Bryan adalah asisten kepercayaan Tuan Anggara, ayah Alyn. Sebagai asisten yang setia, Bryan selalu ada di sisi Tuan Anggara, membantu mengurus berbagai urusan bisnis dan pribadi. Dalam perjalanannya, ia sering bertemu dengan Alyn, anak tunggal majikannya.
Mereka sering berbincang ringan, dan dari pertemuan-pertemuan itu, Bryan mulai menaruh hati pada Alyn. Ia terpesona oleh kelembutan dan keanggunan Alyn, tetapi ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang asisten. Tak mungkin ia menyukai anak majikannya. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Bryan semakin dalam. Suatu hari, dia merasa sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Bryan berniat untuk menyatakan cintanya kepada Alyn, berharap ia bisa memahami dan merasakan hal yang sama. Sore itu, Bryan melihat Alyn duduk di taman belakang, menangis terisak-isak. Ia merasa hatinya hancur melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. Dengan langkah hati-hati, Bryan mendekati Alyn. "Alyn, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya lembut. Alyn mendongak, matanya sembab karena menangis. "Bryan, aku hamil. Dan aku harus menikah dengan Felix. Ayah masih belum setuju, tapi ini semua salahku. Aku begitu bodoh." Bryan tertegun mendengar pengakuan Alyn. Rasa kecewa yang mendalam menyelimuti hatinya. Ia merasa cintanya bertepuk sebelah tangan, dan lebih buruk lagi, Felix—pria yang ia tahu tidak pantas untuk Alyn—telah menghamili wanita yang ia cintai. "Felix? Kenapa dia bisa melakukan ini padamu?" Bryan merasa marah dan kecewa. Alyn menunduk, air matanya kembali mengalir. "Aku juga tidak tahu, Bryan. Aku pikir dia pria yang baik, tapi ternyata dia hanya merusak hidupku." Bryan mengepalkan tangannya, menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Alyn, kau pantas mendapatkan yang lebih baik. Kau tidak layak diperlakukan seperti ini." Alyn terisak, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Bryan. "Tapi apa yang bisa kulakukan, Bryan? Aku sudah terlanjur hamil. Aku harus menikah dengannya." Bryan merasa hatinya hancur. Ia ingin sekali melindungi Alyn, tetapi ia tahu posisinya sebagai asisten Tuan Anggara tidak memberinya banyak kuasa. "Aku di sini untukmu, Alyn. Jika ada yang bisa kulakukan untuk membantumu, aku akan melakukannya." Alyn mengangguk, merasa bersyukur ada Bryan di sisinya. "Terima kasih, Bryan. Kehadiranmu sangat berarti bagiku." Bryan menatap Alyn dengan penuh kasih sayang yang terpendam. Meski hatinya hancur, ia bertekad untuk selalu ada untuk Alyn, apa pun yang terjadi. Ia tahu bahwa cinta sejati harus siap berkorban, bahkan jika itu berarti menyembunyikan perasaannya demi kebahagiaan orang yang ia cintai. "Bryan?" panggil Alyn memecah lamunan Bryan yang masih penuh dengan kenangan dan perasaan yang terpendam. Alyn, dengan gaun cantik namun sederhana, duduk di ujung sofa, tampak gelisah. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan betapa beratnya beban yang dia rasakan, tetapi ekspresinya yang penuh kesedihan tidak bisa di sembunyikan. Bryan berdiri di sudut ruangan, menjaga jarak namun tetap dalam jangkauan Alyn. Dia memperhatikan gerakan Alyn dengan penuh perhatian, berusaha memberikan rasa aman di tengah situasi yang sulit ini. "Oh, iya, ada apa, Nyonya?" jawab Bryan dengan sedikit gugup, masih belum bisa menghapus rasa kecewa yang menggelayut di hatinya. "Jangan panggil aku nyonya, aku bukan seorang istri dari siapa-siapa lagi. Aku menganggap bahwa aku tak pernah menikah," ucap Alyn dengan nada nanar, tatapannya kosong menatap jendela. Bryan merasakan sakit di hatinya, melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. "Baik, Nona," ujarnya dengan lembut, mencoba menghormati perasaan Alyn. Setelah hening beberapa saat, Alyn mengangkat wajahnya dan menatap Bryan. "Bryan, bisa kah kau bantu aku untuk datang ke pesta pernikahan seseorang denganku?" Bryan sedikit terbelalak, tidak menyangka permintaan itu akan keluar dari mulut Alyn. "Denganku? Apa tidak apa-apa, Nona?" Alyn tersenyum simpul, ada kilatan tekad di matanya. "Jangan khawatir, ayah tidak akan berkomentar apa-apa. Aku punya rencana." Bryan merasa hatinya berdebar. Di satu sisi, ia senang bisa menemani Alyn, tetapi di sisi lain, ia merasa cemas akan reaksi orang lain. "Baiklah, Nona. Aku akan menemanimu. Kapan pesta itu diadakan?" tanya Bryan, terlihat antusias. "Dua minggu lagi," jawab Alyn dengan tenang. Bryan mengangguk, merasa bangga dengan keberanian Alyn. "Aku akan mendukungmu.” Di ruang makan, meja makan panjang telah dihias dengan sangat teliti. Tuan Anggara telah memastikan semua detail kecil diperhatikan. Lilin-lilin kecil diletakkan di sepanjang meja, siap untuk dinyalakan agar menciptakan suasana yang hangat dan intim saat makan malam. Piring-piring porselen berwarna putih yang dihiasi dengan pola emas dan perak disusun rapi, bersama dengan gelas-gelas kristal dan peralatan makan berlapis emas. Semua peralatan disusun dengan presisi, memastikan bahwa putrinya merasa diperhatikan dan dihargai. Pelayan mendekati Alyn dan Bryan yang masih berada di ruang tamu. "Nyonya Alyn, Tuan Bryan, makan malam sudah siap. Silakan bergabung dengan Tuan Anggara di meja makan." Alyn dan Bryan mengikuti pelayan menuju ruang makan, di mana meja yang elegan telah disiapkan dengan hidangan yang menggugah selera. Saat mereka duduk di meja makan, Tuan Anggara sudah menunggu, suasana terasa hangat dan akrab. Setelah mereka mulai menikmati hidangan, Alyn merasa ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara. Dengan penuh tekad, ia memutuskan untuk mengungkapkan pikirannya. “Ayah, Bryan, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan,” ujar Alyn dengan hati-hati. Tuan Anggara menatapnya dengan penuh perhatian, sementara Bryan mendengarkan dengan cermat. "Apa yang ingin kamu katakan, Alyn?" tanya Tuan Anggara. “Aku ingin meminta izin untuk menjalani hidupku sebagai Alyn yang hidup biasa. Aku ingin kesempatan untuk menentukan jalanku sendiri, ini belum saatnya Felix dan keluarganya tahu tentang identitasku.” Tuan Anggara menatap Alyn dengan serius, merenungkan kata-katanya. Suasana di meja makan menjadi tegang saat ia memikirkan permintaan putrinya. Akhirnya, Tuan Anggara berkata dengan lembut, “Alyn, jika itu keputusan yang kamu ambil, aku akan mendukungmu. Tapi kau harus tetap berhati-hati.” Beberapa hari kemudian, Alyn memutuskan untuk meninggalkan kediaman ayahnya dan pindah ke sebuah kontrakan kecil. Kontrakan itu sederhana namun nyaman, menawarkan privasi yang sangat dibutuhkannya saat ini. Keesokan paginya, Alyn duduk di meja kecil di sudut ruang tamu, menyalakan laptopnya. Dengan tekad bulat, ia mulai menyusun CV-nya. Jari-jarinya mengetik dengan cepat, menuliskan riwayat pekerjaan dan keterampilan yang dimilikinya. Setelah menyelesaikan CV, Alyn mulai menulis surat lamaran yang ditujukan untuk berbagai perusahaan. Ia berusaha menciptakan surat yang menarik perhatian perekrut, menonjolkan keahliannya sebagai sekretaris dan pengalaman kerja yang relevan. "Aku akan melakukan yang terbaik kali ini," gumamnya kepada diri sendiri, sambil menghirup udara pagi yang tenang.Satu sore yang tenang, saat Alyn baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, terdengar ketukan lembut di pintu kontrakannya. Alyn membuka pintu dan mendapati Bryan berdiri di sana, membawa beberapa kantong belanjaan.“Bryan?” Alyn terlihat terkejut. “Apa yang membawamu ke sini?”Bryan memberikan senyuman lembut dan melangkah masuk dengan izin. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja,” katanya sambil meletakkan kantong-kantong belanjaan di meja kecil di ruang tamu. “Aku membawa beberapa persediaan makanan dan barang-barang yang mungkin kau butuhkan.”Alyn merasa tersentuh oleh perhatian Bryan. “Terima kasih banyak, Bryan. Kau tidak perlu repot-repot begini.”Bryan mengangguk dan mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong. “Aku tahu ini tidak banyak, tapi aku berharap ini bisa membantu. Ada beberapa bahan makanan segar dan beberapa makanan siap saji.”Alyn memperhatikan dengan rasa syukur saat Bryan menata barang-barang di meja. “Aku benar-benar menghargai ini. Sel
Dengan sorot matanya yang tajam, Felix Putra Wijaya duduk di kursi presiden di ruang rapat Wijaya Group. Layar komputer di depannya memantulkan cahaya biru yang tenang, kontras dengan kegelapan di luar jendela kaca besar yang menghadap ke kota metropolitan yang sibuk.Felix memeriksa laporan keuangan terbaru, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama yang hampir tidak terdengar di antara bisikan AC yang berdentum.Suasana tegang terasa di ruangan itu, bukan hanya karena kompetisi yang semakin ketat di industri, tetapi juga karena kehadiran yang tak terlihat tetapi sangat kuat: Pak Putra, sang ayah yang merupakan pendiri perusahaan ini."Bagaimana perkembangan proyek ekspansi kita, Pak?" tanya Felix, matanya tetap terpaku pada layar, mencoba mempertahankan sikapnya yang tegas sebagai pemimpin perusahaan.Pak Putra, seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih namun energinya masih membara, mengangguk pelan sambil memeriksa catatan yang dia bawa."Ka
Rio Putra Wijaya adalah putra kedua dari Pak Putra. Dia baru saja kembali setelah menyelesaikan studinya di luar negeri sebagai peraih beasiswa terbaik. Sejak kedatangannya, Rio merasa ada yang tidak beres. Dia tidak diberi tahu tentang pernikahan rahasia kakaknya, Felix, dan malah mendengarnya dari pembantu di rumah.Dalam keluarga Wijaya yang terkenal dengan ketegasan dan keangkuhannya, Rio adalah sosok yang berbeda. Dibandingkan dengan Felix yang serius dan kaku, Rio memiliki sikap yang lebih lembut dan perhatian terhadap orang lain. "Mas, kenapa kamu tidak memberi tahu aku tentang pernikahanmu?" tanya Rio pada Felix dengan ekspresi campuran antara kekecewaan dan kebingungan. Mereka duduk bersama di ruang keluarga yang megah, suasana hening di antara mereka.Felix menatap adiknya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Dia tahu bahwa Rio adalah satu-satunya anggota keluarga yang mungkin memahami perasaannya, tetapi dia juga tahu betapa rumitnya situasi yang telah dia ciptakan deng
Setelah makan malam selesai, suasana di rumah keluarga Wijaya masih diselimuti keheningan. Namun, di balik keheningan itu, ada badai yang berkecamuk di dalam hati Felix. Dengan langkah cepat dan penuh tekad, ia menuju kamar adiknya, Rio, yang berada di lantai atas.Felix membuka pintu kamar Rio tanpa mengetuk, langsung memasuki ruangan dengan wajah yang penuh amarah. Rio, yang sedang duduk santai di tempat tidurnya dengan sebuah buku di tangan, mendongak dan menatap kakaknya dengan tenang.Dia sudah bisa menebak bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan baik, tetapi dia tetap tenang, menunggu apa yang akan Felix katakan."Kenapa kau kembali? Dan kenapa kau ingin memimpin perusahaan?" tanya Felix dengan nada tajam dan penuh kekhawatiran. Sorot matanya menunjukkan kecemasan yang mendalam, seolah-olah kehadiran Rio mengancam posisinya dalam keluarga.Rio meletakkan bukunya dengan tenang di atas meja samping tempat tidur, kemudian menatap kakaknya dengan pandangan yang tajam. Tidak
Suasana di rumah Tuan Anggara sangat tenang, dengan hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui pepohonan di taman belakang. Ruangan utama dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit. Tuan Anggara sedang duduk di ruang kerjanya yang luas, memeriksa beberapa dokumen penting di meja kayu mahoni yang besar.Di luar, suasana malam yang hening memberikan ketenangan tersendiri. Semua orang di rumah telah beristirahat, kecuali Tuan Anggara yang masih tenggelam dalam pekerjaannya. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, matanya tetap tajam dan penuh perhatian, seperti biasa saat dia menyelami bisnis yang telah dia bangun selama puluhan tahun.Namun, ketenangan itu segera terpecah saat dering telepon yang tergeletak di meja sampingnya berbunyi. Tuan Anggara mengambilnya dengan tenang, melihat nama yang tertera di layar sebelum menjawabnya."Alyn," gumamnya pelan, sedikit terkejut namun tetap tenang."Ayah, putuskan semua kontrak kerja sama k
"Aku siap menghadapi hari ini," gumam Alyn pada dirinya sendiri saat dia bangun pagi itu, merasakan semangat yang mengalir dalam tubuhnya.Dia berjalan ke cermin, menatap bayangannya dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Hari ini, aku akan mengambil kembali kendaliku," lanjutnya, suara dalam hatinya terdengar semakin kuat.Alyn mulai merias diri, mengusap lembut wajahnya dengan bedak yang memberikan kesan natural, namun tetap menonjolkan keanggunannya. "Kau harus bersinar lebih terang, Alyn," dia berbicara pada refleksinya di cermin, sambil merapikan rambutnya yang jatuh dengan indah di bahunya.Setelah puas dengan penampilannya, Alyn memilih setelan kerja terbaiknya, mengenakan blazer hitam yang elegan, dipadukan dengan rok pensil dan blus putih.Sebelum berangkat, Alyn kembali menatap cermin, memastikan setiap detailnya sempurna. "Aku siap," dia mengucapkan dengan penuh keyakinan, mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar kamar.Saat Alyn membuka pintu kontrakannya dan melangkah kel
Begitu lampu di dalam lift padam dan kegelapan menyelimuti mereka, Alyn merasakan dunia di sekitarnya mulai berputar. Detak jantungnya berpacu semakin cepat, napasnya tersengal-sengal dalam kegelapan yang pekat."Alyn, tenang...," suara Rio terdengar samar di telinganya, tetapi itu tidak cukup untuk menahan tubuhnya yang mulai kehilangan kekuatan.Dengan sekejap, lutut Alyn melemas, dan sebelum Rio sempat meraih tangannya, dia terjatuh ke lantai lift, pingsan tanpa suara.Rio merasakan kepanikan menguasainya. Dalam kegelapan yang mencekam, dia meraba-raba, mencari Alyn yang tergeletak di lantai. "Alyn! Bangun!" seru Rio, suaranya penuh kekhawatiran, namun Alyn tidak merespons.Di dalam lift yang kini menjadi ruang tertutup yang menyesakkan, Rio hanya bisa memeluk Alyn, berharap seseorang di luar sana akan segera menyadari apa yang terjadi pada mereka.Rio merogoh saku jasnya dengan tangan yang gemetar, mencari ponselnya di tengah kegelapan yang menekan. Setelah berhasil menemukannya,
Kata-kata itu menusuk Alyn seperti pisau. Dia merasakan amarah dan rasa sakit bercampur dalam dadanya, namun dia menahan diri, tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang kantor.Alyn mengeraskan hati dan mencoba fokus pada pekerjaannya, meskipun hatinya berdenyut kencang akibat tuduhan kejam Felix. Felix mungkin bisa berkata apapun yang dia mau, tapi Alyn tidak akan membiarkan dirinya jatuh hanya karena komentar kejam darinya."Aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri sebelum merapikan berkas di atas meja.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Nama Dokter MJ muncul di layar, membuat Alyn terkejut."Alyn, saya ingin mengajak Anda untuk konsultasi lebih lanjut tentang Nyctophobia Anda," suara Dokter MJ terdengar tenang namun tegas di ujung sana.Alyn terdiam sejenak, meresapi kenyataan bahwa dia mungkin harus menghadapi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketakutan biasa. "Baik, Dok. Kapan saya bisa bertemu dengan Anda?""Saya ada waktu akhir pekan. Apakah itu cocok untuk A
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny