Hening.
Ketegangan di udara meningkat, tetapi Fiona hanya menghela napas selagi meletakkan hair dryer-nya ke atas meja. Seolah tak terganggu dengan kemarahan Antonio, wanita itu menatap lurus wajah sang suami. Pria itu tampan, dengan rambut cokelat gelapnya yang selalu tertata rapi. Manik cokelat terang, hidung mancung, dan lesung pipi manis ketika tersenyum. Dahulu, Fiona sangat mengagungkan ketampanan Antonio, memperlakukannya secara tulus demi melihat senyumnya yang menawan. Akan tetapi, kenapa sedikit pun Fiona tidak pernah sadar bahwa pria tersebut tidak pernah membalas ketulusannya? Bahkan sekarang pun, Antonio tidak mencoba memahami situasi terlebih dahulu. Tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi, dia langsung memihak pelayan dan menuduh Fiona berbuat onar. Sungguh… suami yang keji. Menyadari ekspresi Fiona saat menatapnya, Antonio agak bingung. “Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau bahkan mendengarku!?” teriaknya lagi. “Aku tidak tuli, tentu saja aku mendengarmu.” Mata Antonio terbelalak. Kemarahan yang tadi menggebu digantikan keterkejutan mendalam. Apa Fiona … baru saja menyindirnya? Belum sempat Antonio membalas, Fiona sudah lebih dahulu berbicara. “Aku sudah bilang pada Hanna,” ujarnya dengan datar. “Aku pergi dengan teman dan baterai ponselku habis, jadi tidak bisa mengabari.” Tatapannya beralih ke Hanna. “Apa Hanna tidak mengatakannya padamu?” Hanna tersentak, matanya membelalak sebelum buru-buru menunduk lebih dalam. Antonio tidak menyadari ekspresi panik pelayannya, tetapi otaknya menangkap satu kata kunci dari ucapan Fiona. “Teman?” Nada suara Antonio terdengar menekan. “Kamu pergi dengan teman yang mana?” Fiona mendesah pelan, lalu menatap Antonio dengan ekspresi yang seolah ingin berkata ‘Apakah itu penting?’ “Kamu bertanya teman yang mana, tapi kalau aku menyebutkan namanya, apa kamu akan mengenalnya?” Fiona menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya santai. “Setiap kali aku ingin mengenalkanmu pada teman-temanku, kamu saja selalu menolak karena sibuk dengan pekerjaan.” Antonio terdiam. Fiona benar. Bahkan jika Fiona menyebutkan nama seseorang, Antonio tidak akan tahu siapa orang itu. Karena sejak awal, dia tidak pernah peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan istrinya ini. Lagi pula, di mata Antonio, Fiona tidak lebih daripada alatnya untuk mendapatkan harta warisan! Namun, bukan berarti Antonio ingin kalah dalam argumen ini begitu saja. “Lalu bagaimana dengan Hanna? Apa yang kamu katakan padanya sampai dia menangis begitu?” Fiona menaikkan satu alisnya. “Menangis?” ulangnya seolah heran. “Aku hanya memintanya untuk memberitahumu bahwa aku ingin mandi dulu. Kenapa dia sampai menangis?” Alis Fiona tertaut seolah baru menyadari sesuatu. Dia menatap Hanna dengan ekspresi yang terlihat seperti baru teringat sesuatu. “Ah…” Fiona menghela napas pelan. “Apa karena aku membicarakan tentang bagaimana Kak Amber lebih pantas jadi nyonya rumah ini dibandingkan aku?” Antonio langsung mengerutkan dahi. “Kenapa jadi membawa-bawa Amber?” “Hanna bilang… kalau dulu, saat kalian masih bersama, Kak Amber sangat penurut dan pengertian. Sementara aku…” Fiona menundukkan kepala sedikit, menciptakan ekspresi lemah yang seolah rapuh, “... aku tidak sebanding dengannya.” Fiona mengangkat kepalanya, menatap Antonio dengan wajah menahan tangis. “Aku tahu Hanna berniat baik. Dia hanya ingin memperingatkanku,” katanya dengan suara yang terdengar seperti memaksakan senyum. “Tapi… sebagai seorang istri… bagaimana mungkin aku tidak sakit hati dan marah, Antonio? Secara tidak langsung, Hanna sedang mengatakan bahwa aku tidak pantas untuk menjadi istrimu!” Suasana mendadak tegang. Tatapan Antonio kembali tertuju pada Hanna yang masih tertunduk di belakangnya. Pelayan itu menggigit bibirnya, tubuhnya sedikit gemetar. Dia sama sekali tidak menyangka nyonyanya akan bersikap seperti ini? Biasanya, wanita itu hanya akan diam dan meminta maaf agar Antonio tidak semakin marah! Di sisi lain, Antonio mengepalkan tangan. Kalau Hanna adalah pelayan biasa, maka dia mungkin akan langsung menegurnya karena berbicara sembarangan, tapi Hanna lebih dari itu. Bekerja lebih dari dua puluh tahun di keluarga Carter, Hanna menyimpan berbagai rahasia Antonio, termasuk pandangannya terhadap sang istri, dan juga … hubungannya dengan Amber. Jika Antonio sampai mengusir atau menghukum Hanna, maka pelayan itu bisa saja membongkar rahasianya kepada Fiona, yang kemudian akan melapor kepada sang kakek! Yang mana itu berarti posisi pewaris yang Antonio idamkan berada dalam ancaman! Itu tidak boleh terjadi! Antonio menahan napas, lalu berbicara dengan nada lebih tenang. “Fiona, Hanna mungkin memang terlalu keras kepadamu, tetapi dia sudah lama mengabdi pada keluarga ini. Dia hanya khawatir dan menginginkan yang terbaik untukku. Bukan begitu, Hanna?” ucapnya, berusaha membela Hanna tanpa terdengar seperti berpihak sepenuhnya. Hanna yang ditanya seperti itu langsung mengangguk. “I-itu benar, Nyonya! Saya sama sekali tidak berniat menghina Anda!” Fiona hanya terdiam. Dia sudah menduga Antonio akan membela Hanna. Lagi pula, dari sikap pelayan itu yang terlalu semena-mena kepadanya, Fiona yakin kalau Hanna juga memiliki sangkut paut dengan perselingkuhan Amber dengan Antonio. Tidak ingin Fiona melawan ucapannya lagi, Antonio langsung mengalihkan topik. “Ya sudah. Ini bukan masalah besar, tidak perlu dibahas lagi,” ucap pria itu. Fiona tertawa sinis dalam hati. Memang, yang tadi mengungkit masalah ini siapa kalau bukan Antonio sendiri? “Karena kamu juga sudah mandi, cepatlah bersiap. Kita akan segera kedatangan tamu,” ucap Antonio. Fiona menautkan alis. Tamu? Namun, belum sempat dia bertanya, Antonio sudah lebih dulu meninggalkan ruangan. Usai mempersiapkan diri, Fiona pun mengenakan gaun sederhana dan keluar dari kamarnya. Dia turun ke lantai bawah untuk menyambut tamu yang kata Antonio akan segera datang. Sesampainya di anak tangga terakhir, samar-samar Fiona mendengar percakapan dari arah ruang tamu. ‘Mungkinkah tamu tersebut sudah datang?’ pikir Fiona seraya melangkah mendekat. Terlihat oleh Fiona sang tamu berdiri membelakanginya, dengan kemeja hitam dan celana bahan berkualitas tinggi. Kaki pria itu jenjang dan tubuhnya menjulang tinggi dengan aura mengintimidasi yang menyelimutinya, membuat Fiona menyadari jelas ekspresi Antonio yang tampak sedikit tertekan ketika berhadapan dengan sang tamu. Menepis rasa penasarannya terhadap apa identitas tamu tersebut, Fiona menghiasi wajahnya dengan senyum sopan. Lalu, dia berkata, “Selamat siang, maaf aku terlam—” Kalimat Fiona terhenti, tepat ketika tamu tersebut memutar kepala untuk menatapnya. “Aiden?” panggil Fiona dengan kening berkerut dalam. Sudut bibir Aiden terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman yang terkesan agak mengejek kehadiran Fiona. “Selamat siang, Kakak Ipar.” Kenapa … adik ipar yang sangat membencinya itu berada di sini? Bukankah seharusnya dia ada di luar negeri?!Suara tamparan yang bergema membuat ruang tamu kediaman itu menjadi hening.Antonio bergeming, memandang wajah Fiona yang memerah bergantian dengan tangannya yang baru saja mendarat di sana.Dia … baru saja menampar Fiona!Memang, sejak awal di antara mereka berdua tidak pernah ada cinta, tapi pria itu sama sekali tidak pernah bersikap kasar pada Fiona, apalagi sampai bermain fisik. Namun, karena terbawa emosi akibat hinaan Fiona kepada Amber, dia lepas kendali!“F-Fiona, aku ….”Fiona menatap pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “kamu menamparku?”Antonio terdiam, berbagai hal berkelebat dalam benaknya.Demi Amber, dia baru saja menampar istrinya, tapi Antonio merasa itu hal yang wajar. Lagi pula, sedari awal dia tidak pernah sedikit pun mencintai Fiona. Walau memang Fiona begitu penurut dan perhatian padanya, tapi dia tidak bisa dibandingkan dengan Amber yang sungguh cantik dan memahami dirinya sejak awal!Dan lagi, Fiona telah menghina Amber, jadi wajar bila Antonio menam
“Fiona!” Seruan Antonio menyentak lamunan Fiona.Wanita itu pun langsung menjauhkan diri dari tubuh Aiden dan menoleh ke arah sang suami yang baru saja tiba.“Aiden?” panggil Antonio, bingung melihat kedatangan sang adik yang tidak diundang. “Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu di luar negeri?”Melihat ekspresi Fiona dan Antonio yang canggung dan tidak menduga kedatangannya, Aiden hanya tersenyum penuh arti. “Aku hanya berkunjung karena disuruh Kakek, tapi … sepertinya aku mengganggu sesuatu?”Mata Aiden menatap ke arah wajah Fiona dan Antonio, lalu kepada Amber yang terduduk di lantai ruang tamu.Antonio angkat suara, “Aku dan kakak iparmu sedang sibuk, jadi bisakah kamu–”“Tidak, kamu tidak mengganggu apa pun,” Fiona memotong kalimat Antonio untuk menjawab Aiden. “Karena Antonio sedang sibuk dengan kakakku, biar aku sebagai salah satu tuan rumah yang menjamumu malam ini. Ikut denganku.”Aiden melirik Fiona dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sekilas, sudut bibirnya terangkat, seolah
Di dalam mobil, pikiran Fiona masih terasa ribut.Setelah kejadian di hotel dan pertengkarannya dengan Antonio serta Amber, dia juga hampir tertabrak oleh mobil karena melamun. Seakan tidak cukup melelahkan, sekarang dia masih harus satu mobil dengan Aiden, pria yang sedari dulu begitu membencinya.Diam-diam Fiona melirik kepada pria di sebelahnya.Jauh sebelum dirinya mengenal Antonio, sebenarnya Fiona sudah mengenal Aiden lebih dulu. Dan itu karena mereka satu jurusan semasa kuliah.Aiden Carter, putra kedua keluarga Carter yang ternama, merupakan sosok yang terkenal genius dan berkemampuan, terutama dalam hal bisnis. Akan tetapi, berbeda dari kakaknya yang ramah dan pintar membangun koneksi, Aiden lebih ketus, dingin, dan tidak memiliki banyak teman.Walau demikian, masih banyak wanita yang nekat mengejarnya, dan itu semua berkat ketampanannya.‘Apa yang tampan darinya?’ batin Fiona sembari mendengus dalam hati, mulai memerhatikan wajah Aiden.Mata elang, hidung tinggi, bibir tipis
Fiona terperangah.Jantungnya serasa berhenti berdetak saat dugaannya akhirnya terbukti benar.Aiden.Pria yang tidur dengannya malam itu… adalah Aiden Carter! Adik iparnya sendiri!Melihat ekspresi Fiona, Aiden tersenyum sinis. “Jadi, benar dugaanku… kau sebenarnya sudah menyadarinya.”Napas Fiona tercekat. Tubuhnya kaku, pikirannya kacau. Pria yang tidur dengannya jelas dalam keadaan sadar, jadi … kalau benar pria itu Aiden, kenapa dia masih menidurinya!?“Kau … kenapa kau membiarkan semuanya terjadi!?” seru Fiona.“Oh? Setelah dirimu yang memaksaku untuk membantumu, sekarang kau malah menyalahkanku? Hebat sekali kau, Fiona Johnson.”Ekspresi Fiona berubah runyam. Memaksa? Bagaimana bisa memaksa kalau dirinyalah yang berada dalam pengaruh obat perangsang!?“Kau sepenuhnya sadar, tidak sepertiku. Saat tahu aku memintamu, betapapun aku memaksa, seharusnya kau menolakku!”Balasan Fiona membuat ekspresi Aiden berubah suram untuk sesaat, sebelum akhirnya sebuah senyuman kembali terlukis
"Silakan, Nona Fiona,” ucap sang kepala pelayan kala dirinya dan Fiona tiba di depan sebuah kamar.Fiona melangkah masuk dan memandang isi ruangan luas itu. Kamar yang diberikan padanya ternyata lebih mewah daripada yang Fiona bayangkan. Nuansa krem dan emas mendominasi interior, ranjang king-size dengan tirai tipis di sisi-sisinya, serta lampu gantung kristal yang berkilauan. Sebuah balkon kecil dengan tirai terbuka, sedikit menampakkan pemandangan taman yang indah di luar.Namun, keindahan ruangan ini tak sedikit pun membuatnya merasa nyaman.“Terima kasih,” gumam Fiona, mencoba terdengar tenang.Kepala pelayan tersenyum tipis. "Jika ada sesuatu yang Anda butuhkan, Anda bisa memanggil salah satu staf kami atau menekan bel di dekat meja."Fiona mengangguk kecil. "Aku mengerti."Kepala pelayan menatapnya sesaat, seolah ingin mengatakan sesuatu. "Nona Fiona," katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. "Saya tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi percaya lah, Tuan Besar Carter hanya
Fiona membeku.Jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.Aiden menunggu reaksinya dengan senyum samar, menikmati keterkejutan yang terpeta jelas di wajah Fiona."Apa?!" suara Fiona nyaris melengking. "Kau pasti sudah kehilangan akal, Aiden!"Aiden tetap tenang, matanya tak lepas dari wajah Fiona yang merah padam karena marah."Kenapa terkejut, Kakak Ipar?" Aiden menyandarkan tubuh ke sofa. "Kita sudah melakukannya sekali. Tidak ada salahnya mengulanginya." Ucapnya tanpa dosa.Wajah Fiona memanas, bukan karena malu, tapi karena amarah yang membara. "Berengsek! Aku tidak akan melakukannya lagi!"Aiden menghela napas, lalu berdiri. Gerakannya santai, tapi matanya menatap Fiona tajam."Kau ingin bebas dari pernikahan ini, Fiona," katanya dengan nada malas. "Aku menawarkan solusi. Kau hanya perlu menuruti syarat terakhirku."Fiona mendecak. "Omong kosong! Apa hubungannya tidur denganmu dengan perceraianku dengan Antonio?"Aiden mendekat, hanya beberapa inci dari wajahnya. "Aku tidak suk
"Ahh ... kau begitu liar, Amber ...." “Fiona tidak pernah bisa memuaskanku sepertimu…” Kalimat yang diiringi dengan desahan menjijikan itu membuat Fiona Johnson, yang baru tiba di apartemen kakak perempuannya berdiri membatu. Ekspresinya yang tadi lembut karena ingin menjenguk keponakannya yang sakit, berubah ngeri saat melihat pemandangan di dalam kamar dari celah pintu. Di atas ranjang, Amber tampak sedang dipeluk intim oleh seorang pria di atas tempat tidur tanpa busana. Yang jadi masalah, pria yang sedang memeluk Amber adalah suami Fiona, Antonio Carter! "Hari ini ‘kan ulang tahun pernikahan kalian yang kedua. Kenapa kamu tidak bersama Fiona?" tanya Amber selagi menyandarkan kepalanya di dada Antonio, sama sekali tidak menyadari keberadaan seseorang di luar pintu. "Kamu tidak takut dia marah?" Antonio tertawa sinis. "Marah? Dia terlalu cinta kepadaku untuk bisa marah!" Pria itu menampakkan ekspresi angkuh sebelum lanjut berkata, “Cukup katakan aku lembur di kantor, lalu
Fiona terbangun dengan kepala berat. Rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhnya, terutama di tempat-tempat yang tak seharusnya terasa sakit. Pandangannya masih sedikit kabur, pikirannya berkabut, tetapi satu hal yang pasti—ini bukan kamarnya. Ia mengedarkan tatapan ke sekeliling ruangan yang asing. Cahaya temaram dari lampu tidur menyoroti kasur yang berantakan, pakaian yang berserakan di lantai, dan aroma kayu cedar yang masih pekat di udara. Jantungnya berdetak lebih cepat. ‘Sial. Apa yang sudah kulakukan?’ Seperti potongan film yang diputar ulang dalam pikirannya, ingatan semalam menghantam Fiona tanpa ampun. Bibir panas yang melumatnya dengan rakus. Tangan besar yang menjelajahi tubuhnya, menyentuh setiap inci kulitnya seolah ingin menghafal setiap lekuknya. Napas yang memenuhi ruang, bercampur dengan erangan tertahan. "Fiona...." Suara itu bergaung di kepalanya. Fiona menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gelombang panas yang kembali menyerang inti tubuhnya. Ia mabuk. Ia
Fiona membeku.Jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.Aiden menunggu reaksinya dengan senyum samar, menikmati keterkejutan yang terpeta jelas di wajah Fiona."Apa?!" suara Fiona nyaris melengking. "Kau pasti sudah kehilangan akal, Aiden!"Aiden tetap tenang, matanya tak lepas dari wajah Fiona yang merah padam karena marah."Kenapa terkejut, Kakak Ipar?" Aiden menyandarkan tubuh ke sofa. "Kita sudah melakukannya sekali. Tidak ada salahnya mengulanginya." Ucapnya tanpa dosa.Wajah Fiona memanas, bukan karena malu, tapi karena amarah yang membara. "Berengsek! Aku tidak akan melakukannya lagi!"Aiden menghela napas, lalu berdiri. Gerakannya santai, tapi matanya menatap Fiona tajam."Kau ingin bebas dari pernikahan ini, Fiona," katanya dengan nada malas. "Aku menawarkan solusi. Kau hanya perlu menuruti syarat terakhirku."Fiona mendecak. "Omong kosong! Apa hubungannya tidur denganmu dengan perceraianku dengan Antonio?"Aiden mendekat, hanya beberapa inci dari wajahnya. "Aku tidak suk
"Silakan, Nona Fiona,” ucap sang kepala pelayan kala dirinya dan Fiona tiba di depan sebuah kamar.Fiona melangkah masuk dan memandang isi ruangan luas itu. Kamar yang diberikan padanya ternyata lebih mewah daripada yang Fiona bayangkan. Nuansa krem dan emas mendominasi interior, ranjang king-size dengan tirai tipis di sisi-sisinya, serta lampu gantung kristal yang berkilauan. Sebuah balkon kecil dengan tirai terbuka, sedikit menampakkan pemandangan taman yang indah di luar.Namun, keindahan ruangan ini tak sedikit pun membuatnya merasa nyaman.“Terima kasih,” gumam Fiona, mencoba terdengar tenang.Kepala pelayan tersenyum tipis. "Jika ada sesuatu yang Anda butuhkan, Anda bisa memanggil salah satu staf kami atau menekan bel di dekat meja."Fiona mengangguk kecil. "Aku mengerti."Kepala pelayan menatapnya sesaat, seolah ingin mengatakan sesuatu. "Nona Fiona," katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. "Saya tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi percaya lah, Tuan Besar Carter hanya
Fiona terperangah.Jantungnya serasa berhenti berdetak saat dugaannya akhirnya terbukti benar.Aiden.Pria yang tidur dengannya malam itu… adalah Aiden Carter! Adik iparnya sendiri!Melihat ekspresi Fiona, Aiden tersenyum sinis. “Jadi, benar dugaanku… kau sebenarnya sudah menyadarinya.”Napas Fiona tercekat. Tubuhnya kaku, pikirannya kacau. Pria yang tidur dengannya jelas dalam keadaan sadar, jadi … kalau benar pria itu Aiden, kenapa dia masih menidurinya!?“Kau … kenapa kau membiarkan semuanya terjadi!?” seru Fiona.“Oh? Setelah dirimu yang memaksaku untuk membantumu, sekarang kau malah menyalahkanku? Hebat sekali kau, Fiona Johnson.”Ekspresi Fiona berubah runyam. Memaksa? Bagaimana bisa memaksa kalau dirinyalah yang berada dalam pengaruh obat perangsang!?“Kau sepenuhnya sadar, tidak sepertiku. Saat tahu aku memintamu, betapapun aku memaksa, seharusnya kau menolakku!”Balasan Fiona membuat ekspresi Aiden berubah suram untuk sesaat, sebelum akhirnya sebuah senyuman kembali terlukis
Di dalam mobil, pikiran Fiona masih terasa ribut.Setelah kejadian di hotel dan pertengkarannya dengan Antonio serta Amber, dia juga hampir tertabrak oleh mobil karena melamun. Seakan tidak cukup melelahkan, sekarang dia masih harus satu mobil dengan Aiden, pria yang sedari dulu begitu membencinya.Diam-diam Fiona melirik kepada pria di sebelahnya.Jauh sebelum dirinya mengenal Antonio, sebenarnya Fiona sudah mengenal Aiden lebih dulu. Dan itu karena mereka satu jurusan semasa kuliah.Aiden Carter, putra kedua keluarga Carter yang ternama, merupakan sosok yang terkenal genius dan berkemampuan, terutama dalam hal bisnis. Akan tetapi, berbeda dari kakaknya yang ramah dan pintar membangun koneksi, Aiden lebih ketus, dingin, dan tidak memiliki banyak teman.Walau demikian, masih banyak wanita yang nekat mengejarnya, dan itu semua berkat ketampanannya.‘Apa yang tampan darinya?’ batin Fiona sembari mendengus dalam hati, mulai memerhatikan wajah Aiden.Mata elang, hidung tinggi, bibir tipis
“Fiona!” Seruan Antonio menyentak lamunan Fiona.Wanita itu pun langsung menjauhkan diri dari tubuh Aiden dan menoleh ke arah sang suami yang baru saja tiba.“Aiden?” panggil Antonio, bingung melihat kedatangan sang adik yang tidak diundang. “Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu di luar negeri?”Melihat ekspresi Fiona dan Antonio yang canggung dan tidak menduga kedatangannya, Aiden hanya tersenyum penuh arti. “Aku hanya berkunjung karena disuruh Kakek, tapi … sepertinya aku mengganggu sesuatu?”Mata Aiden menatap ke arah wajah Fiona dan Antonio, lalu kepada Amber yang terduduk di lantai ruang tamu.Antonio angkat suara, “Aku dan kakak iparmu sedang sibuk, jadi bisakah kamu–”“Tidak, kamu tidak mengganggu apa pun,” Fiona memotong kalimat Antonio untuk menjawab Aiden. “Karena Antonio sedang sibuk dengan kakakku, biar aku sebagai salah satu tuan rumah yang menjamumu malam ini. Ikut denganku.”Aiden melirik Fiona dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sekilas, sudut bibirnya terangkat, seolah
Suara tamparan yang bergema membuat ruang tamu kediaman itu menjadi hening.Antonio bergeming, memandang wajah Fiona yang memerah bergantian dengan tangannya yang baru saja mendarat di sana.Dia … baru saja menampar Fiona!Memang, sejak awal di antara mereka berdua tidak pernah ada cinta, tapi pria itu sama sekali tidak pernah bersikap kasar pada Fiona, apalagi sampai bermain fisik. Namun, karena terbawa emosi akibat hinaan Fiona kepada Amber, dia lepas kendali!“F-Fiona, aku ….”Fiona menatap pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “kamu menamparku?”Antonio terdiam, berbagai hal berkelebat dalam benaknya.Demi Amber, dia baru saja menampar istrinya, tapi Antonio merasa itu hal yang wajar. Lagi pula, sedari awal dia tidak pernah sedikit pun mencintai Fiona. Walau memang Fiona begitu penurut dan perhatian padanya, tapi dia tidak bisa dibandingkan dengan Amber yang sungguh cantik dan memahami dirinya sejak awal!Dan lagi, Fiona telah menghina Amber, jadi wajar bila Antonio menam
Hening. Ketegangan di udara meningkat, tetapi Fiona hanya menghela napas selagi meletakkan hair dryer-nya ke atas meja. Seolah tak terganggu dengan kemarahan Antonio, wanita itu menatap lurus wajah sang suami. Pria itu tampan, dengan rambut cokelat gelapnya yang selalu tertata rapi. Manik cokelat terang, hidung mancung, dan lesung pipi manis ketika tersenyum. Dahulu, Fiona sangat mengagungkan ketampanan Antonio, memperlakukannya secara tulus demi melihat senyumnya yang menawan. Akan tetapi, kenapa sedikit pun Fiona tidak pernah sadar bahwa pria tersebut tidak pernah membalas ketulusannya? Bahkan sekarang pun, Antonio tidak mencoba memahami situasi terlebih dahulu. Tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi, dia langsung memihak pelayan dan menuduh Fiona berbuat onar. Sungguh… suami yang keji. Menyadari ekspresi Fiona saat menatapnya, Antonio agak bingung. “Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau bahkan mendengarku!?” teriaknya lagi. “Aku tidak tuli, tentu saja aku mendengarmu.
Ketika Fiona sampai di rumah, waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Suasana kediaman Carter sudah mulai ramai, para pelayan sibuk memulai rutinitas harian mereka. Namun, begitu melihat sosok Fiona yang baru kembali setelah semalaman menghilang, langkah mereka terhenti. Bisikan pelan terdengar di udara. Tatapan ingin tahu bercampur kaget menyambut Fiona, seolah dirinya adalah seorang tersangka. Namun Fiona tidak peduli. Dulu, mungkin ia akan merasa bersalah dan takut terkena masalah. Tapi sekarang? Biar saja mereka melihat. Fiona ingin lihat apa yang bisa mereka perbuat. “Nyonya! Anda akhirnya pulang juga!” Suara tajam menghentikan langkah Fiona. Hanna, pelayan senior sekaligus tangan kanan Antonio, berdiri dengan wajah kesal dan tangan berkacak pinggang. “Nyonya ke mana saja?! Kenapa tidak memberikan kabar sama sekali kepada saya?!” tegurnya dengan mata mendelik. “Apa Nyonya tahu betapa besar masalah yang harus saya hadapi karena Nyonya menghilang tanpa kabar?! Apa Nyonya ti
Fiona terbangun dengan kepala berat. Rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhnya, terutama di tempat-tempat yang tak seharusnya terasa sakit. Pandangannya masih sedikit kabur, pikirannya berkabut, tetapi satu hal yang pasti—ini bukan kamarnya. Ia mengedarkan tatapan ke sekeliling ruangan yang asing. Cahaya temaram dari lampu tidur menyoroti kasur yang berantakan, pakaian yang berserakan di lantai, dan aroma kayu cedar yang masih pekat di udara. Jantungnya berdetak lebih cepat. ‘Sial. Apa yang sudah kulakukan?’ Seperti potongan film yang diputar ulang dalam pikirannya, ingatan semalam menghantam Fiona tanpa ampun. Bibir panas yang melumatnya dengan rakus. Tangan besar yang menjelajahi tubuhnya, menyentuh setiap inci kulitnya seolah ingin menghafal setiap lekuknya. Napas yang memenuhi ruang, bercampur dengan erangan tertahan. "Fiona...." Suara itu bergaung di kepalanya. Fiona menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gelombang panas yang kembali menyerang inti tubuhnya. Ia mabuk. Ia