Share

Bab 6

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-13 10:59:11

Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.

Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.

“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”

Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?

“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.

Sejenak, aku merasa asing dengan pria itu. Suasana yang tercipta di ruangannya yang luas ini menjelaskan jika ada jarak membentang di antara kami.

“Riska, kamu kenapa ada di sini?” Bang Zul menghampiriku.

Terendus aroma parfum pria yang lebih memesona. Pria itu memakai kemeja gelap dan jeans. Rambutnya terlihat kusut, ada kantong mata yang besar di wajahnya, juga kulit muka yang sedikit kusam. Bang Zul kelelahan!

“Bang, a-aku minta maaf sudah datang mencarimu,” jawabku dengan suara gemetar. Tapi, jika memang Bang Zul adalah pimpinan pabrik ini, maka dia adalah satu-satunya Solusi untuk permasalahanku di kota ini.

“Ceritakan, Riska! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu begini, sih?” Bang Zul khawatir. Dia mengitariku dengan sorot mata, dari ujung kepala hingga kaki. Seluruh benda yang ada di badanku benar-benar kumal dan menyedihkan, jauh berbeda dengan seorang Riska saat tinggal di desa.

Bang Zul menyempatkan diri untuk menemuiku meski terlihat sibuk. Ditinggalkan meja yang dipenuhi beban besar itu, kemudian memintaku untuk duduk di sofa.

“Maaf, ya Bang?” lirihku. Rasa getir itu tidak hilang meski sudah bertemu dengan Bang Zul. Kenapa aku tidak pernah menduganya sama sekali? Bagaimana bisa pria yang selalu terlihat sederhana dan tenang itu menyimpan rahasia yang sebesar ini? Dunia memang senang bercanda, bahkan bercanda dengan nasibku usai menikahi Bang Fahri.

Bang Zul tidak menjawab. Aku duduk, mengisi sofa kosong di depannya. Bang Zul memasang wajah bingung, sedikit gelisah hingga dua alisnya bertautan.

“Burman, bawakan kami minum, ya? Sekalian makan siang untukku dan Riska. Pesan saja di restoran biasa,” ujar Bang Zul yang membuat Burman lekas undur diri.

Burman pergi, tinggallah aku sendiri dengan pria ini. Dalam-dalam aku menundukkan wajah. Sungguh, seluruh tubuhku tidak mampu berkutik. Dari mana harus kumulai kisah memalukan ini? Bagaimana kuceritakan padanya kalau aku dikhianati Bang Fahri dan sendirian di sini?

“Kenapa, Ris? Apa yang terjadi?”

Aku menegak ludah, sulit sekali untuk bercerita. Tapi, kuberanikan diri. Bang Zul mungkin bisa membantu, atau setidaknya mencarikan jalan keluar dari permasalahan ini. Aku butuh seseorang yang bisa menahanku dari depan, belakang, kiri dan kanan.

“Bang Fahri ….” Lidahku kian kelu. Aku malu sekali dengan nasib ini. Sudah keras kepala menikahi Bang Fahri, aku bahkan meninggalkan desa dan merantau dengannya, sekarang malah diperlakukan dengan hina. Orang-orang desa yang mendengarnya pasti akan menertawaiku. Cinta memang tidak selamanya membawa bahagia.

“Pria itu berkhianat? Sudah kuduga!” sahut Bang Zul yang membuatku terpana, sebab aku belum bercerita padanya.

Seketika air mata mengucur di pipi. Aku menangis tanpa suara. Bang Zul hanya memerhatikan, dia memberiku waktu sampai semua kisah itu mengalir tanpa henti dari bibir ini.

“Kalau begitu ceraikan saja bajingan itu, Ris. Kenapa bertahan dengannya? Apa kamu tidak dengar buruknya sikap Fahri di puskesmas dulu? Dia juga ….”

“Tapi, kalau dilepas sekarang, mereka akan terlalu bahagia, Bang. Aku dibuatnya menderita selama ini, Bang. Semua janji Bang Fahri dulu pada ayah, semuanya dusta!” aduku padanya sembari mengepalkan tangan.

Bang Zul diam lagi, dia membuka nasi kotak yang dibawa Burman, lalu menyuap sedikit. Tidak lupa juga Bang Zul menyeruput kopi hitam dari cangkir. Ditawarkannya padaku makan siang, tapi aku masih belum bisa makan dengan tenang.

“Ris, besok kerja saja di sini, aku beri gaji penuh seperti Burman. Tidak perlu susah payah menahan diri lagi dengan Fahri. Pria macam itu, jangankan peduli dengan nafkahmu, dirinya saja luntang-lantung!” papar Bang Zul lagi. “Atau kalau kamu mau seperti di desa ….”

Hatiku seketika menghangat, Bang Zul menawarkan bantuan sebelum aku meminta. Memang inilah sebenarnya niatku datang, meminta bantuan yang sesuai agar aku tidak jatuh terlalu dalam saat Bang Fahri kulepaskan. Syukurlah ….

“Tapi, aku akan hubungi ayahmu di desa. Beliau berhak tahu, Ris. Kalau memang perlu, kuantar saja kamu ke desa, tinggalkan Fahri dan semua kehidupan di kota ini.” Suara Bang Zul goyah, manik matanya jadi kelabu.

“Bang, jangan. Aku tidak ingin melakukannya. Ayah dan istrinya sedang bahagia. Mereka baru saja punya anak Perempuan, Bang. Jangan rusak kebahagiaan mereka,” jelasku penuh harap.

Bang Zul malah menghela napas. Pria itu tidak sepakat denganku. Hanya saja, alasanku cukup kuat untuk itu. Ayah benar-benar sedang menikmati masa-masa indah ini, begitu juga dengan ibu tiriku. Jika mereka tahu apa yang terjadi, aku khawatir senyum mereka akan sirna.

“Kali ini saja, hanya sebentar. Aku punya rencana untuk Bang Fahri dan Ninik, Bang. Setidaknya sampai waktu itu, tolong bantu aku dan jangan hubungi ayah di desa,” pintaku penuh harap.

“Fahri dan keluarganya belum tahu soal hidupmu yang sebenarnya?” terka Bang Zul.

Aku mengerjapkan mata saat mendengarnya. Tidak kusangka Bang Zul masih mengingatnya. Padahal, sudah berapa lama pertemuan terakhir kami di desa, saat aku masih bolak-balik ke kandang sapi dan Bang Zul masih sibuk mencari pemasok sapi untuk pabrik di kota. Sekarang, semuanya jadi jelas.

“Belum, Bang.”

“Jangan sampai mereka tahu. Biarkan saja dulu, aku juga punya rencana untukmu. Apa kamu mau dengar?” Senyum Bang Zul merekah tipis. Pria itu menungguku memberi jawaban.

Untuk sesaat, aku masih bingung, tapi sepertinya bekerjasama dengan Bang Zul tidak akan membuatku rugi. Jika itu berarti bisa membungkam dan menghancurkan Bang Fahri serta keluarganya, maka aku sangat bersedia.

“Tentu, Bang.”

Bang Zul mengangguk. Dia menyuap kembali makan siang, lalu menawarkannya untukku. Barulah aku merasa lapar. Selera makanku yang hilang kembali seketika. Nasi uduk, ayam geprek, terong goreng, lemon tea serta beberapa potong gorengan yang terhampar di meja terlihat mengundang.

“Makanlah, kamu akan butuh banyak tenaga.”

Pria ini memang tidak rupawan seperti Bang Fahri, tapi sampai detik ini dia adalah pria baik lainnya yang kukenal setelah Ayah.

“Kalau gitu, aku pamit dulu, Bang. Tidak enak berlama-lama, Bang Zul pasti punya banyak pekerjaan.” Aku bertutur seraya bangkit dari sofa.

Makan siang yang lezat sudah terlewati. Sisa waktu kami habiskan dengan beberapa diskusi kecil, tentang rencana ke depan dan hal-hal yang harus kulakukan untuk bertahan.  

“Iya, pergilah, Ris.”

Aku mengangguk, lalu hendak berbalik. Perasaanku bercampur aduk, tidak menentu.

“Ris?” panggil Bang Zul.

Kutolehkan wajah. Pandangan kami bertemu.

“Harusnya, aku yang datang, Ris. Maaf karena tidak punya keberanian itu,” ujar Bang Zul.

Aku tersenyum, tapi hati ini teriris. Kenapa dia mengungkit kembali hal itu? Masa lalu yang sudah kami tinggalkan di belakang.

“Tidak apa, Bang. Sudah jalanku begini,” lirihku sebelum keluar dari ruangan Bang Zul.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 7

    “Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-13
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 1

    “Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 2

    Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 3

    “Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 4

    “Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-20
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 5

    Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-13

Bab terbaru

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 7

    “Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 6

    Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 5

    Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 4

    “Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 3

    “Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 2

    Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 1

    “Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status