Share

BAB 5

Bryan adalah asisten kepercayaan Tuan Anggara, ayah Alyn. Sebagai asisten yang setia, Bryan selalu ada di sisi Tuan Anggara, membantu mengurus berbagai urusan bisnis dan pribadi. Dalam perjalanannya, ia sering bertemu dengan Alyn, anak tunggal majikannya.

Mereka sering berbincang ringan, dan dari pertemuan-pertemuan itu, Bryan mulai menaruh hati pada Alyn. Ia terpesona oleh kelembutan dan keanggunan Alyn, tetapi ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang asisten. Tak mungkin ia menyukai anak majikannya.

Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Bryan semakin dalam. Suatu hari, dia merasa sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Bryan berniat untuk menyatakan cintanya kepada Alyn, berharap ia bisa memahami dan merasakan hal yang sama.

Sore itu, Bryan melihat Alyn duduk di taman belakang, menangis terisak-isak. Ia merasa hatinya hancur melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. Dengan langkah hati-hati, Bryan mendekati Alyn.

"Alyn, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya lembut.

Alyn mendongak, matanya sembab karena menangis. "Bryan, aku hamil. Dan aku harus menikah dengan Felix. Ayah masih belum setuju, tapi ini semua salahku. Aku begitu bodoh."

Bryan tertegun mendengar pengakuan Alyn. Rasa kecewa yang mendalam menyelimuti hatinya. Ia merasa cintanya bertepuk sebelah tangan, dan lebih buruk lagi, Felix—pria yang ia tahu tidak pantas untuk Alyn—telah menghamili wanita yang ia cintai.

"Felix? Kenapa dia bisa melakukan ini padamu?" Bryan merasa marah dan kecewa.

Alyn menunduk, air matanya kembali mengalir. "Aku juga tidak tahu, Bryan. Aku pikir dia pria yang baik, tapi ternyata dia hanya merusak hidupku."

Bryan mengepalkan tangannya, menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Alyn, kau pantas mendapatkan yang lebih baik. Kau tidak layak diperlakukan seperti ini."

Alyn terisak, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Bryan. "Tapi apa yang bisa kulakukan, Bryan? Aku sudah terlanjur hamil. Aku harus menikah dengannya."

Bryan merasa hatinya hancur. Ia ingin sekali melindungi Alyn, tetapi ia tahu posisinya sebagai asisten Tuan Anggara tidak memberinya banyak kuasa. "Aku di sini untukmu, Alyn. Jika ada yang bisa kulakukan untuk membantumu, aku akan melakukannya."

Alyn mengangguk, merasa bersyukur ada Bryan di sisinya. "Terima kasih, Bryan. Kehadiranmu sangat berarti bagiku."

Bryan menatap Alyn dengan penuh kasih sayang yang terpendam. Meski hatinya hancur, ia bertekad untuk selalu ada untuk Alyn, apa pun yang terjadi. Ia tahu bahwa cinta sejati harus siap berkorban, bahkan jika itu berarti menyembunyikan perasaannya demi kebahagiaan orang yang ia cintai.

"Bryan?" panggil Alyn memecah lamunan Bryan yang masih penuh dengan kenangan dan perasaan yang terpendam.

Alyn, dengan gaun cantik namun sederhana, duduk di ujung sofa, tampak gelisah. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan betapa beratnya beban yang dia rasakan, tetapi ekspresinya yang penuh kesedihan tidak bisa di sembunyikan.

Bryan berdiri di sudut ruangan, menjaga jarak namun tetap dalam jangkauan Alyn. Dia memperhatikan gerakan Alyn dengan penuh perhatian, berusaha memberikan rasa aman di tengah situasi yang sulit ini.

"Oh, iya, ada apa, Nyonya?" jawab Bryan dengan sedikit gugup, masih belum bisa menghapus rasa kecewa yang menggelayut di hatinya.

"Jangan panggil aku nyonya, aku bukan seorang istri dari siapa-siapa lagi. Aku menganggap bahwa aku tak pernah menikah," ucap Alyn dengan nada nanar, tatapannya kosong menatap jendela.

Bryan merasakan sakit di hatinya, melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. "Baik, Nona," ujarnya dengan lembut, mencoba menghormati perasaan Alyn.

Setelah hening beberapa saat, Alyn mengangkat wajahnya dan menatap Bryan. "Bryan, bisa kah kau bantu aku untuk datang ke pesta pernikahan seseorang denganku?"

Bryan sedikit terbelalak, tidak menyangka permintaan itu akan keluar dari mulut Alyn. "Denganku? Apa tidak apa-apa, Nona?"

Alyn tersenyum simpul, ada kilatan tekad di matanya. "Jangan khawatir, ayah tidak akan berkomentar apa-apa. Aku punya rencana."

Bryan merasa hatinya berdebar. Di satu sisi, ia senang bisa menemani Alyn, tetapi di sisi lain, ia merasa cemas akan reaksi orang lain.

"Baiklah, Nona. Aku akan menemanimu. Kapan pesta itu diadakan?" tanya Bryan, terlihat antusias.

"Dua minggu lagi," jawab Alyn dengan tenang. 

Bryan mengangguk, merasa bangga dengan keberanian Alyn. "Aku akan mendukungmu.”

Di ruang makan, meja makan panjang telah dihias dengan sangat teliti. Tuan Anggara telah memastikan semua detail kecil diperhatikan. Lilin-lilin kecil diletakkan di sepanjang meja, siap untuk dinyalakan agar menciptakan suasana yang hangat dan intim saat makan malam.

Piring-piring porselen berwarna putih yang dihiasi dengan pola emas dan perak disusun rapi, bersama dengan gelas-gelas kristal dan peralatan makan berlapis emas. Semua peralatan disusun dengan presisi, memastikan bahwa putrinya merasa diperhatikan dan dihargai.

Pelayan mendekati Alyn dan Bryan yang masih berada di ruang tamu. "Nyonya Alyn, Tuan Bryan, makan malam sudah siap. Silakan bergabung dengan Tuan Anggara di meja makan."

Alyn dan Bryan mengikuti pelayan menuju ruang makan, di mana meja yang elegan telah disiapkan dengan hidangan yang menggugah selera. Saat mereka duduk di meja makan, Tuan Anggara sudah menunggu, suasana terasa hangat dan akrab.

Setelah mereka mulai menikmati hidangan, Alyn merasa ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara. Dengan penuh tekad, ia memutuskan untuk mengungkapkan pikirannya.

“Ayah, Bryan, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan,” ujar Alyn dengan hati-hati.

Tuan Anggara menatapnya dengan penuh perhatian, sementara Bryan mendengarkan dengan cermat. "Apa yang ingin kamu katakan, Alyn?" tanya Tuan Anggara.

“Aku ingin meminta izin untuk menjalani hidupku sebagai Alyn yang hidup biasa. Aku ingin kesempatan untuk menentukan jalanku sendiri, ini belum saatnya Felix dan keluarganya tahu tentang identitasku.”

Tuan Anggara menatap Alyn dengan serius, merenungkan kata-katanya. Suasana di meja makan menjadi tegang saat ia memikirkan permintaan putrinya. Akhirnya, Tuan Anggara berkata dengan lembut, “Alyn, jika itu keputusan yang kamu ambil, aku akan mendukungmu. Tapi kau harus tetap berhati-hati.”

Beberapa hari kemudian, Alyn memutuskan untuk meninggalkan kediaman ayahnya dan pindah ke sebuah kontrakan kecil. Kontrakan itu sederhana namun nyaman, menawarkan privasi yang sangat dibutuhkannya saat ini.

Keesokan paginya, Alyn duduk di meja kecil di sudut ruang tamu, menyalakan laptopnya. Dengan tekad bulat, ia mulai menyusun CV-nya. Jari-jarinya mengetik dengan cepat, menuliskan riwayat pekerjaan dan keterampilan yang dimilikinya.

Setelah menyelesaikan CV, Alyn mulai menulis surat lamaran yang ditujukan untuk berbagai perusahaan. Ia berusaha menciptakan surat yang menarik perhatian perekrut, menonjolkan keahliannya sebagai sekretaris dan pengalaman kerja yang relevan.

"Aku akan melakukan yang terbaik kali ini," gumamnya kepada diri sendiri, sambil menghirup udara pagi yang tenang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vya Kim
uhuyyy lanjut...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status