Setelah pertemuan panjang yang tampaknya membebani Felix, Alyn melihat bagaimana dia tertekan oleh ekspektasi yang terus meningkat. Dia bisa merasakan ketegangan yang mencekam di ruangan mewah itu, aroma whiskey menguar dari gelas yang ada di tangan Felix.Alyn mengetuk pintu ruangannya dengan lembut. Felix memberi isyarat untuk masuk, dan Alyn, dengan kecantikannya yang tenang dan mata yang penuh kehangatan, melangkah masuk dengan hati-hati."Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Pak Felix?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh perhatian.Felix tampak menggelengkan kepala, seakan mencoba menyingkirkan pikiran yang mengganggu. "Tidak apa-apa, Alyn. Saya hanya butuh beberapa momen sendiri."Namun, saat Alyn berbalik untuk pergi, Felix mendadak meminta agar dia tetap di sana. "Tunggu," katanya, suaranya terasa tercekat. "Apakah Anda bisa tetap di sini sebentar?"Alyn terkejut, tetapi berusaha menjaga ekspresinya. Dia mengangguk dan duduk di kursi di depan meja
Sepulang bekerja, Alyn memutuskan untuk mampir ke mall yang terletak tidak jauh dari kantornya. Langit sudah mulai gelap, dan lampu-lampu kota yang berkilauan memberi suasana tenang yang dia butuhkan setelah hari yang penuh tekanan.Alyn melangkah menuju kafe kecil di sudut mall, matanya segera menangkap pemandangan barista yang sibuk meracik kopi di balik meja kasir. Suasana hangat yang diciptakan oleh cahaya lampu redup membuat tempat ini terasa nyaman, dan tanpa berpikir panjang, dia memutuskan untuk masuk."Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan dengan nada suara yang lembut.Alyn memandang papan menu di atas meja kasir, namun pikirannya terasa kosong. Setelah seharian penuh dengan beban kerja dan pikiran yang bergejolak, dia tidak terlalu memikirkan apa yang akan dipesannya."Selamat malam," jawab Alyn dengan senyum tipis. "Saya ingin pesan... mungkin cappuccino, ya. Oh, dan satu potong kue cokelat itu."Pelayan mencatat pesanannya d
Alyn terhenti, tubuhnya menegang seketika mendengar hinaan itu. Namun, sebelum dia sempat bereaksi, Bryan kembali mempererat genggamannya di tangan Alyn, seolah ingin memastikan dia tidak terpengaruh oleh kata-kata keji tersebut.Dengan tatapan tajam, Bryan menoleh ke arah Ericka. "Kendalikan dirimu, Nona Ericka," ucapnya dengan nada dingin. "Jangan bawa masalah pribadi ke tempat umum. Apa yang kau katakan tidak akan merubah kenyataan bahwa butik ini bukan lagi milikmu."Ericka terdiam, terengah-engah dalam kemarahannya, tapi tidak ada yang bisa dia jawab. Sementara itu, Alyn menunduk, berusaha menenangkan diri, merasa campuran antara malu, marah, dan ketidakpercayaan pada situasi yang sedang terjadi.Bryan, tanpa berkata lagi, segera membawa Alyn pergi dari sana, meninggalkan Ericka dalam kepedihan yang dia ciptakan sendiri."Ericka, apa maksudnya butik ini bukan milikmu lagi?" tanya Felix, suaranya dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran.Ericka berhenti sejenak,
Rumah besar keluarga Anggara selalu tampak megah dan rapi, dengan dekorasi klasik yang menambah kesan elegan. Langkah kaki Alyn terdengar jelas di lantai marmer, setiap jejaknya seperti membawa kenangan masa lalu yang kembali berputar dalam benaknya.Bryan berhenti sejenak, memberi isyarat kepada Alyn untuk melanjutkan sendiri. Dia mengerti bahwa pertemuan ini pribadi antara Alyn dan ayahnya.Alyn mengangguk pelan, berterima kasih dalam diam, lalu melangkah maju. Dia menuju ruang kerja Tuan Anggara, tempat di mana dia tahu ayahnya sering menghabiskan waktu. Dengan hati-hati, Alyn mengetuk pintu dan mendorongnya perlahan.Di balik pintu, Tuan Anggara duduk di belakang meja besar dengan tumpukan dokumen di depannya. Wajahnya yang biasanya tegas tampak sedikit melunak saat melihat putrinya memasuki ruangan."Alyn," panggil Tuan Anggara dengan suara dalamnya yang berwibawa. "Sudah lama kau tidak pulang."Alyn menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan perasaan canggung yang masih terasa as
Rio masuk ke rumahnya dengan langkah berat, pikirannya penuh dengan pikiran yang tak beraturan. Begitu tiba di ruang tamu, dia langsung melemparkan tubuhnya ke sofa, kepalanya tertunduk sementara tangannya memijat pelipisnya yang terasa tegang. Di dalam benaknya, percakapan terakhir dengan Alyn berputar-putar tanpa henti. Rio merasa ada yang salah dengan caranya menangani situasi tadi, terutama dengan bagaimana dia memperlakukan Alyn. Meskipun niatnya adalah untuk melindunginya, mungkin itu telah membuat Alyn merasa terpojok.Dia menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada sofa, menatap langit-langit yang terasa lebih dekat dari biasanya."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya dengan penyesalan yang semakin dalam. Dia mengakui bahwa tindakannya tadi didorong oleh rasa cemburu dan ketidakamanan, bukan sekadar kekhawatiran profesional.Rio memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Namun, bayangan wajah Alyn, tatapannya yang terkejut dan bingung, terus me
"Apa yang kamu katakan?" suara Pak Putra rendah, tapi penuh dengan ancaman yang tersirat.Rio menatap ayahnya tanpa mundur. "Aku bukan Felix, Ayah. Aku tidak akan membiarkan diriku diatur seperti boneka," ucap Rio dengan tegas, nadanya penuh dengan keberanian yang baru ditemukan. "Aku akan mengambil langkahku sendiri."Felix, yang berdiri di sisi lain ruangan, terkejut mendengar pernyataan saudaranya. Dia tahu Rio memiliki pemikiran yang berbeda, tetapi mendengarnya menentang ayah mereka secara langsung adalah hal yang tak pernah terbayangkan.Pak Putra melangkah maju, mendekati Rio dengan setiap langkah yang penuh dengan otoritas. "Kamu berani menentangku?" Suaranya semakin rendah, hampir seperti desis."Jika itu yang diperlukan untuk melindungi apa yang aku anggap benar, maka ya, aku berani," Rio menegaskan, menahan pandangan tajam ayahnya.Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, hanya ada keheningan yang memekakkan telinga di antara mereka. Pak Putra menatap putranya, m
Pagi itu, Rio terbangun di tempat tidur yang tampak asing. Sambil membuka matanya perlahan, dia menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya. Tempat tidur ini sederhana tapi nyaman, dengan seprai bersih dan bantal yang empuk.Rio duduk di tempat tidur, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatannya mulai kembali perlahan—dia mendatangi kontrakan Alyn, merasa pusing dan akhirnya pingsan di hadapannya. Tapi, bagaimana dia bisa berada di sini?Dia menoleh ke arah jendela, di mana sinar matahari pagi mulai menerobos masuk, menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Di sudut kamar, dia melihat sebotol air dan segelas penuh di meja kecil.Sebelum dia bisa merangkai semuanya, pintu kamar terbuka perlahan. Alyn muncul dengan wajah khawatir namun tenang, membawa nampan berisi sarapan sederhana."Kamu sudah bangun," kata Alyn, suaranya lembut. "Aku sudah menyiapkan sarapan. Bagaimana perasaanmu?"Rio menatap Alyn sejenak, masih mencoba memahami situasinya. "Alyn, apa yang te
Rio mengangkat foto itu, memperlihatkannya kepada Alyn. "Kau bukan sekadar Alyn yang aku kenal, bukan? Ada lebih banyak cerita di balik namamu, dan aku ingin tahu semuanya sekarang."Alyn menghela napas, merasa jembatan kepercayaan yang telah terbentuk di antara mereka mulai retak. "Aku... tidak bisa memberitahumu sekarang," katanya pelan, hampir seperti bisikan.Rio memandangnya dengan tatapan tajam, ketegangan memenuhi setiap sudut ruangan. "Apa yang kau takutkan, Alyn? Siapa yang membuatmu merasa begitu terancam hingga kau harus menyembunyikan dirimu?"Kata-kata Rio seperti jarum yang menusuk perasaan Alyn. Mata mereka bertemu, dan Alyn tahu bahwa ini mungkin saatnya dia harus membuka diri—tetapi bagaimana dia bisa menceritakan kebenaran pada adik mantan suaminya sendiri?Namun sebelum Alyn sempat menjawab, sebuah ketukan keras terdengar di pintu depan. Keduanya terdiam, saling berpandangan dengan penuh kewaspadaan. Suasana tegang yang sudah terasa sejak tadi
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny