Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.
“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”
Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.
Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.
Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekaligus sahabatnya-. Azizah menghela nafas beratnya, ia mengusap wajahnya dengan gusar, lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
“Apa keputusanku untuk kembali ke rumah itu salah?” ucap Azizah, menatap langit-langit kamarnya. Ia menarik nafas, lalu menghela nafasnya secara perlahan.
Carlinta bergumam pelan, “Tidak. Ini hanya permasalahn waktu saja,” tuturnya dengan santai, lalu menegakkan tubuhnya dan atensi menatap Azizah yang memejamkan kedua mata.
Sejujurnya, Carlinta ingin membicarakan hal serius, tetapi melihat raut wajah Azizah yang lelah, membuatnya mengurungkan niatnya. Ia melakukan hal yang sama seperti Azizah, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
“Sebenarnya kalau memang Darino tidak mudah jatuh cinta ke wanita lain, kamu bisa tenang dan tidak perlu terbawa fikiran,” ujar Carlinta, dirinya melirik ke sisi kanannya dan tidak mendapatkan respon apapun dari Azizah.
Hening selama sepuluh menit. Carlinta sengaja tidak lagi bersuara, memberikan ruang untuk Azizah tenang dan menjernihkan fikiran setelah dirinya memperlihatkan sebuah foto mesra. Sedikit menyesali tindakannya, tetapi yasudah. Nasi sudah menjadi bubur, ingin ditarik atau dihentikan pun tidak bisa.
“Sebelum kamu datang dan memberitahuku tentang foto yang dikirim oleh Gibran, aku sudah overthinking.”
Suara Azizah memecahkan keheningan. Carlinta menegakkan kepalanya, memperhatikan Azizah yang kini sedang menatapnya. Mereka saling menatap satu sama lain beberapa detik, dan diputus oleh Azizah yang menegakkan tubuh.
“Tadi aku tidak sengaja membaca pesan masuk di hapenya Mas Darino dari CH, sedangkan nomor suamiku itu baru karena handphone yang sebelumnya pecah dan kartunya aku patahkan,” jelas Azizah, menatap serius Carlinta yang terdiam dan mendengarkan cerita Azizah.
“Aku fikir CH itu Carista Hargantara, tapi ternyata itu nomornya Cardanio Herlando,” imbuhnya.
Carlinta menaikkan sebelah alisnya, “Danio? Dia kan sedang ada di luar negri karena nikah sama bule,” ucapnya dengan bingung. “Yaa sorry nih kalau aku bikin kamu semakin overthinking, tapi kalau difikir ulang, tidak masuk akal,” lanjutnya.
Azizah bergeming. Memang tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Memang tidak masuk akal. Untuk apa Darino dan Cardanio kirim pesan? Sedangkan bidang pekerjaan keduanya berbeda jauh.
Cardanio seorang pengusaha yang bergerak di bidang property, sedangkan Darino merupakan dosen di beberapa kampus ternama yang ada di Jakarta.
Azizah menghela nafas beratnya, ia menyugar surai panjangnya lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit. Daripada menambah beban fikirannya, lebih baik bersiap untuk menjemput putrinya.
Atensi wanita itu kini menatap Carlinta yang sedang menatapnya. “Setelah menjemput Nadi, langsung pulang ke rumah?” tanyanya, ditanggapi dengan bergumam cukup panjang.
Carlinta menggelengkan kepala, “Aku hari ini tidak ada pesanan. Jadi setelah menjemput Nadi, aku memang sengaja untuk nemenin kamu.”
“Nemenin aku?” tanya Azizah, menunjuk dirinya sendiri. Sahabatnya itu menganggukkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Lintaaa. Ada Arlin yang sudah menemaniku,” tuturnya, menatap Carlinta yang menaikkan sebelah alis.
“Aku tahu, kamu itu butuh teman curhat. Jangan denial,” ucap Carlinta, ia bangkit lalu menarik tangan Azizah untuk bangkit. “Setelah jemput anak-anak, kita buat cake. Okey? Harus okey,” ocehnya, mengusap kedua lengan sahabatnya dan tersenyum lebar kepada Azizah yang tertawa pelan.
TING
Azizah melirik ponselnya yang ada di atas meja, ponsel miliknya itu menyala, menandakan terdapat satu pesan masuk. Tanpa pikir panjang, dirinya mengambil dan membaca pesan tersebut tanpa membukanya.
Kening yang mengkerut dan mata yang menyipit membuat Carlinta yang memperhatikannya merebut ponsel milik Azizah dari sang empu.
“Mas, aku sudah di caffe tempat kita janjian,” gumam Carlinta sambil membaca pesan tersebut. Ia dengan lancang membuka pesan tersebut, dan langsung hilang karena dihapus oleh pengirim.
Azizah memperhatikannya, hingga akhirnya nomor tidak dikenal itu kembali mengirimkan pesan kepada Azizah.
“Sorry salah kirim. Aku mau kirim ke pacarku,” ucap Carlinta, lalu kedua matanya melebar saat Azizah merebutnya dan ….
PRANG!
Azizah menatap Carlinta dengan tatapan sulit dimengerti, membuat Carlinta mengerjapkan kedua mata dan mundur satu langkah karena aura Azizah itu sedang aur-auran.
“Kamu ingin membantuku? Dia datang kan ke sekolah hari ini?” tanya Azizah, diangguki oleh Carlinta yang sedikit mengerti tentang apa yang diinginkan oleh Azizah.
“Of course, Baby. Mau buat pertunjukkan untuk Carisa? Aku akan ada dibelakangmu.”
Azizah melangkahkan kaki jenjangnya mendekati gadis kecil yang duduk di ayunan bersama dengan seorang bocah laki-laki yang duduk disebelah gadis kecil itu. Dirinya datang bersama dengan Carlinta-Mama dari bocah laki-laki yang sedang bersama putrinya.“MAMA ….”Azizah tersenyum manis kepada putrinya yang turun dari ayunan dan berlari kecil mendekatinya. “Hei … sudah lama menunggu? Maaf ya Mama telat jemput kamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengecup kedua pipi Arlin.Carlinta merangkul putranya yang berdiri disisi kanannya saat ini. “Ms. Carisa tidak datang hari ini?” tanyanya, menatap putranya yang mendongak supaya bisa bertatapan dengannya.Azizah berdiri dengan menggenggam tangan Arlin, menatap Carlinta yang langsung to the point. Ia menyenggol lengan Carlinta saat sudut matanya menangkap pergerakan seorang perempuang yang keluar dari salah satu ruangan, dan melangkah mendekat.“Datang kok. Tadi Ms. Carisa juga kasih tugas ke kami,” jawab Nadi, kedua matanya memperhatikan mamanya
Azizah memperhatikan suaminya, Darino, yang sedang mencuci tangan di wastafel. Tatapannya berpindah ke putri kecil mereka yang sedang menghabiskan sepiring pudding dengan vla rasa vanilla. Senyumnya sedikit merekah melihat kebahagiaan sederhana putrinya.TING!Tiba-tiba suara dentingan ponsel Darino menarik perhatian Azizah. Ponsel itu tergeletak di meja sebelahnya. Azizah menaikkan sebelah alisnya, tanda keheranan. "Mas, ada pesan masuk," katanya, suaranya terdengar lembut namun penuh tanda tanya.Darino mematikan keran air, menepuk-nepuk tangannya dengan handuk sebelum melangkah mendekati Azizah yang duduk di kursi satu set dengan meja makan. Ada sedikit kerutan di dahinya saat ia meraih ponselnya. Azizah memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menangkap ekspresi apa pun yang mungkin menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut."Siapa yang mengirim pesan, Mas?" tanya Azizah dengan nada sehalus mungkin, meski hatinya berdebar kencang.Darino membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut.
Azizah menghela nafasnya secara perlahan, ingatannya kembali pada pesan yang diterima oleh Darino dari nomor yang tidak disimpan oleh Darino, tetapi pengirim pesan menyebutkan nama.Carisa, perempuan itu yang mengirim pesan kepada Darino. Isi pesan yang dikirim oleh Carisa; Mas, nomor 204 hotel Hardenz. Selang beberapa detik diunsend, dan kembali mengirim pesan yang berisi ‘Sorry salah kirim’.Azizah memperhatikan suaminya yang tidur di sofa yang ada di sudut kamar. “Aku tahu itu bukan salah kamu, tapi aku cape, jadi pelampiasannya ke kamu,” ucapnya, mengusap wajahnya gusar.Azizah menyikap selimutnya, lalu melangkahkan kaki mendekati Darino. Bagaimanapun juga pria itu masih menjadi suaminya, dan Darino sudah mengambil keputusan tadi malam.‘Apa?’ tanya Azizah, menatap Darino yang berdiri dihadapannya saat ini. ‘Kalau kamu yang bertindak, besok aku akan ke rumah Bunda sama Ayah. Aku kembali ketika kamu sudah mengurus dan membuat Carisa berhenti mengganggu keluarga kita,’ imbuhnya.‘Bi
Darino dan Carisa bertemu di sebuah kafe yang tenang. Carisa tampak senang saat mengetahui Darino mengajaknya berbicara berdua, senyum manis menghiasi wajahnya. Di sisi lain, Darino merasa berat hati untuk bertemu dengan Carisa, namun ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan."Carisa, aku minta tolong, mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku," katanya dengan nada tegas. Carisa terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Oke," jawabnya singkat, senyum di wajahnya tetap terjaga.Darino merasa sedikit lega walaupun dirinya seperti tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Carisa.“Aku serius. Jangan pernah lagi menghubungiku,” tekannya sekali lagi, kali ini lebih tegas supaya ucapannya tidak dianggap main-main oleh Carisa yang bergumam pelan dan kepala yang mengangguk-angguk. “Aku juga tidak akan menghubungimu lagi. Kamu tenang saja, Darino. Lagipula, tanpa aku menghubungimu, kamu yang mendekat dan mengajaknya untuk bertemu seperti ini, kan?” oceh Carisa d
Beberapa jam yang lalu ….Azizah menatap kedua mata suaminya yang penuh perhatian. "Mas, aku punya ide supaya Carisa tidak lagi mengganggu kita," katanya dengan nada tegas namun penuh harap.Darino mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Azizah. "Apa idemu, Sayang?" tanyanya, benar-benar ingin tahu.Azizah menghela napas sejenak, memastikan bahwa suaminya siap mendengarkan dengan serius. "Aku akan menyewa laki-laki untuk membuat Carisa malu di khalayak umum. Aku punya uang untuk menyewa, jadi kamu tidak perlu memikirkan biayanya," jelasnya, menaik-turunkan kedua alisnya.“Apa kamu yakin akan berhasil?”Azizah bergumam pelan, mengendikkan kedua bahunya, “Tidak tahu, tapi aku yakin sih bakalan berhasil. Aku ngehubungin orangnya kalau kamu setuju.” Kedua matanya menatap Darino dengan tatapan penuh harap.Darino mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Setelah beberapa detik merenung, ia menyunggingkan senyum, me
“ARRGHH!”Darino berteriak frustasi saat panggilan suaranya tak kunjung mendapatkan jawaban. Ia memukul stir kemudi dengan keras, melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya sebelum akhirnya melajukan kendaraan roda empatnya, meninggalkan parkiran sebuah klub malam dengan kecepatan yang semakin meningkat. Kesadarannya masih tersisa 50%, cukup untuk mengendalikan emosinya yang meluap-luap.Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: rumah mertuanya, tempat di mana ia berharap bisa bertemu dengan sang istri, Azizah. Darino berharap kehadiran Azizah bisa menenangkan badai yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Ia mengarahkan mobilnya ke rumah mertuanya, melintasi jalanan yang sepi dengan perasaan yang campur aduk antara harapan dan ketidakpastian.Namun, setibanya di sana, harapannya perlahan memudar. Rumah mertuanya tampak sangat sepi, seperti tidak berpenghuni. Lampu-lampu padam, tidak ada suara kehidupan di dalamnya. Darino keluar dari mobilnya, melangkah dengan langkah berat menuju pintu d
