Pusat perbelanjaan dipenuhi hiruk-pikuk suara orang ramai, namun perhatian Azizah tertuju pada sosok familiar di depan gerai jam tangan. Darino berdiri di sana, benda pipih dengan casing berwarna hitam itu menempel ditelinga kanan, seperti sedang membicarakan hal serius.
Azizah berhenti sejenak, matanya menyipit, mencoba memastikan bahwa yang dilihatnya bukanlah ilusi.
"Ma, kenapa berhenti?" tanya Arlin dengan mata yang penasaran menatap Azizah.
Azizah menarik napas dalam-dalam, memberikan senyuman tipis kepada putrinya. "Tidak apa-apa, Sayang. Mama hanya melihat sesuatu." Tanpa menunggu lebih lama, Azizah menggandeng tangan Arlin dan berjalan menuju Darino, langkahnya tegas namun terjaga.
Darino menutup teleponnya, wajahnya menunjukkan sekilas keterkejutan saat melihat Azizah mendekat. "Azizah? Arlin?" suaranya terdengar sedikit tersendat.
"Darino, kamu sedang apa disini? Bukankah seharusnya kamu ada jadwal kelas sekarang?" suara Azizah lembut namun penuh dengan pertanyaan yang tak terucap.
Darino tersenyum, meskipun ada ketegangan yang terlihat di matanya. "Ya, benar. Aku seharusnya mengajar. Tapi ada sesuatu yang mendadak, jadi aku harus ke sini."
Azizah mengangkat alis, tatapannya penuh dengan keingintahuan. "Sesuatu yang mendadak? Apa itu?"
Darino menggaruk kepalanya dengan gugup, namun berusaha tetap tenang. "Aku harus mengambil jam tangan yang dipesan untuk ulang tahun rekan kerja. Seharusnya kemarin aku ambil, tetapi aku lupa untuk mengambil kemarin. Jadinya, hari ini aku baru bisa mengambilnya."
Azizah mendengarkan penjelasan Darino, hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Namun, ia memilih untuk percaya, setidaknya untuk saat ini. "Baiklah, tapi lain kali, beritahu aku jika ada hal seperti ini."
Darino mengangguk cepat, senyumnya terlihat lebih lega. "Tentu, Azizah. Maaf membuatmu khawatir."
Azizah menghela napas, kemudian tersenyum kecil. "Ayo, Arlin. Kita lanjutkan belanja kita."
Arlin mengangguk, mengikuti langkah mamanya dengan riang. Namun, pikiran Azizah masih melayang-layang, mencoba mencari kepastian di balik penjelasan Darino yang terdengar masuk akal namun meninggalkan banyak pertanyaan.
Interaksi yang singkat namun penuh dengan ketegangan dan emosi ini meninggalkan kesan mendalam di hati Azizah, menunjukkan betapa kompleksnya kepercayaan dan komunikasi dalam hubungan mereka. Kejadian ini menambah lapisan baru dalam cerita mereka, yang terus berkembang di tengah bayang-bayang masa lalu dan ketidakpastian masa depan.
*
Setelah berkeliling di sejumlah toko, Azizah dan Arlin memutuskan untuk berhenti sejenak dan makan siang di salah satu restoran yang ada. Arlin menggenggam tangan mamanya, menariknya dengan semangat ke arah resto favoritnya.
"Mama, aku lapar. Kita makan di sini saja ya?" Arlin menunjuk ke sebuah resto dengan senyuman ceria.
Azizah tersenyum dan mengangguk, mengikuti langkah Arlin yang riang. Mereka menemukan meja kosong di sudut yang agak tenang. Begitu duduk, perhatian Azizah sejenak tertuju ke arah jendela besar di belakang restoran. Di sana, terhalang oleh pilar, Carisa duduk sendirian, tenggelam dalam pikirannya. Tas hitam elegan tergeletak di sebelahnya, mencuri perhatian Azizah.
Azizah menegakkan bahunya, berusaha fokus pada menu di tangannya. Tapi matanya terus melirik ke arah Carisa. Pilihan untuk duduk di tempat yang agak menjauh dari Carisa, namun tetap bisa mengawasi gerak-geriknya, adalah keputusan yang tak sepenuhnya sadar namun penuh dengan waspada.
Arlin yang duduk di seberang Azizah, memandangi mamanya dengan kebingungan. "Mama, kenapa? Kok lihat-lihat terus ke sana?" tanya Arlin sambil membuka-buka menu.
Azizah menghela napas pelan, berusaha memberikan senyuman tenang kepada putrinya. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Mama cuma lihat-lihat saja."
Sesekali, Azizah mencuri pandang ke arah Carisa, memperhatikan setiap gerakan kecilnya. Keraguan yang tak sepenuhnya terucap menari di benaknya, namun ia berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkannya kepada Arlin.
Di tengah riuh rendah suasana resto, Azizah berjuang keras untuk tetap tenang dan fokus pada makan siang bersama putrinya, meskipun pikirannya terus terganggu oleh kehadiran Carisa.
Azizah seketika terdiam saat melihat sosok pria yang duduk di sebelah Carisa. Perasaan lega menyapu dirinya, mengusir sejenak kecurigaan, kekhawatiran, dan kegelisahan yang sempat menghantui. Carisa dan pria berambut sedikit ikal itu keluar dari resto, membuat Azizah bisa lebih fokus kepada putrinya.
Arlin menatap mamanya dengan mata berbinar. "Mama, boleh aku pesan es krim?" tanyanya sambil menggoyangkan menu di tangannya.
Azizah tersenyum hangat. "Tentu, sayang. Pilih yang kamu suka."
Setelah memesan, Azizah memberitahu Arlin untuk menunggu sebentar karena ia ingin ke kamar mandi. Sambil berjalan menuju kamar mandi, perasaannya kembali terganggu oleh bayangan Carisa. Di dalam kamar mandi, Azizah membasuh wajahnya dengan air dingin, berusaha menenangkan diri.
Ketika berdiri di depan pintu toilet wanita, matanya tertuju pada sebuah kartu nama yang tergeletak di lantai. Dengan alis berkerut, ia mengambilnya dan terkejut melihat nama suaminya tercetak di atasnya. Hatinya berdebar kencang, perasaannya menjadi tidak karuan.
Azizah mengedarkan pandangan, kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab, tetapi ia tahu harus bersikap tenang karena Arlin sedang menunggunya. Dengan napas yang berat, memasukkan kartu nama itu ke dalam tasnya dan kembali ke meja.
Sesampainya di meja, senyum yang dipaksakan muncul di wajahnya saat melihat Arlin sedang memainkan ponsel. Azizah duduk bersebrangan dengan Arlin yang menaikkan pandangan kepadanya, “Kamu lagi main game?” Dijawab dengan anggukkan kepala antusias..
Arlin memperlihatkan layar ponselnya yang sedang menampilkan barbie yang akan dihias, “Bagusnya pakai ini atau ini? Untuk acara promnight,” ocehnya, menunjuk dua pakaian yang berbeda, lalu menatap
“Hmm … menurut Mama sih bagusan yang ini,” ucap Azizah, menunjuk pakaian yang sedikit tertutup berwarna biru polos, tetapi terlihat elegan karena terdapat manik-manik di sekitar lengan yang seperti balon.
Arlin mengangguk-anggukkan kepala, memilih pakaian yang ditunjuk oleh Azizah. Azizah tersenyum memperhatikan Arlin yang sedang bermain game, setidaknya dia bisa mengalihkan sejenak fikirannya yang penuh.
Di tengah hiruk-pikuk restoran, Azizah berusaha keras untuk tetap fokus pada kebersamaan dengan Arlin. Namun, bayangan kartu nama suaminya terus mengusik pikirannya, menambah lapisan baru dalam kompleksitas emosional yang harus dihadapinya.
*
Jantung Azizah seketika berhenti saat menemukan sebuah pulpen merah yang dilapisi dengan stiker motif bunga-bunga di kantong celana Darino. Setahu Azizah, Darino tidak memiliki pulpen tersebut. Perasaannya menjadi campur aduk, mencerminkan perasaan kecurigaan dan kebingungan yang mendalam.
Azizah menggenggam pulpen tersebut, matanya menatap tajam ke arah Darino yang sedang duduk di sofa. "Mas, ini pulpen siapa?" suaranya tenang namun tegas, menyembunyikan gejolak di dalam hatinya.
Darino terkejut, tatapannya sekejap mengarah ke pulpen di tangan Azizah. "Aku... tidak tahu," jawabnya dengan nada bingung, terlihat jelas ketidaknyamanan di wajahnya.
Azizah memperhatikan gelagat suaminya yang tidak seperti biasanya. Tangannya gemetar sedikit saat menyodorkan pulpen itu.
"Kamu pasti tahu, Mas. Ini bukan pulpen yang biasanya kamu pakai."
Darino menggaruk kepala, tatapannya menghindari mata Azizah. "Sayang, aku benar-benar tidak tahu dari mana itu berasal," jawabnya dengan suara yang terdengar canggung dan tidak meyakinkan.
Perasaan ketidakpercayaan semakin kuat di hati Azizah. Ia menatap Darino dengan mata yang penuh kekecewaan. "Aku butuh waktu untuk berpikir," katanya pelan. "Aku dan Arlin akan pergi ke rumah orangtuaku malam ini."
Darino mengangkat kepala, ekspresi terkejut terpancar dari wajahnya. "Azizah, kamu tidak perlu melakukan ini. Aku bisa jelaskan.”
“Jangan datang untuk menemuiku atau Arlin, sebelum kamu memiliki bukti kalau pulpen ini memang bukan milikmu.”
Azizah menatap Darino yang mencekal tangannya saat ingin masuk ke dalam mobil setelah mengantar Arlin pergi ke sekolah. Hatinya masih dipenuhi dengan amarah dan kekecewaan. Suara burung berkicau di pagi hari terasa kontras dengan gejolak emosional yang ia rasakan."Sayang, tolong dengarkan aku," suara Darino penuh dengan permohonan, matanya mencari-cari tatapan Azizah. "Aku bisa menjelaskan semua ini. Semua ini hanya kesalahpahaman."Azizah menarik tangannya dengan gerakan cepat, menghindari sentuhan suaminya. "Kesalahpahaman? Kamu sudah memiliki buktinya?" katanya dengan nada suara yang mencoba tetap tenang, namun jelas mengandung kemarahan yang tertahan.Darino menghela napas, jelas merasa frustasi tetapi tidak mau menyerah. "Izinkan aku membuktikan bahwa ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Tolong, aku hanya ingin kamu kembali ke rumah."Azizah menggelengkan kepala, matanya penuh dengan kebingungan dan sakit hati. "Aku butuh waktu untuk sendiri, Darino. Mama juga tidak mengi
Azizah kembali pulang ke rumah bersama Arlin setelah beberapa hari berlalu. Arlin sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan Darino, wajahnya memancarkan keceriaan yang sudah lama hilang. "Papa!" seru Arlin sambil berlari ke pelukan Darino yang sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh harap.Darino merangkul putrinya erat-erat, merasakan kehangatan keluarga yang hampir hilang. "Arlin, Papa rindu sekali padamu," katanya dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca melihat kebahagiaan putrinya. Dia mengecup kedua pipi putrinya dan tersenyum terharu.Azizah berdiri di belakang, menatap momen tersebut dengan hati yang campur aduk. Meski ia masih menyimpan kekecewaan dan kemarahan, ia tahu bahwa pertemuan ini penting bagi Arlin. Setelah beberapa saat, ia mengambil napas dalam-dalam dan melangkah maju. "Darino, kita perlu bicara," katanya dengan nada tegas tapi tenang.Darino menatap Azizah dengan tatapan penuh harap. "Tentu, Azizah. Aku siap menjelaskan semuanya." Mereka berdua duduk
Pada malam ini, Carisa mengenakan pakaian super ketat dan seksi, sementara Darino mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan suasana hatinya yang gelap. Mereka berada di sebuah restoran, di dalam ruangan VIP yang dipesan oleh Carisa. Darino merasa dijebak, suasana ruangan yang seharusnya mewah terasa menyesakkan.Carisa menghela napas panjang, matanya menatap Darino dengan tatapan yang sulit diartikan. "Silakan duduk, Darino," katanya dengan nada suara yang berusaha terdengar santai, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Darino tetap berdiri sejenak, menimbang-nimbang situasi sebelum akhirnya duduk dengan enggan. Ia merasakan dinginnya kursi di bawahnya, seolah mencerminkan suasana hatinya yang penuh kecurigaan. Carisa duduk di seberangnya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang penuh riasan."Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Darino, suaranya datar namun tegas, mencoba mengendalikan situasi.Carisa mengangkat bahu, memainkan rambutnya dengan jari-jari yang lentik
“Mas ….”Azizah menatap suaminya yang memakai jam tangan dihadapannya saat ini, perasaannya bimbang, antara ingin bertanya dan melupakan. Bukan hal mudah untuknya membahas kontak nama CH yang ada di ponsel sang suami.Darino yang sudah selesai memakai jam tangannya pun menatap Azizah yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh arti, sehingga membuatnya sulit untuk memahaminya.“Kenapa, Sayang?” tanya Darino dengan suara yang lembut, ia mengusap puncak kepala sang istri. Salah satu cara untuk menenangkan Azizah yang mungkin sedang banyak fikiran, sementara itu Azizah hanya bergeming memperhatikan Darino.Azizah menggelengkan kepala dengan senyum manisnya, “Tidak jadi, Mas,” tuturnya dengan suara yang lembut. Ia merapihkan rambut sang suami yang sedikit berantakan dengan jari lentiknya.“Hari ini cuma satu kelas?” tanya wanita itu, dijawab dengan anggukkan kepala.“Tapi aku pulangnya telat. Selesai kelas jam dua belas, lanjut acara makan-makan sama dosen lainnya. Ada yang nikah, terus n
Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekalig
Azizah melangkahkan kaki jenjangnya mendekati gadis kecil yang duduk di ayunan bersama dengan seorang bocah laki-laki yang duduk disebelah gadis kecil itu. Dirinya datang bersama dengan Carlinta-Mama dari bocah laki-laki yang sedang bersama putrinya.“MAMA ….”Azizah tersenyum manis kepada putrinya yang turun dari ayunan dan berlari kecil mendekatinya. “Hei … sudah lama menunggu? Maaf ya Mama telat jemput kamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengecup kedua pipi Arlin.Carlinta merangkul putranya yang berdiri disisi kanannya saat ini. “Ms. Carisa tidak datang hari ini?” tanyanya, menatap putranya yang mendongak supaya bisa bertatapan dengannya.Azizah berdiri dengan menggenggam tangan Arlin, menatap Carlinta yang langsung to the point. Ia menyenggol lengan Carlinta saat sudut matanya menangkap pergerakan seorang perempuang yang keluar dari salah satu ruangan, dan melangkah mendekat.“Datang kok. Tadi Ms. Carisa juga kasih tugas ke kami,” jawab Nadi, kedua matanya memperhatikan mamanya
Azizah memperhatikan suaminya, Darino, yang sedang mencuci tangan di wastafel. Tatapannya berpindah ke putri kecil mereka yang sedang menghabiskan sepiring pudding dengan vla rasa vanilla. Senyumnya sedikit merekah melihat kebahagiaan sederhana putrinya.TING!Tiba-tiba suara dentingan ponsel Darino menarik perhatian Azizah. Ponsel itu tergeletak di meja sebelahnya. Azizah menaikkan sebelah alisnya, tanda keheranan. "Mas, ada pesan masuk," katanya, suaranya terdengar lembut namun penuh tanda tanya.Darino mematikan keran air, menepuk-nepuk tangannya dengan handuk sebelum melangkah mendekati Azizah yang duduk di kursi satu set dengan meja makan. Ada sedikit kerutan di dahinya saat ia meraih ponselnya. Azizah memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menangkap ekspresi apa pun yang mungkin menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut."Siapa yang mengirim pesan, Mas?" tanya Azizah dengan nada sehalus mungkin, meski hatinya berdebar kencang.Darino membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut.
