Alyn menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Suara di ujung telepon terasa seperti suara dari masa lalu yang tak pernah diharapkannya.
"Apa benar ini ayah?" tanyanya dengan nada tak percaya. “Alyn? Kamu di rumah sakit?” Suara ayahnya terdengar tegas namun penuh kekhawatiran. Suara yang sangat familiar, namun sudah lama tidak ia dengar. "Ya, Ayah. Aku di rumah sakit," jawab Alyn dengan suara yang hampir tak terdengar. Air mata membasahi pipinya, campuran antara kelegaan dan kesedihan. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah sebelumnya?” tanya ayahnya, nada suaranya semakin penuh perhatian. Alyn menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku ... aku mengalami keguguran, Ayah. Felix dan keluarganya... mereka...” Suaranya pecah oleh isakan yang tak tertahan. “Alyn, tenanglah. Ayah akan segera ke sana. Kamu tidak perlu khawatir tentang apapun,” ujar ayahnya dengan nada lembut. “Ayah... kenapa Ayah menelepon? Setelah sekian lama...” Alyn tidak dapat menahan pertanyaannya. Sejak pernikahannya dengan Felix, hubungan dengan ayahnya hampir sepenuhnya terputus. “Ayah selalu memantau kamu, Nak. Ayah tidak pernah benar-benar meninggalkanmu. Ayah tahu apa yang terjadi dengan Felix dan keluarganya. Sekarang, Ayah ingin kamu pulang,” jawab ayahnya. Air mata Alyn mengalir deras. Setelah merasa sendirian begitu lama, mendengar kata-kata ayahnya memberi secercah harapan. “Terima kasih, Ayah. Aku... aku sangat butuh Ayah sekarang,” katanya dengan suara penuh emosi. "Pintu rumah kita selalu terbuka untukmu, Alyn. Ayah akan segera ke rumah sakit. Kamu hanya perlu beristirahat sekarang," ujar ayahnya sebelum menutup telepon. Di ranjang rumah sakit, Alyn merenung dengan pikiran yang penuh kekacauan. Beberapa saat kemudian, suster kembali masuk dengan makanan dan obat-obatan. Aroma makanan yang sederhana terasa menenangkan, meskipun nafsu makannya sangat minim. “Ini obat dan makan siang Anda, Nyonya Anggara. Semoga Anda merasa sedikit lebih baik setelah makan ini,” kata suster sambil meletakkan tray makanan di meja samping ranjang. “Terima kasih, Sus,” jawab Alyn dengan suara lembut, mencoba mengangkat sendok meski tangannya masih bergetar. Alyn menatap makanan itu, mengingat kembali kenangannya saat berada di rumah Bu Chintya. Entah kapan terakhir kali dia bisa makan enak, pola makannya pun sering kali tidak teratur karena harus mengerjakan pekerjaan rumah. Bu Chintya hanya memperhatikan perut anaknya kenyang, namun tak pernah memikirkan kesehatan Alyn dan juga bayinya. “Ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya suster, memperhatikan Alyn yang tampak tidak bersemangat. “Aku... tidak tahu. Mungkin hanya butuh waktu,” kata Alyn, sambil mengambil suapan kecil ayam panggang dan mengunyahnya dengan malas. Suster mengangguk dengan penuh pengertian. “Saya akan memberitahu dokter tentang kondisi Anda. Jika Anda membutuhkan sesuatu atau ada yang ingin Anda bicarakan, jangan ragu untuk meminta bantuan.” Setelah suster meninggalkan ruangan, Alyn melanjutkan makan dengan lebih tekun. Meskipun makanan terasa hambar, dia merasa sedikit lebih kuat dengan bantuan dan dukungan yang dia terima. Beberapa jam kemudian, Anggara, ayah Alyn, tiba di rumah sakit. Wajahnya menunjukkan campuran kekhawatiran dan kemarahan saat melihat putri kesayangannya satu-satunya terluka. Ia segera mendekat, matanya berkaca-kaca saat menatap Alyn. “Apa yang terjadi padamu sampai keguguran?” Suara Anggara bergetar, penuh kemarahan yang terpendam. “Maafkan aku, Ayah. Seharusnya aku mendengarkan Ayah untuk tidak dekat-dekat dengan Felix. Kini aku mengalami semua ini,” jawab Alyn dengan penuh penyesalan. Anggara menatap anaknya dan penampilan lusuhnya. Ia menahan tangis yang hampir pecah, tidak rela melihat putrinya diperlakukan semena-mena. “Ayah akan membeli perusahaan itu dan mengeluarkan Felix! Dia tidak tahu dengan siapa dia berhadapan!” seru Anggara dengan penuh kemarahan dan tekad. Alyn terkejut mendengar kata-kata ayahnya. “Ayah, apakah Ayah yakin? Felix dan keluarganya sangat bergantung pada perusahaannya yang baru berkembang itu. Bukankah akan ada dampak besar jika Ayah membelinya?” “Ayah tidak peduli! Tidak ada satu orang pun yang berhak menyakiti putri Ayah seperti ini! Ayah akan mengambil alih semua yang seharusnya menjadi milikmu, dan memastikan bahwa Felix tidak akan pernah bisa menyentuhmu lagi,” tegas Anggara. Alyn menunduk, merasakan gelombang emosi yang membuncah. Meski ia berusaha tegar, rasa sakitnya begitu dalam. “Dan juga ternyata benar, rumor di perusahaan sudah menyebar luas! Felix akan menikahi Erika? Mereka bahkan sudah memesan baju pengantin! Kenapa kau tidak memberi tahukan semuanya itu padaku?” tatap ayahnya nanar, penuh dengan kekecewaan. “Aku... aku hanya tidak ingin Ayah khawatir. Lagi pula ini adalah pilihanku, jadi aku akan bertanggung jawab atas kesalahanku,” jawab Alyn, terus mengusap air matanya, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang mendalam. Anggara menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Akan kuputuskan kontrak kerja sama dengan keluarga Erika!” seru Anggara, suaranya penuh kemarahan. “Tunggu, Ayah, jangan!” Alyn tiba-tiba mengangkat wajahnya, matanya yang merah menatap ayahnya dengan tekad. “Biarkan aku yang menangani mereka. Tak perlu Ayah mengotori tangan demi seseorang yang bukan apa-apanya itu!” ujarnya dengan suara penuh dendam. Anggara terdiam sejenak, menilai perubahan dalam diri putrinya. Ia melihat kekuatan dan tekad yang muncul dari luka-luka yang selama ini tersembunyi. "Alyn, kamu yakin bisa menghadapi ini semua sendiri?” tanyanya dengan lembut. Alyn mengangguk pelan. “Aku harus, Ayah. Ini adalah hidupku, dan aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injak martabatku lagi. Aku akan membuktikan bahwa mereka telah salah menilai aku. Aku akan bangkit dan menunjukkan bahwa aku lebih kuat dari yang mereka kira.” Anggara merasa bangga namun khawatir. Ia tahu betapa beratnya jalan yang akan ditempuh Alyn, tapi ia juga melihat bahwa putrinya sudah siap menghadapi semuanya. “Baiklah, Alyn. Ayah akan mendukung apapun keputusanmu. Kamu adalah putri Ayah, dan Ayah percaya padamu." Anggara menepuk bahu putrinya dengan lembut, sebelum pergi keluar. Setelah mendapat dukungan dari ayahnya, Alyn merasa sedikit lebih baik. Ayahnya tidak hanya menenangkannya tetapi juga memberikan kekuatan untuk menghadapi tantangan berikutnya. “Jika Felix dan keluarganya memang seperti ini,” pikir Alyn, “aku harus memastikan bahwa aku bisa melawan mereka dengan cara yang paling efektif. Tidak hanya untuk balas dendam, tapi untuk membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar korban.” Alyn menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh strategi. Setiap detik terasa berat, tapi rasa sakit fisik dan emosional memicunya untuk membalas penderitaannya. 'Tidak ada lagi yang akan memandang rendah padaku,' tekadnya dalam hati. 'Aku akan membuat mereka menyesal telah menganggapku remeh'Setelah kondisinya membaik, Alyn dibawa kembali ke rumah Anggara untuk beristirahat. Rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi itu menyambutnya dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya kenangan bersama Felix. Rumah Anggara adalah lambang kemewahan dan keanggunan seorang pengusaha besar. Bangunan megah dengan arsitektur klasik modern dikelilingi oleh taman yang luas, dipenuhi bunga-bunga yang selalu mekar. Banyak pelayan sigap melayani setiap kebutuhan Alyn, memastikan ia merasa nyaman dan diperhatikan. Saat Alyn memasuki kamar yang sudah lama tidak ia tempati, ia merasakan kehangatan dan nostalgia masa kecilnya. Ibunya telah meninggal lama, sehingga ia dibesarkan sendirian oleh ayahnya. Meskipun Anggara keras dan tegas, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah hilang. Alyn berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar yang dikenalnya. Dengan hati yang penuh emosi, ia memikirkan masa lalu. “Ini semua terasa begitu jauh,” gumamnya pelan, tangannya memeluk bantal dengan era
Bryan adalah asisten kepercayaan Tuan Anggara, ayah Alyn. Sebagai asisten yang setia, Bryan selalu ada di sisi Tuan Anggara, membantu mengurus berbagai urusan bisnis dan pribadi. Dalam perjalanannya, ia sering bertemu dengan Alyn, anak tunggal majikannya. Mereka sering berbincang ringan, dan dari pertemuan-pertemuan itu, Bryan mulai menaruh hati pada Alyn. Ia terpesona oleh kelembutan dan keanggunan Alyn, tetapi ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang asisten. Tak mungkin ia menyukai anak majikannya. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Bryan semakin dalam. Suatu hari, dia merasa sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Bryan berniat untuk menyatakan cintanya kepada Alyn, berharap ia bisa memahami dan merasakan hal yang sama. Sore itu, Bryan melihat Alyn duduk di taman belakang, menangis terisak-isak. Ia merasa hatinya hancur melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. Dengan langkah hati-hati, Bryan mendekati Alyn. "Alyn, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya lembut
Satu sore yang tenang, saat Alyn baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, terdengar ketukan lembut di pintu kontrakannya. Alyn membuka pintu dan mendapati Bryan berdiri di sana, membawa beberapa kantong belanjaan.“Bryan?” Alyn terlihat terkejut. “Apa yang membawamu ke sini?”Bryan memberikan senyuman lembut dan melangkah masuk dengan izin. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja,” katanya sambil meletakkan kantong-kantong belanjaan di meja kecil di ruang tamu. “Aku membawa beberapa persediaan makanan dan barang-barang yang mungkin kau butuhkan.”Alyn merasa tersentuh oleh perhatian Bryan. “Terima kasih banyak, Bryan. Kau tidak perlu repot-repot begini.”Bryan mengangguk dan mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong. “Aku tahu ini tidak banyak, tapi aku berharap ini bisa membantu. Ada beberapa bahan makanan segar dan beberapa makanan siap saji.”Alyn memperhatikan dengan rasa syukur saat Bryan menata barang-barang di meja. “Aku benar-benar menghargai ini. Sel
Dengan sorot matanya yang tajam, Felix Putra Wijaya duduk di kursi presiden di ruang rapat Wijaya Group. Layar komputer di depannya memantulkan cahaya biru yang tenang, kontras dengan kegelapan di luar jendela kaca besar yang menghadap ke kota metropolitan yang sibuk.Felix memeriksa laporan keuangan terbaru, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama yang hampir tidak terdengar di antara bisikan AC yang berdentum.Suasana tegang terasa di ruangan itu, bukan hanya karena kompetisi yang semakin ketat di industri, tetapi juga karena kehadiran yang tak terlihat tetapi sangat kuat: Pak Putra, sang ayah yang merupakan pendiri perusahaan ini."Bagaimana perkembangan proyek ekspansi kita, Pak?" tanya Felix, matanya tetap terpaku pada layar, mencoba mempertahankan sikapnya yang tegas sebagai pemimpin perusahaan.Pak Putra, seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih namun energinya masih membara, mengangguk pelan sambil memeriksa catatan yang dia bawa."Ka
Rio Putra Wijaya adalah putra kedua dari Pak Putra. Dia baru saja kembali setelah menyelesaikan studinya di luar negeri sebagai peraih beasiswa terbaik. Sejak kedatangannya, Rio merasa ada yang tidak beres. Dia tidak diberi tahu tentang pernikahan rahasia kakaknya, Felix, dan malah mendengarnya dari pembantu di rumah.Dalam keluarga Wijaya yang terkenal dengan ketegasan dan keangkuhannya, Rio adalah sosok yang berbeda. Dibandingkan dengan Felix yang serius dan kaku, Rio memiliki sikap yang lebih lembut dan perhatian terhadap orang lain. "Mas, kenapa kamu tidak memberi tahu aku tentang pernikahanmu?" tanya Rio pada Felix dengan ekspresi campuran antara kekecewaan dan kebingungan. Mereka duduk bersama di ruang keluarga yang megah, suasana hening di antara mereka.Felix menatap adiknya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Dia tahu bahwa Rio adalah satu-satunya anggota keluarga yang mungkin memahami perasaannya, tetapi dia juga tahu betapa rumitnya situasi yang telah dia ciptakan deng
Setelah makan malam selesai, suasana di rumah keluarga Wijaya masih diselimuti keheningan. Namun, di balik keheningan itu, ada badai yang berkecamuk di dalam hati Felix. Dengan langkah cepat dan penuh tekad, ia menuju kamar adiknya, Rio, yang berada di lantai atas.Felix membuka pintu kamar Rio tanpa mengetuk, langsung memasuki ruangan dengan wajah yang penuh amarah. Rio, yang sedang duduk santai di tempat tidurnya dengan sebuah buku di tangan, mendongak dan menatap kakaknya dengan tenang.Dia sudah bisa menebak bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan baik, tetapi dia tetap tenang, menunggu apa yang akan Felix katakan."Kenapa kau kembali? Dan kenapa kau ingin memimpin perusahaan?" tanya Felix dengan nada tajam dan penuh kekhawatiran. Sorot matanya menunjukkan kecemasan yang mendalam, seolah-olah kehadiran Rio mengancam posisinya dalam keluarga.Rio meletakkan bukunya dengan tenang di atas meja samping tempat tidur, kemudian menatap kakaknya dengan pandangan yang tajam. Tidak
Suasana di rumah Tuan Anggara sangat tenang, dengan hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui pepohonan di taman belakang. Ruangan utama dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit. Tuan Anggara sedang duduk di ruang kerjanya yang luas, memeriksa beberapa dokumen penting di meja kayu mahoni yang besar.Di luar, suasana malam yang hening memberikan ketenangan tersendiri. Semua orang di rumah telah beristirahat, kecuali Tuan Anggara yang masih tenggelam dalam pekerjaannya. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, matanya tetap tajam dan penuh perhatian, seperti biasa saat dia menyelami bisnis yang telah dia bangun selama puluhan tahun.Namun, ketenangan itu segera terpecah saat dering telepon yang tergeletak di meja sampingnya berbunyi. Tuan Anggara mengambilnya dengan tenang, melihat nama yang tertera di layar sebelum menjawabnya."Alyn," gumamnya pelan, sedikit terkejut namun tetap tenang."Ayah, putuskan semua kontrak kerja sama k
"Aku siap menghadapi hari ini," gumam Alyn pada dirinya sendiri saat dia bangun pagi itu, merasakan semangat yang mengalir dalam tubuhnya.Dia berjalan ke cermin, menatap bayangannya dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Hari ini, aku akan mengambil kembali kendaliku," lanjutnya, suara dalam hatinya terdengar semakin kuat.Alyn mulai merias diri, mengusap lembut wajahnya dengan bedak yang memberikan kesan natural, namun tetap menonjolkan keanggunannya. "Kau harus bersinar lebih terang, Alyn," dia berbicara pada refleksinya di cermin, sambil merapikan rambutnya yang jatuh dengan indah di bahunya.Setelah puas dengan penampilannya, Alyn memilih setelan kerja terbaiknya, mengenakan blazer hitam yang elegan, dipadukan dengan rok pensil dan blus putih.Sebelum berangkat, Alyn kembali menatap cermin, memastikan setiap detailnya sempurna. "Aku siap," dia mengucapkan dengan penuh keyakinan, mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar kamar.Saat Alyn membuka pintu kontrakannya dan melangkah kel
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny