Azizah kembali pulang ke rumah bersama Arlin setelah beberapa hari berlalu. Arlin sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan Darino, wajahnya memancarkan keceriaan yang sudah lama hilang.
"Papa!" seru Arlin sambil berlari ke pelukan Darino yang sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh harap.
Darino merangkul putrinya erat-erat, merasakan kehangatan keluarga yang hampir hilang. "Arlin, Papa rindu sekali padamu," katanya dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca melihat kebahagiaan putrinya. Dia mengecup kedua pipi putrinya dan tersenyum terharu.
Azizah berdiri di belakang, menatap momen tersebut dengan hati yang campur aduk. Meski ia masih menyimpan kekecewaan dan kemarahan, ia tahu bahwa pertemuan ini penting bagi Arlin.
Setelah beberapa saat, ia mengambil napas dalam-dalam dan melangkah maju. "Darino, kita perlu bicara," katanya dengan nada tegas tapi tenang.
Darino menatap Azizah dengan tatapan penuh harap. "Tentu, Azizah. Aku siap menjelaskan semuanya."
Mereka berdua duduk di sofa, Arlin bermain dengan mainannya di sudut ruangan, bahagia dalam ketidaktahuan. Azizah menipiskan bibirnya, menatap Darino yang terdiam disisi kanannya.
“Pulpen itu milik mahasiswiku yang aku pinjam karena aku lupa untuk membawa pulpenku yang tertinggal dan saat itu aku harus mengkoreksi tugas mereka,” jelas Darino setelah mengumpulkan keberanian.
“Dua hari setelahnya, pas aku selesai kelas sore, salah satu mahasiswiku itu datang ke ruangan untuk meminta kembali pulpen yang sempat aku umumkan di sosial media yang aku punya,” tambahnya dengan tutur katanya yang lembut.
Azizah mengerjapkan kedua matanya, mendengarkan suaminya yang sedang berbicara, dan memperhatikan kedua mata pria yang sudah bersamanya hampir tujuh tahun ini. Azizah tahu bagaimana Darino berbohong, dan saat ini pria itu tidak berbohong.
Ya, Darino mengatakan yang sejujurnya.
“Bagaimana caranya kamu kefikiran untuk mengumumkan di sosial media? Itu aneh menurutku karena hanya sebuah pulpen.”
Darino menghela nafas beratnya, meraih dan menggenggam tangan sang istri cukup erat. Bayangan tentang dirinya di kurung di sebuah gudang, Azizah yang mengatakan ingin cerai dan Azizah pergi bersama pria lain, sudah menghantui fikirannya selama dua hari.
“Kamu meminta cerai dan kamu memilih pria lain,” ucap Darino, menatap Azizah yang terdiam sejenak. Cukup lama, sekitar sepuluh detik lalu terdengar suara tertawa milik Azizah yang berhasil membuat Darino mendelik.
“Kamu mimpi?” tanya Azizah setelah tawanya bisa dikendalikan. Darino hanya menjawabnya dengan bergumam pelan. “Aku sedang hamil. Bagaimana bisa aku mengajukan cerai? Sudah pasti ditolak,” imbuhnya.
Darino terdiam sejenak. Apa yang dikatakan Azizah memang benar. Jika istri sedang hamil, tidak boleh mengajukan gugatann cerai ke pengadilan, setelah bayi lahir boleh kembali mengajukan gugatan jika memang sudah tidak bisa dipertahankan.
Azizah menaruh tangan kirinya diatas tangan Darino, seperti bertumpuk. Ia tersenyum kepada sang suami yang sedang menatapnya. Saat dirinya ingin bersuara, ponsel milik Darino membuatnya dan sang empu menoleh.
PRANG!
Dengan gerakan cepat, Azizah meraih ponsel tersebut dan melemparkannya ke lantai, menghancurkan layar ponsel itu menjadi serpihan.
"AZIZAH … Kenapa kamu lakukan itu?" teriak Darin, suaranya penuh dengan kemarahan dan frustasi. "Itu hapeku! Kamu tidak bisa sembarangan merusaknya!" tambahnya dengan emosi yang sudah tidak bisa ditahan.
Azizah menatap Darino dengan mata berkilat marah. "Ini semua karena dia, Darino! Setiap kali kita mencoba berbicara, selalu ada Carisa yang mengganggu!" Suaranya menggema di ruangan, membuat Arlin yang sedang bermain berhenti sejenak dan menatap bingung ke arah orang tuanya.
Darino berdiri, menahan diri untuk tidak membalas kemarahan Azizah dengan lebih banyak kemarahan. "Azizah, kamu harus tenang. Aku tahu ini sulit, tapi merusak ponsel tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita harus bicara dengan kepala dingin."
Azizah menghela napas berat, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku ingn memperbaiki hubungan kita yang sempat renggang, dan dirusak sama Carisa. Kamu tahu? Aku datang dengan nekat disaat Mommy dan Daddy melarangku untuk kembali ke rumah ini!."
Darino mendekat, berusaha meraih tangan Azizah, namun Azizah menepisnya. “Azizah ….” Suaranya selembut sutra, tidak ada lagi nada tinggi seperti sebelumnya, ia sedang menahan diri untuk tidak menyakiti Azizah.
Di tengah ketegangan itu, Arlin datang mendekat, menarik-narik baju mamanya. "Mama, Papa, kenapa kalian bertengkar?" tanyanya dengan wajah polos, membuat suasana menjadi lebih berat.
Azizah mengusap kepala Arlin, berusaha tersenyum meski hatinya terasa hancur. "Tidak apa-apa, Sayang. Mama dan Papa hanya sedang berbicara."
Melihat putrinya, Azizah menyadari bahwa apapun yang terjadi, keluarga mereka harus tetap utuh. Ia menempatkan kedua tangannya di kedua bahu Arlin, lalu berkata, “Kamu masuk kamar yaa. Cuci muka, sikat gigi, nanti Mama bawakan susu hangat untukmu.”
Arlin tersenyum lebar, kepalanya mengangguk-angguk dan mendekati sudut ruangan untuk dibereskan sebelum akhirnya menaiki anak tangga untuk tiba di kamar miliknya.
“Azizah … maafkan aku kar–”
Azizah mengangkat tangannya ke udara, menghela nafas panjangnya. Ia menoleh untuk bisa bertatapan dengan Darino yang menghentikan ucapan dan menatapnya dengan tatapan bersalah.
“Kita bicara lagi besok. Malam ini aku tidur bersama Arlin. Selamat malam.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Azizah berdiri dan melenggang pergi dengan membawa koper miliknya. Menghindar dan menenangkan fikiran pada malam ini merupakan pilihan yang terbaik untuk mereka.
Azizah berhenti sejenak untuk menengadahkan wajahnya supaya tidak ada airmata yang mengalir, dia tidak ingin Arlin ikut bersedih jika melihat dirinya menangis. Sedangkan Darino berdiri kaku di ruang tamu, tanpa disadari kedua matanya berkaca-kaca.
“Maaf aku sudah membentakmu ….” lirih pria itu setelah Azizah menaiki anak tanga satu persatu hingga masuk ke salah kamar yang ada di lantai dua.
*
Azizah duduk sendirian di sudut kamar, cahaya redup dari lampu malam menerangi wajahnya yang termenung. Ia memegang ponsel dengan jemari yang gemetar, mengingat momen-momen ketegangan dengan Darino.
Dalam keheningan malam, Azizah merasa berat karena telah berburuk sangka terhadap suaminya sendiri. Nafasnya terhela dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Malam ini, Azizah bertekad untuk memperbaiki hubungan mereka, apapun yang terjadi.
Esoknya, saat matahari mulai menyinari rumah mereka dengan lembut, Azizah dan Darino duduk di ruang tamu. Dengan hati-hati, mereka mulai berbicara. "Darino, aku minta maaf," suara Azizah lembut namun penuh dengan ketulusan. "Aku merasa bersalah karena telah berburuk sangka padamu."
Darino menatap Azizah dengan mata yang lembut, kemudian mengangguk pelan. "Aku juga minta maaf, Azizah. Seharusnya aku lebih bisa menahan emosiku."
Suara Darino terdengar penuh penyesalan, namun ada harapan di dalamnya. Mereka berbicara panjang lebar, menyuarakan semua kekhawatiran dan perasaan yang telah lama terpendam.
"Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu," kata Azizah pelan, menatap mata Darino dengan penuh harap.
"Aku juga, Azizah. Aku ingin kita lebih kuat dari sebelumnya," jawab Darino. Ia memberikan ponselnya kepada sang istri, “Aku membeli baru dan nomor baru. Hanya ada nomor kamu dan rekan sesama dosen.”
Azizah tertegun sejenak, namun kemudian senyum lega muncul di wajahnya. "Lalu bagaimana dengan data-data kamu? Pastinya penting, kan?” tanyanya setelah membuka ponsel milik suaminya.
“Aku menyimpannya di email, jadi bisa aku pulihkan setelah masuk menggunakan email. Tidak apa-apa, bukan suatu masalah yang besar,” tutur Darino dengan suara lembut, membelai surai panjang wanitanya.
Azizah terdiam sejenak, tatapannya menajam membaca pesan masuk dari nomor baru.
“Mas ….”
“Ya, Sayang?”
“Carisa punya nomor baru kamu?”
Pada malam ini, Carisa mengenakan pakaian super ketat dan seksi, sementara Darino mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan suasana hatinya yang gelap. Mereka berada di sebuah restoran, di dalam ruangan VIP yang dipesan oleh Carisa. Darino merasa dijebak, suasana ruangan yang seharusnya mewah terasa menyesakkan.Carisa menghela napas panjang, matanya menatap Darino dengan tatapan yang sulit diartikan. "Silakan duduk, Darino," katanya dengan nada suara yang berusaha terdengar santai, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Darino tetap berdiri sejenak, menimbang-nimbang situasi sebelum akhirnya duduk dengan enggan. Ia merasakan dinginnya kursi di bawahnya, seolah mencerminkan suasana hatinya yang penuh kecurigaan. Carisa duduk di seberangnya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang penuh riasan."Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Darino, suaranya datar namun tegas, mencoba mengendalikan situasi.Carisa mengangkat bahu, memainkan rambutnya dengan jari-jari yang lentik
“Mas ….”Azizah menatap suaminya yang memakai jam tangan dihadapannya saat ini, perasaannya bimbang, antara ingin bertanya dan melupakan. Bukan hal mudah untuknya membahas kontak nama CH yang ada di ponsel sang suami.Darino yang sudah selesai memakai jam tangannya pun menatap Azizah yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh arti, sehingga membuatnya sulit untuk memahaminya.“Kenapa, Sayang?” tanya Darino dengan suara yang lembut, ia mengusap puncak kepala sang istri. Salah satu cara untuk menenangkan Azizah yang mungkin sedang banyak fikiran, sementara itu Azizah hanya bergeming memperhatikan Darino.Azizah menggelengkan kepala dengan senyum manisnya, “Tidak jadi, Mas,” tuturnya dengan suara yang lembut. Ia merapihkan rambut sang suami yang sedikit berantakan dengan jari lentiknya.“Hari ini cuma satu kelas?” tanya wanita itu, dijawab dengan anggukkan kepala.“Tapi aku pulangnya telat. Selesai kelas jam dua belas, lanjut acara makan-makan sama dosen lainnya. Ada yang nikah, terus n
Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekalig
Azizah melangkahkan kaki jenjangnya mendekati gadis kecil yang duduk di ayunan bersama dengan seorang bocah laki-laki yang duduk disebelah gadis kecil itu. Dirinya datang bersama dengan Carlinta-Mama dari bocah laki-laki yang sedang bersama putrinya.“MAMA ….”Azizah tersenyum manis kepada putrinya yang turun dari ayunan dan berlari kecil mendekatinya. “Hei … sudah lama menunggu? Maaf ya Mama telat jemput kamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengecup kedua pipi Arlin.Carlinta merangkul putranya yang berdiri disisi kanannya saat ini. “Ms. Carisa tidak datang hari ini?” tanyanya, menatap putranya yang mendongak supaya bisa bertatapan dengannya.Azizah berdiri dengan menggenggam tangan Arlin, menatap Carlinta yang langsung to the point. Ia menyenggol lengan Carlinta saat sudut matanya menangkap pergerakan seorang perempuang yang keluar dari salah satu ruangan, dan melangkah mendekat.“Datang kok. Tadi Ms. Carisa juga kasih tugas ke kami,” jawab Nadi, kedua matanya memperhatikan mamanya
Azizah memperhatikan suaminya, Darino, yang sedang mencuci tangan di wastafel. Tatapannya berpindah ke putri kecil mereka yang sedang menghabiskan sepiring pudding dengan vla rasa vanilla. Senyumnya sedikit merekah melihat kebahagiaan sederhana putrinya.TING!Tiba-tiba suara dentingan ponsel Darino menarik perhatian Azizah. Ponsel itu tergeletak di meja sebelahnya. Azizah menaikkan sebelah alisnya, tanda keheranan. "Mas, ada pesan masuk," katanya, suaranya terdengar lembut namun penuh tanda tanya.Darino mematikan keran air, menepuk-nepuk tangannya dengan handuk sebelum melangkah mendekati Azizah yang duduk di kursi satu set dengan meja makan. Ada sedikit kerutan di dahinya saat ia meraih ponselnya. Azizah memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menangkap ekspresi apa pun yang mungkin menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut."Siapa yang mengirim pesan, Mas?" tanya Azizah dengan nada sehalus mungkin, meski hatinya berdebar kencang.Darino membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut.
Azizah menghela nafasnya secara perlahan, ingatannya kembali pada pesan yang diterima oleh Darino dari nomor yang tidak disimpan oleh Darino, tetapi pengirim pesan menyebutkan nama.Carisa, perempuan itu yang mengirim pesan kepada Darino. Isi pesan yang dikirim oleh Carisa; Mas, nomor 204 hotel Hardenz. Selang beberapa detik diunsend, dan kembali mengirim pesan yang berisi ‘Sorry salah kirim’.Azizah memperhatikan suaminya yang tidur di sofa yang ada di sudut kamar. “Aku tahu itu bukan salah kamu, tapi aku cape, jadi pelampiasannya ke kamu,” ucapnya, mengusap wajahnya gusar.Azizah menyikap selimutnya, lalu melangkahkan kaki mendekati Darino. Bagaimanapun juga pria itu masih menjadi suaminya, dan Darino sudah mengambil keputusan tadi malam.‘Apa?’ tanya Azizah, menatap Darino yang berdiri dihadapannya saat ini. ‘Kalau kamu yang bertindak, besok aku akan ke rumah Bunda sama Ayah. Aku kembali ketika kamu sudah mengurus dan membuat Carisa berhenti mengganggu keluarga kita,’ imbuhnya.‘Bi
Darino dan Carisa bertemu di sebuah kafe yang tenang. Carisa tampak senang saat mengetahui Darino mengajaknya berbicara berdua, senyum manis menghiasi wajahnya. Di sisi lain, Darino merasa berat hati untuk bertemu dengan Carisa, namun ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan."Carisa, aku minta tolong, mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku," katanya dengan nada tegas. Carisa terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Oke," jawabnya singkat, senyum di wajahnya tetap terjaga.Darino merasa sedikit lega walaupun dirinya seperti tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Carisa.“Aku serius. Jangan pernah lagi menghubungiku,” tekannya sekali lagi, kali ini lebih tegas supaya ucapannya tidak dianggap main-main oleh Carisa yang bergumam pelan dan kepala yang mengangguk-angguk. “Aku juga tidak akan menghubungimu lagi. Kamu tenang saja, Darino. Lagipula, tanpa aku menghubungimu, kamu yang mendekat dan mengajaknya untuk bertemu seperti ini, kan?” oceh Carisa d
Beberapa jam yang lalu ….Azizah menatap kedua mata suaminya yang penuh perhatian. "Mas, aku punya ide supaya Carisa tidak lagi mengganggu kita," katanya dengan nada tegas namun penuh harap.Darino mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Azizah. "Apa idemu, Sayang?" tanyanya, benar-benar ingin tahu.Azizah menghela napas sejenak, memastikan bahwa suaminya siap mendengarkan dengan serius. "Aku akan menyewa laki-laki untuk membuat Carisa malu di khalayak umum. Aku punya uang untuk menyewa, jadi kamu tidak perlu memikirkan biayanya," jelasnya, menaik-turunkan kedua alisnya.“Apa kamu yakin akan berhasil?”Azizah bergumam pelan, mengendikkan kedua bahunya, “Tidak tahu, tapi aku yakin sih bakalan berhasil. Aku ngehubungin orangnya kalau kamu setuju.” Kedua matanya menatap Darino dengan tatapan penuh harap.Darino mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Setelah beberapa detik merenung, ia menyunggingkan senyum, me
“Gimana hubunganmu dengan Azizah? Overall okey?” tanya Fernandra dengan santai disela-sela melangkahnya, mengikuti langkah Azizah yang sedang melakukan panggilan video dengan Arlin, 6 langkah darinya.Darino bergumam menanggapinya, kedua matanya memperhatikan istrinya dan sesekali mengedarkan atensinya untuk memastikan tidak ada yang berniat jahat kepada istrinya yang terlihat happy saat memperlihatkan seisi ruangan di lantai satu ini.“Hubungan aku dan Azizah tidak pernah ada masalah,” ucap Darino, lalu menoleh saat pria di sisi kirinya ini tertawa. “Hanya ada binatang buas di luaran,”: tambahnya, semakin membuat Fernandra tertawa.“Seperti itu kamu bilang tidak pernah ada masalah?” celetuk Fernandra, tersenyum penuh arti kepada Darino yang otomatis menghentikan langkah dan menatapnya. “Ada yang ingin aku bicarakan. Tidak di sini. Ikut aku,” bisiknya, memberikan isyarat kepada Darino yang tidak mengalihkan atensi sedikitpun darinya.Fernandra melangkah kaki mendekati Azizah yang meno
Azizah bersedekap dada dengan ekspresi wajahnya yang datar, menatap perempuan yang ada dihadapannya saat ini. Carisa Hargantasya, masalalu dari suaminya dan perempuan yang masih mengejar Darino, bahkan berusaha untuk merebut Darino darinya.Tidak ada orang lain disini, termasuk suaminya yang sedang pergi ke kamar mandi.Azizah tidak ceroboh, ia memperhatikan sekitar, lalu tersenyum miring saat daun sirih di depan sana bergerak disaat tidak ada angin. Sudah jelas sekali ada orang lain yang sedang mengupingnya. Tidak usah menebaknya lebih lanjut, dirinya sudah mengetahui siapa orang itu.“Gimana tadi perjalanannya? Lancar?” tanya Azizah dengan suara lembut, mengulas senyum manisnya kepada Carisa yang menaikkan sebelah alis bingung. “Pasti capek ya nyetir sendiri? Aku saja tadi bergantian sama Mas Darino,” tambahnya, diakhiri dengan tersenyum tipis.“Kamu ….”“Oh sebentar ….” Azizah masuk ke dalam mobilnya, lalu kembali kehadapan Carisa yang tidak mengalihkan atensi sedikitpun darinya. I
“Fernandra sudah menunggu disana?” tanya Darino, menoleh ke sisi kirinya untuk melihat wanitanya yang menoleh.“Aku tidak nanya kepadanya setelah aku mengabari kalau kita akan datang ke pembukaan villa-nya,” ucap Azizah dengan santai, lalu mengalihkan atensinya memperhatikan jalan tol yang sangat senggang pada pagi menjelang siang ini.Darino hanya menanggapinya dengan kepala yang mengangguk-angguk, “Aku kira, kamu bertukar pesan dengannya,” ucapnya tanpa menatap Azizah.Azizah tersenyum tipis, bodoh jika dirinya tidak memahami penuturan yang baru saja diucapkan oleh Darino kepadanya. Kalimat menyindir untuknya, mungkin juga lebih tepatnya kalimat sarkas yang ditujukan kepadanya.Azizah merupakan wanita pintar dan peka terhadap sekitarnya. “Aku tidak seperti itu, Mas. Aku sangat menjaga perasaan kamu yng masih menjadi suami aku,” imbuhnya, melirik suaminya yang terdiam.Azizah membalas yang sama, ia melemparkan kalimat sarkas untuk Darino, dan dirinya sangat yakin bahwa Darino menyada
“Bagaimana? Sudah kamu bicarakan dengan Darino?”Kedua atensi Azizah menatap lurus pintu, bukan … lebih tepatnya memperhatikan kunci yang menggantung di depan sana. Saat ini dirinya sedang berada di kamar kosong yang sudah lama tidak dipakai, karena kamar ini khusus untuk tamu jika keluarga besarnya datang dan menginap.Ponsel pintar yang menempel pada telinga kanan perempuan itu membuat Azizah harus mempertajam indra pendengarannya, supaya terdengar jelas suara seorang pria disebrang sana.“Sudah. Nanti jam sembilanan aku berangkat dari sama Darino. Kamu akan standby di sana, kan?” ujar Azizah kepada seseorang yang diyakini ialah Fernandra Aurinta, masalalunya yang saat ini sedang bekerjasama dengannya untuk mengungkap peneror yang sudah meresahkan hampir satu bulan ini.Sementara itu di tempat lain, seorang pria berdiri dengan tangan kirinya yang dimasukkan ke dalam saku celananya, kedua matanya tertuju kepada perempuan yang terikat di kursi dengan mulut yang dilakban.“Ya. Aku akan
Azizah menipiskan bibirnya, menatap suaminya yang sedang berkutat dengan laptop yang menyala di pangkuan pria di sisi kirinya saat ini. Setelah obrolannya dengan Fernandra tadi pagi, membuatnya terus berfikir kata-kata dan kalian yang tepat saat berbicara dengan sang suami.“Apa ada yang terjadi hari ini?” Suara berat milik Darino yang secara tiba-tiba, membuat Azizah mengerjapkan kedua mata dan tersadar. Darino menoleh, menaikkan sebelah alisnya. “Katakan. Apa ada yang mengganggumu hari ini?” tanyanya, lagi.Azizah menggelengkan kepala, tersenyum tipis. Rasanya seperti belum siap untuk membicarakannya dengan Darino, padahal hanya tinggal bertanya dan membujuk suaminya untuk mengosongkan waktu jika memang ada kegiatan.Sedangkan Darino menaruh curiga terhadap istrinya saat ini. Ia tidak yakin bahwa semuanya sedang ‘baik-baik saja’. Perasaannya lebih berkata ‘Ada sesuatu’ hari ini. Dirinya tidak boleh memaksakan istrinya untuk mengatakan yang sebenarnya, karena hubungannya dengan Aziza
Azizah mengulas senyum saat kedatangannya berhasil menarik perhatian Fernandra yang tidak sengaja menoleh ke arahnya. Perempuan itu duduk di sofa single set, tersenyum kepada putrinya dan memberikan kode untuk duduk dipangkuannya. Arlin yang mengindahkannya tanpa membantah.“Arlin nakal, Fer?” tanya Azizah membuka obrolan diantara dirinya dan Fernandra, sedangkan putri kecilnya hanya bergeming memperhatikan Fernandra yang menatapnya dengan tatapan lembut.Fernandra menggelengkan kepala. “Aman, Azizah. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan,” tuturnya dengan suara yang lembut, ditanggapi dengan tersenyum tipis.Atensi Azizah kini tertuju kepada Arlin yang sedang menatapnya. “Om Fernan nakal?” tanyanya dengan suara lembut, tangannya terangkat mengusap puncak kepala putrinya yang menggelengkan kepala.“Om Fernan baik, aku nyaman ngobrol sama dia.”“Oh iya?”Arlin menganggukkan kepala, menatap kedua mata mamanya yang sedang menatapnya dengan tatapan menggoda. “Setiap aku tanya, dijawab sam
“Om ini temennya Mama?” tanya seorang gadis kecil kepada seorang pria yang duduk di sisi kanan gadis itu, ditanggapi dengan tersenyum dan kepala yang mengangguk. “Papa kenal sama Om berarti?” tanyanya, lagi.Fernandra terkekeh pelan, “Benar. Papa kamu kenal sama Om.” Senyumnya tidak luntur, kedua matanya memancarkan kehangatan, berusaha untuk membuat Arlin nyaman bersamanya saat ini ketika Azizah sedang bicara dengan Karisya-Mama Azizah & Nenek Arlin-.Pria itu berkunjung ke rumah pada pagi hari, ketika semuanya sedang berada di rumah, terkecuali Darino yang sudah pergi pagi-pagi sekali, kata Azizah sebagai istri sah Darino, dan orang yang mengantar Darino hingga sampai teras.Arlin bergumam pelan, ia memperhatikan garis wajah Fernandra, mencoba untuk menganalisa karak pria itu hanya dari garis wajah. Sedangkan Fernandra hanya terdiam dengan kedua sudut bibirnya yang melengkung mengukir sebuah senyum manisnya.“Sepenglihatan aku yaa, Om ini orang baik, tapi kenapa Grandma tidak suka s
Seorang pria menipiskan bibirnya, menyatukan kesepuluh jarinya, dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Pria itu mengenakan kemeja hitam pendek dan celana berwarna hitam, duduk seorang diri di sofa berwarna putih. Tentu saja, ini bukan rumahnya karena melihat dari gestur pria itu terlihat gelisah dan tidak nyaman.Tak berselang lama, seorang perempuan mengenakan mini dress berwarna merah muda, motif bunga pada bagian bawah. Perempuan itu melangkahkan kaki mendekati pria yang sedang memukul kening dengan tangan yang bertaut, membuatnya menyunggingkan senyum dengan kedua tangannya yang memegang kedua sisi nampan yang terbuat dari stainless.“Di minum, Darino.”Pria yang dipanggil ‘Darino’ itu menoleh, bertemu tatap dengan kedua mata perempuan berdiri di sisinya dengan sedikit membungkuk, seperti dengan sengaja memperlihatkan belahan dada kepadanya.Darino segera memalingkan wajahnya, “Terimakasih, Carisa,” ucapnya tanpa menatap Carisa yang menegakkan tubuh sebelum akhirnya duduk di sebelahn
Azizah mengetuk pintu di hadapannya saat ini, ia datang ke rumah seseorang seorang diri setelah mengantar Arlin kembali ke rumah, walaupun tadi sempat ditahan oleh putrinya itu, dan atas bantuan mommynya semua berjalan lancar.Disinilah perempuan itu berada. Berdiri di teras, mengetuk pintu dua kali, dan menunggu dengan kedua matanya yang mengedar. Banyak tumbuhan hijau yang menyegarkan penglihatannya, dan terdapat mobil sport berwarna hitam yang terparkir di carport rumah tiga lantai ini.Tak butuh waktu lama, pintu besar dan tinggi dihadapan Azizah terbuka, memperlihatkan seorang pria mengenakan kaos pressbody berwarna putih, rambut yang basah dan celana hanya selutut. Pemandangan yang bisa membuat Azizah menelan saliva, tampan, Azizah tidak bisa berbohong mengenai fisik yang dimiliki oleh pria dihadapannya saat ini.“Hai … sudah lama?” Suara berat dan pertanyaan dari pria itu menyadarkan Azizah dari lamunannya. Sedangkan pria itu terkekeh pelan saat melihat Azizah menggelengkan kep