengan Jasmine." Potong Max membuat Welin terperangah, "Tapi...""Saya akan memanggil jika lapar, tapi kalian tak boleh datang sebelum saya panggil." Balas Max lagi, nada suaranya penuh otoritas.Welin dan Mbok Kanti saling berpandangan.Max mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan uang pada Welin, "Terima kasih kerjasamanya."Welin menerima uang dolar dari Max dan memberi kode pada mbok Kanti untuk segera pergi dari sana.Max membanting pintu begitu kedua perempuan itu hengkang dari sana. Dia mengembuskan napas dan sejenak memerhatikan lingkungan sekelilingnya. Tak ada CCTV, namun bukan berarti tidak ada penyadap di sana.Max bergerak cepat mengelilingi ruangan dan benar saja, ada dua penyadap yang disembunyikan. Diinjaknya benda mungil itu sampai hancur sebelum dia beranjak ke kamar.Max mengetuk pintu, dia mengepalkan tinjunya ketika terdengar suara lembut dari dalam, "Masuk."Gadis muda bernama Jasmine itu berdiri di tengah ruangan, gaun mini yang dikenakannya tadi sudah berganti dengan kimono satin merah muda."Hai," sapa Max, dia berjalan mendekat. Bisa dilihatnya Jasmine meremas-remas tali kimononya, gadis itu mengangguk kecil sembari melayangkan pandang takut-takut."Aku Max," Max menjulurkan tangannya pada Jasmine. Sejenak gadis itu tercenung menatap tangan Max. Ada cincin bersimbol di jari kelingking lelaki itu, alisnya berkerut ketika mengenali cincin yang mirip pernah dikenakan ayahnya dulu. Jasmine mendongak pada Max yang berdiri menjulang di atasnya, "Kamu...?"Max mengangguk, "Aku mengenal ayahmu, kami satu organisasi."Sejak kedatangan Anita ke hidupnya hampir setahun yang lalu, Jasmine tak pernah tidur tenang. Dia terusir dari kamarnya sendiri yang berada di paviliun samping, sekarang kamar itu digunakan Aris, anak Karan dan Anita, seorang mahasiswa tingkat tiga Fakultas Hukum di Universitas ternama. Anita selalu membanggakan anak semata wayangnya itu, memanjakannya hingga batas yang sangat mengkhawatirkan. Di pertemuan pertama mereka, Aris sudah naksir Jasmine, namun Anita tak suka melihat mereka mengobrol. Walau tinggal satu atap, Aris dan Jasmine tak pernah terlihat akrab. Memang sudah sepantasnya seperti itu, karena siapa sih yang malah bermanis-manis dengan penjajah yang menduduki wilayah? Bagi Jasmine, Karan dan anak istrinya tak ubahnya penjajah yang menginvansi rumahnya. Mereka datang dan memorak porandakan kehidupan Jasmine. Tak sampai di situ, ternyata Anita dengan beraninya melelang Jasmine pada lelaki hidung belang! "Jasmine," panggil Aris ketika Jasmine turun dari panggung. Gadis it
"Pe-penipu...?" Napas Jasmine tercekat, dia tersedak emosinya. Tangannya terangkat menutup mulut seiring dengan air mata membayang di pelupuknya. Max mengangguk santai, dia menarik dasi lepas dari lehernya, membuangnya ke lantai dan memberi kode pada Jasmine agar mendekat. Sedikit ragu, Jasmine melangkah. Dia berdiri cukup dekat namun tetap menjaga jarak dari lelaki asing yang membawa berita tak menyenangkan. Mana mungkin Karan, pamannya itu bukan adik dari ayahnya? Lalu siapa dia? "Kamu mau tahu siapa dia?" Max seolah bisa membaca pikiran Jasmine. Gadis itu mengangguk. Max tersenyum, Jasmine ini begitu polos. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka; Max bisa membaca semuanya dari sirat wajahnya. Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok. Max terdiam seketika manik mata biji almon itu menatapnya menuntut jawaban. "Duduk sini," Max menepuk pahanya, meminta Jasmine duduk di pangkuannya. Tak disangka, Jasmine menggeleng, "Tidak, terima kasih." "Oh, nggak perlu sungkan, sweetheart
Jasmine si kutu buku punya khayalan tingkat tinggi. Dia memiliki segunung novel romansa yang seringkali menceritakan kisah cinta epik dari tokoh utamanya. Kebanyakan penulis menjabarkan seperti apa rasanya bertemu dengan cinta pertama, menjalani hari-hari penuh antisipasi dan debaran jantung yang membuat pipi bersemu kemerahan hingga akhirnya sepasang insan itu berbagi ciuman. Semuanya begitu indah dan mendebarkan! Jasmine sampai-sampai membayangkan seperti apa ciuman pertamanya nanti. Lelaki seperti apa yang akan dia nikahi, bagaimana rupanya, seperti apa sikap romantisnya. Dan apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan. Auw, membayangkannya saja membuat Jasmine menjerit-jerit menggigit selimut kesenangan sekaligus malu. Sebenarnya, Jasmine tidak sepolos itu, dia pernah curi-curi membaca novel dan manga erotis. Ibunya bahkan tanpa sadar membayarkan tagihan pembelian buku impor berbahasa Inggris yang berkisah tentang BDSM. Ah, andai saja Lily Hermawan tahu apa bacaan
"Kulit kamu cerah, kontras dengan warna hitam, jadi kelihatan lebih anggun!" Anita, istri pamannya yang baru dikenalnya selama beberapa bulan berdecak kagum pada pantulan Jasmine di cermin. Matanya berbinar-binar melihat kecantikan paripurna seorang gadis yang masih perawan. Ini pertama kalinya Jasmine mengenakan lingerie. Akhir-akhir ini dia memang sering memakai warna hitam, namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa hitam akan membuatnya terlihat lebih menarik di ranjang. "Coba kamu lepas kacamatanya, biar kelihatan makin seksi." Sambil menggigit bibir bawahnya, Jasmine melepaskan kacamata berminus yang selama ini tak pernah lepas bertengger di hidungnya. Jasmine melepaskan kacamata dan mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya dia perlu kontrol ke Optometris lagi. Pandangannya semakin mengabur... "Lho, kok malah nangis?" Tanya Anita dengan nada suara keibuan yang terdengar palsu, dia merangkul bahu Jasmine sambil memandang cermin, air mata gadis itu meleleh di pipinya "a
Jasmine si kutu buku punya khayalan tingkat tinggi. Dia memiliki segunung novel romansa yang seringkali menceritakan kisah cinta epik dari tokoh utamanya. Kebanyakan penulis menjabarkan seperti apa rasanya bertemu dengan cinta pertama, menjalani hari-hari penuh antisipasi dan debaran jantung yang membuat pipi bersemu kemerahan hingga akhirnya sepasang insan itu berbagi ciuman. Semuanya begitu indah dan mendebarkan! Jasmine sampai-sampai membayangkan seperti apa ciuman pertamanya nanti. Lelaki seperti apa yang akan dia nikahi, bagaimana rupanya, seperti apa sikap romantisnya. Dan apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan. Auw, membayangkannya saja membuat Jasmine menjerit-jerit menggigit selimut kesenangan sekaligus malu. Sebenarnya, Jasmine tidak sepolos itu, dia pernah curi-curi membaca novel dan manga erotis. Ibunya bahkan tanpa sadar membayarkan tagihan pembelian buku impor berbahasa Inggris yang berkisah tentang BDSM. Ah, andai saja Lily Hermawan tahu apa bacaan
"Pe-penipu...?" Napas Jasmine tercekat, dia tersedak emosinya. Tangannya terangkat menutup mulut seiring dengan air mata membayang di pelupuknya. Max mengangguk santai, dia menarik dasi lepas dari lehernya, membuangnya ke lantai dan memberi kode pada Jasmine agar mendekat. Sedikit ragu, Jasmine melangkah. Dia berdiri cukup dekat namun tetap menjaga jarak dari lelaki asing yang membawa berita tak menyenangkan. Mana mungkin Karan, pamannya itu bukan adik dari ayahnya? Lalu siapa dia? "Kamu mau tahu siapa dia?" Max seolah bisa membaca pikiran Jasmine. Gadis itu mengangguk. Max tersenyum, Jasmine ini begitu polos. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka; Max bisa membaca semuanya dari sirat wajahnya. Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok. Max terdiam seketika manik mata biji almon itu menatapnya menuntut jawaban. "Duduk sini," Max menepuk pahanya, meminta Jasmine duduk di pangkuannya. Tak disangka, Jasmine menggeleng, "Tidak, terima kasih." "Oh, nggak perlu sungkan, sweetheart
Sejak kedatangan Anita ke hidupnya hampir setahun yang lalu, Jasmine tak pernah tidur tenang. Dia terusir dari kamarnya sendiri yang berada di paviliun samping, sekarang kamar itu digunakan Aris, anak Karan dan Anita, seorang mahasiswa tingkat tiga Fakultas Hukum di Universitas ternama. Anita selalu membanggakan anak semata wayangnya itu, memanjakannya hingga batas yang sangat mengkhawatirkan. Di pertemuan pertama mereka, Aris sudah naksir Jasmine, namun Anita tak suka melihat mereka mengobrol. Walau tinggal satu atap, Aris dan Jasmine tak pernah terlihat akrab. Memang sudah sepantasnya seperti itu, karena siapa sih yang malah bermanis-manis dengan penjajah yang menduduki wilayah? Bagi Jasmine, Karan dan anak istrinya tak ubahnya penjajah yang menginvansi rumahnya. Mereka datang dan memorak porandakan kehidupan Jasmine. Tak sampai di situ, ternyata Anita dengan beraninya melelang Jasmine pada lelaki hidung belang! "Jasmine," panggil Aris ketika Jasmine turun dari panggung. Gadis it
Di mata Max, gadis muda itu terlalu polos untuk mengenakan gaun mini halter neck yang memeluk setiap lekuk tubuhnya. Jelas gadis yang dipanggil ke hadapan para pelelang yang kebanyakan pria hidung belang itu memiliki bentuk tubuh seorang wanita muda, namun dari ekspresi wajahnya dia masih lugu. Sorot matanya begitu naif hingga Max hampir merasa tidak tega melihatnya. "Wah, bodinya OK juga... masih asli semua." Bisik seseorang yang duduk di belakangnya. Nada suaranya begitu mesum, bahkan Max sempat mendengar decakan kagum yang disusul dengan helaan napas birahi. "All natural, mantap nih." Timpal kawannya. "Virgin oil harganya mahal, bro." "Nggak masalah, ada harga ada rupa." Keduanya terkekeh menjijikkan. Max melirik ke balik bahunya dan mendapati dua pria setengah baya yang wajahnya sering wara-wiri di televisi sebagai pejabat publik kini dengan santainya mengomentari tubuh seorang gadis muda yang mungkin saja seumuran dengan anak bungsu atau cucu pertama mereka. Max menarik nap
"Kulit kamu cerah, kontras dengan warna hitam, jadi kelihatan lebih anggun!" Anita, istri pamannya yang baru dikenalnya selama beberapa bulan berdecak kagum pada pantulan Jasmine di cermin. Matanya berbinar-binar melihat kecantikan paripurna seorang gadis yang masih perawan. Ini pertama kalinya Jasmine mengenakan lingerie. Akhir-akhir ini dia memang sering memakai warna hitam, namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa hitam akan membuatnya terlihat lebih menarik di ranjang. "Coba kamu lepas kacamatanya, biar kelihatan makin seksi." Sambil menggigit bibir bawahnya, Jasmine melepaskan kacamata berminus yang selama ini tak pernah lepas bertengger di hidungnya. Jasmine melepaskan kacamata dan mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya dia perlu kontrol ke Optometris lagi. Pandangannya semakin mengabur... "Lho, kok malah nangis?" Tanya Anita dengan nada suara keibuan yang terdengar palsu, dia merangkul bahu Jasmine sambil memandang cermin, air mata gadis itu meleleh di pipinya "a