Beranda / Romansa / Kecupan Panas sang Mafia / 04 - Pencuri Ciuman

Share

04 - Pencuri Ciuman

Penulis: Serafina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Pe-penipu...?" Napas Jasmine tercekat, dia tersedak emosinya. Tangannya terangkat menutup mulut seiring dengan air mata membayang di pelupuknya.

Max mengangguk santai, dia menarik dasi lepas dari lehernya, membuangnya ke lantai dan memberi kode pada Jasmine agar mendekat.

Sedikit ragu, Jasmine melangkah. Dia berdiri cukup dekat namun tetap menjaga jarak dari lelaki asing yang membawa berita tak menyenangkan.

Mana mungkin Karan, pamannya itu bukan adik dari ayahnya? Lalu siapa dia?

"Kamu mau tahu siapa dia?" Max seolah bisa membaca pikiran Jasmine.

Gadis itu mengangguk.

Max tersenyum, Jasmine ini begitu polos. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka; Max bisa membaca semuanya dari sirat wajahnya.

Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok. Max terdiam seketika manik mata biji almon itu menatapnya menuntut jawaban.

"Duduk sini," Max menepuk pahanya, meminta Jasmine duduk di pangkuannya. Tak disangka, Jasmine menggeleng, "Tidak, terima kasih."

"Oh, nggak perlu sungkan, sweetheart. Malam ini kamu milikku." Max mulai menggulung lengan bajunya, dia tersenyum sembari melepaskan dua kancing teratas kemejanya.

Ekspresi Jasmine membatu, tubuhnya menegang melihat Max yang mulai melucuti pakaiannya. Matanya bergerak dari Max menuju jendela yang bertirai putih bercorak bunga-bunga.

Max mengikuti arah pandangan Jasmine dan berujar "Jangan berpikir kamu bisa kabur lewat jendela. Di luar sana bukannya ada jurang?"

Jasmine tahu kalau jendela kamar ini menghadap perbukitan, namun beberapa meter di depannya terdapat tembok setinggi dua meter sebagai pengaman sekaligus pemisah area rumah dan tebing.

Jasmine menggeleng, "Aku nggak akan kabur."

"Bagus," Max tersenyum, sesungguhnya pria ini tampan. Tubuhnya tinggi dan atletis, garis rahangnya tegas dengan hidung mancung dan tatapan mata tajam di balik kacamata berbingkai tipis yang dikenakannya. Jasmine menyukai lelaki yang memakai kacamata seperti dirinya. Namun malam ini dia dipaksa mengenakan lensa kontak karena menurut Anita perempuan berkacamata sama sekali tidak seksi.

'Para lelaki ini datang untuk mendapatkan cewek binal bukan cewek pintar!'

"Kemarilah, Jasmine..." pinta Max, dia melambaikan tangannya agar gadis itu duduk bersamanya, "aku nggak akan menyakitimu."

Cih! Jasmine memalingkan muka. Bagaimana mungkin lelaki yang membayar dua ratus juta tidak akan menyakitinya? Dengan caranya 'membeli' Jasmine itu sudah menyakiti harga dirinya. Jasmine itu manusia yang tak seharusnya diperjual-belikan. Gadis itu mencatat dalam hati apa saja pelanggaran hukum yang terjadi malam ini. Dia akan mulai membangun kasusnya sendiri. Di sini dia adalah korban; korban perdagangan orang. Prostitusi. Pelecehan. Perjudian.

"Hey, sweetheart." Suara Max menyentakkan Jasmine dari lamunannya "aku tak mengeluarkan uang hanya untuk memandangi boneka hidup yang melamun sepanjang malam. Kenapa bengong?"

Jasmine mengerjap kaget dan refleks berseru "Aku nggak mau melayanimu!"

"Lalu kenapa kamu berdiri di panggung menjual diri?" Balas Max.

"Aku dipaksa! Aku nggak tahu kenapa aku dibawa ke sini!"

Tawa Max membahana, membuat kuduk Jasmine meremang mendengarnya. Sama sekali tak ada humor dan kesenangan dalam tawanya, sebaliknya suara yang keluar dari tenggorokan Max terdengar seperti sejenis tawa yang kering, menyesakkan dan membuat siapapun yang mendengarnya berjengit ngeri. Persis seperti seseorang menabrakkan mobil ke tembok, dentumannya begitu keras dan menggedor telinga.

"Yah... masuk akal juga kamu bilang dipaksa. Tidak mungkin anak Hermawan mau dibayar dua ratus juta semalam? Itu hanya setetes dari lautan harta peninggalan orang tuamu, kan?"

Jasmine terperangah, dia sama sekali tak tahu seberapa besar harta warisan orang tuanya.

Tawa Max seketika terhenti, dia bertanya saat menyadari perubahan air muka Jasmine "Kamu nggak tahu?"

Jasmine mengerjap dengan tampang kosong.

"Kamu nggak tahu berapa banyak warisanmu?!" Seruan Max semakin meninggi.

Jasmine menggeleng pelan, selama ini uang bulanannya dijatah oleh ibunya. Beliau menerapkan hidup hemat pada Jasmine, beli seperlunya dan pakai semaksimal mungkin. Walau Jasmine pegang kartu kredit, praktis dia tak pernah menggunakannya karena semua kebutuhannya terpenuhi. Jasmine bukan tipe anak yang menghamburkan uang. Dia hanya minta dibuatkan ruang baca yang nyaman dan minta dibelikan buku impor tiga kali sebulan.

Selebihnya dia sudah senang dengan semua fasilitas yang tersedia. Lily, mendiang ibu Jasmine selalu menyediakan kebutuhan anak satu-satunya bahkan sebelum Jasmine menyadari apa kebutuhannya.

"Ckckck... luar biasa. Pantas saja Karan dengan mudahnya masuk ke rumahmu dan menipu semua orang." Max menggeleng-geleng sembari terkekeh "kamu tahu, penjahatnya bukan hanya lihai, tapi korbannya yang memberi kesempatan..."

Bibir Jasmine maju beberapa senti, dia tersinggung dengan perkataan Max. Jadi orang ini menganggapnya korban yang bodoh karena telah memberi Karan kesempatan untuk masuk ke rumahnya?

Jasmine bahkan lupa bagaimana Karan bisa pindah dan menguasai rumahnya? Tiba-tiba saja tanpa dia sadari, Jasmine tersiksa berada di rumahnya sendiri. Seperti kumpeni, Karan menjajah rumah Hermawan dan mengklaim miliknya sendiri.

"Aku tidak bodoh." Bentak Jasmine. Pembelaan yang lemah. Max hanya menyeringai, dia mengangguk sambil lalu, "Kalau begitu, kenapa kamu bisa ada di sini? Memakai pakaian seksi untuk menggoda pria yang umurnya dua atau tiga kali lipat umurmu dan bersedia menghabiskan malam bersama mereka?"

"Sudah kubilang kalau aku dipaksa!" Jerit Jasmine.

"No!" Dia terhenyak seketika Max melompat berdiri di hadapannya. Dia terperangah saat Max merunduk begitu rendah ke arahnya, hingga Jasmine terdongak dan oleng "Oh!"

Refleks lengan Max menangkap pinggang Jasmine bersamaan dengan tangan gadis itu meraih kerah baju Max. Keduanya limbung bersamaan lalu ambruk bertindihan.

"Auw!" Jasmine meringis ketika kepalanya terbentur karpet. Untung saja lantai beralas karpet, jika tidak kepalanya sudah bocor beradu dengan keramik.

"You okay?" Lekas Max menarik badannya yang sempat menindih Jasmine, dia menopang berat badannya dengan kedua tangan dan menunduk menatap Jasmine. Selama sepersekian detik, ada sirat khawatir dalam sorot matanya.

Jasmine mengusap bagian belakang kepalanya "Yah... I think I'm okay."

Max berdiri dan menarik tangan Jasmine sebelum membimbingnya ke sofa. Kali ini Jasmine tak menolak ketika Max duduk di sebelahnya. Lelaki itu menuangkan air untuknya "Minum dulu."

Jasmine meneguk air dan mengatur napasnya, dia masih shock hingga tak sadar ikatan kimononya mengendur. Kini pakaian dalamnya terlihat jelas oleh Max.

"Beritahu aku siapa kamu sebenarnya, Max?" Tanya Jasmine setelah dia cukup menenangkan diri dari kejadian jatuh dan tertindih lelaki itu.

Max tidak menjawab, matanya terpaku pada penampilan Jasmine yang berantakan. Bayangan buah dada ranum di balik pakaian yang menerawang menggoda imannya.

Rencana awalnya bukan untuk menikmati malam panas dengan gadis ingusan ini, Max ingin menggali informasi langsung dari tangan pertama. Selama ini anak buahnya tak ada yang berhasil menembus penjagaan Karan, maka ketika ada rumor bahwa Anita akan mengadakan pertemuan yang melibatkan gadis-gadis muda, Max berpikir saat ini dia perlu turun tangan sendiri. Dia tak menyangka bahwa dewi fortuna datang menghampirinya. Tak disia-siakannya kesempatan untuk bertemu dengan Jasmine Hermawan. Dia pernah dengar bahwa anak Hermawan cantik jelita namun tertutup. Kehidupannya begitu terjaga bagai burung dalam sangkar emas. Hermawan dan istrinya tak pernah membawa serta anaknya dalam setiap pertemuan organisasi. Mereka tak ingin melibatkan Jasmine, gadis itu tak boleh bersinggungan dengan dunia berbahaya itu.

Namun sayang sekali Hermawan, malam ini bukan hanya bersinggungan dengan orang dari organisasi, namun Jasmine akan jatuh ke pelukan Max, sang ketua dari dunia hitam itu.

"Kamu ingin tahu siapa aku?" Tanya Max, dia mencondongkan tubuhnya mendekat pada Jasmine, aroma sensual dari parfum yang dikenakannya membelai penciuman Max.

Jasmine mengangguk, gadis itu masih tak menyadari bahwa kimononya telah terbuka.

"Hm," Max tersenyum, gairahnya terpantik hanya dengan menatap lekuk tubuh gadis yang dimenangkannya di lelang, "Aku lelaki yang akan menikmatimu malam ini."

Bersamaan dengan perkataannya, Max merengkuh leher Jasmine dan menangkup buah dadanya.

Jasmine terkesiap, mulutnya yang terbuka dimanfaatkan Max untuk mencuri ciuman darinya.

Bab terkait

  • Kecupan Panas sang Mafia   05 - Malam Bersama Max

    Jasmine si kutu buku punya khayalan tingkat tinggi. Dia memiliki segunung novel romansa yang seringkali menceritakan kisah cinta epik dari tokoh utamanya. Kebanyakan penulis menjabarkan seperti apa rasanya bertemu dengan cinta pertama, menjalani hari-hari penuh antisipasi dan debaran jantung yang membuat pipi bersemu kemerahan hingga akhirnya sepasang insan itu berbagi ciuman. Semuanya begitu indah dan mendebarkan! Jasmine sampai-sampai membayangkan seperti apa ciuman pertamanya nanti. Lelaki seperti apa yang akan dia nikahi, bagaimana rupanya, seperti apa sikap romantisnya. Dan apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan. Auw, membayangkannya saja membuat Jasmine menjerit-jerit menggigit selimut kesenangan sekaligus malu. Sebenarnya, Jasmine tidak sepolos itu, dia pernah curi-curi membaca novel dan manga erotis. Ibunya bahkan tanpa sadar membayarkan tagihan pembelian buku impor berbahasa Inggris yang berkisah tentang BDSM. Ah, andai saja Lily Hermawan tahu apa bacaan

  • Kecupan Panas sang Mafia   01 - Jasmine si Jelita

    "Kulit kamu cerah, kontras dengan warna hitam, jadi kelihatan lebih anggun!" Anita, istri pamannya yang baru dikenalnya selama beberapa bulan berdecak kagum pada pantulan Jasmine di cermin. Matanya berbinar-binar melihat kecantikan paripurna seorang gadis yang masih perawan. Ini pertama kalinya Jasmine mengenakan lingerie. Akhir-akhir ini dia memang sering memakai warna hitam, namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa hitam akan membuatnya terlihat lebih menarik di ranjang. "Coba kamu lepas kacamatanya, biar kelihatan makin seksi." Sambil menggigit bibir bawahnya, Jasmine melepaskan kacamata berminus yang selama ini tak pernah lepas bertengger di hidungnya. Jasmine melepaskan kacamata dan mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya dia perlu kontrol ke Optometris lagi. Pandangannya semakin mengabur... "Lho, kok malah nangis?" Tanya Anita dengan nada suara keibuan yang terdengar palsu, dia merangkul bahu Jasmine sambil memandang cermin, air mata gadis itu meleleh di pipinya "a

  • Kecupan Panas sang Mafia   02 - Max si Pemenang Lelang

    Di mata Max, gadis muda itu terlalu polos untuk mengenakan gaun mini halter neck yang memeluk setiap lekuk tubuhnya. Jelas gadis yang dipanggil ke hadapan para pelelang yang kebanyakan pria hidung belang itu memiliki bentuk tubuh seorang wanita muda, namun dari ekspresi wajahnya dia masih lugu. Sorot matanya begitu naif hingga Max hampir merasa tidak tega melihatnya. "Wah, bodinya OK juga... masih asli semua." Bisik seseorang yang duduk di belakangnya. Nada suaranya begitu mesum, bahkan Max sempat mendengar decakan kagum yang disusul dengan helaan napas birahi. "All natural, mantap nih." Timpal kawannya. "Virgin oil harganya mahal, bro." "Nggak masalah, ada harga ada rupa." Keduanya terkekeh menjijikkan. Max melirik ke balik bahunya dan mendapati dua pria setengah baya yang wajahnya sering wara-wiri di televisi sebagai pejabat publik kini dengan santainya mengomentari tubuh seorang gadis muda yang mungkin saja seumuran dengan anak bungsu atau cucu pertama mereka. Max menarik nap

  • Kecupan Panas sang Mafia   03 - Tangis sang Perawan

    Sejak kedatangan Anita ke hidupnya hampir setahun yang lalu, Jasmine tak pernah tidur tenang. Dia terusir dari kamarnya sendiri yang berada di paviliun samping, sekarang kamar itu digunakan Aris, anak Karan dan Anita, seorang mahasiswa tingkat tiga Fakultas Hukum di Universitas ternama. Anita selalu membanggakan anak semata wayangnya itu, memanjakannya hingga batas yang sangat mengkhawatirkan. Di pertemuan pertama mereka, Aris sudah naksir Jasmine, namun Anita tak suka melihat mereka mengobrol. Walau tinggal satu atap, Aris dan Jasmine tak pernah terlihat akrab. Memang sudah sepantasnya seperti itu, karena siapa sih yang malah bermanis-manis dengan penjajah yang menduduki wilayah? Bagi Jasmine, Karan dan anak istrinya tak ubahnya penjajah yang menginvansi rumahnya. Mereka datang dan memorak porandakan kehidupan Jasmine. Tak sampai di situ, ternyata Anita dengan beraninya melelang Jasmine pada lelaki hidung belang! "Jasmine," panggil Aris ketika Jasmine turun dari panggung. Gadis it

Bab terbaru

  • Kecupan Panas sang Mafia   05 - Malam Bersama Max

    Jasmine si kutu buku punya khayalan tingkat tinggi. Dia memiliki segunung novel romansa yang seringkali menceritakan kisah cinta epik dari tokoh utamanya. Kebanyakan penulis menjabarkan seperti apa rasanya bertemu dengan cinta pertama, menjalani hari-hari penuh antisipasi dan debaran jantung yang membuat pipi bersemu kemerahan hingga akhirnya sepasang insan itu berbagi ciuman. Semuanya begitu indah dan mendebarkan! Jasmine sampai-sampai membayangkan seperti apa ciuman pertamanya nanti. Lelaki seperti apa yang akan dia nikahi, bagaimana rupanya, seperti apa sikap romantisnya. Dan apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan. Auw, membayangkannya saja membuat Jasmine menjerit-jerit menggigit selimut kesenangan sekaligus malu. Sebenarnya, Jasmine tidak sepolos itu, dia pernah curi-curi membaca novel dan manga erotis. Ibunya bahkan tanpa sadar membayarkan tagihan pembelian buku impor berbahasa Inggris yang berkisah tentang BDSM. Ah, andai saja Lily Hermawan tahu apa bacaan

  • Kecupan Panas sang Mafia   04 - Pencuri Ciuman

    "Pe-penipu...?" Napas Jasmine tercekat, dia tersedak emosinya. Tangannya terangkat menutup mulut seiring dengan air mata membayang di pelupuknya. Max mengangguk santai, dia menarik dasi lepas dari lehernya, membuangnya ke lantai dan memberi kode pada Jasmine agar mendekat. Sedikit ragu, Jasmine melangkah. Dia berdiri cukup dekat namun tetap menjaga jarak dari lelaki asing yang membawa berita tak menyenangkan. Mana mungkin Karan, pamannya itu bukan adik dari ayahnya? Lalu siapa dia? "Kamu mau tahu siapa dia?" Max seolah bisa membaca pikiran Jasmine. Gadis itu mengangguk. Max tersenyum, Jasmine ini begitu polos. Dia bagaikan sebuah buku yang terbuka; Max bisa membaca semuanya dari sirat wajahnya. Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok. Max terdiam seketika manik mata biji almon itu menatapnya menuntut jawaban. "Duduk sini," Max menepuk pahanya, meminta Jasmine duduk di pangkuannya. Tak disangka, Jasmine menggeleng, "Tidak, terima kasih." "Oh, nggak perlu sungkan, sweetheart

  • Kecupan Panas sang Mafia   03 - Tangis sang Perawan

    Sejak kedatangan Anita ke hidupnya hampir setahun yang lalu, Jasmine tak pernah tidur tenang. Dia terusir dari kamarnya sendiri yang berada di paviliun samping, sekarang kamar itu digunakan Aris, anak Karan dan Anita, seorang mahasiswa tingkat tiga Fakultas Hukum di Universitas ternama. Anita selalu membanggakan anak semata wayangnya itu, memanjakannya hingga batas yang sangat mengkhawatirkan. Di pertemuan pertama mereka, Aris sudah naksir Jasmine, namun Anita tak suka melihat mereka mengobrol. Walau tinggal satu atap, Aris dan Jasmine tak pernah terlihat akrab. Memang sudah sepantasnya seperti itu, karena siapa sih yang malah bermanis-manis dengan penjajah yang menduduki wilayah? Bagi Jasmine, Karan dan anak istrinya tak ubahnya penjajah yang menginvansi rumahnya. Mereka datang dan memorak porandakan kehidupan Jasmine. Tak sampai di situ, ternyata Anita dengan beraninya melelang Jasmine pada lelaki hidung belang! "Jasmine," panggil Aris ketika Jasmine turun dari panggung. Gadis it

  • Kecupan Panas sang Mafia   02 - Max si Pemenang Lelang

    Di mata Max, gadis muda itu terlalu polos untuk mengenakan gaun mini halter neck yang memeluk setiap lekuk tubuhnya. Jelas gadis yang dipanggil ke hadapan para pelelang yang kebanyakan pria hidung belang itu memiliki bentuk tubuh seorang wanita muda, namun dari ekspresi wajahnya dia masih lugu. Sorot matanya begitu naif hingga Max hampir merasa tidak tega melihatnya. "Wah, bodinya OK juga... masih asli semua." Bisik seseorang yang duduk di belakangnya. Nada suaranya begitu mesum, bahkan Max sempat mendengar decakan kagum yang disusul dengan helaan napas birahi. "All natural, mantap nih." Timpal kawannya. "Virgin oil harganya mahal, bro." "Nggak masalah, ada harga ada rupa." Keduanya terkekeh menjijikkan. Max melirik ke balik bahunya dan mendapati dua pria setengah baya yang wajahnya sering wara-wiri di televisi sebagai pejabat publik kini dengan santainya mengomentari tubuh seorang gadis muda yang mungkin saja seumuran dengan anak bungsu atau cucu pertama mereka. Max menarik nap

  • Kecupan Panas sang Mafia   01 - Jasmine si Jelita

    "Kulit kamu cerah, kontras dengan warna hitam, jadi kelihatan lebih anggun!" Anita, istri pamannya yang baru dikenalnya selama beberapa bulan berdecak kagum pada pantulan Jasmine di cermin. Matanya berbinar-binar melihat kecantikan paripurna seorang gadis yang masih perawan. Ini pertama kalinya Jasmine mengenakan lingerie. Akhir-akhir ini dia memang sering memakai warna hitam, namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa hitam akan membuatnya terlihat lebih menarik di ranjang. "Coba kamu lepas kacamatanya, biar kelihatan makin seksi." Sambil menggigit bibir bawahnya, Jasmine melepaskan kacamata berminus yang selama ini tak pernah lepas bertengger di hidungnya. Jasmine melepaskan kacamata dan mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya dia perlu kontrol ke Optometris lagi. Pandangannya semakin mengabur... "Lho, kok malah nangis?" Tanya Anita dengan nada suara keibuan yang terdengar palsu, dia merangkul bahu Jasmine sambil memandang cermin, air mata gadis itu meleleh di pipinya "a

DMCA.com Protection Status