5. Siapa itu CH?

Pada malam ini, Carisa mengenakan pakaian super ketat dan seksi, sementara Darino mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan suasana hatinya yang gelap. Mereka berada di sebuah restoran, di dalam ruangan VIP yang dipesan oleh Carisa. Darino merasa dijebak, suasana ruangan yang seharusnya mewah terasa menyesakkan.

Carisa menghela napas panjang, matanya menatap Darino dengan tatapan yang sulit diartikan. "Silakan duduk, Darino," katanya dengan nada suara yang berusaha terdengar santai, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

Darino tetap berdiri sejenak, menimbang-nimbang situasi sebelum akhirnya duduk dengan enggan. Ia merasakan dinginnya kursi di bawahnya, seolah mencerminkan suasana hatinya yang penuh kecurigaan. Carisa duduk di seberangnya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang penuh riasan.

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Darino, suaranya datar namun tegas, mencoba mengendalikan situasi.

Carisa mengangkat bahu, memainkan rambutnya dengan jari-jari yang lentik. "Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, Darino. Kamu terlihat sangat tertekan akhir-akhir ini."

Darino menatap Carisa dengan mata yang tajam, tidak terpengaruh oleh sikap manisnya. "Aku baik-baik saja, Carisa. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."

Suasana menjadi canggung, keheningan yang menggantung di antara mereka terasa berat. Carisa menggeser duduknya sedikit lebih dekat, membuat Darino semakin tidak nyaman. "Kamu tahu, Darino, aku selalu ada untukmu. Jika ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan, aku siap mendengarkan."

Darino menggelengkan kepala, menolak tawaran itu dengan tegas. "Tidak. Aku tidak butuh bantuanmu. Aku bisa mengatasi semuanya sendiri."

Carisa menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Baiklah, Darino. Tapi ingat, pintu selalu terbuka jika kamu berubah pikiran." Nada dalam suaranya terdengar hampir mengancam. Dengan tatapan penuh ketegangan, Darino berdiri lagi. Namun, Carisa tidak bergerak, hanya menatapnya dengan senyuman kecut. 

"Kenapa kamu terus mendekatiku?" Darino bertanya dengan nada yang lebih tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas di dalamnya. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"

Carisa berpaling sejenak, melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong. "Mungkin aku hanya ingin melihat apakah kamu masih peduli," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Aku sudah lama tidak melihatmu seperti ini."

Darino mengerutkan kening, merasa bahwa ada lebih banyak yang tersembunyi di balik kata-kata Carisa. "Carisa, ini bukan tentang peduli atau tidak. Kamu tahu bahwa aku sudah memiliki hidupku sendiri sekarang."

Carisa menatapnya kembali, dengan mata yang hampir memohon. "Kadang-kadang aku berharap bisa kembali ke masa lalu, ketika semua tampak lebih sederhana."

Darino menghela napas, merasa simpati meski tetap waspada. "Masa lalu sudah berlalu. Kita tidak bisa kembali ke sana. Yang bisa kita lakukan adalah maju ke depan dan memperbaiki apa yang ada sekarang."

Carisa mengangguk perlahan, meskipun ada kesedihan yang tetap menggantung di wajahnya. "Kamu benar. Aku hanya berharap... semoga kamu bahagia, Darino."

Darino merasa lega mendengar kata-kata itu, meskipun hatinya masih berat dengan segala kebingungan yang ada. "Aku harap kamu juga menemukan kebahagiaan, Carisa.”

Dengan anggukan terakhir, Carisa akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Darino melihatnya berjalan keluar dari ruangan VIP dengan langkah yang lambat, meninggalkannya sendirian dengan pikiran yang berputar-putar. Meskipun suasana hati Darino tetap berat, ada sedikit rasa lega mengetahui bahwa pertemuan ini bisa menjadi langkah pertama dalam menyelesaikan masa lalu yang rumit.

Suasana ruangan VIP yang sunyi menyelimuti Darino. Ia menatap ke arah jendela, memikirkan semua percakapan yang baru saja terjadi. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih fokus pada keluarganya dan menghindari masa lalu yang hanya membawa kebingungan dan kesedihan.

“Semoga keputusan aku ini yang terbaik. Aku harap begitu ….”

*

Azizah menoleh saat mendengar langkah kaki yang semakin mendekat kepadanya, dirinya tersenyum kepada Darino yang tersenyum lebar kepadanya. Begitupun dengan Arlin yang ikut menoleh.

“PAPAAA ….”

“Hei … kamu menggambar apa ini?” tanya Darino setelah duduk disebelah Arlin, atensinya tertuju kepada gambar mobil yang hanya ada enam pintu. “Kamu ingin menjadi designer, hm?” lanjutnya.

Arlin menggelengkan kepala, “Aku hanya iseng saja. Soalnya dari banyaknya mobil yang punya seat tiga kursi, kan yang duduk di kursi belakang itu harus lewat kursi tengah, jadinya kan ribet ya, Pah? Yaudah deh aku bikin ini aja.”

Darino tertawa ringan, ia mengacak puncak kepala Arlin dan membuat putrinya itu mendengus kesal. “Itu namanya kamu ingin menjadi designer untuk mobil. Tidak apa-apa, Papa selalu mendukung keputusan kamu,” tuturnya, mengecup pipi Arlin.

“Aku maunya jadi guru kaya Papa,” ucap Arline, menatap Darino yang menaikkan sebelah alis.

“Guru juga ada banyak bidangnya.”

Arlin bergumam pelan, mengetukkan jari telunjuknya di dagu. “Aku mau jadi perancang busana terkenal,” ocehnya dengan suara yang menggemaskan.

“Bagus dongg … Nanti Papa buatkan butik dan Papa promosikan ke rekan kerja Papa supaya mereka bisa melihat desain-desain yang sangat bagussss dan langka,” balas Darino, tersenyum lebar kepada Arlin yang mengangkat jari kelingking ke udara.

“Janji?”

“Janji.”

Azizah yang melihat interaksi keduanya membuat hatinya menghangat. Jika seperti ini jadinya, ia tidak akan menyesali keputusannya untuk kembali ke rumah dan berkumpul lagi menjadi keluarga yang utuh.

*

Azizah terbangun tengah malam, meraba sisi kirinya yang kosong. Ketika menyadari Darino tidak ada di sampingnya, hatinya mulai resah. Ia menyalakan lampu, memandang tempat tidur yang sepi sebelum menghela napas panjang. Berusaha menenangkan diri, Azizah bangkit dan memutuskan mencari Darino.

Langkah-langkahnya yang pelan menghantarkan dirinya keluar kamar, menyusuri lorong rumah yang sepi dan gelap. Hingga akhirnya, ia menghentikan langkah saat mendengar suara dari arah halaman belakang. Dengan hati-hati, ia mendekat, mendengar percakapan samar yang terjalin di malam yang sunyi.

"Besok kita bertemu ... lokasinya besok aku dikirim ...." 

Suara Darino terdengar jelas di telinganya. Azizah membeku sejenak, dadanya berdebar kencang. Pikiran buruk mulai berseliweran di benaknya, namun ia berusaha tetap tenang. Ia melangkah mendekati Darino, yang tampak terkejut dan segera mematikan sambungan telepon.

"Darino, kamu sedang apa di sini?" tanya Azizah dengan nada tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang dirasakannya. Tatapannya tetap lurus, berusaha membaca ekspresi suaminya.

Darino tersentak, matanya membelalak sebelum akhirnya mengatur kembali wajahnya menjadi tenang. "Azizah, aku ... aku … ya, aku mendapatkan telepon penting," jawabnya, berusaha terdengar wajar.

Azizah mengangguk pelan, pura-pura tidak mendengar percakapan sebelumnya. "Baiklah, ayo kita kembali tidur," katanya sambil berbalik menuju kamar. Namun, dalam hatinya, ia tidak bisa menghilangkan rasa curiga.

Setelah mereka kembali ke kamar, Darino berusaha tidur dengan cepat. Namun, Azizah tetap terjaga, pikirannya berputar-putar memikirkan telepon misterius yang baru saja didengarnya. Ketika Darino akhirnya tertidur, Azizah dengan hati-hati mengambil ponsel suaminya yang tergeletak di meja samping tempat tidur.

Dengan jantung yang berdebar kencang, ia membuka ponsel tersebut, mencari daftar panggilan terakhir. Matanya melebar saat melihat nama terakhir yang dihubungi oleh Darino.

“CH? Carisa Hargantasya?”