“Fiona!” Seruan Antonio menyentak lamunan Fiona.
Wanita itu pun langsung menjauhkan diri dari tubuh Aiden dan menoleh ke arah sang suami yang baru saja tiba. “Aiden?” panggil Antonio, bingung melihat kedatangan sang adik yang tidak diundang. “Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu di luar negeri?” Melihat ekspresi Fiona dan Antonio yang canggung dan tidak menduga kedatangannya, Aiden hanya tersenyum penuh arti. “Aku hanya berkunjung karena disuruh Kakek, tapi … sepertinya aku mengganggu sesuatu?” Mata Aiden menatap ke arah wajah Fiona dan Antonio, lalu kepada Amber yang terduduk di lantai ruang tamu. Antonio angkat suara, “Aku dan kakak iparmu sedang sibuk, jadi bisakah kamu–” “Tidak, kamu tidak mengganggu apa pun,” Fiona memotong kalimat Antonio untuk menjawab Aiden. “Karena Antonio sedang sibuk dengan kakakku, biar aku sebagai salah satu tuan rumah yang menjamumu malam ini. Ikut denganku.” Aiden melirik Fiona dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sekilas, sudut bibirnya terangkat, seolah ada sesuatu yang menghiburnya dari situasi ini. “Baiklah,” ujar Aiden santai. “Kakak iparku yang sibuk bersedia meluangkan waktu untuk mengundang, bagaimana aku bisa menolak? Hanya saja…” Tatapan Aiden mengarah ke Antonio, “... sepertinya masalahmu belum selesai.” “Fiona, kita masih harus bicara!” Antonio berusaha meraih tangan Fiona. Namun, wanita itu menepisnya. “Tidak perlu.” Fiona melirik Amber yang matanya sekilas memancarkan ekspresi tidak suka. Hal itu membuatnya tertawa pahit dalam hati. Ketidaksukaan Amber yang sudah sangat jelas itu, bagaimana bisa selama ini dia tidak menyadarinya? Fiona sangat buta kalau tidak menyadari bahwa sang kakak perempuan memang menginginkan suaminya! Merasa penat, Fiona berkata, “Aku ingin sendiri. Jangan ganggu aku.” Usai mengatakan hal tersebut, dia lekas meninggalkan tempat tersebut tanpa sedikit pun menoleh. “Fiona, tung–!” “Kakak,” Aiden menghadang jalan Antonio. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kentara dirimu sudah membuat Kakak Ipar kesal.” Senyuman tipis penuh arti terlukis di wajahnya. “Biarkan aku yang menenangkannya selagi dirimu …” matanya mengarah kepada Amber yang tersentak dan langsung memasang wajah memelas. “... mengurus wanita itu.” Mendengar ucapan Aiden, Antonio menoleh dan baru tersadar posisi Amber masih di lantai. “Amber!” Pria itu gegas menghampiri sang mantan kekasih dengan wajah khawatir. “Kamu tidak apa-apa? Di mana yang sakit?” Melihat interaksi Antonio dan Amber, Aiden mendengus, sedikit jijik. ‘Tidak tahu malu.’ Kemudian, dia pun berbalik dan meninggalkan tempat tersebut, mengikuti jejak Fiona. Sementara itu, Fiona yang emosi, masih terus melangkah tanpa menoleh ke belakang. Pikirannya masih berkecamuk. Bukan hanya tentang Amber dan Antonio, tapi juga tentang … Aiden. Tiga tahun lebih tidak bertemu, Fiona hampir sepenuhnya lupa suara dan wajah Aiden. Akan tetapi, sekarang mendengarnya lagi, kenapa dia merasa suara adik suaminya itu begitu mirip dengan suara pria yang ada di ruang hotel!? Ruangan tadi memang gelap, dan Fiona tidak bisa benar-benar melihat wajah sang pria. Demikian, dia hanya mengandalkan indra pendengarannya. Jadi, Fiona yakin dia tidak salah! ‘Apa … mungkin aku tidur dengan Aiden?!’ pekik Fiona dalam hati selagi memasang wajah ngeri. Tiba-tiba– TIIIN!! Suara klakson membuat Fiona menoleh cepat ke kanan. Cahaya lampu sorot menyilaukan mata, tapi wanita itu bisa melihat sebuah mobil tengah melaju cepat ke arahnya! “Awas!” “Ah!” Tubuh Fiona tertarik ke belakang, lalu menghantam keras dada bidang seseorang. “Dasar wanita gila! Jalan pakai mata!” seru sopir mobil sebelum akhirnya kembali melaju. Jantung Fiona berdebar keras, dan napasnya pun memburu. Dia hampir saja kecelakaan, dan semua itu karena kecerobohannya sendiri. “Hanya karena suami bodohmu tergoda wanita lain, kamu langsung cari mati?! Apa kamu begitu bosan hidup, Fiona?!” Mendengar makian dan pertanyaan itu, Fiona mengangkat pandangannya. Memeluknya dengan begitu erat dan memasang ekspresi marah … adalah Aiden. Mengingat betapa Aiden membencinya dulu, bahkan jauh sebelum dirinya menikah dengan Antonio, Fiona langsung menjauhkan diri dari pria tersebut dan berkata, “Bukan urusanmu.” Aiden tertawa kecil, sinis. “Ah, benar. Fiona Johnson yang terhormat tidak pernah suka sembarang orang ikut campur urusan pribadinya. Hanya seorang adik ipar, jelas tidak sepadan untuk bahkan mengkhawatirkannya, bukan begitu?” Nada bicara Aiden membuat Fiona memasang ekspresi tidak suka. Sudah dia duga, pria di depannya ini akan mengambil segala kesempatan untuk mencari ribut dengannya. Sebuah permainan lama yang dimulai sejak mereka saling mengenal. Mencoba menekan emosi, Fiona bertanya, “Kenapa kamu di sini?” “Kamu sendiri yang berkata kamu ingin menjamuku dan berakhir menyuruhku mengikutimu.” Mendengar itu, Fiona tertegun. Tadi, dia memang mengatakan itu, tapi hal tersebut karena dirinya ingin berusaha lari dari Antonio, bukan sungguh-sungguh ingin menjamu Aiden! Sudut bibir Aiden terangkat, sedikit menantang. “Kenapa? Ingin menarik kembali kalimatmu? Apa selain tidak mampu menjaga tingkah laku suaminya, Fiona Johnson sekarang juga tidak bisa memegang janjinya?” Fiona mendelik. “Kamu–!” Hampir saja mengeluarkan serentetan makian, Fiona menghentikan dirinya. Aiden memang selalu seperti ini, memancing emosinya. Kalau Fiona sungguh hilang kendali, Aiden pasti merasa semakin senang dan menang. Fiona tidak ingin hal itu terjadi! “Kunci mobilku di dalam rumah, tapi seperti yang kamu ketahui, aku tidak ingin kembali dan melihat Antonio. Karena tidak ada kendaraan, kita batalkan saja makan malamnya,” tutur Fiona pada akhirnya, mencari cara untuk lepas dari Aiden. “Kamu tidak punya, tapi aku punya,” balas Aiden. Dia mengeluarkan kunci mobil dan menekan tombolnya, menyebabkan sebuah mobil Maybach S-Class berbunyi untuk memberi tahu keberadaannya. Tanpa menunggu balasan Fiona, Aiden menghampiri mobil dan membuka pintu pengemudi. “Katakan tujuannya, biar aku yang menyetir. Bagaimana?” Fiona menimbang sejenak. Berada di rumah sama saja membiarkan Amber dan Antonio terus menginjak-injak harga dirinya. Tak cuma itu, Aiden juga akan semakin mencacinya sebagai wanita yang tidak bisa memegang janji. Mungkin, memang lebih baik dia pergi sebentar. Lekas, Fiona menghampiri dan membuka pintu mobil. “Kamu tamunya. Terserahmu saja mau ke mana, aku hanya akan menemani.” BRAK! Tanpa menunggu balasan, Fiona langsung menutup pintu. Melihat hal itu, Aiden hanya tertawa rendah. ‘Keputusan bagus,’ batinnya seraya duduk di kursi pengemudi dan mulai melajukan mobil.Di dalam mobil, pikiran Fiona masih terasa ribut.Setelah kejadian di hotel dan pertengkarannya dengan Antonio serta Amber, dia juga hampir tertabrak oleh mobil karena melamun. Seakan tidak cukup melelahkan, sekarang dia masih harus satu mobil dengan Aiden, pria yang sedari dulu begitu membencinya.Diam-diam Fiona melirik kepada pria di sebelahnya.Jauh sebelum dirinya mengenal Antonio, sebenarnya Fiona sudah mengenal Aiden lebih dulu. Dan itu karena mereka satu jurusan semasa kuliah.Aiden Carter, putra kedua keluarga Carter yang ternama, merupakan sosok yang terkenal genius dan berkemampuan, terutama dalam hal bisnis. Akan tetapi, berbeda dari kakaknya yang ramah dan pintar membangun koneksi, Aiden lebih ketus, dingin, dan tidak memiliki banyak teman.Walau demikian, masih banyak wanita yang nekat mengejarnya, dan itu semua berkat ketampanannya.‘Apa yang tampan darinya?’ batin Fiona sembari mendengus dalam hati, mulai memerhatikan wajah Aiden.Mata elang, hidung tinggi, bibir tipis
Fiona terperangah.Jantungnya serasa berhenti berdetak saat dugaannya akhirnya terbukti benar.Aiden.Pria yang tidur dengannya malam itu… adalah Aiden Carter! Adik iparnya sendiri!Melihat ekspresi Fiona, Aiden tersenyum sinis. “Jadi, benar dugaanku… kau sebenarnya sudah menyadarinya.”Napas Fiona tercekat. Tubuhnya kaku, pikirannya kacau. Pria yang tidur dengannya jelas dalam keadaan sadar, jadi … kalau benar pria itu Aiden, kenapa dia masih menidurinya!?“Kau … kenapa kau membiarkan semuanya terjadi!?” seru Fiona.“Oh? Setelah dirimu yang memaksaku untuk membantumu, sekarang kau malah menyalahkanku? Hebat sekali kau, Fiona Johnson.”Ekspresi Fiona berubah runyam. Memaksa? Bagaimana bisa memaksa kalau dirinyalah yang berada dalam pengaruh obat perangsang!?“Kau sepenuhnya sadar, tidak sepertiku. Saat tahu aku memintamu, betapapun aku memaksa, seharusnya kau menolakku!”Balasan Fiona membuat ekspresi Aiden berubah suram untuk sesaat, sebelum akhirnya sebuah senyuman kembali terlukis
"Silakan, Nona Fiona,” ucap sang kepala pelayan kala dirinya dan Fiona tiba di depan sebuah kamar.Fiona melangkah masuk dan memandang isi ruangan luas itu. Kamar yang diberikan padanya ternyata lebih mewah daripada yang Fiona bayangkan. Nuansa krem dan emas mendominasi interior, ranjang king-size dengan tirai tipis di sisi-sisinya, serta lampu gantung kristal yang berkilauan. Sebuah balkon kecil dengan tirai terbuka, sedikit menampakkan pemandangan taman yang indah di luar.Namun, keindahan ruangan ini tak sedikit pun membuatnya merasa nyaman.“Terima kasih,” gumam Fiona, mencoba terdengar tenang.Kepala pelayan tersenyum tipis. "Jika ada sesuatu yang Anda butuhkan, Anda bisa memanggil salah satu staf kami atau menekan bel di dekat meja."Fiona mengangguk kecil. "Aku mengerti."Kepala pelayan menatapnya sesaat, seolah ingin mengatakan sesuatu. "Nona Fiona," katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. "Saya tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi percaya lah, Tuan Besar Carter hanya
Fiona membeku.Jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.Aiden menunggu reaksinya dengan senyum samar, menikmati keterkejutan yang terpeta jelas di wajah Fiona."Apa?!" suara Fiona nyaris melengking. "Kau pasti sudah kehilangan akal, Aiden!"Aiden tetap tenang, matanya tak lepas dari wajah Fiona yang merah padam karena marah."Kenapa terkejut, Kakak Ipar?" Aiden menyandarkan tubuh ke sofa. "Kita sudah melakukannya sekali. Tidak ada salahnya mengulanginya." Ucapnya tanpa dosa.Wajah Fiona memanas, bukan karena malu, tapi karena amarah yang membara. "Berengsek! Aku tidak akan melakukannya lagi!"Aiden menghela napas, lalu berdiri. Gerakannya santai, tapi matanya menatap Fiona tajam."Kau ingin bebas dari pernikahan ini, Fiona," katanya dengan nada malas. "Aku menawarkan solusi. Kau hanya perlu menuruti syarat terakhirku."Fiona mendecak. "Omong kosong! Apa hubungannya tidur denganmu dengan perceraianku dengan Antonio?"Aiden mendekat, hanya beberapa inci dari wajahnya. "Aku tidak suk
"Ahh ... kau begitu liar, Amber ...." “Fiona tidak pernah bisa memuaskanku sepertimu…” Kalimat yang diiringi dengan desahan menjijikan itu membuat Fiona Johnson, yang baru tiba di apartemen kakak perempuannya berdiri membatu. Ekspresinya yang tadi lembut karena ingin menjenguk keponakannya yang sakit, berubah ngeri saat melihat pemandangan di dalam kamar dari celah pintu. Di atas ranjang, Amber tampak sedang dipeluk intim oleh seorang pria di atas tempat tidur tanpa busana. Yang jadi masalah, pria yang sedang memeluk Amber adalah suami Fiona, Antonio Carter! "Hari ini ‘kan ulang tahun pernikahan kalian yang kedua. Kenapa kamu tidak bersama Fiona?" tanya Amber selagi menyandarkan kepalanya di dada Antonio, sama sekali tidak menyadari keberadaan seseorang di luar pintu. "Kamu tidak takut dia marah?" Antonio tertawa sinis. "Marah? Dia terlalu cinta kepadaku untuk bisa marah!" Pria itu menampakkan ekspresi angkuh sebelum lanjut berkata, “Cukup katakan aku lembur di kantor, lalu
Fiona terbangun dengan kepala berat. Rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhnya, terutama di tempat-tempat yang tak seharusnya terasa sakit. Pandangannya masih sedikit kabur, pikirannya berkabut, tetapi satu hal yang pasti—ini bukan kamarnya. Ia mengedarkan tatapan ke sekeliling ruangan yang asing. Cahaya temaram dari lampu tidur menyoroti kasur yang berantakan, pakaian yang berserakan di lantai, dan aroma kayu cedar yang masih pekat di udara. Jantungnya berdetak lebih cepat. ‘Sial. Apa yang sudah kulakukan?’ Seperti potongan film yang diputar ulang dalam pikirannya, ingatan semalam menghantam Fiona tanpa ampun. Bibir panas yang melumatnya dengan rakus. Tangan besar yang menjelajahi tubuhnya, menyentuh setiap inci kulitnya seolah ingin menghafal setiap lekuknya. Napas yang memenuhi ruang, bercampur dengan erangan tertahan. "Fiona...." Suara itu bergaung di kepalanya. Fiona menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gelombang panas yang kembali menyerang inti tubuhnya. Ia mabuk. Ia
Ketika Fiona sampai di rumah, waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Suasana kediaman Carter sudah mulai ramai, para pelayan sibuk memulai rutinitas harian mereka. Namun, begitu melihat sosok Fiona yang baru kembali setelah semalaman menghilang, langkah mereka terhenti. Bisikan pelan terdengar di udara. Tatapan ingin tahu bercampur kaget menyambut Fiona, seolah dirinya adalah seorang tersangka. Namun Fiona tidak peduli. Dulu, mungkin ia akan merasa bersalah dan takut terkena masalah. Tapi sekarang? Biar saja mereka melihat. Fiona ingin lihat apa yang bisa mereka perbuat. “Nyonya! Anda akhirnya pulang juga!” Suara tajam menghentikan langkah Fiona. Hanna, pelayan senior sekaligus tangan kanan Antonio, berdiri dengan wajah kesal dan tangan berkacak pinggang. “Nyonya ke mana saja?! Kenapa tidak memberikan kabar sama sekali kepada saya?!” tegurnya dengan mata mendelik. “Apa Nyonya tahu betapa besar masalah yang harus saya hadapi karena Nyonya menghilang tanpa kabar?! Apa Nyonya ti
Hening. Ketegangan di udara meningkat, tetapi Fiona hanya menghela napas selagi meletakkan hair dryer-nya ke atas meja. Seolah tak terganggu dengan kemarahan Antonio, wanita itu menatap lurus wajah sang suami. Pria itu tampan, dengan rambut cokelat gelapnya yang selalu tertata rapi. Manik cokelat terang, hidung mancung, dan lesung pipi manis ketika tersenyum. Dahulu, Fiona sangat mengagungkan ketampanan Antonio, memperlakukannya secara tulus demi melihat senyumnya yang menawan. Akan tetapi, kenapa sedikit pun Fiona tidak pernah sadar bahwa pria tersebut tidak pernah membalas ketulusannya? Bahkan sekarang pun, Antonio tidak mencoba memahami situasi terlebih dahulu. Tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi, dia langsung memihak pelayan dan menuduh Fiona berbuat onar. Sungguh… suami yang keji. Menyadari ekspresi Fiona saat menatapnya, Antonio agak bingung. “Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau bahkan mendengarku!?” teriaknya lagi. “Aku tidak tuli, tentu saja aku mendengarmu.
Fiona membeku.Jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.Aiden menunggu reaksinya dengan senyum samar, menikmati keterkejutan yang terpeta jelas di wajah Fiona."Apa?!" suara Fiona nyaris melengking. "Kau pasti sudah kehilangan akal, Aiden!"Aiden tetap tenang, matanya tak lepas dari wajah Fiona yang merah padam karena marah."Kenapa terkejut, Kakak Ipar?" Aiden menyandarkan tubuh ke sofa. "Kita sudah melakukannya sekali. Tidak ada salahnya mengulanginya." Ucapnya tanpa dosa.Wajah Fiona memanas, bukan karena malu, tapi karena amarah yang membara. "Berengsek! Aku tidak akan melakukannya lagi!"Aiden menghela napas, lalu berdiri. Gerakannya santai, tapi matanya menatap Fiona tajam."Kau ingin bebas dari pernikahan ini, Fiona," katanya dengan nada malas. "Aku menawarkan solusi. Kau hanya perlu menuruti syarat terakhirku."Fiona mendecak. "Omong kosong! Apa hubungannya tidur denganmu dengan perceraianku dengan Antonio?"Aiden mendekat, hanya beberapa inci dari wajahnya. "Aku tidak suk
"Silakan, Nona Fiona,” ucap sang kepala pelayan kala dirinya dan Fiona tiba di depan sebuah kamar.Fiona melangkah masuk dan memandang isi ruangan luas itu. Kamar yang diberikan padanya ternyata lebih mewah daripada yang Fiona bayangkan. Nuansa krem dan emas mendominasi interior, ranjang king-size dengan tirai tipis di sisi-sisinya, serta lampu gantung kristal yang berkilauan. Sebuah balkon kecil dengan tirai terbuka, sedikit menampakkan pemandangan taman yang indah di luar.Namun, keindahan ruangan ini tak sedikit pun membuatnya merasa nyaman.“Terima kasih,” gumam Fiona, mencoba terdengar tenang.Kepala pelayan tersenyum tipis. "Jika ada sesuatu yang Anda butuhkan, Anda bisa memanggil salah satu staf kami atau menekan bel di dekat meja."Fiona mengangguk kecil. "Aku mengerti."Kepala pelayan menatapnya sesaat, seolah ingin mengatakan sesuatu. "Nona Fiona," katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. "Saya tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi percaya lah, Tuan Besar Carter hanya
Fiona terperangah.Jantungnya serasa berhenti berdetak saat dugaannya akhirnya terbukti benar.Aiden.Pria yang tidur dengannya malam itu… adalah Aiden Carter! Adik iparnya sendiri!Melihat ekspresi Fiona, Aiden tersenyum sinis. “Jadi, benar dugaanku… kau sebenarnya sudah menyadarinya.”Napas Fiona tercekat. Tubuhnya kaku, pikirannya kacau. Pria yang tidur dengannya jelas dalam keadaan sadar, jadi … kalau benar pria itu Aiden, kenapa dia masih menidurinya!?“Kau … kenapa kau membiarkan semuanya terjadi!?” seru Fiona.“Oh? Setelah dirimu yang memaksaku untuk membantumu, sekarang kau malah menyalahkanku? Hebat sekali kau, Fiona Johnson.”Ekspresi Fiona berubah runyam. Memaksa? Bagaimana bisa memaksa kalau dirinyalah yang berada dalam pengaruh obat perangsang!?“Kau sepenuhnya sadar, tidak sepertiku. Saat tahu aku memintamu, betapapun aku memaksa, seharusnya kau menolakku!”Balasan Fiona membuat ekspresi Aiden berubah suram untuk sesaat, sebelum akhirnya sebuah senyuman kembali terlukis
Di dalam mobil, pikiran Fiona masih terasa ribut.Setelah kejadian di hotel dan pertengkarannya dengan Antonio serta Amber, dia juga hampir tertabrak oleh mobil karena melamun. Seakan tidak cukup melelahkan, sekarang dia masih harus satu mobil dengan Aiden, pria yang sedari dulu begitu membencinya.Diam-diam Fiona melirik kepada pria di sebelahnya.Jauh sebelum dirinya mengenal Antonio, sebenarnya Fiona sudah mengenal Aiden lebih dulu. Dan itu karena mereka satu jurusan semasa kuliah.Aiden Carter, putra kedua keluarga Carter yang ternama, merupakan sosok yang terkenal genius dan berkemampuan, terutama dalam hal bisnis. Akan tetapi, berbeda dari kakaknya yang ramah dan pintar membangun koneksi, Aiden lebih ketus, dingin, dan tidak memiliki banyak teman.Walau demikian, masih banyak wanita yang nekat mengejarnya, dan itu semua berkat ketampanannya.‘Apa yang tampan darinya?’ batin Fiona sembari mendengus dalam hati, mulai memerhatikan wajah Aiden.Mata elang, hidung tinggi, bibir tipis
“Fiona!” Seruan Antonio menyentak lamunan Fiona.Wanita itu pun langsung menjauhkan diri dari tubuh Aiden dan menoleh ke arah sang suami yang baru saja tiba.“Aiden?” panggil Antonio, bingung melihat kedatangan sang adik yang tidak diundang. “Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu di luar negeri?”Melihat ekspresi Fiona dan Antonio yang canggung dan tidak menduga kedatangannya, Aiden hanya tersenyum penuh arti. “Aku hanya berkunjung karena disuruh Kakek, tapi … sepertinya aku mengganggu sesuatu?”Mata Aiden menatap ke arah wajah Fiona dan Antonio, lalu kepada Amber yang terduduk di lantai ruang tamu.Antonio angkat suara, “Aku dan kakak iparmu sedang sibuk, jadi bisakah kamu–”“Tidak, kamu tidak mengganggu apa pun,” Fiona memotong kalimat Antonio untuk menjawab Aiden. “Karena Antonio sedang sibuk dengan kakakku, biar aku sebagai salah satu tuan rumah yang menjamumu malam ini. Ikut denganku.”Aiden melirik Fiona dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sekilas, sudut bibirnya terangkat, seolah
Suara tamparan yang bergema membuat ruang tamu kediaman itu menjadi hening.Antonio bergeming, memandang wajah Fiona yang memerah bergantian dengan tangannya yang baru saja mendarat di sana.Dia … baru saja menampar Fiona!Memang, sejak awal di antara mereka berdua tidak pernah ada cinta, tapi pria itu sama sekali tidak pernah bersikap kasar pada Fiona, apalagi sampai bermain fisik. Namun, karena terbawa emosi akibat hinaan Fiona kepada Amber, dia lepas kendali!“F-Fiona, aku ….”Fiona menatap pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “kamu menamparku?”Antonio terdiam, berbagai hal berkelebat dalam benaknya.Demi Amber, dia baru saja menampar istrinya, tapi Antonio merasa itu hal yang wajar. Lagi pula, sedari awal dia tidak pernah sedikit pun mencintai Fiona. Walau memang Fiona begitu penurut dan perhatian padanya, tapi dia tidak bisa dibandingkan dengan Amber yang sungguh cantik dan memahami dirinya sejak awal!Dan lagi, Fiona telah menghina Amber, jadi wajar bila Antonio menam
Hening. Ketegangan di udara meningkat, tetapi Fiona hanya menghela napas selagi meletakkan hair dryer-nya ke atas meja. Seolah tak terganggu dengan kemarahan Antonio, wanita itu menatap lurus wajah sang suami. Pria itu tampan, dengan rambut cokelat gelapnya yang selalu tertata rapi. Manik cokelat terang, hidung mancung, dan lesung pipi manis ketika tersenyum. Dahulu, Fiona sangat mengagungkan ketampanan Antonio, memperlakukannya secara tulus demi melihat senyumnya yang menawan. Akan tetapi, kenapa sedikit pun Fiona tidak pernah sadar bahwa pria tersebut tidak pernah membalas ketulusannya? Bahkan sekarang pun, Antonio tidak mencoba memahami situasi terlebih dahulu. Tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi, dia langsung memihak pelayan dan menuduh Fiona berbuat onar. Sungguh… suami yang keji. Menyadari ekspresi Fiona saat menatapnya, Antonio agak bingung. “Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau bahkan mendengarku!?” teriaknya lagi. “Aku tidak tuli, tentu saja aku mendengarmu.
Ketika Fiona sampai di rumah, waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Suasana kediaman Carter sudah mulai ramai, para pelayan sibuk memulai rutinitas harian mereka. Namun, begitu melihat sosok Fiona yang baru kembali setelah semalaman menghilang, langkah mereka terhenti. Bisikan pelan terdengar di udara. Tatapan ingin tahu bercampur kaget menyambut Fiona, seolah dirinya adalah seorang tersangka. Namun Fiona tidak peduli. Dulu, mungkin ia akan merasa bersalah dan takut terkena masalah. Tapi sekarang? Biar saja mereka melihat. Fiona ingin lihat apa yang bisa mereka perbuat. “Nyonya! Anda akhirnya pulang juga!” Suara tajam menghentikan langkah Fiona. Hanna, pelayan senior sekaligus tangan kanan Antonio, berdiri dengan wajah kesal dan tangan berkacak pinggang. “Nyonya ke mana saja?! Kenapa tidak memberikan kabar sama sekali kepada saya?!” tegurnya dengan mata mendelik. “Apa Nyonya tahu betapa besar masalah yang harus saya hadapi karena Nyonya menghilang tanpa kabar?! Apa Nyonya ti
Fiona terbangun dengan kepala berat. Rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhnya, terutama di tempat-tempat yang tak seharusnya terasa sakit. Pandangannya masih sedikit kabur, pikirannya berkabut, tetapi satu hal yang pasti—ini bukan kamarnya. Ia mengedarkan tatapan ke sekeliling ruangan yang asing. Cahaya temaram dari lampu tidur menyoroti kasur yang berantakan, pakaian yang berserakan di lantai, dan aroma kayu cedar yang masih pekat di udara. Jantungnya berdetak lebih cepat. ‘Sial. Apa yang sudah kulakukan?’ Seperti potongan film yang diputar ulang dalam pikirannya, ingatan semalam menghantam Fiona tanpa ampun. Bibir panas yang melumatnya dengan rakus. Tangan besar yang menjelajahi tubuhnya, menyentuh setiap inci kulitnya seolah ingin menghafal setiap lekuknya. Napas yang memenuhi ruang, bercampur dengan erangan tertahan. "Fiona...." Suara itu bergaung di kepalanya. Fiona menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gelombang panas yang kembali menyerang inti tubuhnya. Ia mabuk. Ia