"Dia cuma nambah beban keluarga aja!" tukas Bu Cintya dengan nada tinggi pada Felix, anak sulungnya.
Mereka duduk di meja makan yang biasanya penuh kehangatan, kini berubah menjadi medan perdebatan. Di kamar sebelah, Alyn sedang melipat baju dengan teliti. Suara obrolan mertua dan suaminya itu samar-samar masuk ke telinganya, setiap kata terasa seperti duri yang menusuk. Felix menghela napas berat. Ini bukan kali pertama ibunya mengeluhkan Alyn. "Masa ibu suruh ke warung sayur beli beberapa bumbu dan sayuran aja gak bisa! Beres-beres rumah aja gak becus! Apa gunanya jadi wanita?" Suara Bu Cintya makin meninggi, seolah ingin seluruh rumah mendengarnya. Felix berusaha meredakan situasi. "Udahlah Bu, sabar aja. Dia kan lagi hamil. Suruh yang ringan-ringan aja, lumayan daripada sewa pembantu," ujarnya lembut, berharap bisa menenangkan ibunya. Dari kamar, Alyn mendengar semuanya. Kata-kata itu menembus jantungnya, mengoyak harga dirinya. Dalam diam, ia menahan amarah yang membara. Air matanya mengalir, namun ia tetap diam, menyimak dengan hati yang terluka. Bu Cintya belum berhenti. "Terus gimana tadi fitting baju pernikahan sama Erika? Dia suka kan sama baju pilihan ibu? Ibu gak sabar punya menantu kayak dia." Setiap kata terasa seperti tamparan keras bagi Alyn. Dadanya sesak, sakit hati menguasai dirinya. Tak tahan lagi, ia membuka pintu kamar dengan keras, suara yang menggema ke seluruh ruangan. Tatapan Alyn begitu menyalang, penuh kemarahan dan kepedihan. Matanya menatap Felix dan Bu Cintya bergantian, mengungkapkan kekecewaan dan luka yang mendalam tanpa satu kata pun terucap. Sesaat, ruang makan itu terasa membeku dalam ketegangan yang tak terelakkan. "Apa Mas? Erika?" suara Alyn bergetar, hampir pecah. Ia memandang Felix dengan mata yang penuh harapan akan sebuah penjelasan yang tak pernah ia duga. Felix awalnya gelagapan, tak siap menghadapi amarah dan kesedihan yang terpancar dari mata istrinya. Namun, akhirnya ia menyahut dengan nada dingin, seakan mencoba melindungi dirinya dari kebenaran yang akan terlontar. "A-Alyn ... ini ..." ujar Felix, berusaha memulai percakapan yang terasa lebih seperti sebuah eksekusi. Tatapan mata Alyn tak berubah, tajam dan menuntut kejujuran. Felix menarik napas dalam, berusaha menata kalimatnya. "Ya, dia lebih baik dari kamu. Dia bisa bantu posisi aku di perusahaan. Tenang aja, kamu masih bisa tetap jadi istri pertama kok," ucapnya, kata-kata itu menggantung di udara, seperti sebuah belati yang ditikamkan ke hati Alyn. Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Alyn terpaku, rasa sakit dan penghinaan menghancurkan setiap harapan dan cinta yang pernah ia tanam. Ia merasakan dunianya runtuh, patah menjadi keping-keping yang tak mungkin bisa diperbaiki. "Bagaimana bisa?" gumam Alyn, hampir tak terdengar. Tangannya gemetar, memegangi perutnya yang mulai membesar, seolah berusaha melindungi dirinya dari kenyataan yang begitu kejam. Bu Cintya memandangnya dengan tatapan meremehkan. "Sudahlah, Alyn. Terima saja. Kamu seharusnya bersyukur masih diberi tempat di rumah ini. Erika jauh lebih pantas untuk Felix. Lihat kamu setiap hari lusuh begini! Bikin malu aja Felix yang seorang CEO! Mana kamu miskin pula, gak menghasilkan apa-apa," katanya tanpa belas kasihan. Alyn berdiri di tempatnya, air mata mengalir deras di pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, menahan amarah dan kesedihan yang tak tertahankan. Setiap kata Bu Cintya seperti racun yang merusak setiap inci kepercayaan dirinya. Lusuh? Pikiran Alyn berputar penuh kemarahan. Baju bagus dan kosmetik yang ia miliki tak pernah tersentuh di meja riasnya. Jangankan harus bersolek, mandi saja ia di buru waktu. Setiap pagi, Bu Cintya selalu mengomel sambil menggedor pintu kamar mandi agar Alyn cepat-cepat selesai dan mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara Bu Cintya, kerjanya hanya menggosip di depan warung sayur, menambah beban mental yang harus ditanggung Alyn setiap hari. "Apa yang kamu inginkan dari aku, Bu? Aku sudah melakukan semua yang bisa aku lakukan!" seru Alyn, suaranya penuh dengan rasa putus asa. Ia merasa setiap harinya dihabiskan untuk memenuhi ekspektasi yang tak pernah cukup di mata mertuanya. Alyn tak bisa lagi menahan tangisnya. Namun, di balik air mata yang mengalir, ada kekuatan yang mulai muncul. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah memberikan segalanya, namun tetap dianggap tak berharga. Dengan mata yang masih berurai air mata, Alyn menatap Bu Cintya dan Felix dengan tatapan yang penuh keberanian. "Aku mungkin miskin, lusuh, dan tidak seberapa di mata kalian. Tapi aku manusia. Aku istri, aku ibu dari anak yang aku kandung. Dan aku berhak untuk dihargai," ujarnya dengan suara yang tegas meski bergetar. "Heh, dengan aku tanggung jawab dari kehamilanmu aja itu udah menghargaimu! Kamu harusnya bersyukur!" hardik Felix dengan nada penuh penghinaan. Kata-kata Felix membuat Alyn geram. Amarah yang telah lama ia pendam kini tak tertahan lagi. Ia maju, mengangkat tangannya hendak menampar Felix, ingin melampiaskan rasa sakit hati yang membara di dalam dadanya. Namun, Bu Cintya dengan cepat menangkis tangan Alyn dan mendorongnya jatuh ke lantai. Tubuh Alyn terhempas keras, menambah luka fisik di tengah luka batinnya yang menganga. Alyn merintih kesakitan, terutama karena ia sedang mengandung. Tangannya meraba perutnya yang mulai membesar, berusaha melindungi bayi yang dikandungnya. "Berani-beraninya kamu mau nampar anakku! Dasar menantu udik gak tahu di untung!" hardik Bu Cintya dengan suara yang penuh kemarahan. Alyn menatap dengan penuh dendam pada Felix dan Bu Cintya. Air mata tak lagi mampu menyuarakan rasa sakit hatinya. Namun, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang tak biasa. Darah mulai merembes di sekitar selangkangannya, menambah ketakutan yang tak terbayangkan. "A-apa yang terjadi? Anakku!" Alyn terkejut dan segera memegang perutnya dengan panik. Ia menatap tajam kedua orang yang telah mendzaliminya, rasa sakit dan ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Alyn berseru, "Aku tak sudi dimadu! Ceraikan aku! Aku ingin cerai!" Kata-katanya terdengar jelas dan tegas, meski tubuhnya bergetar dan darah terus merembes. Felix tersenyum mendengar seruan Alyn. "Cerai? Akan aku kabulkan! Sekarang kau bisa pergi dari sini!" katanya dengan dingin, seakan perkataan itu adalah hukuman yang ia tunggu-tunggu. Bu Cintya tersenyum senang melihat Alyn yang berusaha bangkit. Ia tak peduli apa yang terjadi pada Alyn, selama menantunya itu keluar dari rumah mereka. Alyn bangkit dengan meringis, merasakan sakit yang tajam di perutnya. Sesuatu yang buruk terjadi dengan janinnya, tapi ia menahan rasa sakit itu, bertekad untuk meninggalkan tempat yang penuh dengan penghinaan ini. "Kalian akan menyesal," kata Alyn dengan tatapan dingin dan suara yang lemah.Dengan langkah cepat, Alyn masuk ke kamarnya. Mengemas sedikit baju-bajunya yang sudah lusuh dan usang, harta yang ia miliki sangat sedikit. Felix sangat perhitungan, ia hanya memberi uang bulanan pada ibunya, jadi Alyn tak pernah menerima uang untuk belanja dengan layak.Dia bilang memalukan? Tapi dia sendiri tak memberinya nafkah dengan benar. Dengan dendam yang membara di hati, Alyn melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan Felix dan Bu Cintya yang masih mengomel karena darah yang menggenang di lantai rumah lebih mereka perhatikan daripada kondisi Alyn.Alyn berjalan tertatih, darah mengalir di kakinya. Setiap langkah terasa berat, tetapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit yang ia rasakan. Alyn menghentikan sepeda motor yang lewat dihapannya."Tolong, saya ... Saya takut terjadi apa-apa dengan anak saya," sahut Alyn sambil menitikkan air mata. Suaranya bergetar, penuh rasa takut dan putus asa."Ayo, saya antar ke rumah sakit!" jawab pria itu cepat, penuh empati.Alyn pun dibon
