Share

Bab 2

Author: Bemine
last update Last Updated: 2025-02-18 14:21:30

Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.

Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.

“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.

“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.

Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?

Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya sebagai suami. Meski Ayah harus kecewa karena aku tetap pergi ke kota, kuikuti Bang Fahri demi baktiku sebagai istri. Inikah balasannya? Inikah nilaiku di mata Bang Fahri dan keluarganya?

Pandangan kualihkan pada Bang Fahri, pria yang menjadi topik perdebatan ini hanya duduk diam, tidak membelaku, tidak juga menahan ibunya yang terus merendahkanku. Bahkan, kudapati senyum tipis dari bibirnya itu.

Bang Fahri ... apakah dia memang menginginkan ini semua?

“Bang,” lirihku.

“Tidak usah panggil Fahri, ini kan urusannya antara kamu sama Ibu!” desak ibu mertuaku lagi.

“Bagaimana bisa ini urusannya antara Ibu dan aku saja? Jelas-jelas Bang Fahri terlibat, Bu.”

“Hah, sudahlah! Ibu mau bilang itu saja.” Ibu mertua berhenti bicara. Beliau menggeser badan dariku tanpa mengendurkan ekspresinya barang sedikit.

“Ris, kamu nurut saja mau Ibu. Abang juga tidak mungkin menolaknya, seorang lelaki akan tetap jadi milik ibunya,” sahut suamiku.

“Hah?” Aku menatap Bang Fahri. Konyol sekali jawabannya.

“Iya, Ris. Jangan begitu lagi dengan Ibu, demi kebaikanku juga ke depannya. Aku ini dokter, banyak kegiatan yang harus kulakukan di luar kota, banyak pertemuan dengan orang-orang besar, mereka bawa pasangan yang hebat-hebat, Ris. Tentu Abang mau bawa kamu, tapi ....” Bang Fahri menarik napasnya dalam. Di sebelahnya, Ninik tersenyum malu-malu.

“Tapi apa?” balasku lagi. Nanar sudah mata ini, air mataku membendung, pipi ini mulai merah, jantung berdegub dan tanganku dingin. “Aku sudah melakukan semua yang kamu mau, Bang. Kamu ngajak nikah meski ayahku keberatan, aku turuti, kamu minta pindah ke kota, aku ikut. Kamu nggak mau ini dan itu, aku patuh. Apa lagi yang kurang dari aku buat kamu?”

Tidak kusangka Bang Fahri akan mengkhianati kesetiaanku padanya. Tidak kuduga Bang Fahri akan memilih berpaling dan berdusta. Sekarang, bagaimana kukatakan pada ayah di desa? Sanggupkah aku menghancurkan kebahagiaan dan kepercayaannya?

Ayah belum lama menikah dengan teman lama ibu, mereka dikaruniai anak perempuan saat usia ayah sudah di atas lima puluh tahun. Tentu saja mereka sangat gembira, mengingat selama ini ibu tiriku hanya punya anak laki-laki dan selalu mengeluh kesepian. Tidak pantas rasanya kuhancurkan kebahagiaan mereka.

Apa lagi, saat itu aku bersikeras menentang Ayah, meminta izin darinya agar bisa menikahi Bang Fahri yang baru beberapa kali kutemui. Saat itu, kami bertemu di puskesmas kecamatan, Bang Fahri belum lama bekerja di sana. Lalu, dia meminta nomor kontakku dan kami bertukar kabar beberapa kali sebelum dia benar-benar melamar.

“Kamu tahu, kan ... penampilanmu agak ....” Bang Fahri menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu pasti paham hal ini.” Mungkin, maksud Bang Fahri adalah celana kulot murah dari toko online, juga kemeja yang banjir keringat dan kebesaran yang kupakai ini, tapi bukankah ini juga pembeliannya?

Lalu, kenapa dia mengejarku dulu? Apa alasannya menikahiku dan memaksa agar aku meminta restu pada saat itu? Apakah ini semua karena julukan kembang desa untukku dan Bang Fahri merasa tertantang?

“Iya, aku paham. Kalau menurutmu pakaianku tidak layak, harusnya kamu belikan yang layak, Bang. Kalau wajahku jelek, harusnya kamu beri uang untukku ke salon. Tapi malah hanya menuntut.” Lidahku tidak berhenti. Segera aku bangkit dari duduk yang membuang Bang Fahri tercengang.

“Halah, lagakmu, Ris. Diberi uang ke salon pun penampilanmu bakalan tetap jelek begitu,” sambar ibu mertua.

“Kalau begitu, silakan urus semuanya, Nik!” tegasku pada Ninik dengan mengabaikan ibu mertua. “Kalau semua pengorbananku untuk Bang Fahri itu tidak kalian anggap, biar Ninik yang melanjutkannya.”

Aku hendak pergi, seluruh tubuhku meradang, namun sisa tenaga kukerahkan agar tidak runtuh di depan mereka. Satu-satunya kehilangan yang bisa membuatku hancur hanyalah saat Allah mengambil ibu, sedangkan yang lainnya tidak boleh membuatku remuk meski hanya seujung kuku.

“Tidak masalah kalau kalian mau nikah, tapi aku tidak bersedia kompromi.”

Hancur sudah, Bang Fahri membuatku terpuruk dalam sekejap.

“Ris, kamu terlalu banyak bicara. Harusnya Perempuan seperti kamu itu diam dan menurut saja saat suami dan ibu mertuamu mengambil keputusan. Selama ini, kamu melakukan semua yang kamu suka, aku tidak keberatan. Bahkan kamu kerja di kandang sapi, pulang badanmu bau sapi, kotor dan dekil. Kamu tahu enggak, kadang aku mual saat tidur di samping kamu!” cerocos Bang Fahri lagi.

“Kandang sapi apa, Anakku?” sambar ibu mertua.

Serupa dengan putra kebanggaannya, perihal kandang sapi itu jadi permasalahan. Ibu mertua terkejut mendengar kandang sapi disebut anaknya.

“Apa lagi, Bu! Riska kerja di kandang sapi saat di desa. Dia kerja di sana sampai seluruh badannya bau sapi. Kalau kami menetap di sana lebih lama, kutebak dia bakal berubah jadi sapi juga,” hina Bang Fahri.

Runtuh sudah harapanku pada pria itu. Sirna sudah impianku untuk tetap bersamanya. Sehina itukah Bang Fahri menatapku selama ini? Sapi … hanya karena itu?

“Jadi, selama ini Riska kerja di kandang sapi?” potong ibu mertua.

“Iya, Bu. Sudah aku larang, tapi Riska malah marah! Ternyata dia masih sering ke sana di belakangku,” adu Bang Fahri. “Kerja di kandang sapi setiap hari, bahkan aku jijik makan masakannya, Bu. Aku ngebayangin dia ngebersihin tai sapi pakai tangan yang masak buat aku!”

“Astagfirullah, Bang Fahri! Kamu ini kelewatan.” Aku memekik tajam. “Kamu itu harusnya malu bicara begitu, selama aku kerja di kandang sapi itulah kita bisa menabung sedikit dan pindah ke kota.”

“Halah, alasanmu saja, Ris! Kamu rajin ke kandang sapi karena banyak teman dari desamu, kan? Cocok banget kalian itu, sama-sama tukang nguras tai sapi.”

Kutatap tajam pria itu. Dia benar-benar tidak tahu diri. Haruskah aku membungkam mulutnya sekarang?

“Dasar jorok, pantes saja kamu begini, Ris. Mainmu saja di kandang sapi.” Ibu mertua menghinaku. “Lihat Ninik, kukunya saja bersih dan mengkilap, sedangkan kamu!”

Sedetik, aku melirik Ninik. Perempuan itu mengangkat dua tangannya, memperlihatkan kesepuluh kuku jari yang berhiaskan kuteks senada dengan warna asli kuku. Mungkin itu sebabnya ibu mertua mengira kalau Ninik pandai merawat kuku, tanpa tahu kalau semua itu adalah polesan semata.

“Iya, Bu. Pinter banget calon mantu Ibu, sampai pakai kutek segala,” sahutku lagi.

 “Jangan menyahut Ibu, Ris. Kamu mau durhaka?” Bang Fahri meneriakiku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 3

    “Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar

    Last Updated : 2025-02-19
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 4

    “Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren

    Last Updated : 2025-02-20
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 5

    Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.

    Last Updated : 2025-04-13
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 6

    Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa

    Last Updated : 2025-04-13
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 7

    “Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat

    Last Updated : 2025-04-13
  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 1

    “Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg

    Last Updated : 2025-02-18

Latest chapter

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 7

    “Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 6

    Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 5

    Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 4

    “Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 3

    “Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 2

    Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 1

    “Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status