Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.
“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”
Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.
Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.
Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekaligus sahabatnya-. Azizah menghela nafas beratnya, ia mengusap wajahnya dengan gusar, lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
“Apa keputusanku untuk kembali ke rumah itu salah?” ucap Azizah, menatap langit-langit kamarnya. Ia menarik nafas, lalu menghela nafasnya secara perlahan.
Carlinta bergumam pelan, “Tidak. Ini hanya permasalahn waktu saja,” tuturnya dengan santai, lalu menegakkan tubuhnya dan atensi menatap Azizah yang memejamkan kedua mata.
Sejujurnya, Carlinta ingin membicarakan hal serius, tetapi melihat raut wajah Azizah yang lelah, membuatnya mengurungkan niatnya. Ia melakukan hal yang sama seperti Azizah, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
“Sebenarnya kalau memang Darino tidak mudah jatuh cinta ke wanita lain, kamu bisa tenang dan tidak perlu terbawa fikiran,” ujar Carlinta, dirinya melirik ke sisi kanannya dan tidak mendapatkan respon apapun dari Azizah.
Hening selama sepuluh menit. Carlinta sengaja tidak lagi bersuara, memberikan ruang untuk Azizah tenang dan menjernihkan fikiran setelah dirinya memperlihatkan sebuah foto mesra. Sedikit menyesali tindakannya, tetapi yasudah. Nasi sudah menjadi bubur, ingin ditarik atau dihentikan pun tidak bisa.
“Sebelum kamu datang dan memberitahuku tentang foto yang dikirim oleh Gibran, aku sudah overthinking.”
Suara Azizah memecahkan keheningan. Carlinta menegakkan kepalanya, memperhatikan Azizah yang kini sedang menatapnya. Mereka saling menatap satu sama lain beberapa detik, dan diputus oleh Azizah yang menegakkan tubuh.
“Tadi aku tidak sengaja membaca pesan masuk di hapenya Mas Darino dari CH, sedangkan nomor suamiku itu baru karena handphone yang sebelumnya pecah dan kartunya aku patahkan,” jelas Azizah, menatap serius Carlinta yang terdiam dan mendengarkan cerita Azizah.
“Aku fikir CH itu Carista Hargantara, tapi ternyata itu nomornya Cardanio Herlando,” imbuhnya.
Carlinta menaikkan sebelah alisnya, “Danio? Dia kan sedang ada di luar negri karena nikah sama bule,” ucapnya dengan bingung. “Yaa sorry nih kalau aku bikin kamu semakin overthinking, tapi kalau difikir ulang, tidak masuk akal,” lanjutnya.
Azizah bergeming. Memang tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Memang tidak masuk akal. Untuk apa Darino dan Cardanio kirim pesan? Sedangkan bidang pekerjaan keduanya berbeda jauh.
Cardanio seorang pengusaha yang bergerak di bidang property, sedangkan Darino merupakan dosen di beberapa kampus ternama yang ada di Jakarta.
Azizah menghela nafas beratnya, ia menyugar surai panjangnya lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit. Daripada menambah beban fikirannya, lebih baik bersiap untuk menjemput putrinya.
Atensi wanita itu kini menatap Carlinta yang sedang menatapnya. “Setelah menjemput Nadi, langsung pulang ke rumah?” tanyanya, ditanggapi dengan bergumam cukup panjang.
Carlinta menggelengkan kepala, “Aku hari ini tidak ada pesanan. Jadi setelah menjemput Nadi, aku memang sengaja untuk nemenin kamu.”
“Nemenin aku?” tanya Azizah, menunjuk dirinya sendiri. Sahabatnya itu menganggukkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Lintaaa. Ada Arlin yang sudah menemaniku,” tuturnya, menatap Carlinta yang menaikkan sebelah alis.
“Aku tahu, kamu itu butuh teman curhat. Jangan denial,” ucap Carlinta, ia bangkit lalu menarik tangan Azizah untuk bangkit. “Setelah jemput anak-anak, kita buat cake. Okey? Harus okey,” ocehnya, mengusap kedua lengan sahabatnya dan tersenyum lebar kepada Azizah yang tertawa pelan.
TING
Azizah melirik ponselnya yang ada di atas meja, ponsel miliknya itu menyala, menandakan terdapat satu pesan masuk. Tanpa pikir panjang, dirinya mengambil dan membaca pesan tersebut tanpa membukanya.
Kening yang mengkerut dan mata yang menyipit membuat Carlinta yang memperhatikannya merebut ponsel milik Azizah dari sang empu.
“Mas, aku sudah di caffe tempat kita janjian,” gumam Carlinta sambil membaca pesan tersebut. Ia dengan lancang membuka pesan tersebut, dan langsung hilang karena dihapus oleh pengirim.
Azizah memperhatikannya, hingga akhirnya nomor tidak dikenal itu kembali mengirimkan pesan kepada Azizah.
“Sorry salah kirim. Aku mau kirim ke pacarku,” ucap Carlinta, lalu kedua matanya melebar saat Azizah merebutnya dan ….
PRANG!
Azizah menatap Carlinta dengan tatapan sulit dimengerti, membuat Carlinta mengerjapkan kedua mata dan mundur satu langkah karena aura Azizah itu sedang aur-auran.
“Kamu ingin membantuku? Dia datang kan ke sekolah hari ini?” tanya Azizah, diangguki oleh Carlinta yang sedikit mengerti tentang apa yang diinginkan oleh Azizah.
“Of course, Baby. Mau buat pertunjukkan untuk Carisa? Aku akan ada dibelakangmu.”
Azizah melangkahkan kaki jenjangnya mendekati gadis kecil yang duduk di ayunan bersama dengan seorang bocah laki-laki yang duduk disebelah gadis kecil itu. Dirinya datang bersama dengan Carlinta-Mama dari bocah laki-laki yang sedang bersama putrinya.“MAMA ….”Azizah tersenyum manis kepada putrinya yang turun dari ayunan dan berlari kecil mendekatinya. “Hei … sudah lama menunggu? Maaf ya Mama telat jemput kamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengecup kedua pipi Arlin.Carlinta merangkul putranya yang berdiri disisi kanannya saat ini. “Ms. Carisa tidak datang hari ini?” tanyanya, menatap putranya yang mendongak supaya bisa bertatapan dengannya.Azizah berdiri dengan menggenggam tangan Arlin, menatap Carlinta yang langsung to the point. Ia menyenggol lengan Carlinta saat sudut matanya menangkap pergerakan seorang perempuang yang keluar dari salah satu ruangan, dan melangkah mendekat.“Datang kok. Tadi Ms. Carisa juga kasih tugas ke kami,” jawab Nadi, kedua matanya memperhatikan mamanya
Azizah memperhatikan suaminya, Darino, yang sedang mencuci tangan di wastafel. Tatapannya berpindah ke putri kecil mereka yang sedang menghabiskan sepiring pudding dengan vla rasa vanilla. Senyumnya sedikit merekah melihat kebahagiaan sederhana putrinya.TING!Tiba-tiba suara dentingan ponsel Darino menarik perhatian Azizah. Ponsel itu tergeletak di meja sebelahnya. Azizah menaikkan sebelah alisnya, tanda keheranan. "Mas, ada pesan masuk," katanya, suaranya terdengar lembut namun penuh tanda tanya.Darino mematikan keran air, menepuk-nepuk tangannya dengan handuk sebelum melangkah mendekati Azizah yang duduk di kursi satu set dengan meja makan. Ada sedikit kerutan di dahinya saat ia meraih ponselnya. Azizah memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menangkap ekspresi apa pun yang mungkin menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut."Siapa yang mengirim pesan, Mas?" tanya Azizah dengan nada sehalus mungkin, meski hatinya berdebar kencang.Darino membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut.
Azizah menghela nafasnya secara perlahan, ingatannya kembali pada pesan yang diterima oleh Darino dari nomor yang tidak disimpan oleh Darino, tetapi pengirim pesan menyebutkan nama.Carisa, perempuan itu yang mengirim pesan kepada Darino. Isi pesan yang dikirim oleh Carisa; Mas, nomor 204 hotel Hardenz. Selang beberapa detik diunsend, dan kembali mengirim pesan yang berisi ‘Sorry salah kirim’.Azizah memperhatikan suaminya yang tidur di sofa yang ada di sudut kamar. “Aku tahu itu bukan salah kamu, tapi aku cape, jadi pelampiasannya ke kamu,” ucapnya, mengusap wajahnya gusar.Azizah menyikap selimutnya, lalu melangkahkan kaki mendekati Darino. Bagaimanapun juga pria itu masih menjadi suaminya, dan Darino sudah mengambil keputusan tadi malam.‘Apa?’ tanya Azizah, menatap Darino yang berdiri dihadapannya saat ini. ‘Kalau kamu yang bertindak, besok aku akan ke rumah Bunda sama Ayah. Aku kembali ketika kamu sudah mengurus dan membuat Carisa berhenti mengganggu keluarga kita,’ imbuhnya.‘Bi
Darino dan Carisa bertemu di sebuah kafe yang tenang. Carisa tampak senang saat mengetahui Darino mengajaknya berbicara berdua, senyum manis menghiasi wajahnya. Di sisi lain, Darino merasa berat hati untuk bertemu dengan Carisa, namun ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan."Carisa, aku minta tolong, mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku," katanya dengan nada tegas. Carisa terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Oke," jawabnya singkat, senyum di wajahnya tetap terjaga.Darino merasa sedikit lega walaupun dirinya seperti tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Carisa.“Aku serius. Jangan pernah lagi menghubungiku,” tekannya sekali lagi, kali ini lebih tegas supaya ucapannya tidak dianggap main-main oleh Carisa yang bergumam pelan dan kepala yang mengangguk-angguk. “Aku juga tidak akan menghubungimu lagi. Kamu tenang saja, Darino. Lagipula, tanpa aku menghubungimu, kamu yang mendekat dan mengajaknya untuk bertemu seperti ini, kan?” oceh Carisa d
Beberapa jam yang lalu ….Azizah menatap kedua mata suaminya yang penuh perhatian. "Mas, aku punya ide supaya Carisa tidak lagi mengganggu kita," katanya dengan nada tegas namun penuh harap.Darino mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Azizah. "Apa idemu, Sayang?" tanyanya, benar-benar ingin tahu.Azizah menghela napas sejenak, memastikan bahwa suaminya siap mendengarkan dengan serius. "Aku akan menyewa laki-laki untuk membuat Carisa malu di khalayak umum. Aku punya uang untuk menyewa, jadi kamu tidak perlu memikirkan biayanya," jelasnya, menaik-turunkan kedua alisnya.“Apa kamu yakin akan berhasil?”Azizah bergumam pelan, mengendikkan kedua bahunya, “Tidak tahu, tapi aku yakin sih bakalan berhasil. Aku ngehubungin orangnya kalau kamu setuju.” Kedua matanya menatap Darino dengan tatapan penuh harap.Darino mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Setelah beberapa detik merenung, ia menyunggingkan senyum, me
“ARRGHH!”Darino berteriak frustasi saat panggilan suaranya tak kunjung mendapatkan jawaban. Ia memukul stir kemudi dengan keras, melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya sebelum akhirnya melajukan kendaraan roda empatnya, meninggalkan parkiran sebuah klub malam dengan kecepatan yang semakin meningkat. Kesadarannya masih tersisa 50%, cukup untuk mengendalikan emosinya yang meluap-luap.Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: rumah mertuanya, tempat di mana ia berharap bisa bertemu dengan sang istri, Azizah. Darino berharap kehadiran Azizah bisa menenangkan badai yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Ia mengarahkan mobilnya ke rumah mertuanya, melintasi jalanan yang sepi dengan perasaan yang campur aduk antara harapan dan ketidakpastian.Namun, setibanya di sana, harapannya perlahan memudar. Rumah mertuanya tampak sangat sepi, seperti tidak berpenghuni. Lampu-lampu padam, tidak ada suara kehidupan di dalamnya. Darino keluar dari mobilnya, melangkah dengan langkah berat menuju pintu d
Satu jam yang lalu ….“Kamu ngapain disini? Bukannya kamu ada di rumah Bibi?” tanya seorang perempuan yang berdiri dibelakang Azizah yang terkejut akan kehadirannya.Azizah menghela nafas setelah tahu siapa yang datang, ia menunduk untuk mengambil kunci rumah yang jatuh karena dikejutkan akan kehadiran Carlinta yang secara tiba-tiba dibelakangnya.Azizah bergumam pelan, menaikkan sebelah alisnya saat kunci rumah direbut paksa oleh Carlinta, sahabatnya itu membuka kembali pintu rumah yang sudah dikunci olehnya. Azizah ditarik paksa buat masuk ke dalam rumah.“Ceritakan kepadamu bagaimana bisa kamu ada disini, sedangkan kamu sudah ada pamit kepadaku kalau sedang ada dirumah bibi?” tanya Carlinta setelah mengunci kembali pintu rumah, dan duduk di sofa ruang tamu bersama dengan Azizah yang ditarik olehnya secara paksa.Azizah memberikan ponselnya kepada Carlinta supaya sahabatnya itu melihat sendiri penyebab dirinya berada di sini dengan satu koper besar berwarna biru. “Darino berulah lag
Darino tersenyum manis saat melihat putri kecilnya yang berlari menghampirinya, ia memeluk gadis kecil itu lalu mengecup kedua pipi Arlin gemas. “Mau langsung pulang?” tanyanya, ditanggapi dengan bergumam.Pada siang hari ini, Darino yang menjemput Arlin karena dirinya sedang tidak memiliki jadwal mengajar dan istrinya sedang demam. Darino dengan senang hati menjemput dan tadi pagi mengantar Arlin pergi ke sekolah.“Mampir beli buah sama beli kue dulu. Boleh?” ujar Arlin, menatap papanya yang menganggukkan kepala dan tersenyum lebar kepadanya.“Apasih yang tidak buat putri papa yang cantik ini,” ucap Darino dengan gemas, ia menoel pangkal hidung Arlin lalu terkekeh setelahnya.Arlin tertawa pelan, menggenggam tangan papanya dan mengikuti langkah Darino ke sisi penumpang sebelah kiri samping pengemudi. Tanpa menunggu perintah, dirinya langsung masuk begitu Darino membuka pintu mobil.Senyum Darino tidak luntur, mengusap puncak kepala putrinya lalu menutup pintu mobil dihadapannya saat
Fernandra menegakkan tubuhnya, sedikit membungkuk dengan kesepuluh jarinya menyatu. “Dan sepertinya, kamu harus membongkar identitas kamu,” ucapnya memecahkan keheningan dan berhasil membuat Azizah memicingkan mata.“Carissa akan berhenti, dengan begitu Darnius akan kalah karena dia cuma sendirian. Selain itu, aku bisa mengarahkan pengawalan ketat supaya dia tidak bisa berbuat nekat,” tambahnya.Azizah melirik ke sebelahnya, melihat suaminya yang hanya terdiam. Ia tahu penuturan yang baru saja diucapkan oleh Fernandra, sedikit menyinggung suaminya yang tidak memiliki uang banyak dan tidak bisa bertindak jauh seperti yang dilakukan oleh Fernandra kepadanya.Azizah menggenggam tangan sang suami, tersenyum kepada suaminya yang menoleh kepadanya. Dirinya sangat menghargai keberadaan Darino sebagai suami, dan kepala rumah tangganya.Perempuan itu menoleh, menatap Fernandra yang tengah memperhatikannya. Ia berusaha untuk tetap sopan dengan tersenyum ramah, “Terimakasih atas tawarannya, teta
Fernandra menyeruput secangkir kopi yang disuguhi oleh Azizah, ia menatap sepasang suami-istri dihadapannya saat ini. “Sepertinya ada yang ingin kalian bicarakan, sampai mengundang aku secara khusus ke sini,” ucapnya setelah menyimpan kembali cangkir di atas meja.“To the point,” ucap Darino dengan nada bicaranya yang serius, menegakkan tubuhnya dan memfokuskan atensinya hanya kepada Fernandra yang tengah menatapnya. “Kamu tidak punya maksud lain, kan?” tambahnya.Azizah melebarkan kedua matanya, menepuk lengan suaminya dan memberikan tatapan seolah mengatakan ‘jangan bahas itu’, tetapi diabaikan oleh sang suami yang menatap Fernandra. Dirinya menghela nafas perlahan.Fernandra hanya memperlihatkan gestur yang tenang, dan santai. Kedua matanya menatap Darino yang tidak mengalihkan atensi sedikitpun darinya. “Maksudmu, aku sengaja berbuat seperti itu supaya Gabriel ada dipihak aku? Dan dia yang akan membantuku untuk merebut Azizah dari kamu?” Diakhiri dengan tertawa renyah.Pria itu me
Azizah menatap Fernandra yang berdiri di sisi kanannya, pria itu menganggukkan kepala sehingga membuatnya melangkah masuk ke dalam rumah yang terbuka. Saat ini sedang berada di rumah milik Gabriel-suami Carlinta-, sepi, karena Gabriel tidak mengundang orang lain untuk datang. Lebih tepatnya akan dilakukan secara privacy.Azizah menoleh ke kanan dan kiri, bersama Fernandra yang melangkah dibelakang perempuan itu. Azizah mengerjapkan kedua matanya, menghentikan langkah kakinya saat melihat sebuah peti di ruang tengah.“Kondisinya mengenaskan,” ucap Fernandra dengan suaranya yang pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Azizah yang menoleh kepadanya. Ia menatap Azizah yang memicingkan mata, “Tadi malam aku melihatnya.”“Kalian sudah datang.”Suara berat lainnya tiba-tiba hadir diantara Fernandra dan Azizah, membuat kedua insan berbeda jenis kelamin itu menoleh. Gabriel-pemilik rumah sekaligus suami Carlinta- tersenyum tipis, lebih tepatnya senyum miris, dan terlihat kedua mata yang bengkak
“Azizah ….”Seorang wanita yang duduk seorang diri di caffe menoleh, Azizah tersenyum kecil saat melihat sosok masalalunya yang melangkah mendekat kepadanya. Ini pertemuan pertamanya setelah satu minggu tidak bertemu dengan Fernandra. Lebih tepatnya, setelah masalah teror itu terungkap.Sudah satu minggu, Azizah dan Darino tidak mendapatkan teror yang meresahkan. Semuanya aman dan tenang. Tiga hari yang lalu, mereka juga sudah kembali ke rumah yang dibeli Darino, dan kembali menjalani kehidupan rumah tangga tanpa adanya orangtua dari keduanya.“Sudah lama menunggu?” tanya Fernandra saat sudah duduk di kursi kosong berhadapan dengan Azizah yang menggelengkan kepala. Ia mengangguk-anggukkan kepala, “Sudah pesan?” tanyanya, menatap Azizah yang menggelengkan kepala, lagi.Pria itu segera mengangkat tangan saat salah satu waitres menoleh, waitres itu melangkah mendekat ke meja 10, meja yang disinggahi oleh Azizah dan Fernandra, lalu memberikan buku menu kepada sepasang insan itu.Tidak but
Azizah menghela nafasnya perlahan, menyugar surai panjangnya. Ia menyadari bahwa sikapnya beberapa menit yang lalu itu keterlaluan, dan tidak seharusnya dirinya bersikap seperti itu terhadap putrinya.“Bodoh,” umpatnya dalam diri sendiri, mengusap wajahnya gusar, lalu berbalik saat mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. “Mas ….” gumamnya saat melihat sosok pria yang melangkah mendekat kepadanya.Darino menghentikan langkahnya tepat dihadapan Azizah yang tengah menatapnya. Kedua matanya menatap intens kedua mata sang istri, ia dapat melihat tatapan cemas dan kebingungan yang terpancar pada sorotan mata Azizah.Pria itu menggenggam tangan wanita dihadapannya saat ini, “Apa yang kamu fikirkan, hm?” tanyanya dengan suara lembut. Lalu kembali bersuara saat tidak mendapatkan jawaban dari sang istri, “Aku juga kaget, tidak terima dengan apa yang dikatakan Arlin, tetapi aku ingat bukan itu yang utama.”“Tidak seharusnya Arlin membebani fikirannya dengan urusan kita,” balas Azizah, diang
Azizah mempercepat langkahnya saat melihat putrinya yang terbaring lemah di atas kasur empuk bersama mommynya yang duduk di sisi ranjang. “Anak Mama, sakit yaa?’ tanyanya, ditanggapi dengan bergumam oleh putrinya, sedangkan mommynya memukul lengannya.“Sudah tahu anaknya sakit, kenapa nanya pertanyaan yang tidak berbobot?” oceh Karisya, ekspresi wajahnya kesal, berbanding terbalik dengan ekspresi wajah Azizah yang menyengir tanpa rasa bersalah.Karisya berdiri, memberikan tempatnya untuk Azizah, dan putrinya itu mengindahkannya. Ia menoleh ke arah pintu, lalu kembali menatap Azizah yang menggenggam tangan Arlin dengan ekspresi wajah yang khawatir.“Kamu baik-baik saja kan sama suamimu?” tanya Karisya, ia hanya heran kebingungan karena tidak mendapati menantunya, hanya ada Azizah datang seorang diri. Sebagai orangtua, tentu saja dirinya merasa aneh dan berfikiran macam-macam terkait hubungan putrinya dan Darino.Arlin hanya menatap pias nenek dan mamanya, karena kondisi tubuhnya juga s
Azizah memicingkan mata saat berpapasan dengan Carisa yang mengabaikannya, tersenyum kepadanya pun tidak. Ada perasaan aneh dalam hatinya, sangat aneh dengan sikap Carisa yang baru saja diperlihatkan kepadanya.“Entah dia memang sudah tobat, atau ini adalah salah satu rencananya untuk menghancurkan rumah tanggaku?” monolognya, lalu menaikkan kedua bahunya dan kembali melangkahkan kakinya pergi.Azizah tersenyum saat melihat suaminya dan Fernandra jalan bersama, ia mempercepat langkahnya lalu berhenti tepat dihadapan Darino yang langsung merangkul pinggangnya. Hubungan mereka memang baik-baik saja, Darino mengerti situasi yang dijalani oleh Azizah.“Kalian abis darimana?” tanya Azizah, menatap Darino dan Fernandra silih berganti, tetapi fokusnya hanya untuk Darino yang membelai lembut surai panjangnya.“Biasa urusan laki-laki,” jawab Darino, membuat istrinya mengerucut bibir, dan itu sangat menggemaskan dikedua matanya. Atensinya kini tertuju ke arah Fernandra, “Sorry banget yaa aku sa
Azizah menghela nafasnya perlahan, ia menatap langit yang sudah gelap dan hanya dihiasi oleh bintang-bintang. Hanya ada dirinya saja di halaman belakang villa di saat semua orang tertidur, termasuk suaminya.Ingatan perempuan itu kembali pada saat semuanya terbongkar. Rencananya bersama Fernandra, dan saat dirinya mengikuti Darino. Dua jam yang lalu mereka berdebat cukup sengit, baru bisa berhenti satu jam yang lalu.“Kamu masih memikirkan kejadian tadi?”Suara berat milik seorang pria tiba-tiba saja hadir, membuat Azizah menoleh dan mendapati Fernandra yang kini memilih untuk duduk di kursi kosong sisi kirinya. Fernandra memberikan kaleng soda kepada Azizah.“Thanks,” ucap Azizah setelah menerima kaleng tersebut, dan langsung membukanya tanpa berfikir panjang.Fernandra hanya menanggapinya dengan kepala yang mengangguk, mengalihkan atensinya menjadi menatap langit yang gelap. “Hubunganmu dan Darino akan baik-baik saja, kalau itu yang membuatmu tidak bisa tidur,” tuturnya dengan tenan
Darino menatap seorang laki-laki yang berdiri dihadapannya dengan ekspresi wajah datar. “Kamu suka sama istri saya?” tanyanya, membuat Darnius menaikkan sebelah alis. “Jujur saja, tidak ada orang lain selain saya dan kamu,” imbuhnya.Darnius memicingkan mata, “Aku suka sama istri kamu?” tanyanya, lalu menyunggingkan senyum miringnya. “Istri kamu itu sempurna. So, siapa sih yang gak suka sama dia?” tambahnya dengan nada bicara yang santai.Darino hanya bergeming, memberikan ruang dan waktu untuk Darnius yang terkekeh. “Aku fikir, orang kaya kamu gini, tidak akan sadar kalau aku tertarik sama Azizah,” lanjutnya.Sementara itu di belakang tembok, terdapat dua insan berbeda jenis sedang berdiri membelakangi tembok dengan earbuds yang menyumpal di salah satu telinga masing-masing, Azizah memakainya ditelinga kanan, dan Fernandra memasang di telinga kiri.“Darino tahu kalau aku ikutan kaya gini?” tanya Azizah dengan suaranya yang pelan, menatap Fernanda yang sedang menatapnya. Ia memicingka