Satu jam yang lalu ….“Kamu ngapain disini? Bukannya kamu ada di rumah Bibi?” tanya seorang perempuan yang berdiri dibelakang Azizah yang terkejut akan kehadirannya.Azizah menghela nafas setelah tahu siapa yang datang, ia menunduk untuk mengambil kunci rumah yang jatuh karena dikejutkan akan kehadiran Carlinta yang secara tiba-tiba dibelakangnya.Azizah bergumam pelan, menaikkan sebelah alisnya saat kunci rumah direbut paksa oleh Carlinta, sahabatnya itu membuka kembali pintu rumah yang sudah dikunci olehnya. Azizah ditarik paksa buat masuk ke dalam rumah.“Ceritakan kepadamu bagaimana bisa kamu ada disini, sedangkan kamu sudah ada pamit kepadaku kalau sedang ada dirumah bibi?” tanya Carlinta setelah mengunci kembali pintu rumah, dan duduk di sofa ruang tamu bersama dengan Azizah yang ditarik olehnya secara paksa.Azizah memberikan ponselnya kepada Carlinta supaya sahabatnya itu melihat sendiri penyebab dirinya berada di sini dengan satu koper besar berwarna biru. “Darino berulah lag
Darino tersenyum manis saat melihat putri kecilnya yang berlari menghampirinya, ia memeluk gadis kecil itu lalu mengecup kedua pipi Arlin gemas. “Mau langsung pulang?” tanyanya, ditanggapi dengan bergumam.Pada siang hari ini, Darino yang menjemput Arlin karena dirinya sedang tidak memiliki jadwal mengajar dan istrinya sedang demam. Darino dengan senang hati menjemput dan tadi pagi mengantar Arlin pergi ke sekolah.“Mampir beli buah sama beli kue dulu. Boleh?” ujar Arlin, menatap papanya yang menganggukkan kepala dan tersenyum lebar kepadanya.“Apasih yang tidak buat putri papa yang cantik ini,” ucap Darino dengan gemas, ia menoel pangkal hidung Arlin lalu terkekeh setelahnya.Arlin tertawa pelan, menggenggam tangan papanya dan mengikuti langkah Darino ke sisi penumpang sebelah kiri samping pengemudi. Tanpa menunggu perintah, dirinya langsung masuk begitu Darino membuka pintu mobil.Senyum Darino tidak luntur, mengusap puncak kepala putrinya lalu menutup pintu mobil dihadapannya saat
Azizah menatap datar layar ponselnya yang memperlihatkan dua insan yang sedang berdiri berhadapan di parkiran, Darino dan Carisa. Ia menghela nafasnya perlahan, tidak ada orang lain selain dirinya saat ini.Wanita itu membuka kontak nomor, mencari nomor seseorang lalu menghubungi nomor yang dinamai ‘Mommy’. Azizah menunggu panggilan suaranya diterima oleh seseorang disebrang sana.“Halo, anakku sayang. Sepertinya keadaanmu tidak baik-baik saja,” ucap seorang perempuan disebrang sana, Azizah me-loudspeaker panggilan suara tersebut.Azizah tersenyum tipis, menghela nafas beratnya. “Capek aku, Mom. Perempuan itu menyebalkan,” ocehnya, ditanggapi dengan tertawa dan membuatnya kesal. “Mommy ….” panggilnya dengan suara merajuk.Mommynya berdeham, “Kamu pulang ke tempatnya Mbak?”Azizah menganggukkan kepala, “Ya … lagian kemana lagi tempat aku berlari selain tempat Bunda?” “Ke rumah Mommy dan Daddy. Kamu tidak rindu dengan kami?” sahut seorang pria yang tiba-tiba hadir. Suara berat itu memb
Arlin menatap mamanya dengan tatapan nanar, hatinya mencelos saat melihat mama tercintanya terpeleset karena air dari gelasnya tumpah ketika Arlin ingin turun dari kursi makan. Wajah kecilnya dipenuhi kekhawatiran, namun Azizah segera tersenyum, mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut dan mengecup keningnya."Tidak apa-apa, Sayang. Mama baik-baik saja," kata Azizah dengan suara menenangkan. "Kamu jangan khawatir, ya," tambahnya supaya lebih meyakinkan putri kecilnya bahwa dirinya benar-benar dalam kondisi yang sangat baik.Arlin mengangguk pelan, matanya masih berkaca-kaca. Azizah berusaha untuk tetap tersenyum, meskipun tubuhnya terasa sedikit sakit akibat jatuh tadi."Arlin, hari ini Nenek yang akan mengantar kamu ke sekolah," ujar Azizah, sambil melihat ke arah Mama Darino yang datang menghampiri mereka bersama dengan seorang pria yang memakai pakaian formal.Mama Darino mengangguk, menunjukkan dukungannya. "Jangan khawatir, Arlin. Nenek akan pastikan kamu sampai di sekolah d
