Dengan langkah cepat, Alyn masuk ke kamarnya. Mengemas sedikit baju-bajunya yang sudah lusuh dan usang, harta yang ia miliki sangat sedikit. Felix sangat perhitungan, ia hanya memberi uang bulanan pada ibunya, jadi Alyn tak pernah menerima uang untuk belanja dengan layak.
Dia bilang memalukan? Tapi dia sendiri tak memberinya nafkah dengan benar. Dengan dendam yang membara di hati, Alyn melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan Felix dan Bu Cintya yang masih mengomel karena darah yang menggenang di lantai rumah lebih mereka perhatikan daripada kondisi Alyn. Alyn berjalan tertatih, darah mengalir di kakinya. Setiap langkah terasa berat, tetapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit yang ia rasakan. Alyn menghentikan sepeda motor yang lewat dihapannya. "Tolong, saya ... Saya takut terjadi apa-apa dengan anak saya," sahut Alyn sambil menitikkan air mata. Suaranya bergetar, penuh rasa takut dan putus asa. "Ayo, saya antar ke rumah sakit!" jawab pria itu cepat, penuh empati. Alyn pun dibonceng, diantar ke rumah sakit segera. Dengan setiap detik yang berlalu, harapan untuk menyelamatkan anaknya menggantung di ujung doa-doa yang ia panjatkan dalam hati yang hancur. Perjalanan itu terasa begitu panjang, penuh dengan rasa sakit fisik dan emosi yang mencekam. Alyn tiba di rumah sakit dengan darah yang masih mengalir di kakinya. Dengan bantuan pria yang dengan sigap menolongnya itu, ia dibawa masuk ke ruang UGD. Setiap langkah terasa berat, namun dukungan dari pria yang bernama Rio itu memberikan sedikit harapan di tengah kepedihan yang luar biasa. "Dokter! Tolong, ini darurat!" seru Rio, pria yang menolongnya saat mereka tiba di ruang UGD. Perawat yang berjaga segera datang dengan tandu, mengarahkan Alyn untuk berbaring. Alyn, yang sekarang lemah dan hampir kehilangan kesadarannya, masih mencoba untuk menjaga kesadarannya. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang tak terbendung. Tim medis segera mengambil alih. Dokter memeriksa kondisi Alyn dengan cepat namun teliti. "Kita harus segera melakukan tindakan. Ini kasus keguguran pada usia kehamilan yang cukup tua. Siapkan semua peralatan yang dibutuhkan!" instruksinya tegas. Perawat segera memasang infus untuk menjaga cairan tubuh Alyn tetap stabil. Mereka juga memonitor detak jantung janin dengan alat yang canggih, namun hasilnya mengecewakan. Janin sudah tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. "Maaf, Bu. Kami harus melakukan prosedur untuk menghentikan pendarahan dan membersihkan rahim Anda," ujar dokter dengan nada serius namun penuh empati. Alyn mengangguk lemah, air mata mengalir deras di pipinya. Rasa sakit fisik dan emosional berpadu dalam satu kesatuan yang mengerikan. Tim medis mempersiapkan Alyn untuk prosedur dilatasi dan kuretase (D&C), yang dilakukan untuk membersihkan rahim dari sisa-sisa jaringan janin. Perawat menyiapkan anestesi lokal untuk mengurangi rasa sakit, sementara dokter melakukan prosedur dengan hati-hati, memastikan tidak ada komplikasi lebih lanjut. Proses itu terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan bagi Alyn. Suara-suara instruksi medis, alat-alat yang berbunyi, dan rasa sakit yang datang silih berganti. Namun di tengah semua itu, Alyn merasakan kekuatan yang aneh, kekuatan untuk bertahan dan melewati semua ini. Beberapa jam kemudian, prosedur selesai. Alyn dibawa ke ruang pemulihan, di mana perawat dengan lembut menenangkannya, memberikan dukungan moral dan fisik. "Anda sudah melewati masa kritis. Istirahatlah, Bu. Anda butuh waktu untuk pulih," ujar perawat sambil merapikan selimut di tubuh Alyn yang lelah. "Terima kasih, Sus. Oh iya, administrasinya bagaimana, Sus? Saya gak punya uang..." ujar Alyn, suaranya bergetar penuh kepasrahan. Alyn lalu mencopot cincin kawin dari jarinya dan mengeluarkan KTP-nya. "Ini, saya cuma punya cincin ini untuk biaya rumah sakitnya. Besok saya pulang aja supaya biayanya tidak bertambah," rintih Alyn. Menyebut kata 'pulang', Alyn merasakan perih yang mendalam. Sebenarnya, ia tak bisa pulang ke rumahnya. Ayahnya begitu menentang pernikahannya dengan Felix dan mengusirnya dari rumah. Ayahnya hanya memberikan kesaksian melalui panggilan telepon suara saat pernikahan itu. Ia bahkan tak mau menunjukkan dirinya, meski hanya melalui panggilan video. Sekarang, Alyn bingung. Tak punya uang sepeser pun untuk bertahan hidup. Rasa sakit kehilangan janinnya, ditambah dengan ketidakpastian masa depannya, membuat hati dan pikirannya kalut. "Baik, Bu. Nanti saya kembali dengan KTP ibu. Saya proses dulu administrasinya," ujar suster itu, memecah lamunan Alyn, lalu pamit. Alyn menatap langit-langit ruangan, air mata mengalir tanpa henti. Ia merasakan keputusasaan yang begitu mendalam. Ditinggalkan oleh suami, ditolak oleh keluarga, dan kini kehilangan janin yang ia harapkan akan menjadi cahaya dalam hidupnya. Di tengah kesedihannya, Alyn teringat kenangan masa kecilnya. Wajah ayahnya yang dulu penuh kasih, kini berubah menjadi bayangan yang menghardik dan menolak. Ia merasakan beban berat di dadanya, seolah seluruh dunia telah meninggalkannya. Beberapa saat kemudian, suster datang lagi sambil membawa KTP dan cincin Alyn. Alyn yang melihatnya terkejut duluan. "Loh, kenapa cincinnya dibawa lagi? Apa nggak bisa diterima?" tanyanya dengan khawatir. "Mmm ... Bukan begitu, Nyonya Alyn, mohon maaf, saya tidak tahu," sahut sang suster menjadi lebih sopan, melihat kekhawatiran di wajah Alyn. "Ke-kenapa ya?" Alyn terheran-heran, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Suster itu mengembalikan KTP dan cincin ke tangan Alyn. "Anda tak perlu membayar dengan cincin atau apa pun, Nyonya Alyn. Sebab keluarga Anggara Group telah mendapatkan benefit dan compliment di rumah sakit ini." Alyn merasa terjaga dari kegundahan hatinya ketika suster datang dengan penjelasan yang mengejutkan. "Keluarga Anggara?" gumamnya pelan, mencoba meredakan sedikit kepanikan yang mengganggu dirinya. Suster itu tersenyum lembut. "Nikmati istirahat Anda, Nyonya. Makan siang akan segera diantar," katanya sambil beranjak pergi. Ayahnya, Tuan Anggara, adalah seorang pengusaha sukses dengan berbagai bisnis di bidang properti, perbankan, dan teknologi. Sejak kecil, Alyn hidup dalam kemewahan, dengan segala kebutuhan dan keinginannya terpenuhi. Namun, semua itu berubah sejak Alyn mengenal Felix. Meskipun hidupnya jauh dari kemewahan yang pernah dia nikmati, Alyn merasa lebih kuat karena berada di samping Felix saat itu. Tetapi sekarang, setiap detik terasa seperti penderitaan baginya. Dalam keadaan seperti ini, ponselnya berdering dari saku dasternya. Alyn terhenyak saat melihat nama yang muncul di layar. “A-ayah?” ucapnya dengan nada tak percaya. Tangannya bergetar saat ia mengangkat telepon itu.Alyn menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Suara di ujung telepon terasa seperti suara dari masa lalu yang tak pernah diharapkannya. "Apa benar ini ayah?" tanyanya dengan nada tak percaya.“Alyn? Kamu di rumah sakit?” Suara ayahnya terdengar tegas namun penuh kekhawatiran. Suara yang sangat familiar, namun sudah lama tidak ia dengar."Ya, Ayah. Aku di rumah sakit," jawab Alyn dengan suara yang hampir tak terdengar. Air mata membasahi pipinya, campuran antara kelegaan dan kesedihan. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak memberitahu Ayah sebelumnya?” tanya ayahnya, nada suaranya semakin penuh perhatian.Alyn menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku ... aku mengalami keguguran, Ayah. Felix dan keluarganya... mereka...” Suaranya pecah oleh isakan yang tak tertahan.“Alyn, tenanglah. Ayah akan segera ke sana. Kamu tidak perlu khawatir tentang apapun,” ujar ayahnya dengan nada lembut.“Ayah... kenapa Ayah menelepon? Setelah sekian lama...” Alyn tidak
Setelah kondisinya membaik, Alyn dibawa kembali ke rumah Anggara untuk beristirahat. Rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi itu menyambutnya dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya kenangan bersama Felix. Rumah Anggara adalah lambang kemewahan dan keanggunan seorang pengusaha besar. Bangunan megah dengan arsitektur klasik modern dikelilingi oleh taman yang luas, dipenuhi bunga-bunga yang selalu mekar. Banyak pelayan sigap melayani setiap kebutuhan Alyn, memastikan ia merasa nyaman dan diperhatikan. Saat Alyn memasuki kamar yang sudah lama tidak ia tempati, ia merasakan kehangatan dan nostalgia masa kecilnya. Ibunya telah meninggal lama, sehingga ia dibesarkan sendirian oleh ayahnya. Meskipun Anggara keras dan tegas, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah hilang. Alyn berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar yang dikenalnya. Dengan hati yang penuh emosi, ia memikirkan masa lalu. “Ini semua terasa begitu jauh,” gumamnya pelan, tangannya memeluk bantal dengan era
Bryan adalah asisten kepercayaan Tuan Anggara, ayah Alyn. Sebagai asisten yang setia, Bryan selalu ada di sisi Tuan Anggara, membantu mengurus berbagai urusan bisnis dan pribadi. Dalam perjalanannya, ia sering bertemu dengan Alyn, anak tunggal majikannya. Mereka sering berbincang ringan, dan dari pertemuan-pertemuan itu, Bryan mulai menaruh hati pada Alyn. Ia terpesona oleh kelembutan dan keanggunan Alyn, tetapi ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang asisten. Tak mungkin ia menyukai anak majikannya. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan Bryan semakin dalam. Suatu hari, dia merasa sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Bryan berniat untuk menyatakan cintanya kepada Alyn, berharap ia bisa memahami dan merasakan hal yang sama. Sore itu, Bryan melihat Alyn duduk di taman belakang, menangis terisak-isak. Ia merasa hatinya hancur melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. Dengan langkah hati-hati, Bryan mendekati Alyn. "Alyn, ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanyanya lembut
Satu sore yang tenang, saat Alyn baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, terdengar ketukan lembut di pintu kontrakannya. Alyn membuka pintu dan mendapati Bryan berdiri di sana, membawa beberapa kantong belanjaan.“Bryan?” Alyn terlihat terkejut. “Apa yang membawamu ke sini?”Bryan memberikan senyuman lembut dan melangkah masuk dengan izin. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja,” katanya sambil meletakkan kantong-kantong belanjaan di meja kecil di ruang tamu. “Aku membawa beberapa persediaan makanan dan barang-barang yang mungkin kau butuhkan.”Alyn merasa tersentuh oleh perhatian Bryan. “Terima kasih banyak, Bryan. Kau tidak perlu repot-repot begini.”Bryan mengangguk dan mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong. “Aku tahu ini tidak banyak, tapi aku berharap ini bisa membantu. Ada beberapa bahan makanan segar dan beberapa makanan siap saji.”Alyn memperhatikan dengan rasa syukur saat Bryan menata barang-barang di meja. “Aku benar-benar menghargai ini. Sel
Dengan sorot matanya yang tajam, Felix Putra Wijaya duduk di kursi presiden di ruang rapat Wijaya Group. Layar komputer di depannya memantulkan cahaya biru yang tenang, kontras dengan kegelapan di luar jendela kaca besar yang menghadap ke kota metropolitan yang sibuk.Felix memeriksa laporan keuangan terbaru, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan irama yang hampir tidak terdengar di antara bisikan AC yang berdentum.Suasana tegang terasa di ruangan itu, bukan hanya karena kompetisi yang semakin ketat di industri, tetapi juga karena kehadiran yang tak terlihat tetapi sangat kuat: Pak Putra, sang ayah yang merupakan pendiri perusahaan ini."Bagaimana perkembangan proyek ekspansi kita, Pak?" tanya Felix, matanya tetap terpaku pada layar, mencoba mempertahankan sikapnya yang tegas sebagai pemimpin perusahaan.Pak Putra, seorang pria tua dengan rambut yang mulai memutih namun energinya masih membara, mengangguk pelan sambil memeriksa catatan yang dia bawa."Ka