Azizah menghela nafasnya secara perlahan, ingatannya kembali pada pesan yang diterima oleh Darino dari nomor yang tidak disimpan oleh Darino, tetapi pengirim pesan menyebutkan nama.Carisa, perempuan itu yang mengirim pesan kepada Darino. Isi pesan yang dikirim oleh Carisa; Mas, nomor 204 hotel Hardenz. Selang beberapa detik diunsend, dan kembali mengirim pesan yang berisi ‘Sorry salah kirim’.Azizah memperhatikan suaminya yang tidur di sofa yang ada di sudut kamar. “Aku tahu itu bukan salah kamu, tapi aku cape, jadi pelampiasannya ke kamu,” ucapnya, mengusap wajahnya gusar.Azizah menyikap selimutnya, lalu melangkahkan kaki mendekati Darino. Bagaimanapun juga pria itu masih menjadi suaminya, dan Darino sudah mengambil keputusan tadi malam.‘Apa?’ tanya Azizah, menatap Darino yang berdiri dihadapannya saat ini. ‘Kalau kamu yang bertindak, besok aku akan ke rumah Bunda sama Ayah. Aku kembali ketika kamu sudah mengurus dan membuat Carisa berhenti mengganggu keluarga kita,’ imbuhnya.‘Bi
Azizah menghela nafas lega setelah duduk di jok penumpang, ia menoleh ke sisi kanan lantas tersenyum saat suaminya menatapnya. “Lega bangett. Perasaan aku itu lebih plong setelah bicara sama Carisa,” tuturnya.Darino ikut tersenyum tipis melihat ekspresi wajah istrinya yang lebih cerah dibandingkan beberapa saat yang lalu. Raut wajah Azizah sangat tidak bersahabat sebelum bertemu Darnius dan Carisa, tetapi semua itu sirna setelah bertemu keduanya.“Kamu tidak membully mereka, kan?” tanya Darino, dijawab dengan gelengan kepala cepat. “Hanya bicara santai?” tanyanya, lagi.Azizah menganggukkan kepala, mengalihkan atensi menatap lurus ke depan. Ia dan suami masih berada di basement rumah sakit, belum pergi dari area rumah sakit. Hening, sunyi dan sedikit gelap, tidak membuatnya takut.“Aku cuma mengatakan apa yang seharusnya aku katakan,” ucap Azizah tanpa menoleh, memberi jeda sebelum akhirnya kembali berbicara. “Aku bilang sama Carisa, aku bisa membawa kasus ini ke jalur hukum, dan aku
Azizah membuka pintu ruangan dihadapannya saat ini, melangkah lebih masuk ke dalam ruangan VIP tempat Carisa dirawat. Tentunya diikuti oleh Darino yang setia melangkah dibelakang Azizah tanpa bersuara.“Azizah ….”Azizah tersenyum saat namanya dipanggil dengan sangat pelan, ia berdiri di sisi kiri brankar rumah sakit. Kedua matanya bertemu dengan kedua mata Carisa yang sedang menatapnya, mereka saling menatap satu sama lain selama tiga menit.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Azizah dengan tenang, suaranya sangat lembut, kedua sudut bibirnya terangkat mengukir senyuman.“Kamu tahu darimana aku disini?” tanya Carisa tanpa menjawab pertanyaan dari Azizah, kedua matanya memperhatikan gerak-gerik wanita di sampingnya.Azizah bergumam pelan, “Fernandra. Dia yang nolongin kamu. Jadi wajarkan kalau aku tahu kamu disini?”Darino hanya terdiam memperhatikan kedua wanita di depan yang sedang berbicara. Raut wajahnya khawatir, bukan khawatir terhadap istrinya yang akan diapa-apakan Carisa, tetapi kha
Azizah menghela nafasnya secara kasar setelah keluar dari ruangan yang sangat panas menurutnya. Ia menyugar surai panjangnya dengan ruas jari jemarinya yang lentik, lalu menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat.“Sudah?” tanya Fernandra setelah kedua kakinya berhenti tepat dihadapan Azizah, ia datang bersama Darino yang sedang menatap lekat Azizah.Azizah menganggukkan kepala, tersenyum kecil kepada Fernandra. “Kata kamu, Carisa sudah siuman?” tanyanya, dijawab dengan bergumam.Darino yang berada diantara kedua insan yang pernah memiliki hubungan dimasalalu itu hanya terdiam sambil memperhatikan gerak-gerik keduanya. Perlu diingatkan kembali, ia tidak seberani dan sepintar Azizah.“Aku ingin bertemu dengannya.”Penuturan Azizah membuat Darino menatap istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan, sedangkan Fernandra menyunggingkan senyumnya.“Sure. Tapi kamu yakin tidak akan terjadi apa-apa?” tanya Fernandra, menatap Azizah yang menaikkan sebelah alis. “I mean, kamu tida
Azizah berdiri dihadapan seorang pria yang duduk dengan kedua tangan dan kedua kaki diikat. Darnius, pria itu mengangkat kepala berani, menatap Azizah yang hanya terdiam memperhatikan dengan kedua mata yang menajam mengarah kepadanya. Situasi menengangkan hadir diantara mereka.“Aku tidak tahu apa yang ada difikiranmu sampai begini,” ucap Azizah tenang, memecahkan keheningan diantara dirinya dan Darnius. Ia melangkah maju, berdiri di dekat meja yang terdapat sebuah remot berwarna hitam.“Aku tidak pernah mengganggumu, tetapi mengapa kamu mengganggu keluargaku, Darnius?” lanjutnya penuh penekanan. Azizah tidak bisa lagi memperlihatkan sisi baiknya dihadapan Darnius.Darnius hanya terdiam, memperhatikan wanita yang menjadi targetnya, wanita yang terlihat lemah lembut waktu itu, kini tidak ada lagi ekspresi bersahabat yang biasanya diperlihatkan kepadanya.Azizah menyunggingkan senyum miringnya, melipatkan kedua tangannya di dada. Kedua matanya menajam mengarah ke posisi Darnius yang dud
DOR!DOR!DORR!Suara tembakan terdengar nyaring di kedua telinga Azizah yang saat ini sedang berdiri di depan kamar Arlin, bahkan pergerakan tangan wanita itu terhenti.Azizah mengedarkan atensi, mencoba untuk mencari apa yang menjadi sasaran dari suara tembakan yang tiba-tiba memekikkan telinga. Namun, nihil. Tidak ada barang yang pecah, sehingga membuatnya dengan cepat membuka pintu kamar putrinya.“Sayang ….” Azizah berlari mendekati putrinya yang gemetar dalam dekapan Darino. Ia mengambil alih putrinya, lalu menatap suaminya yang sedang terdiam membeku di tempat.Bukan, tidak ada darah atau luka di tubuh Darino. Hanya saja, Darino terkejut, sehingga membuat pria itu tidak bisa mencerna situasi secepat biasanya.“Mas … kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Azizah dengan suaranya yang lembut, tetapi terselip nada khawatir melihat suaminya yang sedang menatapnya.Darino tersadar setelah berhasil mengumpulkan kembali nyawanya. Ia menganggukkan kepala, membawa kedua wanita yang sangat ia sa
“Kalau kamu belum siap, aku bisa mengulur waktu sampai kamu siap.”Azizah mengetukkan jari ke meja kaca berkali-kali, kalimat itu terus berputar seperti kaset rusak yang memenuhi otak kecil yang dimiliki olehnya.Banyak pertanyaan yang membuatnya berfikir ulang, bagaikan sedang mengikuti lomba lari jarak pendek 10 kali putaran. Berkali-kali, banyak spekulasi lain-lain yang kemungkinan terjadi, dan tidak mungkin terjadi.“Sayang ….”Suara berat itu mengejutkannya, membuat Azizah kembali tersadar dari lamunannya. Wanita itu menoleh, tersenyum manis saat bertemu tatap dengan kedua mata suaminya yang tengah menatapnya.“Kamu lagi mikirin apa, hm?” tanya Darino dengan suara lembut, mengusap punggung tangan wanitanya yang berada di atas meja.Azizah tersenyum kecil setelah mendengar pertanyaan yang diajukan Darino kepadanya. Antara yakin dan tidak untuk mengatakan apa yang sedang ia fikirkan saat ini. Anta
Azizah menghentikan langkahnya saat melihat tiga pria berbadan besar berdiri di depan pintu rawat inap, ia menaikkan sebelah alisnya, memperhatikan wajah ketiga pria dihadapannya saat ini. Lorong rumah sakit sangat sepi, dikarenakan saat ini ia sedang berada di lingkup VVIP.Salah satu pria yang berdiri didekat pintu, membukakan pintu dan mempersilahkan Azizah untuk masuk. Wanita itu segera melangkah masuk tanpa menunggu waktu, dan setelah memastikan tidak ada orang lain yang memperhatikannya.Azizah menoleh tepat setelah kakinya menginjakkan lantai keramik ruangan ini, pintu ruangan ditutup, bahkan di kunci dari luar. Ia menghela nafas, lalu mengalihkan atensinya menatap seorang pria yang berdiri di sebelah brankar dengan senyum manis kepadanya.Azizah melangkahkan kakinya
TRING!Fernandra[Foto][Carisa kecelakaan, dan sekarang lagi dibawa ambulance][Foto][Darnius sudah aman. Jadi, kmu bisa menikmati waktu dengan keluargamu tanpa ada gangguan]Darino menghela nafasnya, ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, lalu turun dari mobil. Saat berdiri disebelah mobil, Azizah yang sedang membujuk Arlin itu menarik perhatiannya. Tanpa disadari, kedua sudut bibirnya melengkung mengukit sebuah senyuman.“Mama minta maaf yaa … jangan ngambek dong, sayang … Nanti Nadiw kabur
BRAK!Darino dan Azizah saling melempar pandang satu sama lain, tentu saja dentuman keras itu menarik perhatian Arlin yang langsung bergeser mendekat pintu belakang pengemudi untuk melihat apa yang terjadi dibelakang.Kedua mata gadis kecil itu melebar, telapak tangan menutup mulut yang menganga terkejut melihat sebuah mobil berwarna putih terjepit diantara dua kendaraan berat, truck kontainer.“Oh my god!” Arlin ingin turun untuk melihat kondisi pengemudi mobil sedan putih tersebut, tetapi tidak jadi saat kedua telinganya mendengar bunyi ‘klik’, mendakan pintu mobil di kunci oleh Darino-pengemudi-.“Sudah banyak yang menolong, Arlin,” ujar Darino dengan suara yang rendah dan berat. Bukan drinya tidak memiliki rasa