Suasana di rumah Tuan Anggara sangat tenang, dengan hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui pepohonan di taman belakang. Ruangan utama dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit. Tuan Anggara sedang duduk di ruang kerjanya yang luas, memeriksa beberapa dokumen penting di meja kayu mahoni yang besar.Di luar, suasana malam yang hening memberikan ketenangan tersendiri. Semua orang di rumah telah beristirahat, kecuali Tuan Anggara yang masih tenggelam dalam pekerjaannya. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, matanya tetap tajam dan penuh perhatian, seperti biasa saat dia menyelami bisnis yang telah dia bangun selama puluhan tahun.Namun, ketenangan itu segera terpecah saat dering telepon yang tergeletak di meja sampingnya berbunyi. Tuan Anggara mengambilnya dengan tenang, melihat nama yang tertera di layar sebelum menjawabnya."Alyn," gumamnya pelan, sedikit terkejut namun tetap tenang."Ayah, putuskan semua kontrak kerja sama k
"Aku siap menghadapi hari ini," gumam Alyn pada dirinya sendiri saat dia bangun pagi itu, merasakan semangat yang mengalir dalam tubuhnya.Dia berjalan ke cermin, menatap bayangannya dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Hari ini, aku akan mengambil kembali kendaliku," lanjutnya, suara dalam hatinya terdengar semakin kuat.Alyn mulai merias diri, mengusap lembut wajahnya dengan bedak yang memberikan kesan natural, namun tetap menonjolkan keanggunannya. "Kau harus bersinar lebih terang, Alyn," dia berbicara pada refleksinya di cermin, sambil merapikan rambutnya yang jatuh dengan indah di bahunya.Setelah puas dengan penampilannya, Alyn memilih setelan kerja terbaiknya, mengenakan blazer hitam yang elegan, dipadukan dengan rok pensil dan blus putih.Sebelum berangkat, Alyn kembali menatap cermin, memastikan setiap detailnya sempurna. "Aku siap," dia mengucapkan dengan penuh keyakinan, mengambil tas kerjanya dan melangkah keluar kamar.Saat Alyn membuka pintu kontrakannya dan melangkah kel
Begitu lampu di dalam lift padam dan kegelapan menyelimuti mereka, Alyn merasakan dunia di sekitarnya mulai berputar. Detak jantungnya berpacu semakin cepat, napasnya tersengal-sengal dalam kegelapan yang pekat."Alyn, tenang...," suara Rio terdengar samar di telinganya, tetapi itu tidak cukup untuk menahan tubuhnya yang mulai kehilangan kekuatan.Dengan sekejap, lutut Alyn melemas, dan sebelum Rio sempat meraih tangannya, dia terjatuh ke lantai lift, pingsan tanpa suara.Rio merasakan kepanikan menguasainya. Dalam kegelapan yang mencekam, dia meraba-raba, mencari Alyn yang tergeletak di lantai. "Alyn! Bangun!" seru Rio, suaranya penuh kekhawatiran, namun Alyn tidak merespons.Di dalam lift yang kini menjadi ruang tertutup yang menyesakkan, Rio hanya bisa memeluk Alyn, berharap seseorang di luar sana akan segera menyadari apa yang terjadi pada mereka.Rio merogoh saku jasnya dengan tangan yang gemetar, mencari ponselnya di tengah kegelapan yang menekan. Setelah berhasil menemukannya,
Kata-kata itu menusuk Alyn seperti pisau. Dia merasakan amarah dan rasa sakit bercampur dalam dadanya, namun dia menahan diri, tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang kantor.Alyn mengeraskan hati dan mencoba fokus pada pekerjaannya, meskipun hatinya berdenyut kencang akibat tuduhan kejam Felix. Felix mungkin bisa berkata apapun yang dia mau, tapi Alyn tidak akan membiarkan dirinya jatuh hanya karena komentar kejam darinya."Aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri sebelum merapikan berkas di atas meja.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Nama Dokter MJ muncul di layar, membuat Alyn terkejut."Alyn, saya ingin mengajak Anda untuk konsultasi lebih lanjut tentang Nyctophobia Anda," suara Dokter MJ terdengar tenang namun tegas di ujung sana.Alyn terdiam sejenak, meresapi kenyataan bahwa dia mungkin harus menghadapi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketakutan biasa. "Baik, Dok. Kapan saya bisa bertemu dengan Anda?""Saya ada waktu akhir pekan. Apakah itu cocok untuk A
"Hentikan, Bu!" teriak Rio yang muncul di belakang Bryan. "Alyn adalah asistenku, jadi tolong hormati dia.""Hormati? Dia hanya asisten! Jangan berlebihan," bentak Bu Chintya.Rio meraih tangan Alyn ke belakangnya, dan membungkuk dengan sopan kepada Bryan. "Maaf atas semua kekacauan ini. Saya rasa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan soal bisnis."Felix yang sejak tadi tenggelam dengan dokumen di mejanya seolah tak peduli, segera berdiri. "Apa maksudmu?""Saya Bryan, asisten Tuan Anggara. Saya di sini untuk mewakili Tuan Anggara dalam menawarkan kerja sama dengan perusahaan ini," jelas Bryan, namun pandangannya tertuju pada tangan Alyn yang masih di genggam oleh Rio.Suasana di ruangan itu seketika berubah. Felix dan Bu Chintya saling bertukar tatapan terkejut. Wajah mereka menunjukkan campuran rasa terkejut dan bangga, jelas tidak menduga bahwa Tuan Anggara akan mengirimkan utusannya secara langsung.Felix, meskipun masih menahan ketegangan, merasa b
Alyn menutup pintu mobil Bryan dengan pelan. Di dalam kabin yang hangat, hanya terdengar suara napas mereka berdua. Cahaya lampu jalan yang temaram menembus kaca, menciptakan bayangan lembut di wajah Bryan yang terlihat serius.Bryan meraih kemudi dengan tangan yang tampak sedikit tegang, namun ia belum menghidupkan mesin. Ia menatap lurus ke depan, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan yang sulit ini.Alyn bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara. “Bryan, ada apa?” tanyanya lembut, mencoba memahami kecemasan yang terlihat jelas di wajah sahabatnya itu.Bryan menghela nafas panjang sebelum menjawab, suaranya nyaris berbisik di antara gemuruh samar lalu lintas di kejauhan. "Alyn, aku sangat khawatir. Posisi kamu di Wijaya Group sangat berbahaya."Alyn merasakan dadanya berdesir. Ia tahu bahwa Bryan bukan orang yang suka membesar-besarkan sesuatu tanpa alasan yang jelas. "Apa yang kamu maksud? Apa kamu menemukan sesuatu di dalam?"Bryan menatap Alyn den
"Ini gila!" teriak Bu Chintya, suaranya penuh dengan amarah dan ketidakpercayaan. "Bagaimana bisa kamu menyukai wanita itu? Dia adalah ancaman bagi keluarga kita, Rio! Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!"Pak Putra, akhirnya membuka mulutnya lagi. "Jika kamu melanjutkan ini, Rio, maka kamu akan berdiri sendiri melawan kita semua."Rio menatap ayahnya, mengetahui bahwa dia sekarang berada di persimpangan jalan yang berbahaya. Namun, dia tidak mundur.Rio mencoba meredakan ketegangan dengan suaranya yang lebih tenang, meski masih tetap tegas."Maksudku, aku menyukai pekerjaan Alyn. Dia sangat kompeten," ujarnya, mencari kata-kata yang bisa menjelaskan maksudnya dengan lebih jelas. "Aku tidak tahu alasan pasti kenapa dia berhenti menjadi asisten Felix. Tetapi dari data yang kulihat, dia sudah bekerja sejak perusahaan ini di bangun, kan? Dia banyak berjasa. Kenapa kalian begitu menentangnya?"Pak Putra memperhatikan Rio dengan seksama, ekspresi wajahnya tak banyak berubah, namun ada se
Setelah pertemuan panjang yang tampaknya membebani Felix, Alyn melihat bagaimana dia tertekan oleh ekspektasi yang terus meningkat. Dia bisa merasakan ketegangan yang mencekam di ruangan mewah itu, aroma whiskey menguar dari gelas yang ada di tangan Felix.Alyn mengetuk pintu ruangannya dengan lembut. Felix memberi isyarat untuk masuk, dan Alyn, dengan kecantikannya yang tenang dan mata yang penuh kehangatan, melangkah masuk dengan hati-hati."Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Pak Felix?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh perhatian.Felix tampak menggelengkan kepala, seakan mencoba menyingkirkan pikiran yang mengganggu. "Tidak apa-apa, Alyn. Saya hanya butuh beberapa momen sendiri."Namun, saat Alyn berbalik untuk pergi, Felix mendadak meminta agar dia tetap di sana. "Tunggu," katanya, suaranya terasa tercekat. "Apakah Anda bisa tetap di sini sebentar?"Alyn terkejut, tetapi berusaha menjaga ekspresinya. Dia mengangguk dan duduk di kursi di depan meja