Rio Putra Wijaya adalah putra kedua dari Pak Putra. Dia baru saja kembali setelah menyelesaikan studinya di luar negeri sebagai peraih beasiswa terbaik. Sejak kedatangannya, Rio merasa ada yang tidak beres. Dia tidak diberi tahu tentang pernikahan rahasia kakaknya, Felix, dan malah mendengarnya dari pembantu di rumah.Dalam keluarga Wijaya yang terkenal dengan ketegasan dan keangkuhannya, Rio adalah sosok yang berbeda. Dibandingkan dengan Felix yang serius dan kaku, Rio memiliki sikap yang lebih lembut dan perhatian terhadap orang lain. "Mas, kenapa kamu tidak memberi tahu aku tentang pernikahanmu?" tanya Rio pada Felix dengan ekspresi campuran antara kekecewaan dan kebingungan. Mereka duduk bersama di ruang keluarga yang megah, suasana hening di antara mereka.Felix menatap adiknya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Dia tahu bahwa Rio adalah satu-satunya anggota keluarga yang mungkin memahami perasaannya, tetapi dia juga tahu betapa rumitnya situasi yang telah dia ciptakan deng
Setelah makan malam selesai, suasana di rumah keluarga Wijaya masih diselimuti keheningan. Namun, di balik keheningan itu, ada badai yang berkecamuk di dalam hati Felix. Dengan langkah cepat dan penuh tekad, ia menuju kamar adiknya, Rio, yang berada di lantai atas.Felix membuka pintu kamar Rio tanpa mengetuk, langsung memasuki ruangan dengan wajah yang penuh amarah. Rio, yang sedang duduk santai di tempat tidurnya dengan sebuah buku di tangan, mendongak dan menatap kakaknya dengan tenang.Dia sudah bisa menebak bahwa percakapan ini tidak akan berjalan dengan baik, tetapi dia tetap tenang, menunggu apa yang akan Felix katakan."Kenapa kau kembali? Dan kenapa kau ingin memimpin perusahaan?" tanya Felix dengan nada tajam dan penuh kekhawatiran. Sorot matanya menunjukkan kecemasan yang mendalam, seolah-olah kehadiran Rio mengancam posisinya dalam keluarga.Rio meletakkan bukunya dengan tenang di atas meja samping tempat tidur, kemudian menatap kakaknya dengan pandangan yang tajam. Tidak
Suasana di rumah Tuan Anggara sangat tenang, dengan hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui pepohonan di taman belakang. Ruangan utama dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit. Tuan Anggara sedang duduk di ruang kerjanya yang luas, memeriksa beberapa dokumen penting di meja kayu mahoni yang besar.Di luar, suasana malam yang hening memberikan ketenangan tersendiri. Semua orang di rumah telah beristirahat, kecuali Tuan Anggara yang masih tenggelam dalam pekerjaannya. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, matanya tetap tajam dan penuh perhatian, seperti biasa saat dia menyelami bisnis yang telah dia bangun selama puluhan tahun.Namun, ketenangan itu segera terpecah saat dering telepon yang tergeletak di meja sampingnya berbunyi. Tuan Anggara mengambilnya dengan tenang, melihat nama yang tertera di layar sebelum menjawabnya."Alyn," gumamnya pelan, sedikit terkejut namun tetap tenang."Ayah, putuskan semua kontrak kerja sama k
Senja perlahan menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan hangat di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membelai rambut Alyn yang tergerai. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pasir putih yang halus, sementara ombak bergulung pelan di kejauhan, seolah menyanyikan lagu lembut yang hanya mereka berdua bisa dengar.Rio menghentikan langkahnya. Alyn yang menyadari bahwa Rio tak lagi berjalan di sampingnya berbalik.“Ada apa, Rio?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tanya.Rio menatap Alyn dalam-dalam, seolah ingin memastikan setiap detik yang mereka habiskan bersama di tempat itu akan abadi dalam ingatannya. Wajahnya tegang, namun di matanya ada kehangatan yang tak biasa.“Alyn,” katanya perlahan, suaranya terdengar lebih rendah dan dalam dari biasanya. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan.”Alyn merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Entah mengapa, tatapan Rio kali ini berbeda. Ada se
Suara gesekan pintu sel yang berat bergema di ruangan yang suram. Seorang penjaga melangkah maju, membuka pintu sel perlahan."Ericka Hartono, Anda dibebaskan," katanya dengan nada datar, seolah pembebasan ini hanyalah rutinitas lain baginya.Ericka, yang duduk termenung di sudut ruangan, mendongak dengan ekspresi terkejut. Matanya yang sebelumnya kosong kini menyala dengan campuran perasaan kebingungan, kelegaan, dan sedikit ketakutan. Setelah segala yang terjadi, dia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang begitu cepat.Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang kusut, lalu melangkah keluar dari sel dengan ragu-ragu. Udara dingin dari luar menyambutnya, membawa serta kenyataan baru yang sulit ia terima. Saat dia berjalan keluar dari penjara, pikirannya dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Siapa yang membebaskannya?Di luar, sinar matahari menyilaukan matanya, kontras dengan gelapnya sel yang selama ini menjadi tempatnya. Ericka melangkah ke dunia luar dengan langkah berat, ti
Hakim menatap kedua terdakwa, Bu Ratna dan Bryan, dengan tatapan dingin. Setelah mendengar semua kesaksian dan bukti yang diajukan selama persidangan, suasana di ruang sidang terasa tegang, seolah menunggu vonis yang tak terelakkan. "Setelah mempertimbangkan semua fakta yang disampaikan di persidangan ini," kata hakim dengan suara tegas, "pengadilan memutuskan bahwa terdakwa, Ratna Anggara, terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap Ny. Anggara beberapa tahun yang lalu, serta upaya menghilangkan nyawa Alyn baru-baru ini." Suara berbisik terdengar dari para pengunjung sidang, tetapi hakim tidak terpengaruh dan melanjutkan, "Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah karena merencanakan serangkaian manipulasi dan tindakan kriminal lainnya untuk mempertahankan posisinya dan kekuasaan di Anggara Group." Hakim beralih pada Bryan yang kini tampak pucat. "Bryan Wijaya, Anda juga terbukti bersalah atas berbagai kejahatan, termasuk fitnah terhadap Rio Putra Wijaya, mela
Saat Jinu dipanggil ke depan sebagai saksi, suasana ruang sidang semakin tegang. Jinu, dengan sikap tenang namun tegas, berdiri di depan para hakim. Dia mengangkat sumpah dengan penuh kesadaran bahwa apa yang akan dia katakan akan menjadi kunci dalam kasus ini."Nama saya Jinu," ia memulai, "dan selama ini, saya adalah tangan kanan Bryan. Saya diutus untuk memata-matai keluarga Ericka, serta menjaga agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana Bryan dan Bu Ratna."Desas-desus di antara hadirin mulai terdengar. Mata Felix tampak terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Keluarga Wijaya saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka juga telah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar.Pengacara yang mewakili Alyn berdiri dan mulai bertanya. "Bisa Anda jelaskan lebih lanjut, apa yang Anda maksud dengan memata-matai keluarga Ericka?"Jinu menghela napas sebelum melanjutkan. "Bryan dan Bu Ratna merencanakan segalanya. Mereka memanipulasi hubungan
Keesokan harinya, sidang dilanjutkan dengan suasana yang jauh lebih tegang. Ruang sidang dipenuhi oleh orang-orang yang telah mengikuti perkembangan kasus ini, termasuk anggota keluarga Wijaya yang hadir dengan wajah serius. Felix duduk di barisan depan bersama keluarganya, matanya tajam menatap ke depan, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas, meminta ketenangan di ruang sidang yang mulai riuh setelah bukti baru disampaikan. “Pengacara, apakah Anda memiliki saksi yang bisa mendukung bukti yang baru saja diajukan?” tanyanya dengan nada serius. Pengacara Alyn berdiri dengan tenang. "Yang Mulia, kami memang memiliki saksi yang relevan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. Kami ingin memanggil Dokter MJ ke hadapan persidangan." Ruang sidang hening sesaat ketika pintu terbuka dan Dokter MJ masuk. Dia berjalan menuju mimbar saksi, menundukkan kepala sebentar sebelum duduk di kursi yang disediakan. Semua mat
Ruangan sidang dipenuhi keheningan yang tegang. Para hadirin duduk di barisan bangku kayu, menahan napas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di depan, hakim duduk dengan sikap tenang, meski ketegangan terasa mengental di udara.Di sisi lain ruang, Alyn berdiri dengan tegas di meja penggugat, diapit oleh Rio dan Jinu. Di seberang, Bryan tampak duduk dengan wajah penuh ketegangan, ditemani oleh Bu Ratna yang berusaha menjaga wibawanya meski suasana terasa semakin tak terkendali.Sidang ini bukan sekadar pertempuran hukum biasa. Ini adalah puncak dari segala tipu daya, pengkhianatan, dan rahasia yang selama bertahun-tahun tersembunyi. Alyn tahu bahwa semua yang terjadi selama ini bermuara pada hari ini. Hari di mana kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya.Pengacara Alyn maju ke depan, membawa sebuah amplop putih yang disegel dengan rapi. "Yang Mulia," katanya dengan suara lantang. "Kami telah melakukan tes DNA dan hasilnya jelas. Bryan bukan anak kandu
Rio mengerutkan kening, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Alyn yang sejak tadi begitu bersemangat terdiam, dia mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Lalu tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul, membuatnya terhenyak."Jangan-jangan..." Alyn berhenti, menatap Rio dan Jinu dengan mata melebar. “Bryan bukan anak kandung Bu Ratna?”Suasana seketika hening. Rio menatap Alyn, terkejut dengan dugaan itu. “Maksudmu?”“Pikirkan, Rio. Jika Bryan memang anak kandung Bu Ratna dan Tuan Anggara, seharusnya dia tahu siapa aku dari awal. Tapi kalau dia bukan anak kandung, mungkin ada alasan lain kenapa dia begitu terobsesi padaku.” Alyn mulai berbicara cepat, seakan mencoba mengejar pemikirannya sendiri. Jinu menatap Alyn dengan serius, wajahnya menunjukkan pemahaman yang baru. “Itu masuk akal,” katanya akhirnya. "Mungkin saja sejak awal, Bryan memang hanya anak pura-pura dan tahu permainan Bu Ratna. Tapi... dia malah terjebak dalam perasaannya sendiri pada Alyn.”Rio
“Aku tahu ini tidak gratis, kan?” tanya Alyn, suaranya terdengar rendah namun tegas. Dia tahu bahwa Jinu bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan.Jinu tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tahu betul, Alyn. Aku ingin Ericka dibebaskan sebagai imbalannya."Mendengar permintaan itu, Rio langsung tersentak. "Tidak! Dia sudah mencelakai Alyn dan ibunya. Ericka tidak pantas dibiarkan begitu saja!" Rio membentak, kemarahan dan kebencian terhadap Ericka terpancar dari matanya.Namun, Jinu tetap tenang, seakan dia sudah memperkirakan reaksi Rio. "Kau salah, Rio..." ucap Jinu pelan tapi pasti. "Itu bukan Ericka... tapi ibu Bryan."Kata-kata Jinu membuat udara di antara mereka terasa berat. Rio menatap Jinu dengan tatapan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.“Apa maksudmu? Ibu Bryan?”Jinu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Ibu Bryan adalah dalang dari semua ini. Dialah yang selama ini menarik tali di balik layar, termasuk menjeb
Alyn terdiam, mencoba mencerna situasi yang baru saja terjadi. Rasanya seperti semakin banyak rahasia yang terungkap, namun semuanya masih kabur dan tidak jelas. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang jauh di luar kendalinya."Rio, kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini semua sebelum segalanya semakin hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua orang yang aku cintai terjebak dalam permainan ini," ucap Alyn, nadanya dipenuhi kegelisahan.Rio menggenggam tangan Alyn erat, matanya bersinar penuh ketegasan. "Kita akan hadapi ini bersama. Aku tahu Bryan sedang merencanakan sesuatu, dan sepertinya ini lebih dari sekadar menghancurkan Felix. Dia ingin lebih dari itu."Alyn memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Bryan, yang dulunya sahabat setia keluarga, kini berubah menjadi musuh dalam selimut. Perasaannya bercampur antara ketakutan dan kekecewaan. Bagaimana bisa orang yang begitu dekat dengannya berubah menjadi ancaman terbesar dalam hidupny