Share

BAB 3

Alyn menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Suara di ujung telepon terasa seperti suara dari masa lalu yang tak pernah diharapkannya. 

"Apa benar ini ayah?" tanyanya dengan nada tak percaya.

“Alyn? Kamu di rumah sakit?” Suara ayahnya terdengar tegas namun penuh kekhawatiran. Suara yang sangat familiar, namun sudah lama tidak ia dengar.

"Ya, Ayah. Aku di rumah sakit," jawab Alyn dengan suara yang hampir tak terdengar. Air mata membasahi pipinya, campuran antara kelegaan dan kesedihan. 

“Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah sebelumnya?” tanya ayahnya, nada suaranya semakin penuh perhatian.

Alyn menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku ... aku mengalami keguguran, Ayah. Felix dan keluarganya... mereka...” Suaranya pecah oleh isakan yang tak tertahan.

“Alyn, tenanglah. Ayah akan segera ke sana. Kamu tidak perlu khawatir tentang apapun,” ujar ayahnya dengan nada lembut.

“Ayah... kenapa Ayah menelepon? Setelah sekian lama...” Alyn tidak dapat menahan pertanyaannya.

Sejak pernikahannya dengan Felix, hubungan dengan ayahnya hampir sepenuhnya terputus.

“Ayah selalu memantau kamu, Nak. Ayah tidak pernah benar-benar meninggalkanmu. Ayah tahu apa yang terjadi dengan Felix dan keluarganya. Sekarang, Ayah ingin kamu pulang,” jawab ayahnya.

Air mata Alyn mengalir deras. Setelah merasa sendirian begitu lama, mendengar kata-kata ayahnya memberi secercah harapan.

“Terima kasih, Ayah. Aku... aku sangat butuh Ayah sekarang,” katanya dengan suara penuh emosi.

"Pintu rumah kita selalu terbuka untukmu, Alyn. Ayah akan segera ke rumah sakit. Kamu hanya perlu beristirahat sekarang," ujar ayahnya sebelum menutup telepon.

Di ranjang rumah sakit, Alyn merenung dengan pikiran yang penuh kekacauan. Beberapa saat kemudian, suster kembali masuk dengan makanan dan obat-obatan. Aroma makanan yang sederhana terasa menenangkan, meskipun nafsu makannya sangat minim. 

“Ini obat dan makan siang Anda, Nyonya Anggara. Semoga Anda merasa sedikit lebih baik setelah makan ini,” kata suster sambil meletakkan tray makanan di meja samping ranjang.

“Terima kasih, Sus,” jawab Alyn dengan suara lembut, mencoba mengangkat sendok meski tangannya masih bergetar.

Alyn menatap makanan itu, mengingat kembali kenangannya saat berada di rumah Bu Chintya. Entah kapan terakhir kali dia bisa makan enak, pola makannya pun sering kali tidak teratur karena harus mengerjakan pekerjaan rumah.

Bu Chintya hanya memperhatikan perut anaknya kenyang, namun tak pernah memikirkan kesehatan Alyn dan juga bayinya. 

“Ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya suster, memperhatikan Alyn yang tampak tidak bersemangat.

“Aku... tidak tahu. Mungkin hanya butuh waktu,” kata Alyn, sambil mengambil suapan kecil ayam panggang dan mengunyahnya dengan malas.

Suster mengangguk dengan penuh pengertian. “Saya akan memberitahu dokter tentang kondisi Anda. Jika Anda membutuhkan sesuatu atau ada yang ingin Anda bicarakan, jangan ragu untuk meminta bantuan.”

Setelah suster meninggalkan ruangan, Alyn melanjutkan makan dengan lebih tekun. Meskipun makanan terasa hambar, dia merasa sedikit lebih kuat dengan bantuan dan dukungan yang dia terima. 

Beberapa jam kemudian, Anggara, ayah Alyn, tiba di rumah sakit. Wajahnya menunjukkan campuran kekhawatiran dan kemarahan saat melihat putri kesayangannya satu-satunya terluka. Ia segera mendekat, matanya berkaca-kaca saat menatap Alyn.

“Apa yang terjadi padamu sampai keguguran?” Suara Anggara bergetar, penuh kemarahan yang terpendam.

“Maafkan aku, Ayah. Seharusnya aku mendengarkan Ayah untuk tidak dekat-dekat dengan Felix. Kini aku mengalami semua ini,” jawab Alyn dengan penuh penyesalan.

Anggara menatap anaknya dan penampilan lusuhnya. Ia menahan tangis yang hampir pecah, tidak rela melihat putrinya diperlakukan semena-mena.

“Ayah akan membeli perusahaan itu dan mengeluarkan Felix! Dia tidak tahu dengan siapa dia berhadapan!” seru Anggara dengan penuh kemarahan dan tekad.

Alyn terkejut mendengar kata-kata ayahnya. “Ayah, apakah Ayah yakin? Felix dan keluarganya sangat bergantung pada perusahaannya yang baru berkembang itu. Bukankah akan ada dampak besar jika Ayah membelinya?”

“Ayah tidak peduli! Tidak ada satu orang pun yang berhak menyakiti putri Ayah seperti ini! Ayah akan mengambil alih semua yang seharusnya menjadi milikmu, dan memastikan bahwa Felix tidak akan pernah bisa menyentuhmu lagi,” tegas Anggara.

Alyn menunduk, merasakan gelombang emosi yang membuncah. Meski ia berusaha tegar, rasa sakitnya begitu dalam.

“Dan juga ternyata benar, rumor di perusahaan sudah menyebar luas! Felix akan menikahi Erika? Mereka bahkan sudah memesan baju pengantin! Kenapa kau tidak memberi tahukan semuanya itu padaku?” tatap ayahnya nanar, penuh dengan kekecewaan.

“Aku... aku hanya tidak ingin Ayah khawatir. Lagi pula ini adalah pilihanku, jadi aku akan bertanggung jawab atas kesalahanku,” jawab Alyn, terus mengusap air matanya, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang mendalam.

Anggara menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Akan kuputuskan kontrak kerja sama dengan keluarga Erika!” seru Anggara, suaranya penuh kemarahan.

“Tunggu, Ayah, jangan!” Alyn tiba-tiba mengangkat wajahnya, matanya yang merah menatap ayahnya dengan tekad. “Biarkan aku yang menangani mereka. Tak perlu Ayah mengotori tangan demi seseorang yang bukan apa-apanya itu!” ujarnya dengan suara penuh dendam.

Anggara terdiam sejenak, menilai perubahan dalam diri putrinya. Ia melihat kekuatan dan tekad yang muncul dari luka-luka yang selama ini tersembunyi. 

"Alyn, kamu yakin bisa menghadapi ini semua sendiri?” tanyanya dengan lembut.

Alyn mengangguk pelan. “Aku harus, Ayah. Ini adalah hidupku, dan aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injak martabatku lagi. Aku akan membuktikan bahwa mereka telah salah menilai aku. Aku akan bangkit dan menunjukkan bahwa aku lebih kuat dari yang mereka kira.”

Anggara merasa bangga namun khawatir. Ia tahu betapa beratnya jalan yang akan ditempuh Alyn, tapi ia juga melihat bahwa putrinya sudah siap menghadapi semuanya.

“Baiklah, Alyn. Ayah akan mendukung apapun keputusanmu. Kamu adalah putri Ayah, dan Ayah percaya padamu." Anggara menepuk bahu putrinya dengan lembut, sebelum pergi keluar.

Setelah mendapat dukungan dari ayahnya, Alyn merasa sedikit lebih baik. Ayahnya tidak hanya menenangkannya tetapi juga memberikan kekuatan untuk menghadapi tantangan berikutnya.

“Jika Felix dan keluarganya memang seperti ini,” pikir Alyn, “aku harus memastikan bahwa aku bisa melawan mereka dengan cara yang paling efektif. Tidak hanya untuk balas dendam, tapi untuk membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar korban.”

Alyn menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh strategi. Setiap detik terasa berat, tapi rasa sakit fisik dan emosional memicunya untuk membalas penderitaannya.

'Tidak ada lagi yang akan memandang rendah padaku,' tekadnya dalam hati. 'Aku akan membuat mereka menyesal telah menganggapku remeh'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status