Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.
“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”
Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.
Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.
Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekaligus sahabatnya-. Azizah menghela nafas beratnya, ia mengusap wajahnya dengan gusar, lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
“Apa keputusanku untuk kembali ke rumah itu salah?” ucap Azizah, menatap langit-langit kamarnya. Ia menarik nafas, lalu menghela nafasnya secara perlahan.
Carlinta bergumam pelan, “Tidak. Ini hanya permasalahn waktu saja,” tuturnya dengan santai, lalu menegakkan tubuhnya dan atensi menatap Azizah yang memejamkan kedua mata.
Sejujurnya, Carlinta ingin membicarakan hal serius, tetapi melihat raut wajah Azizah yang lelah, membuatnya mengurungkan niatnya. Ia melakukan hal yang sama seperti Azizah, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.
“Sebenarnya kalau memang Darino tidak mudah jatuh cinta ke wanita lain, kamu bisa tenang dan tidak perlu terbawa fikiran,” ujar Carlinta, dirinya melirik ke sisi kanannya dan tidak mendapatkan respon apapun dari Azizah.
Hening selama sepuluh menit. Carlinta sengaja tidak lagi bersuara, memberikan ruang untuk Azizah tenang dan menjernihkan fikiran setelah dirinya memperlihatkan sebuah foto mesra. Sedikit menyesali tindakannya, tetapi yasudah. Nasi sudah menjadi bubur, ingin ditarik atau dihentikan pun tidak bisa.
“Sebelum kamu datang dan memberitahuku tentang foto yang dikirim oleh Gibran, aku sudah overthinking.”
Suara Azizah memecahkan keheningan. Carlinta menegakkan kepalanya, memperhatikan Azizah yang kini sedang menatapnya. Mereka saling menatap satu sama lain beberapa detik, dan diputus oleh Azizah yang menegakkan tubuh.
“Tadi aku tidak sengaja membaca pesan masuk di hapenya Mas Darino dari CH, sedangkan nomor suamiku itu baru karena handphone yang sebelumnya pecah dan kartunya aku patahkan,” jelas Azizah, menatap serius Carlinta yang terdiam dan mendengarkan cerita Azizah.
“Aku fikir CH itu Carista Hargantara, tapi ternyata itu nomornya Cardanio Herlando,” imbuhnya.
Carlinta menaikkan sebelah alisnya, “Danio? Dia kan sedang ada di luar negri karena nikah sama bule,” ucapnya dengan bingung. “Yaa sorry nih kalau aku bikin kamu semakin overthinking, tapi kalau difikir ulang, tidak masuk akal,” lanjutnya.
Azizah bergeming. Memang tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Memang tidak masuk akal. Untuk apa Darino dan Cardanio kirim pesan? Sedangkan bidang pekerjaan keduanya berbeda jauh.
Cardanio seorang pengusaha yang bergerak di bidang property, sedangkan Darino merupakan dosen di beberapa kampus ternama yang ada di Jakarta.
Azizah menghela nafas beratnya, ia menyugar surai panjangnya lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit. Daripada menambah beban fikirannya, lebih baik bersiap untuk menjemput putrinya.
Atensi wanita itu kini menatap Carlinta yang sedang menatapnya. “Setelah menjemput Nadi, langsung pulang ke rumah?” tanyanya, ditanggapi dengan bergumam cukup panjang.
Carlinta menggelengkan kepala, “Aku hari ini tidak ada pesanan. Jadi setelah menjemput Nadi, aku memang sengaja untuk nemenin kamu.”
“Nemenin aku?” tanya Azizah, menunjuk dirinya sendiri. Sahabatnya itu menganggukkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Lintaaa. Ada Arlin yang sudah menemaniku,” tuturnya, menatap Carlinta yang menaikkan sebelah alis.
“Aku tahu, kamu itu butuh teman curhat. Jangan denial,” ucap Carlinta, ia bangkit lalu menarik tangan Azizah untuk bangkit. “Setelah jemput anak-anak, kita buat cake. Okey? Harus okey,” ocehnya, mengusap kedua lengan sahabatnya dan tersenyum lebar kepada Azizah yang tertawa pelan.
TING
Azizah melirik ponselnya yang ada di atas meja, ponsel miliknya itu menyala, menandakan terdapat satu pesan masuk. Tanpa pikir panjang, dirinya mengambil dan membaca pesan tersebut tanpa membukanya.
Kening yang mengkerut dan mata yang menyipit membuat Carlinta yang memperhatikannya merebut ponsel milik Azizah dari sang empu.
“Mas, aku sudah di caffe tempat kita janjian,” gumam Carlinta sambil membaca pesan tersebut. Ia dengan lancang membuka pesan tersebut, dan langsung hilang karena dihapus oleh pengirim.
Azizah memperhatikannya, hingga akhirnya nomor tidak dikenal itu kembali mengirimkan pesan kepada Azizah.
“Sorry salah kirim. Aku mau kirim ke pacarku,” ucap Carlinta, lalu kedua matanya melebar saat Azizah merebutnya dan ….
PRANG!
Azizah menatap Carlinta dengan tatapan sulit dimengerti, membuat Carlinta mengerjapkan kedua mata dan mundur satu langkah karena aura Azizah itu sedang aur-auran.
“Kamu ingin membantuku? Dia datang kan ke sekolah hari ini?” tanya Azizah, diangguki oleh Carlinta yang sedikit mengerti tentang apa yang diinginkan oleh Azizah.
“Of course, Baby. Mau buat pertunjukkan untuk Carisa? Aku akan ada dibelakangmu.”
Azizah melangkahkan kaki jenjangnya mendekati gadis kecil yang duduk di ayunan bersama dengan seorang bocah laki-laki yang duduk disebelah gadis kecil itu. Dirinya datang bersama dengan Carlinta-Mama dari bocah laki-laki yang sedang bersama putrinya.“MAMA ….”Azizah tersenyum manis kepada putrinya yang turun dari ayunan dan berlari kecil mendekatinya. “Hei … sudah lama menunggu? Maaf ya Mama telat jemput kamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengecup kedua pipi Arlin.Carlinta merangkul putranya yang berdiri disisi kanannya saat ini. “Ms. Carisa tidak datang hari ini?” tanyanya, menatap putranya yang mendongak supaya bisa bertatapan dengannya.Azizah berdiri dengan menggenggam tangan Arlin, menatap Carlinta yang langsung to the point. Ia menyenggol lengan Carlinta saat sudut matanya menangkap pergerakan seorang perempuang yang keluar dari salah satu ruangan, dan melangkah mendekat.“Datang kok. Tadi Ms. Carisa juga kasih tugas ke kami,” jawab Nadi, kedua matanya memperhatikan mamanya
Azizah memperhatikan suaminya, Darino, yang sedang mencuci tangan di wastafel. Tatapannya berpindah ke putri kecil mereka yang sedang menghabiskan sepiring pudding dengan vla rasa vanilla. Senyumnya sedikit merekah melihat kebahagiaan sederhana putrinya.TING!Tiba-tiba suara dentingan ponsel Darino menarik perhatian Azizah. Ponsel itu tergeletak di meja sebelahnya. Azizah menaikkan sebelah alisnya, tanda keheranan. "Mas, ada pesan masuk," katanya, suaranya terdengar lembut namun penuh tanda tanya.Darino mematikan keran air, menepuk-nepuk tangannya dengan handuk sebelum melangkah mendekati Azizah yang duduk di kursi satu set dengan meja makan. Ada sedikit kerutan di dahinya saat ia meraih ponselnya. Azizah memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menangkap ekspresi apa pun yang mungkin menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut."Siapa yang mengirim pesan, Mas?" tanya Azizah dengan nada sehalus mungkin, meski hatinya berdebar kencang.Darino membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut.
Azizah menghela nafasnya secara perlahan, ingatannya kembali pada pesan yang diterima oleh Darino dari nomor yang tidak disimpan oleh Darino, tetapi pengirim pesan menyebutkan nama.Carisa, perempuan itu yang mengirim pesan kepada Darino. Isi pesan yang dikirim oleh Carisa; Mas, nomor 204 hotel Hardenz. Selang beberapa detik diunsend, dan kembali mengirim pesan yang berisi ‘Sorry salah kirim’.Azizah memperhatikan suaminya yang tidur di sofa yang ada di sudut kamar. “Aku tahu itu bukan salah kamu, tapi aku cape, jadi pelampiasannya ke kamu,” ucapnya, mengusap wajahnya gusar.Azizah menyikap selimutnya, lalu melangkahkan kaki mendekati Darino. Bagaimanapun juga pria itu masih menjadi suaminya, dan Darino sudah mengambil keputusan tadi malam.‘Apa?’ tanya Azizah, menatap Darino yang berdiri dihadapannya saat ini. ‘Kalau kamu yang bertindak, besok aku akan ke rumah Bunda sama Ayah. Aku kembali ketika kamu sudah mengurus dan membuat Carisa berhenti mengganggu keluarga kita,’ imbuhnya.‘Bi
Darino dan Carisa bertemu di sebuah kafe yang tenang. Carisa tampak senang saat mengetahui Darino mengajaknya berbicara berdua, senyum manis menghiasi wajahnya. Di sisi lain, Darino merasa berat hati untuk bertemu dengan Carisa, namun ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan."Carisa, aku minta tolong, mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku," katanya dengan nada tegas. Carisa terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Oke," jawabnya singkat, senyum di wajahnya tetap terjaga.Darino merasa sedikit lega walaupun dirinya seperti tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Carisa.“Aku serius. Jangan pernah lagi menghubungiku,” tekannya sekali lagi, kali ini lebih tegas supaya ucapannya tidak dianggap main-main oleh Carisa yang bergumam pelan dan kepala yang mengangguk-angguk. “Aku juga tidak akan menghubungimu lagi. Kamu tenang saja, Darino. Lagipula, tanpa aku menghubungimu, kamu yang mendekat dan mengajaknya untuk bertemu seperti ini, kan?” oceh Carisa d
Beberapa jam yang lalu ….Azizah menatap kedua mata suaminya yang penuh perhatian. "Mas, aku punya ide supaya Carisa tidak lagi mengganggu kita," katanya dengan nada tegas namun penuh harap.Darino mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Azizah. "Apa idemu, Sayang?" tanyanya, benar-benar ingin tahu.Azizah menghela napas sejenak, memastikan bahwa suaminya siap mendengarkan dengan serius. "Aku akan menyewa laki-laki untuk membuat Carisa malu di khalayak umum. Aku punya uang untuk menyewa, jadi kamu tidak perlu memikirkan biayanya," jelasnya, menaik-turunkan kedua alisnya.“Apa kamu yakin akan berhasil?”Azizah bergumam pelan, mengendikkan kedua bahunya, “Tidak tahu, tapi aku yakin sih bakalan berhasil. Aku ngehubungin orangnya kalau kamu setuju.” Kedua matanya menatap Darino dengan tatapan penuh harap.Darino mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Setelah beberapa detik merenung, ia menyunggingkan senyum, me
“ARRGHH!”Darino berteriak frustasi saat panggilan suaranya tak kunjung mendapatkan jawaban. Ia memukul stir kemudi dengan keras, melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya sebelum akhirnya melajukan kendaraan roda empatnya, meninggalkan parkiran sebuah klub malam dengan kecepatan yang semakin meningkat. Kesadarannya masih tersisa 50%, cukup untuk mengendalikan emosinya yang meluap-luap.Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: rumah mertuanya, tempat di mana ia berharap bisa bertemu dengan sang istri, Azizah. Darino berharap kehadiran Azizah bisa menenangkan badai yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Ia mengarahkan mobilnya ke rumah mertuanya, melintasi jalanan yang sepi dengan perasaan yang campur aduk antara harapan dan ketidakpastian.Namun, setibanya di sana, harapannya perlahan memudar. Rumah mertuanya tampak sangat sepi, seperti tidak berpenghuni. Lampu-lampu padam, tidak ada suara kehidupan di dalamnya. Darino keluar dari mobilnya, melangkah dengan langkah berat menuju pintu d
Satu jam yang lalu ….“Kamu ngapain disini? Bukannya kamu ada di rumah Bibi?” tanya seorang perempuan yang berdiri dibelakang Azizah yang terkejut akan kehadirannya.Azizah menghela nafas setelah tahu siapa yang datang, ia menunduk untuk mengambil kunci rumah yang jatuh karena dikejutkan akan kehadiran Carlinta yang secara tiba-tiba dibelakangnya.Azizah bergumam pelan, menaikkan sebelah alisnya saat kunci rumah direbut paksa oleh Carlinta, sahabatnya itu membuka kembali pintu rumah yang sudah dikunci olehnya. Azizah ditarik paksa buat masuk ke dalam rumah.“Ceritakan kepadamu bagaimana bisa kamu ada disini, sedangkan kamu sudah ada pamit kepadaku kalau sedang ada dirumah bibi?” tanya Carlinta setelah mengunci kembali pintu rumah, dan duduk di sofa ruang tamu bersama dengan Azizah yang ditarik olehnya secara paksa.Azizah memberikan ponselnya kepada Carlinta supaya sahabatnya itu melihat sendiri penyebab dirinya berada di sini dengan satu koper besar berwarna biru. “Darino berulah lag
Darino tersenyum manis saat melihat putri kecilnya yang berlari menghampirinya, ia memeluk gadis kecil itu lalu mengecup kedua pipi Arlin gemas. “Mau langsung pulang?” tanyanya, ditanggapi dengan bergumam.Pada siang hari ini, Darino yang menjemput Arlin karena dirinya sedang tidak memiliki jadwal mengajar dan istrinya sedang demam. Darino dengan senang hati menjemput dan tadi pagi mengantar Arlin pergi ke sekolah.“Mampir beli buah sama beli kue dulu. Boleh?” ujar Arlin, menatap papanya yang menganggukkan kepala dan tersenyum lebar kepadanya.“Apasih yang tidak buat putri papa yang cantik ini,” ucap Darino dengan gemas, ia menoel pangkal hidung Arlin lalu terkekeh setelahnya.Arlin tertawa pelan, menggenggam tangan papanya dan mengikuti langkah Darino ke sisi penumpang sebelah kiri samping pengemudi. Tanpa menunggu perintah, dirinya langsung masuk begitu Darino membuka pintu mobil.Senyum Darino tidak luntur, mengusap puncak kepala putrinya lalu menutup pintu mobil dihadapannya saat
Beberapa jam sebelumnya ….“So, sekarang kamu ada waktu untuk kita mengobrol?” tanya Fernandra, tersenyum kecil kepada Azizah yang tengah menatapnya. “Aku rasa, kita perlu bicara … satu sampai dua jam. Bisa?” tambahnya.Azizah terdiam, dirinya melirik jam arloji pada pergelangan tangannya. Satu jam saja sudah terlalu untuknya, dan menurutnya itu sudah termasuk selingkuh karena berbicara dengan laki-laki lain yang notabennya masalalu, tanpa seizin suami.“Bukan tentang membahas yang sudah terjadi. Ini tentang nanti sore, kalaupun masih ada waktu, kita bisa membahas rencana selanjutnya,” tutur Fernandra, ia sangat tahu bahwa perempuan yang sedang bersamanya saat ini sedang gelisah dan kebingungan.“Tetapi jika kamu takut semuanya berantakan, ya it’s okay. Kita bicara lain, setelah kamu mendapatkan izin dari suamimu itu,” lanjutnya.Azizah bernafas lega, tetapi perasaannya tetap mengganjal. Seharusnya ia senang karena Fernandra tidak memaksanya untuk berbicara, entah kenapa perasaannya s
“Senang bisa bertemu denganmu, Darino Arlando.”Fernandra tersenyum kepada pria yang baru saja berdiri dihadapannya, ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Darino yang datang bersama Azizah. Mereka bertemu di cafe, memilih tempat duduk paling pojok supaya lebih private tanpa bharus memesam ruangan VIP.Darino memperhatikan penampilan Fernandra yang mengenakan kemeja berwarna biru dongker dan celana panjang berwarna abu-abu terang, berhenti untuk menatap kedua mata Fernandra yang berbinar dengan senyum manis di bibir pria itu.Azizah menggigit bibir bawahnya, menatap Fernandra dan Darino silih berganti. Dirinya sudah menebaknya, situasinya akan seperti ini. Canggung, bagaimana caranya obrolan malam ini lancar? Tanpa adanya kesalahpahaman yang mungkin akan terjadi.“Oh iya ….” Fernandra berusaha untuk bersikap sebaik mungkin, memberikan kesan bagus pada pertemuan pertamanya dengan Darino. Lebih tepatnya menghargai pria dihadapannya saat ini sebagai suami dari Azizah, dan memba
Azizah menggerakkan kedua kakinya tidak tenang, sesekali melirik pintu yang masih tertutup. Saat ini dirinya sedang berada disebuah ruangan yang hanya ada dirinya, walaupun berada di ruangan yang private, tidak membuatnya sepenuhnya tenang.Clek!Azizah menoleh setelah mendengar knop pintu yang ditekan, seperkian detik berikutnya terlihat seorang pria yang berdiri tegap dengan setelan kantor yang rapih. Fernandra, pria itu melangkah mendekati Azizah yang spontan berdiri.“Sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan karena harus banget bertemu pagi-pagi seperti ini,” ucap Fernandra sesaat setelah kedua kakinya berhenti dihadapan Azizah yang tersenyum tipis kepadanya.Azizah tidak menanggapinya, ia memberikan kode kepada Fernandra untuk duduk melalui tatapan mata yang melirik kursi kosong sebelah Fernandra. Pria itu mengangguk-anggukkan kepala, mengerti akan kode tersebut dan langsung duduk di kursi tersebut.Sementara itu Azizah segera duduk, menatap kedua mata Fernandra yang sedang menat
“Fernandra? Kamu ada hubungan sama dia?”Azizah menarik nafas lalu menghembuskannya dengan perlahan, menatap kedua mata suaminya yang sedang menatapnya. Ini kedua kalinya dituduh negatif oleh suaminya sendiri. Suami, bukan orang asing yang tidak dekat dengan Azizah.“Aku tahu mereka sepupuan itu dari Mommy dan Daddy, bukan Fernandra,” ucap Azizah setelah dirasa tenang.Darino menatap kedua mata Azizah, “Bukan itu yang aku maksud.”“Apa?”“Carlinta ikut terlibat.”Azizah menghela nafasnya, menyugar surai panjangnya. Ia pikir dengan memberitahu suaminya bahwa Carlinta ikut terlibat, akan membuat pembicaraan pada pagi hari ini terhenti dan tidak perpanjang. Tetapi Azizah salah, Darino terus membahasnya.“Iya. Aku tahu dari Fernandra. Kenapa?” ucap Azizah dengan lantang, mengangkat dagunya berani.Azizah tidak peduli jika nanti dianggap istri durhaka karena berani melawan suami, Azizah akan bersikap seperti apa yang dirasakan saat ini. Bukan karena tidak menghormati Darino, tetapi suaminy
“Sayang ….”Azizah menoleh, menatap suaminya yang hanya berdiri di ujung ranjang sambil menatap ke arahnya. Ia memicingkan mata, “Kenapa, Mas?” tanyanya dengan bingung.Sudah dua hari Azizah tidak mengobrol serius dengan suaminya, dikarena masalah pada pagi hari lusa kemarin, dan suaminya itu sibuk dengan kerjaan, ditambah membantu Carissa mencari Carlinta yang masih dalam kendali Fernandra.Berbicara Fernandra, Azizah belum memberitahu suaminya bahwa Fernandra yang merupakan masalalunya datang lagi setelah selesai pengobatan di luar negri. Ya mau bagaimana, Azizah hanya bisa mengatakannya kalau ada waktu berdua dengan Darino.“Kasihan Carissa.”Azizah menaikkan sebelah alis, menaruh kembali potongan apel yang sudah berada di depan bibirnya. Pernyataan yang baru saja diucapkan oleh suaminya itu sangat mengganggunya, dan membuatnya tidak mood.Azizah menaruh piring tersebut di meja nakas, lalu turun dari ranjang sambil menguncir surai panjangnya dan melangkahkan kedua kaki jenjangnya s
“Kamu yakin?”Azizah menatap seorang pria yang duduk berhadapan dengannya saat ini, pria itu menaikkan sebelah alis dan memberikan ekspresi tidak percaya kepadanya. Seolah diremehkan, Azizah menganggukkan kepala yakin.“Okey kalau kau ingin melakukannya sendiri,” ucap Fernandra, menegakkan tubuhnya lalu mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya dan memberikannya kepada Azizah yang memicingkan mata.“Selama kamu mengikuti Darino, kamu tidak mungkin menggunakan motor atau sepeda, tidak juga dengan menggunakan mobil pribadi milikmu. Jadi, kamu harus menggunakan kendaraan yang belum pernah dilihat oleh Darino,” jelasnya dengan tenang dan santai.Kedua mata Fernandra memperhatikan Azizah yang mengambil kunci mobil keyless, terdapat logo dari merk mobil terkenal, dan bisa dipastikan mobil tersebut bisa membeli rumah yang ditempati oleh kedua orangtua Azizah saat ini.“Ada orang kepercayaanku yang akan menjagamu dua puluh empat jam,” lanjut Fernandra, tersenyum kepada Azizah yang kini sed
“Itu Papa.”Azizah menatap seorang laki-laki yang melambaikan tangan kepadanya, ia tersenyum sebelum akhirnya melangkah bersama putrinya yang melangkah disisi kanannya. Dirinya dan Darino janjian makan siang di luar, tentunya setelah Azizah menjemput Arlin.Darino memilih duduk sedikit pojok, tempat ini dihalangi oleh pilar, sehingga terlihat lebih private. Ditambah terdapat pembatas antara meja sebelahnya. Ia mengusap puncak kepala putrinya yang duduk di sisi kirinya.“Tidak terjadi sesuatu kan di sekolah dan selama perjalanan ke sini?” tanya Darino dengan suaranya yang pelan dan lembut, menatap Arlin yang mendongak sehingga mereka bertatapan satu sama lain.“Tidak, semua aman terkendali,” ucap Arlin dengan riang, tentu saja membuat Darino terkekeh, sedangkan Azizah hanya mengulas senyum kecil.Kini tatapan Darino bertemu dengan kedua mata Azizah, cukup lama dan harus diputus dengan Arlin yang berdeham, karena gadis itu berada diantara Azizah dan Darino.“Hari ini Nadiw tidak sekolah
“Berkunjung menemui Tante dan Om.”Fernandra tersenyum manis setelah mengatakan maksud dan tujuannya, walaupun tidak mendapatkan respon positif dari wanita paruh baya dihadapannya saat ini. Ia mempertahankan kedua sudut bibirnya untuk terus tersenyum.Karisya mengabaikannya, menatap Arlin yang memperhatikan Fernandra dengan tatapan sulit dimengerti. “Arlin,” panggilnya dengan suara yang lembut, membuat cucu pertamanya itu menoleh dan bertemu tatap dengannya.“Ya, Grandma?” sahut Arlin, tersenyum kepada Karisya yang tersenyum kepadanya. “Grandma mau ngobrol sama om ini?” tanyanya tiba-tiba, menatap Fernandra yang tersenyum manis kepadanya dengan tangan yang diangkat ke udara.“Halo, anak cantik,” sapa Fernandra dengan ekspresi wajah yang bersahabat, ditambah senyum manisnya yang membuat siapapun akan terpikat, termasuk Arlin yang akan menyukainya.Karisya langsung membawa Arlin masuk ke dalam rumah tanpa aba-aba, lalu berkata dengan suara pelan sebelum akhirnya ia menutup rapat pintu u
“Sayang, sedang apa disana?”Seorang wanita berdiri di balkon dengan menggenggam cangkir berisi teh hangat menoleh saat mendengar suara berat yang berasal dari belakang, ia tersenyum kepada pria yang melangkah mendekat kepadanya.“Oh ini … aku merasa kedinginan, jadinya aku bangun untuk bikin teh hangat, terus tadi aku melihat kondisinya Arlin, yaudah deh … aku disini saja untuk melihat sunrise,” jelas Azizah setelah suaminya berdiri tepat dihadapannya.Darino menaikkan sebelah alisnya, lalu atensinya menatap jalanan dibawah sana yang basah, berarti memang apa yang dikatakan oleh Azizah itu benar. Kedingingan karena AC di kamar menyala, dan hujan.Pria itu membawa tubuh Azizah ke dalam dekapannya setelah menaruh cangkir tersebut di meja kaca, mengusapnya dan memberikan kehangatan untuk sang istri yang tersenyum tipis. Azizah membalas pelukan suaminya, tidak disia-siakan olehnya moment pada pagi ini yang sudah lama tidak ia rasakan.“Hari ini kita kembali ke rumah yaa?” ujar Darino, me