Setelah kondisinya membaik, Alyn dibawa kembali ke rumah Anggara untuk beristirahat. Rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi itu menyambutnya dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya kenangan bersama Felix.
Rumah Anggara adalah lambang kemewahan dan keanggunan seorang pengusaha besar. Bangunan megah dengan arsitektur klasik modern dikelilingi oleh taman yang luas, dipenuhi bunga-bunga yang selalu mekar. Banyak pelayan sigap melayani setiap kebutuhan Alyn, memastikan ia merasa nyaman dan diperhatikan. Saat Alyn memasuki kamar yang sudah lama tidak ia tempati, ia merasakan kehangatan dan nostalgia masa kecilnya. Ibunya telah meninggal lama, sehingga ia dibesarkan sendirian oleh ayahnya. Meskipun Anggara keras dan tegas, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah hilang. Alyn berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar yang dikenalnya. Dengan hati yang penuh emosi, ia memikirkan masa lalu. “Ini semua terasa begitu jauh,” gumamnya pelan, tangannya memeluk bantal dengan erat. Dalam pikirannya, ia kembali ke momen pertama kali bertemu dengan Felix di perusahaan. Felix, dengan karisma dan wibawanya, berhasil memikat hatinya. Alyn teringat bagaimana ia, sebagai sekretaris Felix, sering melihat sisi profesionalnya yang bertanggung jawab. Mata Alyn berkaca-kaca mengingat semua itu. "Aku begitu bodoh," bisiknya pada diri sendiri. "Mengira bahwa Felix adalah segalanya yang aku butuhkan. Tapi ternyata, dia hanya topeng belaka." Pada awalnya, Alyn berharap pernikahan rahasianya akan membawa kedekatan antara dia dan Felix. Namun, harapan itu segera memudar. Kehidupan Alyn tidak seperti yang dia bayangkan. Felix tetap menjaga jarak, sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai CEO dan tekanan dari kedua orang tuanya. Dia jarang berbicara banyak dengan Alyn, bahkan di dalam rumah tangga mereka sendiri. Pikiran Alyn terpecah, saat sebuah ketukan lembut terdengar di pintu. Seorang pelayan masuk dengan membawa secangkir teh hangat. “Nyonya Anggara, ini teh hangat untuk membantu Anda beristirahat,” kata pelayan dengan ramah. “Terima kasih,” jawab Alyn, menerima cangkir teh dengan tangan yang masih gemetar. “Kalian semua sangat baik.” Pelayan membungkuk sopan dan meninggalkan ruangan. Alyn menatap cangkir teh di tangannya dan merasakan kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia menghirup aroma teh yang menenangkan dan membiarkan pikirannya merenung pada rencana-rencana yang akan datang. "Aku akan bangkit," gumamnya, menatap langit-langit kamar yang tinggi. "Aku akan menunjukkan kepada mereka siapa Alyn sebenarnya." Alyn meletakkan cangkir itu di meja, merasa bosan dengan suasana kamar yang hanya membuat pikirannya kembali mengingat Felix. Ia memutuskan untuk keluar dan menghirup udara segar di taman belakang rumahnya yang luas. Taman itu bukan sekadar halaman biasa, melainkan hutan buatan yang indah. Hamparan tanah begitu luas, dengan pepohonan tinggi dan semak-semak hijau yang menyejukkan mata. Ayahnya sering bermain golf di sana, menikmati ketenangan dan keindahan alam buatan itu. Saat Alyn sedang berjalan-jalan santai di tengah taman, tiba-tiba suara tembakan mengejutkannya. Ia segera menutup telinganya dan berjongkok, merasa ketakutan. Di depannya, seekor burung yang tertembak jatuh begitu saja, membuat hatinya semakin berdebar kencang. Tiba-tiba, terdengar langkah kaki yang berat mendekat. Alyn tetap menunduk, masih dalam keadaan syok mendengar suara tembakan dan melihat burung yang mati di depannya. "Oh maaf! Kau tidak apa-apa?" Suara seorang pria terdengar, penuh kekhawatiran. Alyn masih menunduk, berusaha menenangkan dirinya. Pria itu berjongkok di samping Alyn, mencoba membuatnya merasa aman. "Hei, tenanglah. Aku tidak sengaja menakutimu," katanya lembut. Alyn perlahan mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan mata yang masih terkejut. Ia melihat seorang pria tinggi dengan rambut hitam dan mata tajam, tampak khawatir dan merasa bersalah. "Bryan? A-apa yang terjadi?" tanya Alyn, suaranya masih bergetar. "Oh Nona Alyn! Ma-maksudku Nyonya, maafkan aku tak tahu kau ternyata kembali ke sini. Aku sedang berlatih menembak. Tidak sengaja menakutimu. Aku sungguh minta maaf," jawab pria itu, menatap Alyn dengan penuh penyesalan. Alyn menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Tidak apa-apa. Hanya saja, aku terkejut. Terkejut dengan berbagai hal, ternyata aku bisa bertemu lagi denganmu …." "Nyonya, bangunlah," kata Bryan, membantu Alyn berdiri dan mengajaknya duduk di bangku. "Maafkan aku jika ini membuatmu tidak nyaman, Nyonya Alyn. Aku akan berhati-hati ke depannya," ucap Bryan sambil membungkukkan tubuhnya dengan sopan dan profesional. Alyn mengangguk, mencoba meredakan rasa takutnya. "Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut. Kapan kamu kembali? Bukankah ayah mengirimu ke luar negeri?" Bryan mengangkat bahu. "Aku sudah lama kembali. Aku tahu ini tidak ideal, tapi aku senang kembali ke sini." Bagi Alyn, Bryan bukan hanya seorang sahabat atau kepercayaan ayahnya, tetapi lebih dari itu. Bryan adalah sosok yang sangat dekat dengan keluarganya, terutama dengan dirinya sendiri. Mereka memiliki ikatan yang sudah terjalin sejak lama, sejak masa kecil Alyn. Ketika Alyn merasakan keputusasaan dan kesepian, Bryan adalah sosok yang bisa diandalkan untuk memberikan dukungan emosional dan semangat. Bagi Alyn, Bryan adalah bagian dari masa lalu dan kenangan indah yang tidak bisa dilupakan. Pelayan menghampiri mereka dan berkata dengan sopan, "Nyonya Alyn, Tuan Bryan, Tuan Anggara memanggil kalian ke ruangannya. Mohon ikut saya." Alyn dan Bryan mengikuti pelayan menuju ruang kerja Tuan Anggara, sebuah ruangan yang luas dan bergaya klasik dengan perabotan mewah. Setibanya di depan pintu, pelayan membuka pintu dan memberi isyarat untuk masuk. Di dalam ruangan, Tuan Anggara duduk di belakang meja kerjanya yang besar, tampak serius namun ramah. Dia tersenyum ketika melihat Alyn dan Bryan memasuki ruangan. "Alyn, Bryan, terima kasih telah datang. Aku ingin memastikan kalian merasa nyaman di sini," ujar Tuan Anggara dengan nada hangat. Alyn mengangguk, merasa terharu atas perhatian ayahnya. "Terima kasih, Ayah. Kami baik-baik saja." Tuan Anggara memandang Bryan dengan penuh rasa terima kasih. "Bryan, aku sangat menghargai bantuanmu." Bryan membungkuk sedikit, "Terima kasih, Tuan Anggara. Itu adalah tugas dan kehormatan saya." Tuan Anggara memandang Alyn dan Bryan dengan serius. "Alyn, setelah mempertimbangkan situasi saat ini, aku merasa bahwa Bryan bisa memberikan dukungan lebih besar untukmu. Aku ingin agar Bryan menjadi asisten pribadi kamu mulai sekarang." Alyn tampak terkejut namun merasa lega. "Bryan? Benarkah?" Bryan, yang sudah lama bekerja dengan keluarga Anggara, memberikan senyuman penuh keyakinan. "Nyonya Alyn, jika Tuan Anggara memutuskan demikian, aku akan melakukan yang terbaik untuk mendukungmu." Tuan Anggara melanjutkan, "Bryan sudah lama bekerja dengan kita dan memahami banyak hal tentang keluarga ini. Aku percaya dia adalah orang yang tepat untuk membantu kamu menavigasi situasi ini dan memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik." Bryan mengangguk. "Aku akan melakukan yang terbaik, Nyonya Alyn." Tuan Anggara menambahkan, "Bagus. Semoga ini bisa membantu Alyn merasa lebih tenang dan terfokus pada masa depan. Aku percaya kalian akan melakukan pekerjaan yang luar biasa." Saat Alyn dan Bryan beranjak dari ruang kerja Tuan Anggara, pandangan Alyn tertarik pada sebuah undangan di atas meja. Itu adalah undangan pernikahan Felix dan Ericka. Undangan tersebut menonjol dengan desain elegan dan mewah, mencolok di antara tumpukan dokumen dan barang-barang lainnya. Nama Felix dan Ericka tertulis dengan indah, bersama dengan tanggal dan lokasi acara. Alyn merasa hatinya tercekat melihat undangan itu. Rasa sakit dan kepedihan dari masa lalu kembali muncul, dan dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari undangan tersebut. Kenangan tentang pernikahannya sendiri, yang kini terasa seperti mimpi buruk, dan hubungan dingin yang dialaminya dengan Felix, semuanya muncul dalam pikirannya. "Apa aku benar-benar bisa melanjutkan hidupku?" gumam Alyn pelan, sambil meremas ujung kursi.Bryan adalah asisten kepercayaan Tuan Anggara, ayah Alyn. Sebagai asisten yang setia, Bryan selalu ada di sisi Tuan Anggara, membantu mengurus berbagai urusan bisnis dan pribadi. Dalam perjalanannya, ia sering bertemu dengan Alyn, anak tunggal majikannya. Mereka sering berbincang ringan, dan dari pertemuan-pertemuan itu, Bryan mulai menaruh hati pada Alyn. Ia terpesona oleh kelembutan dan keanggunan Alyn, tetapi ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang asisten. Tak mungkin ia menyukai anak majikannya. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Bryan semakin dalam. Suatu hari, dia merasa sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Bryan berniat untuk menyatakan cintanya kepada Alyn, berharap ia bisa memahami dan merasakan hal yang sama. Sore itu, Bryan melihat Alyn duduk di taman belakang, menangis terisak-isak. Ia merasa hatinya hancur melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. Dengan langkah hati-hati, Bryan mendekati Alyn. "Alyn, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya lembut
Satu sore yang tenang, saat Alyn baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, terdengar ketukan lembut di pintu kontrakannya. Alyn membuka pintu dan mendapati Bryan berdiri di sana, membawa beberapa kantong belanjaan.“Bryan?” Alyn terlihat terkejut. “Apa yang membawamu ke sini?”Bryan memberikan senyuman lembut dan melangkah masuk dengan izin. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja,” katanya sambil meletakkan kantong-kantong belanjaan di meja kecil di ruang tamu. “Aku membawa beberapa persediaan makanan dan barang-barang yang mungkin kau butuhkan.”Alyn merasa tersentuh oleh perhatian Bryan. “Terima kasih banyak, Bryan. Kau tidak perlu repot-repot begini.”Bryan mengangguk dan mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong. “Aku tahu ini tidak banyak, tapi aku berharap ini bisa membantu. Ada beberapa bahan makanan segar dan beberapa makanan siap saji.”Alyn memperhatikan dengan rasa syukur saat Bryan menata barang-barang di meja. “Aku benar-benar menghargai ini. Sel
Dengan sorot matanya yang tajam, Felix Putra Wijaya duduk di kursi presiden di ruang rapat Wijaya Group. Layar komputer di depannya memantulkan cahaya biru yang tenang, kontras dengan kegelapan di luar jendela kaca besar yang menghadap ke kota metropolitan yang sibuk.Felix memeriksa laporan keuangan terbaru, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama yang hampir tidak terdengar di antara bisikan AC yang berdentum.Suasana tegang terasa di ruangan itu, bukan hanya karena kompetisi yang semakin ketat di industri, tetapi juga karena kehadiran yang tak terlihat tetapi sangat kuat: Pak Putra, sang ayah yang merupakan pendiri perusahaan ini."Bagaimana perkembangan proyek ekspansi kita, Pak?" tanya Felix, matanya tetap terpaku pada layar, mencoba mempertahankan sikapnya yang tegas sebagai pemimpin perusahaan.Pak Putra, seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih namun energinya masih membara, mengangguk pelan sambil memeriksa catatan yang dia bawa."Ka
Rio Putra Wijaya adalah putra kedua dari Pak Putra. Dia baru saja kembali setelah menyelesaikan studinya di luar negeri sebagai peraih beasiswa terbaik. Sejak kedatangannya, Rio merasa ada yang tidak beres. Dia tidak diberi tahu tentang pernikahan rahasia kakaknya, Felix, dan malah mendengarnya dari pembantu di rumah.Dalam keluarga Wijaya yang terkenal dengan ketegasan dan keangkuhannya, Rio adalah sosok yang berbeda. Dibandingkan dengan Felix yang serius dan kaku, Rio memiliki sikap yang lebih lembut dan perhatian terhadap orang lain. "Mas, kenapa kamu tidak memberi tahu aku tentang pernikahanmu?" tanya Rio pada Felix dengan ekspresi campuran antara kekecewaan dan kebingungan. Mereka duduk bersama di ruang keluarga yang megah, suasana hening di antara mereka.Felix menatap adiknya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Dia tahu bahwa Rio adalah satu-satunya anggota keluarga yang mungkin memahami perasaannya, tetapi dia juga tahu betapa rumitnya situasi yang telah dia ciptakan deng
Setelah makan malam selesai, suasana di rumah keluarga Wijaya masih diselimuti keheningan. Namun, di balik keheningan itu, ada badai yang berkecamuk di dalam hati Felix. Dengan langkah cepat dan penuh tekad, ia menuju kamar adiknya, Rio, yang berada di lantai atas.Felix membuka pintu kamar Rio tanpa mengetuk, langsung memasuki ruangan dengan wajah yang penuh amarah. Rio, yang sedang duduk santai di tempat tidurnya dengan sebuah buku di tangan, mendongak dan menatap kakaknya dengan tenang.Dia sudah bisa menebak bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan baik, tetapi dia tetap tenang, menunggu apa yang akan Felix katakan."Kenapa kau kembali? Dan kenapa kau ingin memimpin perusahaan?" tanya Felix dengan nada tajam dan penuh kekhawatiran. Sorot matanya menunjukkan kecemasan yang mendalam, seolah-olah kehadiran Rio mengancam posisinya dalam keluarga.Rio meletakkan bukunya dengan tenang di atas meja samping tempat tidur, kemudian menatap kakaknya dengan pandangan yang tajam. Tidak
Suasana di rumah Tuan Anggara sangat tenang, dengan hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui pepohonan di taman belakang. Ruangan utama dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit. Tuan Anggara sedang duduk di ruang kerjanya yang luas, memeriksa beberapa dokumen penting di meja kayu mahoni yang besar.Di luar, suasana malam yang hening memberikan ketenangan tersendiri. Semua orang di rumah telah beristirahat, kecuali Tuan Anggara yang masih tenggelam dalam pekerjaannya. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, matanya tetap tajam dan penuh perhatian, seperti biasa saat dia menyelami bisnis yang telah dia bangun selama puluhan tahun.Namun, ketenangan itu segera terpecah saat dering telepon yang tergeletak di meja sampingnya berbunyi. Tuan Anggara mengambilnya dengan tenang, melihat nama yang tertera di layar sebelum menjawabnya."Alyn," gumamnya pelan, sedikit terkejut namun tetap tenang."Ayah, putuskan semua kontrak kerja sama k
"Aku siap menghadapi hari ini," gumam Alyn pada dirinya sendiri saat dia bangun pagi itu, merasakan semangat yang mengalir dalam tubuhnya.Dia berjalan ke cermin, menatap bayangannya dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Hari ini, aku akan mengambil kembali kendaliku," lanjutnya, suara dalam hatinya terdengar semakin kuat.Alyn mulai merias diri, mengusap lembut wajahnya dengan bedak yang memberikan kesan natural, namun tetap menonjolkan keanggunannya. "Kau harus bersinar lebih terang, Alyn," dia berbicara pada refleksinya di cermin, sambil merapikan rambutnya yang jatuh dengan indah di bahunya.Setelah puas dengan penampilannya, Alyn memilih setelan kerja terbaiknya, mengenakan blazer hitam yang elegan, dipadukan dengan rok pensil dan blus putih.Sebelum berangkat, Alyn kembali menatap cermin, memastikan setiap detailnya sempurna. "Aku siap," dia mengucapkan dengan penuh keyakinan, mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar kamar.Saat Alyn membuka pintu kontrakannya dan melangkah kel
Begitu lampu di dalam lift padam dan kegelapan menyelimuti mereka, Alyn merasakan dunia di sekitarnya mulai berputar. Detak jantungnya berpacu semakin cepat, napasnya tersengal-sengal dalam kegelapan yang pekat."Alyn, tenang...," suara Rio terdengar samar di telinganya, tetapi itu tidak cukup untuk menahan tubuhnya yang mulai kehilangan kekuatan.Dengan sekejap, lutut Alyn melemas, dan sebelum Rio sempat meraih tangannya, dia terjatuh ke lantai lift, pingsan tanpa suara.Rio merasakan kepanikan menguasainya. Dalam kegelapan yang mencekam, dia meraba-raba, mencari Alyn yang tergeletak di lantai. "Alyn! Bangun!" seru Rio, suaranya penuh kekhawatiran, namun Alyn tidak merespons.Di dalam lift yang kini menjadi ruang tertutup yang menyesakkan, Rio hanya bisa memeluk Alyn, berharap seseorang di luar sana akan segera menyadari apa yang terjadi pada mereka.Rio merogoh saku jasnya dengan tangan yang gemetar, mencari ponselnya di tengah kegelapan yang menekan. Setelah berhasil menemukannya,
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny