Share

Kebangkitan Istri Rahasia Sang CEO
Kebangkitan Istri Rahasia Sang CEO
Penulis: Nenghally

BAB 1

"Dia cuma nambah beban keluarga aja!" tukas Bu Cintya dengan nada tinggi pada Felix, anak sulungnya.

Mereka duduk di meja makan yang biasanya penuh kehangatan, kini berubah menjadi medan perdebatan.

Di kamar sebelah, Alyn sedang melipat baju dengan teliti. Suara obrolan mertua dan suaminya itu samar-samar masuk ke telinganya, setiap kata terasa seperti duri yang menusuk.

Felix menghela napas berat. Ini bukan kali pertama ibunya mengeluhkan Alyn. "Masa ibu suruh ke warung sayur beli beberapa bumbu dan sayuran aja gak bisa! Beres-beres rumah aja gak becus! Apa gunanya jadi wanita?" Suara Bu Cintya makin meninggi, seolah ingin seluruh rumah mendengarnya.

Felix berusaha meredakan situasi. "Udahlah Bu, sabar aja. Dia kan lagi hamil. Suruh yang ringan-ringan aja, lumayan daripada sewa pembantu," ujarnya lembut, berharap bisa menenangkan ibunya.

Dari kamar, Alyn mendengar semuanya. Kata-kata itu menembus jantungnya, mengoyak harga dirinya. Dalam diam, ia menahan amarah yang membara. Air matanya mengalir, namun ia tetap diam, menyimak dengan hati yang terluka.

Bu Cintya belum berhenti. "Terus gimana tadi fitting baju pernikahan sama Erika? Dia suka kan sama baju pilihan ibu? Ibu gak sabar punya menantu kayak dia."

Setiap kata terasa seperti tamparan keras bagi Alyn. Dadanya sesak, sakit hati menguasai dirinya. Tak tahan lagi, ia membuka pintu kamar dengan keras, suara yang menggema ke seluruh ruangan.

Tatapan Alyn begitu menyalang, penuh kemarahan dan kepedihan. Matanya menatap Felix dan Bu Cintya bergantian, mengungkapkan kekecewaan dan luka yang mendalam tanpa satu kata pun terucap. Sesaat, ruang makan itu terasa membeku dalam ketegangan yang tak terelakkan.

"Apa Mas? Erika?" suara Alyn bergetar, hampir pecah. Ia memandang Felix dengan mata yang penuh harapan akan sebuah penjelasan yang tak pernah ia duga.

Felix awalnya gelagapan, tak siap menghadapi amarah dan kesedihan yang terpancar dari mata istrinya. Namun, akhirnya ia menyahut dengan nada dingin, seakan mencoba melindungi dirinya dari kebenaran yang akan terlontar.

"A-Alyn ... ini ..." ujar Felix, berusaha memulai percakapan yang terasa lebih seperti sebuah eksekusi.

Tatapan mata Alyn tak berubah, tajam dan menuntut kejujuran. Felix menarik napas dalam, berusaha menata kalimatnya. "Ya, dia lebih baik dari kamu. Dia bisa bantu posisi aku di perusahaan. Tenang aja, kamu masih bisa tetap jadi istri pertama kok," ucapnya, kata-kata itu menggantung di udara, seperti sebuah belati yang ditikamkan ke hati Alyn.

Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Alyn terpaku, rasa sakit dan penghinaan menghancurkan setiap harapan dan cinta yang pernah ia tanam. Ia merasakan dunianya runtuh, patah menjadi keping-keping yang tak mungkin bisa diperbaiki.

"Bagaimana bisa?" gumam Alyn, hampir tak terdengar. Tangannya gemetar, memegangi perutnya yang mulai membesar, seolah berusaha melindungi dirinya dari kenyataan yang begitu kejam.

Bu Cintya memandangnya dengan tatapan meremehkan. "Sudahlah, Alyn. Terima saja. Kamu seharusnya bersyukur masih diberi tempat di rumah ini. Erika jauh lebih pantas untuk Felix. Lihat kamu setiap hari lusuh begini! Bikin malu aja Felix yang seorang CEO! Mana kamu miskin pula, gak menghasilkan apa-apa," katanya tanpa belas kasihan.

Alyn berdiri di tempatnya, air mata mengalir deras di pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, menahan amarah dan kesedihan yang tak tertahankan. Setiap kata Bu Cintya seperti racun yang merusak setiap inci kepercayaan dirinya.

Lusuh? Pikiran Alyn berputar penuh kemarahan. Baju bagus dan kosmetik yang ia miliki tak pernah tersentuh di meja riasnya. Jangankan harus bersolek, mandi saja ia di buru waktu.

Setiap pagi, Bu Cintya selalu mengomel sambil menggedor pintu kamar mandi agar Alyn cepat-cepat selesai dan mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara Bu Cintya, kerjanya hanya menggosip di depan warung sayur, menambah beban mental yang harus ditanggung Alyn setiap hari.

"Apa yang kamu inginkan dari aku, Bu? Aku sudah melakukan semua yang bisa aku lakukan!" seru Alyn, suaranya penuh dengan rasa putus asa. Ia merasa setiap harinya dihabiskan untuk memenuhi ekspektasi yang tak pernah cukup di mata mertuanya.

Alyn tak bisa lagi menahan tangisnya. Namun, di balik air mata yang mengalir, ada kekuatan yang mulai muncul. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah memberikan segalanya, namun tetap dianggap tak berharga.

Dengan mata yang masih berurai air mata, Alyn menatap Bu Cintya dan Felix dengan tatapan yang penuh keberanian. "Aku mungkin miskin, lusuh, dan tidak seberapa di mata kalian. Tapi aku manusia. Aku istri, aku ibu dari anak yang aku kandung. Dan aku berhak untuk dihargai," ujarnya dengan suara yang tegas meski bergetar.

"Heh, dengan aku tanggung jawab dari kehamilanmu aja itu udah menghargaimu! Kamu harusnya bersyukur!" hardik Felix dengan nada penuh penghinaan.

Kata-kata Felix membuat Alyn geram. Amarah yang telah lama ia pendam kini tak tertahan lagi. Ia maju, mengangkat tangannya hendak menampar Felix, ingin melampiaskan rasa sakit hati yang membara di dalam dadanya.

Namun, Bu Cintya dengan cepat menangkis tangan Alyn dan mendorongnya jatuh ke lantai. Tubuh Alyn terhempas keras, menambah luka fisik di tengah luka batinnya yang menganga.

Alyn merintih kesakitan, terutama karena ia sedang mengandung. Tangannya meraba perutnya yang mulai membesar, berusaha melindungi bayi yang dikandungnya.

"Berani-beraninya kamu mau nampar anakku! Dasar menantu udik gak tahu di untung!" hardik Bu Cintya dengan suara yang penuh kemarahan.

Alyn menatap dengan penuh dendam pada Felix dan Bu Cintya. Air mata tak lagi mampu menyuarakan rasa sakit hatinya. Namun, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang tak biasa. Darah mulai merembes di sekitar selangkangannya, menambah ketakutan yang tak terbayangkan.

"A-apa yang terjadi? Anakku!" Alyn terkejut dan segera memegang perutnya dengan panik. Ia menatap tajam kedua orang yang telah mendzaliminya, rasa sakit dan ketakutan tergambar jelas di wajahnya.

Dengan sisa-sisa kekuatannya, Alyn berseru, "Aku tak sudi dimadu! Ceraikan aku! Aku ingin cerai!" Kata-katanya terdengar jelas dan tegas, meski tubuhnya bergetar dan darah terus merembes.

Felix tersenyum mendengar seruan Alyn. "Cerai? Akan aku kabulkan! Sekarang kau bisa pergi dari sini!" katanya dengan dingin, seakan perkataan itu adalah hukuman yang ia tunggu-tunggu.

Bu Cintya tersenyum senang melihat Alyn yang berusaha bangkit. Ia tak peduli apa yang terjadi pada Alyn, selama menantunya itu keluar dari rumah mereka.

Alyn bangkit dengan meringis, merasakan sakit yang tajam di perutnya. Sesuatu yang buruk terjadi dengan janinnya, tapi ia menahan rasa sakit itu, bertekad untuk meninggalkan tempat yang penuh dengan penghinaan ini.

"Kalian akan menyesal," kata Alyn dengan tatapan dingin dan suara yang lemah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vya Kim
Alyn, ayo bangkit alyn!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status