Alyn menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Suara di ujung telepon terasa seperti suara dari masa lalu yang tak pernah diharapkannya. "Apa benar ini ayah?" tanyanya dengan nada tak percaya.“Alyn? Kamu di rumah sakit?” Suara ayahnya terdengar tegas namun penuh kekhawatiran. Suara yang sangat familiar, namun sudah lama tidak ia dengar."Ya, Ayah. Aku di rumah sakit," jawab Alyn dengan suara yang hampir tak terdengar. Air mata membasahi pipinya, campuran antara kelegaan dan kesedihan. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah sebelumnya?” tanya ayahnya, nada suaranya semakin penuh perhatian.Alyn menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku ... aku mengalami keguguran, Ayah. Felix dan keluarganya... mereka...” Suaranya pecah oleh isakan yang tak tertahan.“Alyn, tenanglah. Ayah akan segera ke sana. Kamu tidak perlu khawatir tentang apapun,” ujar ayahnya dengan nada lembut.“Ayah... kenapa Ayah menelepon? Setelah sekian lama...” Alyn tidak
Setelah kondisinya membaik, Alyn dibawa kembali ke rumah Anggara untuk beristirahat. Rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi itu menyambutnya dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya kenangan bersama Felix. Rumah Anggara adalah lambang kemewahan dan keanggunan seorang pengusaha besar. Bangunan megah dengan arsitektur klasik modern dikelilingi oleh taman yang luas, dipenuhi bunga-bunga yang selalu mekar. Banyak pelayan sigap melayani setiap kebutuhan Alyn, memastikan ia merasa nyaman dan diperhatikan. Saat Alyn memasuki kamar yang sudah lama tidak ia tempati, ia merasakan kehangatan dan nostalgia masa kecilnya. Ibunya telah meninggal lama, sehingga ia dibesarkan sendirian oleh ayahnya. Meskipun Anggara keras dan tegas, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah hilang. Alyn berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar yang dikenalnya. Dengan hati yang penuh emosi, ia memikirkan masa lalu. “Ini semua terasa begitu jauh,” gumamnya pelan, tangannya memeluk bantal dengan era
Bryan adalah asisten kepercayaan Tuan Anggara, ayah Alyn. Sebagai asisten yang setia, Bryan selalu ada di sisi Tuan Anggara, membantu mengurus berbagai urusan bisnis dan pribadi. Dalam perjalanannya, ia sering bertemu dengan Alyn, anak tunggal majikannya. Mereka sering berbincang ringan, dan dari pertemuan-pertemuan itu, Bryan mulai menaruh hati pada Alyn. Ia terpesona oleh kelembutan dan keanggunan Alyn, tetapi ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang asisten. Tak mungkin ia menyukai anak majikannya. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Bryan semakin dalam. Suatu hari, dia merasa sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Bryan berniat untuk menyatakan cintanya kepada Alyn, berharap ia bisa memahami dan merasakan hal yang sama. Sore itu, Bryan melihat Alyn duduk di taman belakang, menangis terisak-isak. Ia merasa hatinya hancur melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. Dengan langkah hati-hati, Bryan mendekati Alyn. "Alyn, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya lembut
Satu sore yang tenang, saat Alyn baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, terdengar ketukan lembut di pintu kontrakannya. Alyn membuka pintu dan mendapati Bryan berdiri di sana, membawa beberapa kantong belanjaan.“Bryan?” Alyn terlihat terkejut. “Apa yang membawamu ke sini?”Bryan memberikan senyuman lembut dan melangkah masuk dengan izin. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja,” katanya sambil meletakkan kantong-kantong belanjaan di meja kecil di ruang tamu. “Aku membawa beberapa persediaan makanan dan barang-barang yang mungkin kau butuhkan.”Alyn merasa tersentuh oleh perhatian Bryan. “Terima kasih banyak, Bryan. Kau tidak perlu repot-repot begini.”Bryan mengangguk dan mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong. “Aku tahu ini tidak banyak, tapi aku berharap ini bisa membantu. Ada beberapa bahan makanan segar dan beberapa makanan siap saji.”Alyn memperhatikan dengan rasa syukur saat Bryan menata barang-barang di meja. “Aku benar-benar menghargai ini. Sel
Dengan sorot matanya yang tajam, Felix Putra Wijaya duduk di kursi presiden di ruang rapat Wijaya Group. Layar komputer di depannya memantulkan cahaya biru yang tenang, kontras dengan kegelapan di luar jendela kaca besar yang menghadap ke kota metropolitan yang sibuk.Felix memeriksa laporan keuangan terbaru, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama yang hampir tidak terdengar di antara bisikan AC yang berdentum.Suasana tegang terasa di ruangan itu, bukan hanya karena kompetisi yang semakin ketat di industri, tetapi juga karena kehadiran yang tak terlihat tetapi sangat kuat: Pak Putra, sang ayah yang merupakan pendiri perusahaan ini."Bagaimana perkembangan proyek ekspansi kita, Pak?" tanya Felix, matanya tetap terpaku pada layar, mencoba mempertahankan sikapnya yang tegas sebagai pemimpin perusahaan.Pak Putra, seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih namun energinya masih membara, mengangguk pelan sambil memeriksa catatan yang dia bawa."Ka
Rio Putra Wijaya adalah putra kedua dari Pak Putra. Dia baru saja kembali setelah menyelesaikan studinya di luar negeri sebagai peraih beasiswa terbaik. Sejak kedatangannya, Rio merasa ada yang tidak beres. Dia tidak diberi tahu tentang pernikahan rahasia kakaknya, Felix, dan malah mendengarnya dari pembantu di rumah.Dalam keluarga Wijaya yang terkenal dengan ketegasan dan keangkuhannya, Rio adalah sosok yang berbeda. Dibandingkan dengan Felix yang serius dan kaku, Rio memiliki sikap yang lebih lembut dan perhatian terhadap orang lain. "Mas, kenapa kamu tidak memberi tahu aku tentang pernikahanmu?" tanya Rio pada Felix dengan ekspresi campuran antara kekecewaan dan kebingungan. Mereka duduk bersama di ruang keluarga yang megah, suasana hening di antara mereka.Felix menatap adiknya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Dia tahu bahwa Rio adalah satu-satunya anggota keluarga yang mungkin memahami perasaannya, tetapi dia juga tahu betapa rumitnya situasi yang telah dia ciptakan deng
Setelah makan malam selesai, suasana di rumah keluarga Wijaya masih diselimuti keheningan. Namun, di balik keheningan itu, ada badai yang berkecamuk di dalam hati Felix. Dengan langkah cepat dan penuh tekad, ia menuju kamar adiknya, Rio, yang berada di lantai atas.Felix membuka pintu kamar Rio tanpa mengetuk, langsung memasuki ruangan dengan wajah yang penuh amarah. Rio, yang sedang duduk santai di tempat tidurnya dengan sebuah buku di tangan, mendongak dan menatap kakaknya dengan tenang.Dia sudah bisa menebak bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan baik, tetapi dia tetap tenang, menunggu apa yang akan Felix katakan."Kenapa kau kembali? Dan kenapa kau ingin memimpin perusahaan?" tanya Felix dengan nada tajam dan penuh kekhawatiran. Sorot matanya menunjukkan kecemasan yang mendalam, seolah-olah kehadiran Rio mengancam posisinya dalam keluarga.Rio meletakkan bukunya dengan tenang di atas meja samping tempat tidur, kemudian menatap kakaknya dengan pandangan yang tajam. Tidak