“Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.
Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.
Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.
“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.
“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.
Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.
“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.
Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya terendus harum. Ditatapnya seluruh isi kamar, bahkan tubuhnya berputar beberapa kali, seolah dirinya sedang berada di taman bunga.
Aku cekikikan melihat tingkahnya. Tidak ada rasa khawatir sama sekali meski di belakang Perempuan itu ada ibu mertua yang berdiri.
“Nanti, kamu tidur di sini. Ini bakal jadi kamarmu, Ninik.” Begitulah bibir keriputnya berkata.
Sontak aku menoleh. Tentu aku terkejut, tapi sekalipun tidak ingin kuperlihatkan hal itu pada mereka.
“Maksudnya kamu mau ngasih perabotan bekasku buat Ninik, Bang?” tanyaku riang.
Bahagia di wajah Ninik yang tadi terbentuk langsung sirna. Dia melihat Bang Fahri, lalu calon mertuanya. “Bang, belikan aku perabot yang baru?” tuntutnya.
Dia berdiri tegak, namun tumitnya dua kali mengetuk lantai. Belum menikah saja sudah berani memerintah suami, apa kabar nanti? Meski demikian, aku hanya membatin. Biarkan Bang Fahri menelan semua akibat dari keserakahannya ini.
“Aduh, jangan dulu, Ninik. Penting kita nikah dulu, ya? Setelah nikah aku belikan yang paling bagus.”
Bang Fahri berjalan menghampiri Ninik. Dibujuknya Perempuan itu dengan intonasi yang lembut, persis seperti yang dilakukannya saat kami baru menikah dulu.
Argh, rupanya lelaki itu sama, belum didapat tingkahnya sangat memabukkan. Begitu bersama keluar semua belangnya.
“Janji, Bang?” Suara Ninik manja, persis balita yang minta permen.
Aku menahan gelitik di perut, menutup mata karena muak melihat tingkah mereka. Sungguh, mereka seperti sedang bermain drama romantis, bahkan tidak malu bermesraan di depanku dan ibu mertua.
“Iya, Janji! Kapan sih aku pernah ingkar janji buat kamu?”
“Hoek!” sahutku berpura-pura muntah.
“Ris, nanti kamu pindah ke kamar dekat dapur, ya? Kamar tamu Ibu pake dengan Salma.” Ibu mertuaku cerocos lagi.
“Kenapa, Bu? Kenapa harus aku yang pindah?” Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan.
Melepas kamar utama untuk Perempuan itu dan harus tinggal di kamar belakang dekat dapur, aku sungguh tersinggung. Ibu mertua dan Salma malah berlagak. Mereka menatapku berang, menganggapku pengganggu, padahal jelas merekalah yang begitu.
“Ris, mengalah saja, ya? Nanti kalau Ibu dan Salma sudah balik, kamu tinggal di kamar tamu. Untuk sementara ….”
“Kenapa bukan Ninik yang di sana?” balasku pada Bang Fahri. “Dia kan tamu di sini, aku tuan rumahnya.”
“Ris, Ninik bakal jadi pengantin baru. Mana mungkin pengantin baru tinggal di kamar belakang?” jelas Bang Fahri.
Suaranya sangat mendayu, jelas dia mencoba meyakinkanku untuk berhenti melawan dan menuruti semua maunya. Bahkan, Bang Fahri mendekat ke ranjang, didudukinya tepian sampai terdengar bunyi derit.
Diarahkannya tatapan padaku, Bang Fahri sedang membujuk. Jika sudah begini, sikapnya akan sangat lembut.
“Bang, kamu harusnya paham kalau di sini akulah yang harus kamu utamakan!” tegasku.
“Ris, hanya sementara saja.”
“Tidak!” Aku memekik. “Sekali tidak, tetap tidak!”
“Riska!” jerit ibu mertua padaku.
“Apa, Bu? Kenapa?” balasku tanpa mengendurkan tatapan padanya.
“Kamu itu harusnya bersyukur, banyak-banyak bersyukur karena lelaki seperti Fahri itu masih mau mempertahankan pernikahannya sama kamu! Derajatmu naik karena Fahri, Perempuan macam kamu cuma bisa mimpi bisa nikah sama dokter, paham?” papar ibu mertua seraya menunjuk mukaku.
Seketika aku tertawa. Sungguh, menyedihkan sekali diriku di mata mereka.
Katanya, aku beruntung?
Kuangkat pandangan, wajahku memerah, aliran darah memuncak hingga ke pucuk kepala. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain menjelaskan posisiku.
“Bu, tahu malulah sedikit.” Setelahnya, aku menoleh ke arah Bang Fahri. “Kalian itu numpang di sini,” sambungku.
Usai berkata demikian, aku melipat dua tangan di dada. Ekspresiku berubah, jadi bengis dan merendahkan. Selama ini, aku diam saja agar Bang Fahri tidak merasa malu dengan keluarganya. Tapi, jika sudah begini, biar kutelanjangi sekalian dia dan orang-orang menjijikkan ini.
“Nu-numpang?” Ninik terperangah. Bola matanya hampir saja melompat. Bibirnya ikut bergetar, sepertinya dia syok berat.
“Iya, numpang!” sahutku. Tubuh ini menghangat, bak melayang, melihat mereka terkejut ternyata begitu menyenangkan.
Aku turun dari ranjang, menghadapi Perempuan tidak tahu malu itu secara langsung. Tubuhnya memang lebih tinggi dariku, tapi aku tidak akan gentar.
“Bang?”
“Kalian itu semuanya numpang, karena ini bukan rumahnya Bang Fahri. Rumah ini sewaan, ayah yang menyewakannya untukku saat kami pindah ke kota!” jelasku yang membuat Bang Fahri ikut berdiri.
Bang Fahri tidak pernah tahu kebenaran yang selama ini kututupi jika rumah ini adalah milik ayah, beliau membelikannya untukku. Tapi, saat hendak pindah ke kota, ibu tiriku memberi pesan agar aku mengaku jika rumah ini adalah sewaan. Sekarang, aku paham maksud beliau.
“Kamu sudah gila, ya? Setres? Kamu ketularan penyakit sapi gila?” tuduh ibu mertua. “Kalau sudah kumat berobat sana, jangan asal bicara.”
Mulut runcingnya nyerocos tanpa henti, bahkan menyemprotkan liur ke arahku. Sontak aku menyingkir, jelas tidak sudi lagi diberi hadiah menggelikan begitu.
“Bang, kamu saja yang jelasin. Aku tidak punya waktu buat ngoceh di sini,” kataku pada Bang Fahri. “Sudah, ya? Aku mau kerja, cari duit.”
“Ris!” panggil Bang Fahri.
Kuabaikan suaranya. Bang Fahri memanggil bukan karena ini menghentikanku mencari nafkah untuk diri sendiri, melainkan ….
“Fahri, apa yang dikatakan Perempuan gila itu, hah?” Ibu mertua berteriak.
“Bu, tenang dulu. Pokoknya kalian yang tenang, Riska hanya sedang marah. Dia marah, makanya bicara sembarangan,” elak Bang Fahri.
“Apa itu benar, Bang?” Ninik ikut campur. Suaranya kecewa, mungkin dia membayangkan akan hidup bak ratu di sini, usai menghancurkan pernikahanku.
“Tidak, Ninik. Ini … semuanya ini … rumahku!” Bang Fahri serius sekali. Jika orang lain melihat dan tidak tahu kebenarannya, mereka semua akan menuduhku berdusta.
“Tsk! Masih saja ngaku-ngaku kamu, Bang?” Aku menoleh ke arah mereka. “Jelas-jelas ini rumahku, rumah yang disewa oleh orang tuaku!”
“Ris, tapi kamu itu istriku … sudah pasti ini juga ….”
“Ngaca, Bang!” Aku meneriakinya. “Ngaca sebelum bicara. Kita kembali ke kota ini gimana, kamu cuma bawa badan, baju dan ijazah doktermu, sedangkan aku menghabiskan semua uang dari kerjaan serabutan yang kamu hina itu untuk biaya perjalanan kita. Karena kamu nggak bisa sewa atau beliin rumah buat aku, akhirnya ayahku sewakan rumah ini untuk kita tempati. Kamu kira, rumah ini milikmu makanya kamu bawa orangtua dan selingkuhan buat tinggal di sini?”
Aku terus berteriak, menunjuk lantai keramik putih yang mulai kusam. Rumah ini sudah cukup berumur, tapi masih begitu kokoh, awet, dan juga luas. Sebab itulah, Bang Fahri begitu bangga dengan bangunan yang diberikan orangtuaku pada kami ini.
“Ris, ayahmu sendiri yang bilang kalau dia berikan rumah ini untukku, karena dia mau ….”
“Bang, kalau cuma ngomong, kambing juga bisa. Kalau cuma ngoceh, sapi yang kurawat dulu lebih jago. Kamu itu dokter, bisa mikir dong? Cuma kata-kata manis karena kamu mantunya Ayah, tapi mana buktinya? Mana sertifikat hak miliknya kalau memang rumah ini Ayah beli untuk kamu?” Aku meneriaki Bang Fahri Kembali.
Syukurlah aku menuruti perintah ibu tiriku untuk merahasiakan kepemilikan rumah ini. Bisa dibayangkan jika mereka tahu yang sebenarnya, bisa-bisa aku dilempar keluar dengan sekoper tas saja.
“Kalau gitu, bener dong ini rumahnya Fahri. Kamu sendiri yang ngomong kalau ….”
“Rumahnya Bang Fahri kalau dia yang punya sertifikatnya, Bu. Lagian, Bang Fahri juga bukannya hebat banget. Gajinya seuprit, masih gedean penghasilan orang di kampungku yang jualan sapi,” balasku kemudian hendak berlalu.
“Kurang ajar sekali, Riska. Kamu bandingin anakku sama tukang sapi? Anakku ini dokter, kamu tahu dokter? Pendidikannya paling mahal.”
“Pendidikannya memang mahal, Bu. Tapi sayangnya, Bang Fahri malah digaji secuil. Itu juga karena berhasil masuk ke puskesmas di desaku. Kalau tidak ….”
Argh, aku tidak mau lebih kasar dari ini.
Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.
Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa
“Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat
“Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg
Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya
“Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar
“Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat
Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa
Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.
“Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren
“Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar
Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya
“Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg