“Mas ….”
Azizah menatap suaminya yang memakai jam tangan dihadapannya saat ini, perasaannya bimbang, antara ingin bertanya dan melupakan. Bukan hal mudah untuknya membahas kontak nama CH yang ada di ponsel sang suami.
Darino yang sudah selesai memakai jam tangannya pun menatap Azizah yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh arti, sehingga membuatnya sulit untuk memahaminya.
“Kenapa, Sayang?” tanya Darino dengan suara yang lembut, ia mengusap puncak kepala sang istri. Salah satu cara untuk menenangkan Azizah yang mungkin sedang banyak fikiran, sementara itu Azizah hanya bergeming memperhatikan Darino.
Azizah menggelengkan kepala dengan senyum manisnya, “Tidak jadi, Mas,” tuturnya dengan suara yang lembut. Ia merapihkan rambut sang suami yang sedikit berantakan dengan jari lentiknya.
“Hari ini cuma satu kelas?” tanya wanita itu, dijawab dengan anggukkan kepala.
“Tapi aku pulangnya telat. Selesai kelas jam dua belas, lanjut acara makan-makan sama dosen lainnya. Ada yang nikah, terus nikahannya di luar negri, jadi kebanyakan tidak ada yang datang,” jelas Darino, menatap istrinya yang menanggapinya dengan ‘oh’ dan kepala yang mengangguk-angguk.
“Berarti aku yang jemput Arlin?” tanya Azizah, menatap Darino yang menganggukkan kepala. Ia menghela nafasnya perlahan, “Okee. Tidak masalah,” lanjutnya, tersenyum manis kepada suaminya.
Seperti biasa, Azizah mengantar Darino hingga teras. Setelah kepergian Darino, Azizah masuk ke dalam rumahnya. Dirinya memilih untuk membuka laptop milik pribadi, saat Darino mandi, Azizah login w******p suaminya di laptop.
Sejak kejadian itu, kepercayaan Azizah terhadap Darino berkurang. Selalu curiga, ditambah Azizah menemukan satu pesan dengan kontak nama CH. Semakin membuatnya overthinking.
Raut wajah yang cemas, tetapi sedikit tenang, memperhatikan layar laptop yang menyala. Azizah bisa melihat semua chat yang dikirim dan diterima oleh Darino tanpa harus membuka pesan tersebut.
“Hahh?” Azizah menganga tidak percaya saat membaca pesan yang dikirim oleh kontak nama CH. “Cardanio Herlando? Temennya Mas Darino? Hahh?” Azizah dibuat hah-heh-hoh dengan fakta yang baru saja ia ketahui.
Wanita itu menghela nafas beratnya dengan tidak santai, seperti waktu sedang mengajaknya bercanda. Susah payah untuk membuktikan bahwa kecurigaannya itu benar, tetapi dipatahkan oleh fakta.
“Kenapa dikasih namanya CH?”
Azizah menegakkan tubuhnya, menggerakkan kursornya ke arah chat tepat dibawah chatnya. Darino memang menyematkan chat darinya, sejak mereka pacaran hingga saat ini. Jadi sepertinya mustahil kalau Darino bermain dibelakang, tetapi tidak semudah itu untuk Azizah percaya.
“Kali ini aku percaya,” monolognya, menutup laptopnya setelah meyakinkan diri bahwa suaminya tidak berbuat macam-macam diluar sana dan tidak ada pengkhianatan.
Azizah menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, meraih ponselnya untuk membaca notifikasi dari sahabatnya yang mengatakan sedang perjalanan ke rumah. Hal itu membuatnya langsung bangkit untuk menyiapkan cemilan dan minuman.
Beberapa menit kemudian terdengar suara perempuan di depan rumah dibarengi dengan ketukan pintu tidak santai, sehingga membuat Azizah yang berada di dapur pun melangkah dengan langkah lebar.
“La–”
Azizah tesenyum gemash, tangan kanannya mencapit mulut wanita dihadapannya saat ini. “Aku tadi di dapur, lagian yaa .. kamu cuma nunggu tiga menit,” ocehnya dengan sedikit kesal, menatap malas wanita dihadapannya saat ini yang terkekeh.
Azizah menepi ke sisi lain agar tidak menghalangi jalan sahabatnya yang ingin masuk. Wanita bersurai sebahu itu melangkah masuk setelah bingkisannya diterima oleh Azizah. Carlinta, sahabat Azizah itu menipiskan bibir.
“Kamu sedang mencari apa?”
Azizah menoleh, menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak tahu konteks apa yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Sedangkan Carlinta menghentikan langkah, menatap Azizah yang sedang menatapnya.
“Ekspresi seperti orang gelisah,” ucap Carlinta, ia menyunggingkan senyum penuh arti dan kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Azizah yang bergeming.
“Kamu bisa mengelak, tapi bukan sama aku,” tambahnya tanpa menoleh kebelakang. Bagaimana tidak paham tentang Azizah, sementara itu dirinya dan Azizah sudah lama berteman dari SMA? Atau SMP? Ya sudah dari jaman sekolah.
Jadi mudah saja untuk Carlinta memahami kecemasan yang tidak sengaja diperlihatkan oleh Azizah.
Azizah menyusul Carlinta yang sudah sepuluh langkah di depannya. “Entahlah. Akhir-akhir ini aku selalu curiga sama Mas Darino,” tuturnya setelah sejajar dengan Carlinta yang mengangguk-anggukkan kepala.
“Sejak kehadiran Carisa?” tanya Carlinta tepat sasaran. Ia menghentikan langkahnya, sehingga membuat wanita disisi kirinya ikut menghentikan langkah.
Mereka saling melempar pandang satu sama lain. Carlinta bersidekap dada, memperhatikan penampilkan sahabatnya yang hanya mengenakan daster bunga-bunga berwarna hijau, sangat jauh dari kata modis.
“Kamu bisa merubah cara berpakaianmu, supaya Darino tidak kepincut lagi dengan masalalunya,” ujar Carlinta, menatap kedua mata Azizah yang sedang menatapnya.
Saran yang diberikan oleh Carlinta tidak buruk, tetapi tidak baik juga. Azizah sepenuhnya menjadi Ibu Rumah Tangga, tugas dan kewajibannya mengurus rumah, anak dan suami. Untuk merawat diri saja kalau ingat dan kalau ada waktu senggang.
Azizah menghela nafasnya, lalu melangkahkan kaki meninggalkan Carlinta yang langsung mengikuti langkahnya.
“Laki-laki itu tidak menolak kalau dikasih makanan lezat, walaupun dia sudah kenyang dengan hidangan sebelumnya,” ujar Carlinta. Dirinya sesekali melirik ke sisi kirinya untuk melihat ekspresi yang diperlihatkan oleh Azizah. Sayangnya, Azizah tidak bereaksi apapun.
“Aku percaya suamiku tidak ada hubungan spesial dengan Carisa,” ucap Azizah dengan keyakinan penuh, ia menghentikan langkah dan berdiri berhadapan dengan Carlinta.
Ting!
Carlinta mengeluarkan ponselnya dari dalam tasnya, ia membuka satu notifikasi pesan dari sang suami yang mengirim sebuah foto kepadanya. Dirinya menaikkan pandangan setelah melihat jelas foto tersebut.
“Kalau aku memberitahumu sesuatu. Apakah kamu akan menarik kalimatmu sebelumnya?
Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekalig
Azizah melangkahkan kaki jenjangnya mendekati gadis kecil yang duduk di ayunan bersama dengan seorang bocah laki-laki yang duduk disebelah gadis kecil itu. Dirinya datang bersama dengan Carlinta-Mama dari bocah laki-laki yang sedang bersama putrinya.“MAMA ….”Azizah tersenyum manis kepada putrinya yang turun dari ayunan dan berlari kecil mendekatinya. “Hei … sudah lama menunggu? Maaf ya Mama telat jemput kamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengecup kedua pipi Arlin.Carlinta merangkul putranya yang berdiri disisi kanannya saat ini. “Ms. Carisa tidak datang hari ini?” tanyanya, menatap putranya yang mendongak supaya bisa bertatapan dengannya.Azizah berdiri dengan menggenggam tangan Arlin, menatap Carlinta yang langsung to the point. Ia menyenggol lengan Carlinta saat sudut matanya menangkap pergerakan seorang perempuang yang keluar dari salah satu ruangan, dan melangkah mendekat.“Datang kok. Tadi Ms. Carisa juga kasih tugas ke kami,” jawab Nadi, kedua matanya memperhatikan mamanya
Azizah memperhatikan suaminya, Darino, yang sedang mencuci tangan di wastafel. Tatapannya berpindah ke putri kecil mereka yang sedang menghabiskan sepiring pudding dengan vla rasa vanilla. Senyumnya sedikit merekah melihat kebahagiaan sederhana putrinya.TING!Tiba-tiba suara dentingan ponsel Darino menarik perhatian Azizah. Ponsel itu tergeletak di meja sebelahnya. Azizah menaikkan sebelah alisnya, tanda keheranan. "Mas, ada pesan masuk," katanya, suaranya terdengar lembut namun penuh tanda tanya.Darino mematikan keran air, menepuk-nepuk tangannya dengan handuk sebelum melangkah mendekati Azizah yang duduk di kursi satu set dengan meja makan. Ada sedikit kerutan di dahinya saat ia meraih ponselnya. Azizah memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menangkap ekspresi apa pun yang mungkin menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut."Siapa yang mengirim pesan, Mas?" tanya Azizah dengan nada sehalus mungkin, meski hatinya berdebar kencang.Darino membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut.
Azizah menghela nafasnya secara perlahan, ingatannya kembali pada pesan yang diterima oleh Darino dari nomor yang tidak disimpan oleh Darino, tetapi pengirim pesan menyebutkan nama.Carisa, perempuan itu yang mengirim pesan kepada Darino. Isi pesan yang dikirim oleh Carisa; Mas, nomor 204 hotel Hardenz. Selang beberapa detik diunsend, dan kembali mengirim pesan yang berisi ‘Sorry salah kirim’.Azizah memperhatikan suaminya yang tidur di sofa yang ada di sudut kamar. “Aku tahu itu bukan salah kamu, tapi aku cape, jadi pelampiasannya ke kamu,” ucapnya, mengusap wajahnya gusar.Azizah menyikap selimutnya, lalu melangkahkan kaki mendekati Darino. Bagaimanapun juga pria itu masih menjadi suaminya, dan Darino sudah mengambil keputusan tadi malam.‘Apa?’ tanya Azizah, menatap Darino yang berdiri dihadapannya saat ini. ‘Kalau kamu yang bertindak, besok aku akan ke rumah Bunda sama Ayah. Aku kembali ketika kamu sudah mengurus dan membuat Carisa berhenti mengganggu keluarga kita,’ imbuhnya.‘Bi
Darino dan Carisa bertemu di sebuah kafe yang tenang. Carisa tampak senang saat mengetahui Darino mengajaknya berbicara berdua, senyum manis menghiasi wajahnya. Di sisi lain, Darino merasa berat hati untuk bertemu dengan Carisa, namun ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan."Carisa, aku minta tolong, mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku," katanya dengan nada tegas. Carisa terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Oke," jawabnya singkat, senyum di wajahnya tetap terjaga.Darino merasa sedikit lega walaupun dirinya seperti tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Carisa.“Aku serius. Jangan pernah lagi menghubungiku,” tekannya sekali lagi, kali ini lebih tegas supaya ucapannya tidak dianggap main-main oleh Carisa yang bergumam pelan dan kepala yang mengangguk-angguk. “Aku juga tidak akan menghubungimu lagi. Kamu tenang saja, Darino. Lagipula, tanpa aku menghubungimu, kamu yang mendekat dan mengajaknya untuk bertemu seperti ini, kan?” oceh Carisa d
Beberapa jam yang lalu ….Azizah menatap kedua mata suaminya yang penuh perhatian. "Mas, aku punya ide supaya Carisa tidak lagi mengganggu kita," katanya dengan nada tegas namun penuh harap.Darino mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Azizah. "Apa idemu, Sayang?" tanyanya, benar-benar ingin tahu.Azizah menghela napas sejenak, memastikan bahwa suaminya siap mendengarkan dengan serius. "Aku akan menyewa laki-laki untuk membuat Carisa malu di khalayak umum. Aku punya uang untuk menyewa, jadi kamu tidak perlu memikirkan biayanya," jelasnya, menaik-turunkan kedua alisnya.“Apa kamu yakin akan berhasil?”Azizah bergumam pelan, mengendikkan kedua bahunya, “Tidak tahu, tapi aku yakin sih bakalan berhasil. Aku ngehubungin orangnya kalau kamu setuju.” Kedua matanya menatap Darino dengan tatapan penuh harap.Darino mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Setelah beberapa detik merenung, ia menyunggingkan senyum, me
“ARRGHH!”Darino berteriak frustasi saat panggilan suaranya tak kunjung mendapatkan jawaban. Ia memukul stir kemudi dengan keras, melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya sebelum akhirnya melajukan kendaraan roda empatnya, meninggalkan parkiran sebuah klub malam dengan kecepatan yang semakin meningkat. Kesadarannya masih tersisa 50%, cukup untuk mengendalikan emosinya yang meluap-luap.Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: rumah mertuanya, tempat di mana ia berharap bisa bertemu dengan sang istri, Azizah. Darino berharap kehadiran Azizah bisa menenangkan badai yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Ia mengarahkan mobilnya ke rumah mertuanya, melintasi jalanan yang sepi dengan perasaan yang campur aduk antara harapan dan ketidakpastian.Namun, setibanya di sana, harapannya perlahan memudar. Rumah mertuanya tampak sangat sepi, seperti tidak berpenghuni. Lampu-lampu padam, tidak ada suara kehidupan di dalamnya. Darino keluar dari mobilnya, melangkah dengan langkah berat menuju pintu d
Satu jam yang lalu ….“Kamu ngapain disini? Bukannya kamu ada di rumah Bibi?” tanya seorang perempuan yang berdiri dibelakang Azizah yang terkejut akan kehadirannya.Azizah menghela nafas setelah tahu siapa yang datang, ia menunduk untuk mengambil kunci rumah yang jatuh karena dikejutkan akan kehadiran Carlinta yang secara tiba-tiba dibelakangnya.Azizah bergumam pelan, menaikkan sebelah alisnya saat kunci rumah direbut paksa oleh Carlinta, sahabatnya itu membuka kembali pintu rumah yang sudah dikunci olehnya. Azizah ditarik paksa buat masuk ke dalam rumah.“Ceritakan kepadamu bagaimana bisa kamu ada disini, sedangkan kamu sudah ada pamit kepadaku kalau sedang ada dirumah bibi?” tanya Carlinta setelah mengunci kembali pintu rumah, dan duduk di sofa ruang tamu bersama dengan Azizah yang ditarik olehnya secara paksa.Azizah memberikan ponselnya kepada Carlinta supaya sahabatnya itu melihat sendiri penyebab dirinya berada di sini dengan satu koper besar berwarna biru. “Darino berulah lag
“Berkunjung menemui Tante dan Om.”Fernandra tersenyum manis setelah mengatakan maksud dan tujuannya, walaupun tidak mendapatkan respon positif dari wanita paruh baya dihadapannya saat ini. Ia mempertahankan kedua sudut bibirnya untuk terus tersenyum.Karisya mengabaikannya, menatap Arlin yang memperhatikan Fernandra dengan tatapan sulit dimengerti. “Arlin,” panggilnya dengan suara yang lembut, membuat cucu pertamanya itu menoleh dan bertemu tatap dengannya.“Ya, Grandma?” sahut Arlin, tersenyum kepada Karisya yang tersenyum kepadanya. “Grandma mau ngobrol sama om ini?” tanyanya tiba-tiba, menatap Fernandra yang tersenyum manis kepadanya dengan tangan yang diangkat ke udara.“Halo, anak cantik,” sapa Fernandra dengan ekspresi wajah yang bersahabat, ditambah senyum manisnya yang membuat siapapun akan terpikat, termasuk Arlin yang akan menyukainya.Karisya langsung membawa Arlin masuk ke dalam rumah tanpa aba-aba, lalu berkata dengan suara pelan sebelum akhirnya ia menutup rapat pintu u
“Sayang, sedang apa disana?”Seorang wanita berdiri di balkon dengan menggenggam cangkir berisi teh hangat menoleh saat mendengar suara berat yang berasal dari belakang, ia tersenyum kepada pria yang melangkah mendekat kepadanya.“Oh ini … aku merasa kedinginan, jadinya aku bangun untuk bikin teh hangat, terus tadi aku melihat kondisinya Arlin, yaudah deh … aku disini saja untuk melihat sunrise,” jelas Azizah setelah suaminya berdiri tepat dihadapannya.Darino menaikkan sebelah alisnya, lalu atensinya menatap jalanan dibawah sana yang basah, berarti memang apa yang dikatakan oleh Azizah itu benar. Kedingingan karena AC di kamar menyala, dan hujan.Pria itu membawa tubuh Azizah ke dalam dekapannya setelah menaruh cangkir tersebut di meja kaca, mengusapnya dan memberikan kehangatan untuk sang istri yang tersenyum tipis. Azizah membalas pelukan suaminya, tidak disia-siakan olehnya moment pada pagi ini yang sudah lama tidak ia rasakan.“Hari ini kita kembali ke rumah yaa?” ujar Darino, me
Azizah menggerakkan kedua kakinya dengan perasaan gelisah, mengedarkan atensi yang hanya ada dirinya saja di dalam ruangan ini. Ia sedang menunggu kedatangan seseorang, sejak perdebatan kecil dengan sang suami, membuatnya malas untuk pulang ke rumah orangtuanya, dan berakhir di ruangan VIP seperti ini.Suara knop pintu yang dibuka, membuat perhatian Azizah teralihkan. Wanita itu menatap pintu yang dengan perlahan terbuka, sedetik kemudian terlihat seorang pria tersenyum kepada Azizah dari jarak cukup jauh.Azizah menghela nafasnya pelan, seseorang yang ditunggu olehnya selama 15 menit akhirnya datang, sehingga membuatnya tidak perlu berlama-lama berada di ruangan ini. Mengingat ada kedua orangtuanya yang menunggunya, dan Arlin yang ia rindukan.“Pasti Carisa menghubungi Darino atas hilangnya Carlinta,” tukas Fernandra setelah duduk di kursi kosong yang berhadapan dengan Azizah. Ia tersenyum penuh arti kepada Azizah yang menatapnya dengan kedua mata yang menyipit.“Kamu yang melakukann
Azizah terkekeh setelah mengatakannya, ia menunduk dan memperhatikan kedua kakinya yang bergerak mengayun maju-mundur. Sedangkan Darino hanya terdiam dengan ekspresi wajah yang datar.“Sakit, kecewa, sedih dan miris,” ucapnya dengan suara, tersenyum tipis. “Aku tidak menyangka saja, ternyata drama ini terjadi kepadaku, dan rumah tanggaku menjadi pemerannya,” lanjutnya.Perempuan itu menoleh, menatap Darino yang tengah menatapnya. “Kamu masih mencintainya, Mas?” tanyanya, harapannya pria yang sedang bersamanya ini menjawab tidak.“Tidak.”Sesuai dengan harapan Azizah, Darino menjawab tidak. Setidaknya Azizah bisa memikirkan rencana berikutnya, walaupun bayang-bayang Darino yang tertawa bersama Carisa terus berputar di otak kecilnya.Darino menghela nafasnya secara perlahan, menggenggam tangan istrinya, lalu tersenyum manis. “Maaf … aku tidak bermaksud berbohong kepadamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengusap punggung tangan Azizah yang hangat.Azizah menatap Darino dengan kedua matan
“BRENGSEK!”Seorang perempuan berteriak saat lehernya dicengkram kuat oleh seorang pria mengenakan kemeja berwarna hitam lengan panjang dengan lengan yang dilipat hingga siku, kedua mata perempuan itu melebar saat bertemu tatap dengan kedua mata tajam milik pria yang datang.“Halo, Carisa. Long time no see,” sapa pria itu, nada suaranya rendah dan penuh penekanan, ditambah smirk smile yang ditunjukan oleh pria itu kepada perempuan yang ada dihadapannya saat ini.“Kamu tahu? Aku senang bertemu denganmu saat ini,” lanjutnya, diakhiri dengan terkekeh. Fernandra Aurinta, ia mendorong masuk Carisa ke dalam rumah yang sangat sepi, hanya ada mereka berdua di sini.“Apa kamu senang bertemu lagi denganku, hm?” bisiknya, lagi-lagi dirinya terkekeh.Sementara itu Carisa sedang berusaha keras untuk menarik tangan kekar Fernandra menjauh dari lehernya, karena jika tidak … Carisa bisa kehabisan nafas dan meninggal. Carisa menggelengkan kepala, perempuan itu tidak ingin mati muda.“MAU APA KAMU?!”F
“Carissa dan Carlinta sepupuan?” gumam Azizah, menatap daddynya yang menganggukkan kepala. “Jadi?” tambahnya dengan suara pelan.Januar bergumam pelan, “Mereka bekerjasama untuk menghancurkan rumah tangga kamu dan Darino.” Ia menegakkan tubuhnya, menatap serius putrinya yang tidak mengalihkan atensi sedikitpun darinya.“Pilihannya ada dua. Kamu pertahanin hubungan kamu dan Darino, atau kamu selalu berantem sama Darino untuk mengelabuhi mereka,” tegasnya.Karisya hanya terdiam, mendengarkan perbincangan antara suaminya dan putrinya. Dirinya sudah tahu dari awal, bahkan dirinya yang mendapatkan fakta-fakta tersebut dari orang-orang kepercayaannya yang ditugaskan untuk meretas data informasi dari Carissa dan Carlinta.“Lalu bagaimana dengan Nandra?” tanya Azizah, menatap kedua orangtuanya silih berganti. “Aku tidak bisa memutuskannya begitu saja dengan alasan aku bisa mencari tahunya sendiri,” lanjutnya.Hening, tidak ada yang berbicara diantara keduanya. Januar dan Karisya terdiam, memb
“Kamu serius?”Azizah menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan Daddy kepadanya. Ia menegakkan tubuhnya, “Seratus persen serius setelah Nandra memberikan banyak bukti kepadaku.”Karisya menghela nafas setelah mendengar apa yang diucapkan oleh putrinya itu. Fernandra, mantan kekasih Azizah yang sangat ditentang olehnya karena pria itu sangat toxic, dan dirinya lah yang menyuruh Azizah untuk memutuskan hubungan keduanya dengan ancaman Azizah akan tampil di publik.Bukan hanya itu, Azizah akan menjadi penerus Karisya. Karisya akan memberikan sepenuhnya tugas dan tanggungjawab terkait Production House yang dimiliki oleh Karisya, Azizah tidak menyukainya dan memilih untuk menurutinya.“Kamu tahu kan dia seperti apa?” tanya Karisya dengan nada yang menggebu-gebu, menatap Azizah yang duduk di single set sofa.Azizah menganggukkan kepala, “Tahu. Dia melakukan pengobatan supaya bisa sembuh, dan yaa satu hari ini aku bersama dia, aku tahu perubahannya.” Ia memberikan ma
“Hai, Mas. Gimana tadi pertemuan antar dosen?” tanya Azizah dengan senyum manisnya setelah menyalimi suaminya yang baru saja pulang. Ia menatap sang suami yang tersenyum kepadanya.“Semua berjalan lancar. Kami cerita banyak hal,” ucap Darino dengan lancar, santai dan tenang.Azizah mengangguk-anggukkan kepala, mengambil alis tas suaminya, lalu melangkah beriringan dengan Darino yang merangkul pinggangnya. “Bahas banyak hal ya berarti? Soalnya sampai larut malam seperti ini,” tuturnya.Azizah sedang bersikap biasa saja, berusaha percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya dan seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Azizah ingin tahu, seberapa jauh dan sebanyak apa suaminya itu berbohong.Darino menganggukkan kepala, “Banyak, Sayang. Awalnya membahas tentang peraturan kampus, BEM, sampai akhirnya main game,” ucapnya, menatap sang istri yang melangkah disisinya.“Wah seru banget yaa, Mas. Seandainya boleh membawa orang luar, pasti aku bakalan ikut merasakan keseruan kal
“Aku kira kamu tidak akan datang.”Azizah menatap datar seorang laki-laki yang duduk di sudut ruangan, terhalang oleh pilar. Ia mengambil posisi duduk di sebelah laki-laki itu, tentunya jaga jarak karena ini menyalahkan aturan.Azizah masih sebagai istri sah dari Darino, dan tidak seharusnya dirinya bertemu dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuan Darino. Tetapi itu tidak penting.“Di luar, sedikit nyerong,” ujar laki-laki itu, menatap Azizah yang mengikuti arahannya. “Dia izin atau tidak sama kamu?” tanyanya.Azizah menarik nafasnya perlahan, lalu mengembuskannya melalui hidung. Ia menoleh, kedua matanya bertemu dengan kedua mata laki-laki yang sedang bersamanya saat ini.“Ini bukan rencana kamu kan, Fernandra Aurinta?” tanya Azizah dengan suaranya yang pelan, tetapi penuh penekanan. Ia berharap, laki-laki yang sedang bersamanya ini tidak memiliki niat buruk kepadanya.Fernandra menaikkan sebelah alisnya, lalu tertawa pelan. Ia meraih gelas yang berisi kopi, menyeruputnya sedikit, d