Azizah kembali pulang ke rumah bersama Arlin setelah beberapa hari berlalu. Arlin sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan Darino, wajahnya memancarkan keceriaan yang sudah lama hilang.
"Papa!" seru Arlin sambil berlari ke pelukan Darino yang sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh harap.
Darino merangkul putrinya erat-erat, merasakan kehangatan keluarga yang hampir hilang. "Arlin, Papa rindu sekali padamu," katanya dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca melihat kebahagiaan putrinya. Dia mengecup kedua pipi putrinya dan tersenyum terharu.
Azizah berdiri di belakang, menatap momen tersebut dengan hati yang campur aduk. Meski ia masih menyimpan kekecewaan dan kemarahan, ia tahu bahwa pertemuan ini penting bagi Arlin.
Setelah beberapa saat, ia mengambil napas dalam-dalam dan melangkah maju. "Darino, kita perlu bicara," katanya dengan nada tegas tapi tenang.
Darino menatap Azizah dengan tatapan penuh harap. "Tentu, Azizah. Aku siap menjelaskan semuanya."
Mereka berdua duduk di sofa, Arlin bermain dengan mainannya di sudut ruangan, bahagia dalam ketidaktahuan. Azizah menipiskan bibirnya, menatap Darino yang terdiam disisi kanannya.
“Pulpen itu milik mahasiswiku yang aku pinjam karena aku lupa untuk membawa pulpenku yang tertinggal dan saat itu aku harus mengkoreksi tugas mereka,” jelas Darino setelah mengumpulkan keberanian.
“Dua hari setelahnya, pas aku selesai kelas sore, salah satu mahasiswiku itu datang ke ruangan untuk meminta kembali pulpen yang sempat aku umumkan di sosial media yang aku punya,” tambahnya dengan tutur katanya yang lembut.
Azizah mengerjapkan kedua matanya, mendengarkan suaminya yang sedang berbicara, dan memperhatikan kedua mata pria yang sudah bersamanya hampir tujuh tahun ini. Azizah tahu bagaimana Darino berbohong, dan saat ini pria itu tidak berbohong.
Ya, Darino mengatakan yang sejujurnya.
“Bagaimana caranya kamu kefikiran untuk mengumumkan di sosial media? Itu aneh menurutku karena hanya sebuah pulpen.”
Darino menghela nafas beratnya, meraih dan menggenggam tangan sang istri cukup erat. Bayangan tentang dirinya di kurung di sebuah gudang, Azizah yang mengatakan ingin cerai dan Azizah pergi bersama pria lain, sudah menghantui fikirannya selama dua hari.
“Kamu meminta cerai dan kamu memilih pria lain,” ucap Darino, menatap Azizah yang terdiam sejenak. Cukup lama, sekitar sepuluh detik lalu terdengar suara tertawa milik Azizah yang berhasil membuat Darino mendelik.
“Kamu mimpi?” tanya Azizah setelah tawanya bisa dikendalikan. Darino hanya menjawabnya dengan bergumam pelan. “Aku sedang hamil. Bagaimana bisa aku mengajukan cerai? Sudah pasti ditolak,” imbuhnya.
Darino terdiam sejenak. Apa yang dikatakan Azizah memang benar. Jika istri sedang hamil, tidak boleh mengajukan gugatann cerai ke pengadilan, setelah bayi lahir boleh kembali mengajukan gugatan jika memang sudah tidak bisa dipertahankan.
Azizah menaruh tangan kirinya diatas tangan Darino, seperti bertumpuk. Ia tersenyum kepada sang suami yang sedang menatapnya. Saat dirinya ingin bersuara, ponsel milik Darino membuatnya dan sang empu menoleh.
PRANG!
Dengan gerakan cepat, Azizah meraih ponsel tersebut dan melemparkannya ke lantai, menghancurkan layar ponsel itu menjadi serpihan.
"AZIZAH … Kenapa kamu lakukan itu?" teriak Darin, suaranya penuh dengan kemarahan dan frustasi. "Itu hapeku! Kamu tidak bisa sembarangan merusaknya!" tambahnya dengan emosi yang sudah tidak bisa ditahan.
Azizah menatap Darino dengan mata berkilat marah. "Ini semua karena dia, Darino! Setiap kali kita mencoba berbicara, selalu ada Carisa yang mengganggu!" Suaranya menggema di ruangan, membuat Arlin yang sedang bermain berhenti sejenak dan menatap bingung ke arah orang tuanya.
Darino berdiri, menahan diri untuk tidak membalas kemarahan Azizah dengan lebih banyak kemarahan. "Azizah, kamu harus tenang. Aku tahu ini sulit, tapi merusak ponsel tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita harus bicara dengan kepala dingin."
Azizah menghela napas berat, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku ingn memperbaiki hubungan kita yang sempat renggang, dan dirusak sama Carisa. Kamu tahu? Aku datang dengan nekat disaat Mommy dan Daddy melarangku untuk kembali ke rumah ini!."
Darino mendekat, berusaha meraih tangan Azizah, namun Azizah menepisnya. “Azizah ….” Suaranya selembut sutra, tidak ada lagi nada tinggi seperti sebelumnya, ia sedang menahan diri untuk tidak menyakiti Azizah.
Di tengah ketegangan itu, Arlin datang mendekat, menarik-narik baju mamanya. "Mama, Papa, kenapa kalian bertengkar?" tanyanya dengan wajah polos, membuat suasana menjadi lebih berat.
Azizah mengusap kepala Arlin, berusaha tersenyum meski hatinya terasa hancur. "Tidak apa-apa, Sayang. Mama dan Papa hanya sedang berbicara."
Melihat putrinya, Azizah menyadari bahwa apapun yang terjadi, keluarga mereka harus tetap utuh. Ia menempatkan kedua tangannya di kedua bahu Arlin, lalu berkata, “Kamu masuk kamar yaa. Cuci muka, sikat gigi, nanti Mama bawakan susu hangat untukmu.”
Arlin tersenyum lebar, kepalanya mengangguk-angguk dan mendekati sudut ruangan untuk dibereskan sebelum akhirnya menaiki anak tangga untuk tiba di kamar miliknya.
“Azizah … maafkan aku kar–”
Azizah mengangkat tangannya ke udara, menghela nafas panjangnya. Ia menoleh untuk bisa bertatapan dengan Darino yang menghentikan ucapan dan menatapnya dengan tatapan bersalah.
“Kita bicara lagi besok. Malam ini aku tidur bersama Arlin. Selamat malam.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Azizah berdiri dan melenggang pergi dengan membawa koper miliknya. Menghindar dan menenangkan fikiran pada malam ini merupakan pilihan yang terbaik untuk mereka.
Azizah berhenti sejenak untuk menengadahkan wajahnya supaya tidak ada airmata yang mengalir, dia tidak ingin Arlin ikut bersedih jika melihat dirinya menangis. Sedangkan Darino berdiri kaku di ruang tamu, tanpa disadari kedua matanya berkaca-kaca.
“Maaf aku sudah membentakmu ….” lirih pria itu setelah Azizah menaiki anak tanga satu persatu hingga masuk ke salah kamar yang ada di lantai dua.
*
Azizah duduk sendirian di sudut kamar, cahaya redup dari lampu malam menerangi wajahnya yang termenung. Ia memegang ponsel dengan jemari yang gemetar, mengingat momen-momen ketegangan dengan Darino.
Dalam keheningan malam, Azizah merasa berat karena telah berburuk sangka terhadap suaminya sendiri. Nafasnya terhela dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Malam ini, Azizah bertekad untuk memperbaiki hubungan mereka, apapun yang terjadi.
Esoknya, saat matahari mulai menyinari rumah mereka dengan lembut, Azizah dan Darino duduk di ruang tamu. Dengan hati-hati, mereka mulai berbicara. "Darino, aku minta maaf," suara Azizah lembut namun penuh dengan ketulusan. "Aku merasa bersalah karena telah berburuk sangka padamu."
Darino menatap Azizah dengan mata yang lembut, kemudian mengangguk pelan. "Aku juga minta maaf, Azizah. Seharusnya aku lebih bisa menahan emosiku."
Suara Darino terdengar penuh penyesalan, namun ada harapan di dalamnya. Mereka berbicara panjang lebar, menyuarakan semua kekhawatiran dan perasaan yang telah lama terpendam.
"Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu," kata Azizah pelan, menatap mata Darino dengan penuh harap.
"Aku juga, Azizah. Aku ingin kita lebih kuat dari sebelumnya," jawab Darino. Ia memberikan ponselnya kepada sang istri, “Aku membeli baru dan nomor baru. Hanya ada nomor kamu dan rekan sesama dosen.”
Azizah tertegun sejenak, namun kemudian senyum lega muncul di wajahnya. "Lalu bagaimana dengan data-data kamu? Pastinya penting, kan?” tanyanya setelah membuka ponsel milik suaminya.
“Aku menyimpannya di email, jadi bisa aku pulihkan setelah masuk menggunakan email. Tidak apa-apa, bukan suatu masalah yang besar,” tutur Darino dengan suara lembut, membelai surai panjang wanitanya.
Azizah terdiam sejenak, tatapannya menajam membaca pesan masuk dari nomor baru.
“Mas ….”
“Ya, Sayang?”
“Carisa punya nomor baru kamu?”
Pada malam ini, Carisa mengenakan pakaian super ketat dan seksi, sementara Darino mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan suasana hatinya yang gelap. Mereka berada di sebuah restoran, di dalam ruangan VIP yang dipesan oleh Carisa. Darino merasa dijebak, suasana ruangan yang seharusnya mewah terasa menyesakkan.Carisa menghela napas panjang, matanya menatap Darino dengan tatapan yang sulit diartikan. "Silakan duduk, Darino," katanya dengan nada suara yang berusaha terdengar santai, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Darino tetap berdiri sejenak, menimbang-nimbang situasi sebelum akhirnya duduk dengan enggan. Ia merasakan dinginnya kursi di bawahnya, seolah mencerminkan suasana hatinya yang penuh kecurigaan. Carisa duduk di seberangnya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang penuh riasan."Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Darino, suaranya datar namun tegas, mencoba mengendalikan situasi.Carisa mengangkat bahu, memainkan rambutnya dengan jari-jari yang lentik
“Mas ….”Azizah menatap suaminya yang memakai jam tangan dihadapannya saat ini, perasaannya bimbang, antara ingin bertanya dan melupakan. Bukan hal mudah untuknya membahas kontak nama CH yang ada di ponsel sang suami.Darino yang sudah selesai memakai jam tangannya pun menatap Azizah yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh arti, sehingga membuatnya sulit untuk memahaminya.“Kenapa, Sayang?” tanya Darino dengan suara yang lembut, ia mengusap puncak kepala sang istri. Salah satu cara untuk menenangkan Azizah yang mungkin sedang banyak fikiran, sementara itu Azizah hanya bergeming memperhatikan Darino.Azizah menggelengkan kepala dengan senyum manisnya, “Tidak jadi, Mas,” tuturnya dengan suara yang lembut. Ia merapihkan rambut sang suami yang sedikit berantakan dengan jari lentiknya.“Hari ini cuma satu kelas?” tanya wanita itu, dijawab dengan anggukkan kepala.“Tapi aku pulangnya telat. Selesai kelas jam dua belas, lanjut acara makan-makan sama dosen lainnya. Ada yang nikah, terus n
Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekalig
Azizah melangkahkan kaki jenjangnya mendekati gadis kecil yang duduk di ayunan bersama dengan seorang bocah laki-laki yang duduk disebelah gadis kecil itu. Dirinya datang bersama dengan Carlinta-Mama dari bocah laki-laki yang sedang bersama putrinya.“MAMA ….”Azizah tersenyum manis kepada putrinya yang turun dari ayunan dan berlari kecil mendekatinya. “Hei … sudah lama menunggu? Maaf ya Mama telat jemput kamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengecup kedua pipi Arlin.Carlinta merangkul putranya yang berdiri disisi kanannya saat ini. “Ms. Carisa tidak datang hari ini?” tanyanya, menatap putranya yang mendongak supaya bisa bertatapan dengannya.Azizah berdiri dengan menggenggam tangan Arlin, menatap Carlinta yang langsung to the point. Ia menyenggol lengan Carlinta saat sudut matanya menangkap pergerakan seorang perempuang yang keluar dari salah satu ruangan, dan melangkah mendekat.“Datang kok. Tadi Ms. Carisa juga kasih tugas ke kami,” jawab Nadi, kedua matanya memperhatikan mamanya
Azizah memperhatikan suaminya, Darino, yang sedang mencuci tangan di wastafel. Tatapannya berpindah ke putri kecil mereka yang sedang menghabiskan sepiring pudding dengan vla rasa vanilla. Senyumnya sedikit merekah melihat kebahagiaan sederhana putrinya.TING!Tiba-tiba suara dentingan ponsel Darino menarik perhatian Azizah. Ponsel itu tergeletak di meja sebelahnya. Azizah menaikkan sebelah alisnya, tanda keheranan. "Mas, ada pesan masuk," katanya, suaranya terdengar lembut namun penuh tanda tanya.Darino mematikan keran air, menepuk-nepuk tangannya dengan handuk sebelum melangkah mendekati Azizah yang duduk di kursi satu set dengan meja makan. Ada sedikit kerutan di dahinya saat ia meraih ponselnya. Azizah memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menangkap ekspresi apa pun yang mungkin menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut."Siapa yang mengirim pesan, Mas?" tanya Azizah dengan nada sehalus mungkin, meski hatinya berdebar kencang.Darino membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut.
Azizah menghela nafasnya secara perlahan, ingatannya kembali pada pesan yang diterima oleh Darino dari nomor yang tidak disimpan oleh Darino, tetapi pengirim pesan menyebutkan nama.Carisa, perempuan itu yang mengirim pesan kepada Darino. Isi pesan yang dikirim oleh Carisa; Mas, nomor 204 hotel Hardenz. Selang beberapa detik diunsend, dan kembali mengirim pesan yang berisi ‘Sorry salah kirim’.Azizah memperhatikan suaminya yang tidur di sofa yang ada di sudut kamar. “Aku tahu itu bukan salah kamu, tapi aku cape, jadi pelampiasannya ke kamu,” ucapnya, mengusap wajahnya gusar.Azizah menyikap selimutnya, lalu melangkahkan kaki mendekati Darino. Bagaimanapun juga pria itu masih menjadi suaminya, dan Darino sudah mengambil keputusan tadi malam.‘Apa?’ tanya Azizah, menatap Darino yang berdiri dihadapannya saat ini. ‘Kalau kamu yang bertindak, besok aku akan ke rumah Bunda sama Ayah. Aku kembali ketika kamu sudah mengurus dan membuat Carisa berhenti mengganggu keluarga kita,’ imbuhnya.‘Bi
Darino dan Carisa bertemu di sebuah kafe yang tenang. Carisa tampak senang saat mengetahui Darino mengajaknya berbicara berdua, senyum manis menghiasi wajahnya. Di sisi lain, Darino merasa berat hati untuk bertemu dengan Carisa, namun ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan."Carisa, aku minta tolong, mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku," katanya dengan nada tegas. Carisa terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Oke," jawabnya singkat, senyum di wajahnya tetap terjaga.Darino merasa sedikit lega walaupun dirinya seperti tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Carisa.“Aku serius. Jangan pernah lagi menghubungiku,” tekannya sekali lagi, kali ini lebih tegas supaya ucapannya tidak dianggap main-main oleh Carisa yang bergumam pelan dan kepala yang mengangguk-angguk. “Aku juga tidak akan menghubungimu lagi. Kamu tenang saja, Darino. Lagipula, tanpa aku menghubungimu, kamu yang mendekat dan mengajaknya untuk bertemu seperti ini, kan?” oceh Carisa d
Beberapa jam yang lalu ….Azizah menatap kedua mata suaminya yang penuh perhatian. "Mas, aku punya ide supaya Carisa tidak lagi mengganggu kita," katanya dengan nada tegas namun penuh harap.Darino mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Azizah. "Apa idemu, Sayang?" tanyanya, benar-benar ingin tahu.Azizah menghela napas sejenak, memastikan bahwa suaminya siap mendengarkan dengan serius. "Aku akan menyewa laki-laki untuk membuat Carisa malu di khalayak umum. Aku punya uang untuk menyewa, jadi kamu tidak perlu memikirkan biayanya," jelasnya, menaik-turunkan kedua alisnya.“Apa kamu yakin akan berhasil?”Azizah bergumam pelan, mengendikkan kedua bahunya, “Tidak tahu, tapi aku yakin sih bakalan berhasil. Aku ngehubungin orangnya kalau kamu setuju.” Kedua matanya menatap Darino dengan tatapan penuh harap.Darino mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Setelah beberapa detik merenung, ia menyunggingkan senyum, me
Azizah menghela nafas lega setelah duduk di jok penumpang, ia menoleh ke sisi kanan lantas tersenyum saat suaminya menatapnya. “Lega bangett. Perasaan aku itu lebih plong setelah bicara sama Carisa,” tuturnya.Darino ikut tersenyum tipis melihat ekspresi wajah istrinya yang lebih cerah dibandingkan beberapa saat yang lalu. Raut wajah Azizah sangat tidak bersahabat sebelum bertemu Darnius dan Carisa, tetapi semua itu sirna setelah bertemu keduanya.“Kamu tidak membully mereka, kan?” tanya Darino, dijawab dengan gelengan kepala cepat. “Hanya bicara santai?” tanyanya, lagi.Azizah menganggukkan kepala, mengalihkan atensi menatap lurus ke depan. Ia dan suami masih berada di basement rumah sakit, belum pergi dari area rumah sakit. Hening, sunyi dan sedikit gelap, tidak membuatnya takut.“Aku cuma mengatakan apa yang seharusnya aku katakan,” ucap Azizah tanpa menoleh, memberi jeda sebelum akhirnya kembali berbicara. “Aku bilang sama Carisa, aku bisa membawa kasus ini ke jalur hukum, dan aku
Azizah membuka pintu ruangan dihadapannya saat ini, melangkah lebih masuk ke dalam ruangan VIP tempat Carisa dirawat. Tentunya diikuti oleh Darino yang setia melangkah dibelakang Azizah tanpa bersuara.“Azizah ….”Azizah tersenyum saat namanya dipanggil dengan sangat pelan, ia berdiri di sisi kiri brankar rumah sakit. Kedua matanya bertemu dengan kedua mata Carisa yang sedang menatapnya, mereka saling menatap satu sama lain selama tiga menit.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Azizah dengan tenang, suaranya sangat lembut, kedua sudut bibirnya terangkat mengukir senyuman.“Kamu tahu darimana aku disini?” tanya Carisa tanpa menjawab pertanyaan dari Azizah, kedua matanya memperhatikan gerak-gerik wanita di sampingnya.Azizah bergumam pelan, “Fernandra. Dia yang nolongin kamu. Jadi wajarkan kalau aku tahu kamu disini?”Darino hanya terdiam memperhatikan kedua wanita di depan yang sedang berbicara. Raut wajahnya khawatir, bukan khawatir terhadap istrinya yang akan diapa-apakan Carisa, tetapi kha
Azizah menghela nafasnya secara kasar setelah keluar dari ruangan yang sangat panas menurutnya. Ia menyugar surai panjangnya dengan ruas jari jemarinya yang lentik, lalu menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat.“Sudah?” tanya Fernandra setelah kedua kakinya berhenti tepat dihadapan Azizah, ia datang bersama Darino yang sedang menatap lekat Azizah.Azizah menganggukkan kepala, tersenyum kecil kepada Fernandra. “Kata kamu, Carisa sudah siuman?” tanyanya, dijawab dengan bergumam.Darino yang berada diantara kedua insan yang pernah memiliki hubungan dimasalalu itu hanya terdiam sambil memperhatikan gerak-gerik keduanya. Perlu diingatkan kembali, ia tidak seberani dan sepintar Azizah.“Aku ingin bertemu dengannya.”Penuturan Azizah membuat Darino menatap istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan, sedangkan Fernandra menyunggingkan senyumnya.“Sure. Tapi kamu yakin tidak akan terjadi apa-apa?” tanya Fernandra, menatap Azizah yang menaikkan sebelah alis. “I mean, kamu tida
Azizah berdiri dihadapan seorang pria yang duduk dengan kedua tangan dan kedua kaki diikat. Darnius, pria itu mengangkat kepala berani, menatap Azizah yang hanya terdiam memperhatikan dengan kedua mata yang menajam mengarah kepadanya. Situasi menengangkan hadir diantara mereka.“Aku tidak tahu apa yang ada difikiranmu sampai begini,” ucap Azizah tenang, memecahkan keheningan diantara dirinya dan Darnius. Ia melangkah maju, berdiri di dekat meja yang terdapat sebuah remot berwarna hitam.“Aku tidak pernah mengganggumu, tetapi mengapa kamu mengganggu keluargaku, Darnius?” lanjutnya penuh penekanan. Azizah tidak bisa lagi memperlihatkan sisi baiknya dihadapan Darnius.Darnius hanya terdiam, memperhatikan wanita yang menjadi targetnya, wanita yang terlihat lemah lembut waktu itu, kini tidak ada lagi ekspresi bersahabat yang biasanya diperlihatkan kepadanya.Azizah menyunggingkan senyum miringnya, melipatkan kedua tangannya di dada. Kedua matanya menajam mengarah ke posisi Darnius yang dud
DOR!DOR!DORR!Suara tembakan terdengar nyaring di kedua telinga Azizah yang saat ini sedang berdiri di depan kamar Arlin, bahkan pergerakan tangan wanita itu terhenti.Azizah mengedarkan atensi, mencoba untuk mencari apa yang menjadi sasaran dari suara tembakan yang tiba-tiba memekikkan telinga. Namun, nihil. Tidak ada barang yang pecah, sehingga membuatnya dengan cepat membuka pintu kamar putrinya.“Sayang ….” Azizah berlari mendekati putrinya yang gemetar dalam dekapan Darino. Ia mengambil alih putrinya, lalu menatap suaminya yang sedang terdiam membeku di tempat.Bukan, tidak ada darah atau luka di tubuh Darino. Hanya saja, Darino terkejut, sehingga membuat pria itu tidak bisa mencerna situasi secepat biasanya.“Mas … kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Azizah dengan suaranya yang lembut, tetapi terselip nada khawatir melihat suaminya yang sedang menatapnya.Darino tersadar setelah berhasil mengumpulkan kembali nyawanya. Ia menganggukkan kepala, membawa kedua wanita yang sangat ia sa
“Kalau kamu belum siap, aku bisa mengulur waktu sampai kamu siap.”Azizah mengetukkan jari ke meja kaca berkali-kali, kalimat itu terus berputar seperti kaset rusak yang memenuhi otak kecil yang dimiliki olehnya.Banyak pertanyaan yang membuatnya berfikir ulang, bagaikan sedang mengikuti lomba lari jarak pendek 10 kali putaran. Berkali-kali, banyak spekulasi lain-lain yang kemungkinan terjadi, dan tidak mungkin terjadi.“Sayang ….”Suara berat itu mengejutkannya, membuat Azizah kembali tersadar dari lamunannya. Wanita itu menoleh, tersenyum manis saat bertemu tatap dengan kedua mata suaminya yang tengah menatapnya.“Kamu lagi mikirin apa, hm?” tanya Darino dengan suara lembut, mengusap punggung tangan wanitanya yang berada di atas meja.Azizah tersenyum kecil setelah mendengar pertanyaan yang diajukan Darino kepadanya. Antara yakin dan tidak untuk mengatakan apa yang sedang ia fikirkan saat ini. Anta
Azizah menghentikan langkahnya saat melihat tiga pria berbadan besar berdiri di depan pintu rawat inap, ia menaikkan sebelah alisnya, memperhatikan wajah ketiga pria dihadapannya saat ini. Lorong rumah sakit sangat sepi, dikarenakan saat ini ia sedang berada di lingkup VVIP.Salah satu pria yang berdiri didekat pintu, membukakan pintu dan mempersilahkan Azizah untuk masuk. Wanita itu segera melangkah masuk tanpa menunggu waktu, dan setelah memastikan tidak ada orang lain yang memperhatikannya.Azizah menoleh tepat setelah kakinya menginjakkan lantai keramik ruangan ini, pintu ruangan ditutup, bahkan di kunci dari luar. Ia menghela nafas, lalu mengalihkan atensinya menatap seorang pria yang berdiri di sebelah brankar dengan senyum manis kepadanya.Azizah melangkahkan kakinya
TRING!Fernandra[Foto][Carisa kecelakaan, dan sekarang lagi dibawa ambulance][Foto][Darnius sudah aman. Jadi, kmu bisa menikmati waktu dengan keluargamu tanpa ada gangguan]Darino menghela nafasnya, ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, lalu turun dari mobil. Saat berdiri disebelah mobil, Azizah yang sedang membujuk Arlin itu menarik perhatiannya. Tanpa disadari, kedua sudut bibirnya melengkung mengukit sebuah senyuman.“Mama minta maaf yaa … jangan ngambek dong, sayang … Nanti Nadiw kabur
BRAK!Darino dan Azizah saling melempar pandang satu sama lain, tentu saja dentuman keras itu menarik perhatian Arlin yang langsung bergeser mendekat pintu belakang pengemudi untuk melihat apa yang terjadi dibelakang.Kedua mata gadis kecil itu melebar, telapak tangan menutup mulut yang menganga terkejut melihat sebuah mobil berwarna putih terjepit diantara dua kendaraan berat, truck kontainer.“Oh my god!” Arlin ingin turun untuk melihat kondisi pengemudi mobil sedan putih tersebut, tetapi tidak jadi saat kedua telinganya mendengar bunyi ‘klik’, mendakan pintu mobil di kunci oleh Darino-pengemudi-.“Sudah banyak yang menolong, Arlin,” ujar Darino dengan suara yang rendah dan berat. Bukan drinya tidak memiliki rasa