Azizah membuka pintu dengan tidak santai, langkahnya cepat menuju pantry. Darino mengikuti dari belakang, melihat kekhawatiran di wajah istrinya. Ketika tiba di pantry, Azizah mengatur nafasnya yang terengah-engah, mendekati Carlinta yang menoleh dengan senyum manis."Azizah, tenang … aku baik-baik saja," kata Carlinta sambil tersenyum menenangkan.Azizah memeriksa tubuh Carlinta dengan cermat, memastikan sahabatnya itu benar-benar tidak terluka. "Kamu yakin? Aku sangat panik tadi," katanya, suaranya penuh kekhawatiran.Carlinta mengangguk, mencoba meyakinkan Azizah. "Aku baik-baik saja, sumpah. Carisa tidak bisa menyakitiku. Suamiku datang tepat waktu dan menarik paksa Carisa keluar dari toko," jelasnya.Darino yang berdiri tidak jauh dari mereka, mendengar percakapan itu dengan perasaan lega. Azizah menghela napas panjang, merasakan beban besar terangkat dari pundaknya. "Aku sangat takut Carisa akan menyakitimu. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika terjadi sesuatu padamu,” u
“Sayang, kok kamu disini?” tanya Darino, dirinya sedikit terkejut dengan kehadiran istrinya disini. Ia menarik Azizah untuk duduk di kursi yang berhadapan dengannya, dan menatap serius sang istri yang seperti sedang mencari seseorang.“Kamu janjian sama Carlinta?” tanya Darino, dijawab dengan gelengan kepala. Jawaban dari wanitanya membuatnya menaikkan sebelah alis, “Terus kamu kesini mau ketemu siapa?” tanyanya, lagi. Kali ini lebih lembut dibandingkan sebelumnya.“Kamu,” jawab Azizh, lalu menaruh ponselnya di meja. “Itu Carisa atau bukan?” tanyanya to the point, menatap Darino yang bergeming memperhatikan foto yang terlihat jelas di layar ponsel miliknya.Darino menaikkan pandangannya, kedua mtanya bertemu dengan kedua mata Azizah yang seperti sedang menyiratkan emosi. Berusaha untuk tetap tenang disaat dirinnya ingin sekali mencari orang yang sudah diam-diam mengambil fotonya dan Carisa, lebih parahnya orang itu mengirimkannya kepada Azizah, sehingga membuat istrinya itu datang ke
“Aku disini ….”Darino melangkahkan kakinya mendekati seorang perempuan yang sedang duduk seorang diri di dalam resto yang cukup ramai. Perempuan itu tersenyum lebar saat menyadari keberadaan Darino, ia berdiri dan mempersilahkan Darino untuk duduk di kursi kosong yang berhadapan dengannya. Darino yang menatap perempuan yang memakai riasan natural dan simple itu menghela napas perlahan, menautkan kesepuluh jarinya lalu meletakkan di atas meja."Carisa, aku ingin kamu berhenti mengganggu keluargaku," kata Darino dengan nada tegas. "Jika kamu tetap mengganggu, aku akan mengambil tindakan."Carisa menatap Darino dengan tatapan yang sulit dimengerti, seolah mencoba membaca niat di balik kata-katanya. Setelah beberapa detik hening, ia mengeluarkan kotak kecil dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Darino."Ini sebagai permintaan maafku," ucap Carisa dengan suara lembut. "Aku mengakui perbuatanku yang telah membuat kegaduhan tadi pagi."Darino menerima kotak itu dengan ragu, membuka t
“Kamu jangan dekat-dekat sama Carisa,” ucap Mama, menatap menantunya yang mengangguk-anggukkan kepala. “Kalau dia berulah, kasih tahu Mama … biar Mama yang kasih pelajaran ke wanita itu,” lanjutnya.“Iya, Mama. Tenang aja. Menantu Mama ini bukan perempuan yang menye-menye,” balas Azizah, diakhiri dengan terkekeh.Kini hanya ada Mama dan Azizah, sedangkan Darino pergi menjemput Arlin karena memang sudah menunjukkan pukul sebelas. Moment ini tidak disia-siakan oleh Azizah yang berdeham pelan sehingga membuat ibu mertuanya itu fokus menatapnya.“Mah,” panggil Azizah, ia mengubah posisi duduknya menjadi menyamping. Ditanggapi dengan bergumam dan usapan pada puncak kepalanya. “Kalau aku ngambil rencana besar, menurut Mama gimana?” tanyanya dengan serius.Mama menaikkan sebelah alis, menatap Azizah yang sedang menatapnya. “Rencana besar apa yang kamu maksud?” Ia mengajukan pertanyaan tersebut, karena masih belum mengerti atau belum menangkap arah tujuan dari pertanyaan yang diajukan oleh Az
“Bilang ya kalau sakit,” ucap Darino dengan lembut, menatap Azizah yang menganggukkan kepala.Saat ini pria itu sedang mengobati luka yang didapat oleh Azizah akibat ulah Carisa yang langsung pergi melompat dinding pembatas, sedangkan Darino tidak bisa mengejarnya karena prioritasnya ialah Azizah-sang istri-. Azizah menggigit bibirnya, menahan rasa perih saat suaminya itu mengobati luka pada lengannya setelah mengeluarkan pecahan kaca yang menusuk lengannya. Dalam hatinya, bersumpah akan membalas semua kelakuan Carisa kepadanya.“Mama jadi datang?” tanya Azizah, menatap Darino yang sedang fokus memperban lengannya.Darino menganggukkan kepala, ia sudah selesai melakukan aktifitasnya dan menatap istrinya setelah memastikan luka itu tertutup dengan sempurna. “Mungkin sebentar lagi sampai,” ucappnya, merapihkan kembali P3K miliknya, lalu disimpan dalam laci meja sebelah sofa.Pria dewasa itu duduk kembali di sisi kanan sang istri yang sedang memperhatikannya. “Kamu istirahat yaa. Biar a
“Aku tadi memang bertemu dengan Carisa,” ucap Darino, menatap istrinya yang sedang menatapnya. “Dia mau nemenin aku ke rumah sakit, tapi aku tolak. Mungkin karena itu makanya dia datang ke rumah,” imbuhnya.Azizah memperhatikan suaminya yang sedang berbicara kepadanya. “Terus?” tanyanya karena suaminya itu hanya bergeming, ditanggapi dengan bergumam pelan.“Ya tidak ada terusannya. Untungnya kamu tidak ada di rumah, jadinya kamu tidak terluka,” ucap Darino, mengenggam tangan sang istri lalu mengecupnya.“Aku benar-benar tidak tahu kejadiannya seperti apa kalau kamu ada di rumah, dan Carisa membuatmu terluka,” imbuhnya, menatap kedua mata wanitanya yang sedang menatapnya.Azizah mengusap punggung tangan suaminya, “Mas, kali ini Carisa kelewatan.”“Aku tahu, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan.”Azizah menghela nafasnya, ia menarik tanganya lalu bersidekap dada dan berfikir bagaimana caranya membuat Carisa berhenti mengusik rumah tangannya. Carisa membuatnya sedikit naik darah akan se
Darino menatap perempuan yang terbaring di brankar rumah sakit dengan kepala yang diperban. Sudah lima belas menit sejak perempuan itu dipindahkan ke rawat inap, dan perempuan itu belum kunjung terbangun.“Mas ….”Darino menoleh, menatap istrinya yang datang dengan nafas terengah-engah. Dirinya yang memberitahu Azizah bahwa sedang berada di rumah sakit, karena sang istri mengiriminya pesan bertanya sedang berada dimana.Azizah mengatur nafasnya setelah berdiri disisi kanan Darino yang kebingungan. Azizah seperti sedang dikejar anjing, dan membuat wanita itu kehabisan banyak tenaga. Setelah Azizah membaca pesan terakhir dari Darino, ia langsung pergi ke rumah sakit karena panik akan kondisi suaminya.“Aww ….” Darino mengaduh saat lengannya dipukul oleh Azizah, ekspresi sang istri terlihat seperti sedang marah kepadanya. “Kok aku dipukul?” tanyanya, menatap Azizah yang mendesis kesal.“Kamu bikin aku khawatir. Aku lari dari parkiran sampai sini buat lihat kondisi kamu, ternyata kamu bai