"Ini gila!" teriak Bu Chintya, suaranya penuh dengan amarah dan ketidakpercayaan. "Bagaimana bisa kamu menyukai wanita itu? Dia adalah ancaman bagi keluarga kita, Rio! Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!"Pak Putra, akhirnya membuka mulutnya lagi. "Jika kamu melanjutkan ini, Rio, maka kamu akan berdiri sendiri melawan kita semua."Rio menatap ayahnya, mengetahui bahwa dia sekarang berada di persimpangan jalan yang berbahaya. Namun, dia tidak mundur.Rio mencoba meredakan ketegangan dengan suaranya yang lebih tenang, meski masih tetap tegas."Maksudku, aku menyukai pekerjaan Alyn. Dia sangat kompeten," ujarnya, mencari kata-kata yang bisa menjelaskan maksudnya dengan lebih jelas. "Aku tidak tahu alasan pasti kenapa dia berhenti menjadi asisten Felix. Tetapi dari data yang kulihat, dia sudah bekerja sejak perusahaan ini di bangun, kan? Dia banyak berjasa. Kenapa kalian begitu menentangnya?"Pak Putra memperhatikan Rio dengan seksama, ekspresi wajahnya tak banyak berubah, namun ada se
Setelah pertemuan panjang yang tampaknya membebani Felix, Alyn melihat bagaimana dia tertekan oleh ekspektasi yang terus meningkat. Dia bisa merasakan ketegangan yang mencekam di ruangan mewah itu, aroma whiskey menguar dari gelas yang ada di tangan Felix.Alyn mengetuk pintu ruangannya dengan lembut. Felix memberi isyarat untuk masuk, dan Alyn, dengan kecantikannya yang tenang dan mata yang penuh kehangatan, melangkah masuk dengan hati-hati."Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Pak Felix?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh perhatian.Felix tampak menggelengkan kepala, seakan mencoba menyingkirkan pikiran yang mengganggu. "Tidak apa-apa, Alyn. Saya hanya butuh beberapa momen sendiri."Namun, saat Alyn berbalik untuk pergi, Felix mendadak meminta agar dia tetap di sana. "Tunggu," katanya, suaranya terasa tercekat. "Apakah Anda bisa tetap di sini sebentar?"Alyn terkejut, tetapi berusaha menjaga ekspresinya. Dia mengangguk dan duduk di kursi di depan meja
Sepulang bekerja, Alyn memutuskan untuk mampir ke mall yang terletak tidak jauh dari kantornya. Langit sudah mulai gelap, dan lampu-lampu kota yang berkilauan memberi suasana tenang yang dia butuhkan setelah hari yang penuh tekanan.Alyn melangkah menuju kafe kecil di sudut mall, matanya segera menangkap pemandangan barista yang sibuk meracik kopi di balik meja kasir. Suasana hangat yang diciptakan oleh cahaya lampu redup membuat tempat ini terasa nyaman, dan tanpa berpikir panjang, dia memutuskan untuk masuk."Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan dengan nada suara yang lembut.Alyn memandang papan menu di atas meja kasir, namun pikirannya terasa kosong. Setelah seharian penuh dengan beban kerja dan pikiran yang bergejolak, dia tidak terlalu memikirkan apa yang akan dipesannya."Selamat malam," jawab Alyn dengan senyum tipis. "Saya ingin pesan... mungkin cappuccino, ya. Oh, dan satu potong kue cokelat itu."Pelayan mencatat pesanannya d
Alyn terhenti, tubuhnya menegang seketika mendengar hinaan itu. Namun, sebelum dia sempat bereaksi, Bryan kembali mempererat genggamannya di tangan Alyn, seolah ingin memastikan dia tidak terpengaruh oleh kata-kata keji tersebut.Dengan tatapan tajam, Bryan menoleh ke arah Ericka. "Kendalikan dirimu, Nona Ericka," ucapnya dengan nada dingin. "Jangan bawa masalah pribadi ke tempat umum. Apa yang kau katakan tidak akan merubah kenyataan bahwa butik ini bukan lagi milikmu."Ericka terdiam, terengah-engah dalam kemarahannya, tapi tidak ada yang bisa dia jawab. Sementara itu, Alyn menunduk, berusaha menenangkan diri, merasa campuran antara malu, marah, dan ketidakpercayaan pada situasi yang sedang terjadi.Bryan, tanpa berkata lagi, segera membawa Alyn pergi dari sana, meninggalkan Ericka dalam kepedihan yang dia ciptakan sendiri."Ericka, apa maksudnya butik ini bukan milikmu lagi?" tanya Felix, suaranya dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran.Ericka berhenti sejenak,
Rumah besar keluarga Anggara selalu tampak megah dan rapi, dengan dekorasi klasik yang menambah kesan elegan. Langkah kaki Alyn terdengar jelas di lantai marmer, setiap jejaknya seperti membawa kenangan masa lalu yang kembali berputar dalam benaknya.Bryan berhenti sejenak, memberi isyarat kepada Alyn untuk melanjutkan sendiri. Dia mengerti bahwa pertemuan ini pribadi antara Alyn dan ayahnya.Alyn mengangguk pelan, berterima kasih dalam diam, lalu melangkah maju. Dia menuju ruang kerja Tuan Anggara, tempat di mana dia tahu ayahnya sering menghabiskan waktu. Dengan hati-hati, Alyn mengetuk pintu dan mendorongnya perlahan.Di balik pintu, Tuan Anggara duduk di belakang meja besar dengan tumpukan dokumen di depannya. Wajahnya yang biasanya tegas tampak sedikit melunak saat melihat putrinya memasuki ruangan."Alyn," panggil Tuan Anggara dengan suara dalamnya yang berwibawa. "Sudah lama kau tidak pulang."Alyn menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan perasaan canggung yang masih terasa as
Rio masuk ke rumahnya dengan langkah berat, pikirannya penuh dengan pikiran yang tak beraturan. Begitu tiba di ruang tamu, dia langsung melemparkan tubuhnya ke sofa, kepalanya tertunduk sementara tangannya memijat pelipisnya yang terasa tegang. Di dalam benaknya, percakapan terakhir dengan Alyn berputar-putar tanpa henti. Rio merasa ada yang salah dengan caranya menangani situasi tadi, terutama dengan bagaimana dia memperlakukan Alyn. Meskipun niatnya adalah untuk melindunginya, mungkin itu telah membuat Alyn merasa terpojok.Dia menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada sofa, menatap langit-langit yang terasa lebih dekat dari biasanya."Apa yang sudah kulakukan?" pikirnya dengan penyesalan yang semakin dalam. Dia mengakui bahwa tindakannya tadi didorong oleh rasa cemburu dan ketidakamanan, bukan sekadar kekhawatiran profesional.Rio memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Namun, bayangan wajah Alyn, tatapannya yang terkejut dan bingung, terus me
"Apa yang kamu katakan?" suara Pak Putra rendah, tapi penuh dengan ancaman yang tersirat.Rio menatap ayahnya tanpa mundur. "Aku bukan Felix, Ayah. Aku tidak akan membiarkan diriku diatur seperti boneka," ucap Rio dengan tegas, nadanya penuh dengan keberanian yang baru ditemukan. "Aku akan mengambil langkahku sendiri."Felix, yang berdiri di sisi lain ruangan, terkejut mendengar pernyataan saudaranya. Dia tahu Rio memiliki pemikiran yang berbeda, tetapi mendengarnya menentang ayah mereka secara langsung adalah hal yang tak pernah terbayangkan.Pak Putra melangkah maju, mendekati Rio dengan setiap langkah yang penuh dengan otoritas. "Kamu berani menentangku?" Suaranya semakin rendah, hampir seperti desis."Jika itu yang diperlukan untuk melindungi apa yang aku anggap benar, maka ya, aku berani," Rio menegaskan, menahan pandangan tajam ayahnya.Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, hanya ada keheningan yang memekakkan telinga di antara mereka. Pak Putra menatap putranya, m
Pagi itu, Rio terbangun di tempat tidur yang tampak asing. Sambil membuka matanya perlahan, dia menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya. Tempat tidur ini sederhana tapi nyaman, dengan seprai bersih dan bantal yang empuk.Rio duduk di tempat tidur, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatannya mulai kembali perlahan—dia mendatangi kontrakan Alyn, merasa pusing dan akhirnya pingsan di hadapannya. Tapi, bagaimana dia bisa berada di sini?Dia menoleh ke arah jendela, di mana sinar matahari pagi mulai menerobos masuk, menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Di sudut kamar, dia melihat sebotol air dan segelas penuh di meja kecil.Sebelum dia bisa merangkai semuanya, pintu kamar terbuka perlahan. Alyn muncul dengan wajah khawatir namun tenang, membawa nampan berisi sarapan sederhana."Kamu sudah bangun," kata Alyn, suaranya lembut. "Aku sudah menyiapkan sarapan. Bagaimana perasaanmu?"Rio menatap Alyn sejenak, masih mencoba memahami situasinya. "Alyn, apa yang te