Azizah kembali pulang ke rumah bersama Arlin setelah beberapa hari berlalu. Arlin sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan Darino, wajahnya memancarkan keceriaan yang sudah lama hilang.
"Papa!" seru Arlin sambil berlari ke pelukan Darino yang sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh harap.
Darino merangkul putrinya erat-erat, merasakan kehangatan keluarga yang hampir hilang. "Arlin, Papa rindu sekali padamu," katanya dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca melihat kebahagiaan putrinya. Dia mengecup kedua pipi putrinya dan tersenyum terharu.
Azizah berdiri di belakang, menatap momen tersebut dengan hati yang campur aduk. Meski ia masih menyimpan kekecewaan dan kemarahan, ia tahu bahwa pertemuan ini penting bagi Arlin.
Setelah beberapa saat, ia mengambil napas dalam-dalam dan melangkah maju. "Darino, kita perlu bicara," katanya dengan nada tegas tapi tenang.
Darino menatap Azizah dengan tatapan penuh harap. "Tentu, Azizah. Aku siap menjelaskan semuanya."
Mereka berdua duduk di sofa, Arlin bermain dengan mainannya di sudut ruangan, bahagia dalam ketidaktahuan. Azizah menipiskan bibirnya, menatap Darino yang terdiam disisi kanannya.
“Pulpen itu milik mahasiswiku yang aku pinjam karena aku lupa untuk membawa pulpenku yang tertinggal dan saat itu aku harus mengkoreksi tugas mereka,” jelas Darino setelah mengumpulkan keberanian.
“Dua hari setelahnya, pas aku selesai kelas sore, salah satu mahasiswiku itu datang ke ruangan untuk meminta kembali pulpen yang sempat aku umumkan di sosial media yang aku punya,” tambahnya dengan tutur katanya yang lembut.
Azizah mengerjapkan kedua matanya, mendengarkan suaminya yang sedang berbicara, dan memperhatikan kedua mata pria yang sudah bersamanya hampir tujuh tahun ini. Azizah tahu bagaimana Darino berbohong, dan saat ini pria itu tidak berbohong.
Ya, Darino mengatakan yang sejujurnya.
“Bagaimana caranya kamu kefikiran untuk mengumumkan di sosial media? Itu aneh menurutku karena hanya sebuah pulpen.”
Darino menghela nafas beratnya, meraih dan menggenggam tangan sang istri cukup erat. Bayangan tentang dirinya di kurung di sebuah gudang, Azizah yang mengatakan ingin cerai dan Azizah pergi bersama pria lain, sudah menghantui fikirannya selama dua hari.
“Kamu meminta cerai dan kamu memilih pria lain,” ucap Darino, menatap Azizah yang terdiam sejenak. Cukup lama, sekitar sepuluh detik lalu terdengar suara tertawa milik Azizah yang berhasil membuat Darino mendelik.
“Kamu mimpi?” tanya Azizah setelah tawanya bisa dikendalikan. Darino hanya menjawabnya dengan bergumam pelan. “Aku sedang hamil. Bagaimana bisa aku mengajukan cerai? Sudah pasti ditolak,” imbuhnya.
Darino terdiam sejenak. Apa yang dikatakan Azizah memang benar. Jika istri sedang hamil, tidak boleh mengajukan gugatann cerai ke pengadilan, setelah bayi lahir boleh kembali mengajukan gugatan jika memang sudah tidak bisa dipertahankan.
Azizah menaruh tangan kirinya diatas tangan Darino, seperti bertumpuk. Ia tersenyum kepada sang suami yang sedang menatapnya. Saat dirinya ingin bersuara, ponsel milik Darino membuatnya dan sang empu menoleh.
PRANG!
Dengan gerakan cepat, Azizah meraih ponsel tersebut dan melemparkannya ke lantai, menghancurkan layar ponsel itu menjadi serpihan.
"AZIZAH … Kenapa kamu lakukan itu?" teriak Darin, suaranya penuh dengan kemarahan dan frustasi. "Itu hapeku! Kamu tidak bisa sembarangan merusaknya!" tambahnya dengan emosi yang sudah tidak bisa ditahan.
Azizah menatap Darino dengan mata berkilat marah. "Ini semua karena dia, Darino! Setiap kali kita mencoba berbicara, selalu ada Carisa yang mengganggu!" Suaranya menggema di ruangan, membuat Arlin yang sedang bermain berhenti sejenak dan menatap bingung ke arah orang tuanya.
Darino berdiri, menahan diri untuk tidak membalas kemarahan Azizah dengan lebih banyak kemarahan. "Azizah, kamu harus tenang. Aku tahu ini sulit, tapi merusak ponsel tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita harus bicara dengan kepala dingin."
Azizah menghela napas berat, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku ingn memperbaiki hubungan kita yang sempat renggang, dan dirusak sama Carisa. Kamu tahu? Aku datang dengan nekat disaat Mommy dan Daddy melarangku untuk kembali ke rumah ini!."
Darino mendekat, berusaha meraih tangan Azizah, namun Azizah menepisnya. “Azizah ….” Suaranya selembut sutra, tidak ada lagi nada tinggi seperti sebelumnya, ia sedang menahan diri untuk tidak menyakiti Azizah.
Di tengah ketegangan itu, Arlin datang mendekat, menarik-narik baju mamanya. "Mama, Papa, kenapa kalian bertengkar?" tanyanya dengan wajah polos, membuat suasana menjadi lebih berat.
Azizah mengusap kepala Arlin, berusaha tersenyum meski hatinya terasa hancur. "Tidak apa-apa, Sayang. Mama dan Papa hanya sedang berbicara."
Melihat putrinya, Azizah menyadari bahwa apapun yang terjadi, keluarga mereka harus tetap utuh. Ia menempatkan kedua tangannya di kedua bahu Arlin, lalu berkata, “Kamu masuk kamar yaa. Cuci muka, sikat gigi, nanti Mama bawakan susu hangat untukmu.”
Arlin tersenyum lebar, kepalanya mengangguk-angguk dan mendekati sudut ruangan untuk dibereskan sebelum akhirnya menaiki anak tangga untuk tiba di kamar miliknya.
“Azizah … maafkan aku kar–”
Azizah mengangkat tangannya ke udara, menghela nafas panjangnya. Ia menoleh untuk bisa bertatapan dengan Darino yang menghentikan ucapan dan menatapnya dengan tatapan bersalah.
“Kita bicara lagi besok. Malam ini aku tidur bersama Arlin. Selamat malam.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Azizah berdiri dan melenggang pergi dengan membawa koper miliknya. Menghindar dan menenangkan fikiran pada malam ini merupakan pilihan yang terbaik untuk mereka.
Azizah berhenti sejenak untuk menengadahkan wajahnya supaya tidak ada airmata yang mengalir, dia tidak ingin Arlin ikut bersedih jika melihat dirinya menangis. Sedangkan Darino berdiri kaku di ruang tamu, tanpa disadari kedua matanya berkaca-kaca.
“Maaf aku sudah membentakmu ….” lirih pria itu setelah Azizah menaiki anak tanga satu persatu hingga masuk ke salah kamar yang ada di lantai dua.
*
Azizah duduk sendirian di sudut kamar, cahaya redup dari lampu malam menerangi wajahnya yang termenung. Ia memegang ponsel dengan jemari yang gemetar, mengingat momen-momen ketegangan dengan Darino.
Dalam keheningan malam, Azizah merasa berat karena telah berburuk sangka terhadap suaminya sendiri. Nafasnya terhela dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Malam ini, Azizah bertekad untuk memperbaiki hubungan mereka, apapun yang terjadi.
Esoknya, saat matahari mulai menyinari rumah mereka dengan lembut, Azizah dan Darino duduk di ruang tamu. Dengan hati-hati, mereka mulai berbicara. "Darino, aku minta maaf," suara Azizah lembut namun penuh dengan ketulusan. "Aku merasa bersalah karena telah berburuk sangka padamu."
Darino menatap Azizah dengan mata yang lembut, kemudian mengangguk pelan. "Aku juga minta maaf, Azizah. Seharusnya aku lebih bisa menahan emosiku."
Suara Darino terdengar penuh penyesalan, namun ada harapan di dalamnya. Mereka berbicara panjang lebar, menyuarakan semua kekhawatiran dan perasaan yang telah lama terpendam.
"Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu," kata Azizah pelan, menatap mata Darino dengan penuh harap.
"Aku juga, Azizah. Aku ingin kita lebih kuat dari sebelumnya," jawab Darino. Ia memberikan ponselnya kepada sang istri, “Aku membeli baru dan nomor baru. Hanya ada nomor kamu dan rekan sesama dosen.”
Azizah tertegun sejenak, namun kemudian senyum lega muncul di wajahnya. "Lalu bagaimana dengan data-data kamu? Pastinya penting, kan?” tanyanya setelah membuka ponsel milik suaminya.
“Aku menyimpannya di email, jadi bisa aku pulihkan setelah masuk menggunakan email. Tidak apa-apa, bukan suatu masalah yang besar,” tutur Darino dengan suara lembut, membelai surai panjang wanitanya.
Azizah terdiam sejenak, tatapannya menajam membaca pesan masuk dari nomor baru.
“Mas ….”
“Ya, Sayang?”
“Carisa punya nomor baru kamu?”
Pada malam ini, Carisa mengenakan pakaian super ketat dan seksi, sementara Darino mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan suasana hatinya yang gelap. Mereka berada di sebuah restoran, di dalam ruangan VIP yang dipesan oleh Carisa. Darino merasa dijebak, suasana ruangan yang seharusnya mewah terasa menyesakkan.Carisa menghela napas panjang, matanya menatap Darino dengan tatapan yang sulit diartikan. "Silakan duduk, Darino," katanya dengan nada suara yang berusaha terdengar santai, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Darino tetap berdiri sejenak, menimbang-nimbang situasi sebelum akhirnya duduk dengan enggan. Ia merasakan dinginnya kursi di bawahnya, seolah mencerminkan suasana hatinya yang penuh kecurigaan. Carisa duduk di seberangnya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang penuh riasan."Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Darino, suaranya datar namun tegas, mencoba mengendalikan situasi.Carisa mengangkat bahu, memainkan rambutnya dengan jari-jari yang lentik
“Mas ….”Azizah menatap suaminya yang memakai jam tangan dihadapannya saat ini, perasaannya bimbang, antara ingin bertanya dan melupakan. Bukan hal mudah untuknya membahas kontak nama CH yang ada di ponsel sang suami.Darino yang sudah selesai memakai jam tangannya pun menatap Azizah yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh arti, sehingga membuatnya sulit untuk memahaminya.“Kenapa, Sayang?” tanya Darino dengan suara yang lembut, ia mengusap puncak kepala sang istri. Salah satu cara untuk menenangkan Azizah yang mungkin sedang banyak fikiran, sementara itu Azizah hanya bergeming memperhatikan Darino.Azizah menggelengkan kepala dengan senyum manisnya, “Tidak jadi, Mas,” tuturnya dengan suara yang lembut. Ia merapihkan rambut sang suami yang sedikit berantakan dengan jari lentiknya.“Hari ini cuma satu kelas?” tanya wanita itu, dijawab dengan anggukkan kepala.“Tapi aku pulangnya telat. Selesai kelas jam dua belas, lanjut acara makan-makan sama dosen lainnya. Ada yang nikah, terus n
Azizah mengetukkan jemari telunjuknya di meja kaca, tatapannya lurus menatap Carlinta yang sedang menatapnya. Sahabatnya itu memperlihatkan sebuah foto kepadanya, di dalam foto tersebut terlihat Darino sedang merangkul Carisa.“Kamu tidak berani menghubungi suamimu sendiri, hm?” tanya Carlinta, melirik ponsel yang ada dihadapan Azizah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, “Kamu takut kalau Darino akan memarahimu karena sedang mengajar?”Azizah bergeming. Sudah lebih dari sepuluh menit dirinya terdiam, sehingga membuat Carlinta gemas sendiri melihatnya. Bagaimana tidak? Azizah seolah tidak percaya dengan foto yang dikirim oleh suami Carlinta.Azizah memikirkan banyak aspek, salah satunya jika dirinya bertanya kepada Darino yang saat ini sedang ada jadwal mengajar, akan membuat suaminya itu hilang fokus dan berakibat menyampaikan materinya berantakan.Jujur saja, Azizah sangat ingin bertanya kepada suaminya mengenai foto yang diperlihatkan oleh Gibran -Suami Carlinta, sekalig
Azizah melangkahkan kaki jenjangnya mendekati gadis kecil yang duduk di ayunan bersama dengan seorang bocah laki-laki yang duduk disebelah gadis kecil itu. Dirinya datang bersama dengan Carlinta-Mama dari bocah laki-laki yang sedang bersama putrinya.“MAMA ….”Azizah tersenyum manis kepada putrinya yang turun dari ayunan dan berlari kecil mendekatinya. “Hei … sudah lama menunggu? Maaf ya Mama telat jemput kamu,” tuturnya dengan suara lembut, mengecup kedua pipi Arlin.Carlinta merangkul putranya yang berdiri disisi kanannya saat ini. “Ms. Carisa tidak datang hari ini?” tanyanya, menatap putranya yang mendongak supaya bisa bertatapan dengannya.Azizah berdiri dengan menggenggam tangan Arlin, menatap Carlinta yang langsung to the point. Ia menyenggol lengan Carlinta saat sudut matanya menangkap pergerakan seorang perempuang yang keluar dari salah satu ruangan, dan melangkah mendekat.“Datang kok. Tadi Ms. Carisa juga kasih tugas ke kami,” jawab Nadi, kedua matanya memperhatikan mamanya
Azizah memperhatikan suaminya, Darino, yang sedang mencuci tangan di wastafel. Tatapannya berpindah ke putri kecil mereka yang sedang menghabiskan sepiring pudding dengan vla rasa vanilla. Senyumnya sedikit merekah melihat kebahagiaan sederhana putrinya.TING!Tiba-tiba suara dentingan ponsel Darino menarik perhatian Azizah. Ponsel itu tergeletak di meja sebelahnya. Azizah menaikkan sebelah alisnya, tanda keheranan. "Mas, ada pesan masuk," katanya, suaranya terdengar lembut namun penuh tanda tanya.Darino mematikan keran air, menepuk-nepuk tangannya dengan handuk sebelum melangkah mendekati Azizah yang duduk di kursi satu set dengan meja makan. Ada sedikit kerutan di dahinya saat ia meraih ponselnya. Azizah memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menangkap ekspresi apa pun yang mungkin menunjukkan siapa pengirim pesan tersebut."Siapa yang mengirim pesan, Mas?" tanya Azizah dengan nada sehalus mungkin, meski hatinya berdebar kencang.Darino membuka ponselnya dan membaca pesan tersebut.
Azizah menghela nafasnya secara perlahan, ingatannya kembali pada pesan yang diterima oleh Darino dari nomor yang tidak disimpan oleh Darino, tetapi pengirim pesan menyebutkan nama.Carisa, perempuan itu yang mengirim pesan kepada Darino. Isi pesan yang dikirim oleh Carisa; Mas, nomor 204 hotel Hardenz. Selang beberapa detik diunsend, dan kembali mengirim pesan yang berisi ‘Sorry salah kirim’.Azizah memperhatikan suaminya yang tidur di sofa yang ada di sudut kamar. “Aku tahu itu bukan salah kamu, tapi aku cape, jadi pelampiasannya ke kamu,” ucapnya, mengusap wajahnya gusar.Azizah menyikap selimutnya, lalu melangkahkan kaki mendekati Darino. Bagaimanapun juga pria itu masih menjadi suaminya, dan Darino sudah mengambil keputusan tadi malam.‘Apa?’ tanya Azizah, menatap Darino yang berdiri dihadapannya saat ini. ‘Kalau kamu yang bertindak, besok aku akan ke rumah Bunda sama Ayah. Aku kembali ketika kamu sudah mengurus dan membuat Carisa berhenti mengganggu keluarga kita,’ imbuhnya.‘Bi
Darino dan Carisa bertemu di sebuah kafe yang tenang. Carisa tampak senang saat mengetahui Darino mengajaknya berbicara berdua, senyum manis menghiasi wajahnya. Di sisi lain, Darino merasa berat hati untuk bertemu dengan Carisa, namun ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan."Carisa, aku minta tolong, mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku," katanya dengan nada tegas. Carisa terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Oke," jawabnya singkat, senyum di wajahnya tetap terjaga.Darino merasa sedikit lega walaupun dirinya seperti tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Carisa.“Aku serius. Jangan pernah lagi menghubungiku,” tekannya sekali lagi, kali ini lebih tegas supaya ucapannya tidak dianggap main-main oleh Carisa yang bergumam pelan dan kepala yang mengangguk-angguk. “Aku juga tidak akan menghubungimu lagi. Kamu tenang saja, Darino. Lagipula, tanpa aku menghubungimu, kamu yang mendekat dan mengajaknya untuk bertemu seperti ini, kan?” oceh Carisa d
Beberapa jam yang lalu ….Azizah menatap kedua mata suaminya yang penuh perhatian. "Mas, aku punya ide supaya Carisa tidak lagi mengganggu kita," katanya dengan nada tegas namun penuh harap.Darino mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Azizah. "Apa idemu, Sayang?" tanyanya, benar-benar ingin tahu.Azizah menghela napas sejenak, memastikan bahwa suaminya siap mendengarkan dengan serius. "Aku akan menyewa laki-laki untuk membuat Carisa malu di khalayak umum. Aku punya uang untuk menyewa, jadi kamu tidak perlu memikirkan biayanya," jelasnya, menaik-turunkan kedua alisnya.“Apa kamu yakin akan berhasil?”Azizah bergumam pelan, mengendikkan kedua bahunya, “Tidak tahu, tapi aku yakin sih bakalan berhasil. Aku ngehubungin orangnya kalau kamu setuju.” Kedua matanya menatap Darino dengan tatapan penuh harap.Darino mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Setelah beberapa detik merenung, ia menyunggingkan senyum, me
Darino menatap perempuan yang terbaring di brankar rumah sakit dengan kepala yang diperban. Sudah lima belas menit sejak perempuan itu dipindahkan ke rawat inap, dan perempuan itu belum kunjung terbangun.“Mas ….”Darino menoleh, menatap istrinya yang datang dengan nafas terengah-engah. Dirinya yang memberitahu Azizah bahwa sedang berada di rumah sakit, karena sang istri mengiriminya pesan bertanya sedang berada dimana.Azizah mengatur nafasnya setelah berdiri disisi kanan Darino yang kebingungan. Azizah seperti sedang dikejar anjing, dan membuat wanita itu kehabisan banyak tenaga. Setelah Azizah membaca pesan terakhir dari Darino, ia langsung pergi ke rumah sakit karena panik akan kondisi suaminya.“Aww ….” Darino mengaduh saat lengannya dipukul oleh Azizah, ekspresi sang istri terlihat seperti sedang marah kepadanya. “Kok aku dipukul?” tanyanya, menatap Azizah yang mendesis kesal.“Kamu bikin aku khawatir. Aku lari dari parkiran sampai sini buat lihat kondisi kamu, ternyata kamu bai
Arlin memperhatikan Darino yang sedang mengemudi dengan kedua mata yang menyipit, tangan terlipat di dada. Ini sudah dilakukannya sejak dari rumah sampai setengah perjalanan menuju sekolahnya.“Awas yaa Papa genit-genit,” ucap Arlin dengan penuh penekanan, ditanggapi dengan bergumam. “Aku serius loh … Bisa aku jambak tuh Mrs.Carisa kalau Papa nanggepin,” lanjutnya.Darino mengangguk-anggukkan kepala. “Papa tidak akan bersuara, terkecuali kalau itu penting dan teman papa,” tuturnya dengan tenang. Menurutnya, peringatan Arlin bukan apa-apa untuknya, tetapi tidak menyepelekan peringatan sang putri.“Aku hari ini mau ke sekolah karena Mama, kalau bukan karena Mama, mendingan aku dirumah sama Mama bikin kue,” oceh Arlin, mengalihkan atensinya menjadi memperhatikan jalan raya yang dilewati olehnya.“Lagian yaa, kenapa tidak Mama saja sih yang mengantar aku ke sekolah?” imbuhnya, kali ini terdapat nada kesal yang sengaja diperlihatkan olehnya.Darino menoleh sekilas, mendapati putri kecilnya
Azizah menaikkan sebelah alisnya, menatap Darino dan Arlin silih berganti. Ia bingung dengan ayah dan anak itu yang tidak saling bicara sejak satu jam yang lalu, bahkan Arlin selalu menghindar jika didekati oleh Darino.“Kalian sedang ada masalah?” tanya Azizah, jawaban Darino dan Arlin tidak kompak, sehingga membuatnya menghela nafas perlahan. Ia mengusap bahu Arlin yang duduk di sebelahnyaa, menarik supaya lebih dengannya.“Kenapa, hmm? Papa nakal diluar sana?” tanyanya dengan suara lembut, membelai rambut panjang putrinya yang terurai panjang.Arlin menggelengkan kepala, menatap papanya yang duduk di single sofa, lalu mengalihkan atensinya saat kedua matanya bertemu dengan kedua mata milik sang papa. Kini terfokus menatap mamanya yang tersenyum kepadanya.“Mrs. Carisa itu mantannya Papa, kan?” tanya Arlin, ia mendapati tatapan terkejut seperkian detik di wajah sang mama. “Sebelum Papa sama Mama, Papa sama Mrs. Carisa, kan?” tanyanya, lagi.Azizah bergeming, ia tidak tahu harus meng
“Halo, Mrs. Carisa,” sapa Arlin dengan sopan, tersenyum manis kepada Carisa yang membalasnya dengan senyuman.“Halo, Arlin cantik,” balas Carisa dengan suaranya yang lembut, tetapi membuat Arlin mendelik.Carlinta berdeham cukup keras, sehingga semua mata tertuju kepadanya. “Mrs. Carisa bukannya ada di sekolah ya sekarang? Kok malah keluyuran?” tanyanya dengan tenang tetapi menyudutkan Carisa yang bergumam pelan seolah tidak melakukan kesalahan.Padahal sudah jelas-jelas Carisa melakukan kesalahan. Saat ini masih jam kerja untuk Carisa, walaupun anak-anak sudah pulang. Kedua, sudah jelas Carisa mengikuti mobil Darino hingga ke toko kue ini dan bersandiwara seolah semua kebetulan.Nadi yang berdiri disebelah Carlinta hanya terdiam mendengarkan yang lainnya berbicara, begitupun dengan Darino yang tampak enggan untuk bersuara dan membiarkan putrinya yang berbicara.“Oh ini … saya ingin mengambil pesanan kue ulang tahun untuk Mrs.Yulia,” ujar Carisa setelah beberapa menit hanya terdiam, m
Darino tersenyum manis saat melihat putri kecilnya yang berlari menghampirinya, ia memeluk gadis kecil itu lalu mengecup kedua pipi Arlin gemas. “Mau langsung pulang?” tanyanya, ditanggapi dengan bergumam.Pada siang hari ini, Darino yang menjemput Arlin karena dirinya sedang tidak memiliki jadwal mengajar dan istrinya sedang demam. Darino dengan senang hati menjemput dan tadi pagi mengantar Arlin pergi ke sekolah.“Mampir beli buah sama beli kue dulu. Boleh?” ujar Arlin, menatap papanya yang menganggukkan kepala dan tersenyum lebar kepadanya.“Apasih yang tidak buat putri papa yang cantik ini,” ucap Darino dengan gemas, ia menoel pangkal hidung Arlin lalu terkekeh setelahnya.Arlin tertawa pelan, menggenggam tangan papanya dan mengikuti langkah Darino ke sisi penumpang sebelah kiri samping pengemudi. Tanpa menunggu perintah, dirinya langsung masuk begitu Darino membuka pintu mobil.Senyum Darino tidak luntur, mengusap puncak kepala putrinya lalu menutup pintu mobil dihadapannya saat
Satu jam yang lalu ….“Kamu ngapain disini? Bukannya kamu ada di rumah Bibi?” tanya seorang perempuan yang berdiri dibelakang Azizah yang terkejut akan kehadirannya.Azizah menghela nafas setelah tahu siapa yang datang, ia menunduk untuk mengambil kunci rumah yang jatuh karena dikejutkan akan kehadiran Carlinta yang secara tiba-tiba dibelakangnya.Azizah bergumam pelan, menaikkan sebelah alisnya saat kunci rumah direbut paksa oleh Carlinta, sahabatnya itu membuka kembali pintu rumah yang sudah dikunci olehnya. Azizah ditarik paksa buat masuk ke dalam rumah.“Ceritakan kepadamu bagaimana bisa kamu ada disini, sedangkan kamu sudah ada pamit kepadaku kalau sedang ada dirumah bibi?” tanya Carlinta setelah mengunci kembali pintu rumah, dan duduk di sofa ruang tamu bersama dengan Azizah yang ditarik olehnya secara paksa.Azizah memberikan ponselnya kepada Carlinta supaya sahabatnya itu melihat sendiri penyebab dirinya berada di sini dengan satu koper besar berwarna biru. “Darino berulah lag
“ARRGHH!”Darino berteriak frustasi saat panggilan suaranya tak kunjung mendapatkan jawaban. Ia memukul stir kemudi dengan keras, melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya sebelum akhirnya melajukan kendaraan roda empatnya, meninggalkan parkiran sebuah klub malam dengan kecepatan yang semakin meningkat. Kesadarannya masih tersisa 50%, cukup untuk mengendalikan emosinya yang meluap-luap.Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: rumah mertuanya, tempat di mana ia berharap bisa bertemu dengan sang istri, Azizah. Darino berharap kehadiran Azizah bisa menenangkan badai yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Ia mengarahkan mobilnya ke rumah mertuanya, melintasi jalanan yang sepi dengan perasaan yang campur aduk antara harapan dan ketidakpastian.Namun, setibanya di sana, harapannya perlahan memudar. Rumah mertuanya tampak sangat sepi, seperti tidak berpenghuni. Lampu-lampu padam, tidak ada suara kehidupan di dalamnya. Darino keluar dari mobilnya, melangkah dengan langkah berat menuju pintu d
Beberapa jam yang lalu ….Azizah menatap kedua mata suaminya yang penuh perhatian. "Mas, aku punya ide supaya Carisa tidak lagi mengganggu kita," katanya dengan nada tegas namun penuh harap.Darino mengerutkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Azizah. "Apa idemu, Sayang?" tanyanya, benar-benar ingin tahu.Azizah menghela napas sejenak, memastikan bahwa suaminya siap mendengarkan dengan serius. "Aku akan menyewa laki-laki untuk membuat Carisa malu di khalayak umum. Aku punya uang untuk menyewa, jadi kamu tidak perlu memikirkan biayanya," jelasnya, menaik-turunkan kedua alisnya.“Apa kamu yakin akan berhasil?”Azizah bergumam pelan, mengendikkan kedua bahunya, “Tidak tahu, tapi aku yakin sih bakalan berhasil. Aku ngehubungin orangnya kalau kamu setuju.” Kedua matanya menatap Darino dengan tatapan penuh harap.Darino mendengarkan dengan seksama, mencoba membayangkan bagaimana rencana itu bisa dijalankan. Setelah beberapa detik merenung, ia menyunggingkan senyum, me
Darino dan Carisa bertemu di sebuah kafe yang tenang. Carisa tampak senang saat mengetahui Darino mengajaknya berbicara berdua, senyum manis menghiasi wajahnya. Di sisi lain, Darino merasa berat hati untuk bertemu dengan Carisa, namun ia tahu ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan."Carisa, aku minta tolong, mulai sekarang jangan lagi menghubungi aku," katanya dengan nada tegas. Carisa terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Oke," jawabnya singkat, senyum di wajahnya tetap terjaga.Darino merasa sedikit lega walaupun dirinya seperti tidak yakin dengan apa yang dikatakan oleh Carisa.“Aku serius. Jangan pernah lagi menghubungiku,” tekannya sekali lagi, kali ini lebih tegas supaya ucapannya tidak dianggap main-main oleh Carisa yang bergumam pelan dan kepala yang mengangguk-angguk. “Aku juga tidak akan menghubungimu lagi. Kamu tenang saja, Darino. Lagipula, tanpa aku menghubungimu, kamu yang mendekat dan mengajaknya untuk bertemu seperti ini, kan?” oceh Carisa d