“Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.
Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.
“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.
Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.
“B-bukan begitu, Bu.” Nafasku masih tersengal. “Aku benar-benar tidak tahu kalau Ibu mau datang. Kalau aku tahu ....”
“Halah, alasan! Enggak tahu bagaimana? Ibu sudah telepon Fahri tadi pagi, sudah bilang kalau Ibu bakalan ke rumah. Kamu ini banyak sekali beralasan sampai-sampai bikin muak.”
“Iya, Bu ... tadi aku ikut rapat di Balai Lurah. Ada acara tujuh belasan dan Bu RW minta aku ikut, mau diangkat jadi panitia kalau aku bisa.” Aku menjelaskan sesantun mungkin. Kulirik Bang Fahri, tidak ada pembelaan darinya sama sekali. Padahal, sebelum berpamitan, Bang Fahri tidak membahas apapun soal ibunya yang akan datang.
“Halah, ikut rapat sampai baumu macam comberan, Ris? Lihat seluruh badanmu, bau busuk, jorok!” pekik ibu mertua, beliau gegas menjepit hidungnya.
“Bu, tadi aku keserempet motor saat mau nyebrang, jatuh ke selokan, makanya celananya basah. Untung ....”
“Goblok banget istrimu, Fahri. Haduh, Ibu capek ngomong sama dia. Sudah, sana suruh istrimu minggir.” Ibu mertua angkat tangan, dia mendorongku dengan kasar hingga tidak sengaja membentur Bang Fahri.
Suamiku buru-buru pulang sampai lupa melepas jas dokternya. Karena terbentur olehku, ada segaris noda cokelat yang menempel di jasnya.
“Argh, Riska ... kamu ini bagaimana? Lihat ini, gara-gara kamu!” protes Bang Fahri seraya mengusap bagian jas yang terkena noda. “Sudah, sana masuk! Buatkan Ibu minuman dan camilan.”
Bang Fahri meninggikan suaranya, dia gegas berbalik, menyusul ibu mertua. Ditinggalkannya tiga koper di luar, tidak ada yang berniat mengambil. Terpaksa aku turun tangan, mendorong satu per satu ke dalam rumah.
Di antara rombongan yang datang, ibu mertua membawa dua orang, anak gadisnya yang masih kuliah serta seorang perempuan cantik yang tidak memakai jilbab. Dia menggerai rambut panjangnya, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Bahkan, kuku jari dan kakinya berkuteks.
“Riska, langsung sediakan minum!” pinta Bang Fahri ketus.
Aku mengiyakan. Tidak ingin membuat mereka menunggu, aku undur diri. Melewati ruang tamu yang mungil, lalu deretan kamar hingga tiba di dapur. Senyumku yang awalnya mengembang, perlahan sirna. Entah mengapa, lubuk hatiku terenyuh luka setelah melihat paras wanita yang dibawa Ibu mertua itu. Aku pernah melihatnya, namun entah di mana.
Kutepis dulu segala gelisah, lalu menyiapkan minuman dan camilan di nampan untuk kubawa ke depan. Aku berjalan perlahan dengan nampan berisi empat gelas es teh dan dua piring kukis beda rasa. Terdengar sayup-sayup candaan mereka semua dari arah depan, sungguh menyenangkan, hangat dan tenteram.
“Iya, Fahri. Apa lagi kalau bukan itu, Ibu sengaja jauh-jauh bawa Ninik kemari ya biar kalian ....”
Deg!
“Bu, jangan buru-buru begitu, mungkin Fahri belum ....”
“Ih, Ninik! Fahri itu dokter, seharusnya dia menikahnya dengan perempuan seperti kamu. Bukannya Ibu enggak suka sama Riska, tapi dia kampungan banget dari dulu. Enggak tahu namanya fashion, tidak punya duit juga!”
“Astagfirullah!” Aku berseru kaget.
Buru-buru aku melangkah ke depan. Nampan berisi gelas dan piring itu kuletakkan usai menghela napas dalam. Aku harus tenang, harus tenang ....
“Eh, Ris!” Ibu mertua berseru. Wajahnya santai, tidak terlihat terkejut meski baru saja menggores hatiku.
“Iya, Bu.”
“Duduk, Ris? Ibu mau bicara.” Ibu mertuaku menunjuk kursi di dekatnya.
Sebab, saat aku mengerlingkan mata, perempuan bernama Ninik itu menempati sofa di sebelah Bang Fahri. Bahkan, pria itu tidak merasa keberatan duduk berdekatan dengan perempuan yang tidak halal untuknya.
Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Harusnya bukan begini. Bang Fahri tidak pernah cerita soal ibu mertua dan yang lainnya akan datang. Kalau tahu, sudah pasti akan kumasakkan yang enak-enak dan rumah kurapikan, aku juga tidak akan pergi rewang.
“Bicara saja, Bu.” Aku menyahut, masih lembut.
Kutuntun diri menuju sofa sesuai arahan ibu mertua. Beliau tiba-tiba saja menatapku sinis, mungkin kesal atau apa ... entahlah. Selama menikahi anaknya, aku tidak pernah lagi bertemu beliau selain dari telepon dan video call, itu juga tidak jauh-jauh dari berbagai komentar dan peraturan yang ingin ditekankannya dalam rumah tanggaku.
Tapi, tiba-tiba saja ibu mertuaku menutup hidung. Wajahnya langsung merah dan bibirnya mencebik. Sadar diri, aku mengendus badan, seluruh tubuh bau keringat, pakaian lecek dan kumal, bahkan sedikit amis serta bau busuk bekas selokan.
“Riska, bisa enggak kamu mandi dulu?” ujar Bang Fahri padaku dengan intonasi ketus.
“Maaf, Bang ... aku mandi setelah ini, ya? Ada yang mau Ibu bicarakan denganku,” lirihku malu.
Aku serba salah saat ini, ingin pamit mandi tapi sudah terlanjur duduk, ingin tetap di sini tapi malah jadi bulan-bulanan Bang Fahri. Ya Allah, aku harus bagaimana ini ....
“Istrimu tidak becus, Fahri. Ibu lihat rumah kalian juga jelek begini, kusam, kuno, ketinggalan jaman banget. Ini pasti seleranya Riska, kan? Harusnya kamu minta Ibu ke sini buat ngurus dan atur rumah ini, Fahri!” tutur ibu mertua yang membuatku semakin tertunduk.
“Iya, Bu. Itulah, Bu ... entah apa kerjanya Riska selama ini! Padahal kerja juga tidak, di rumah saja, tapi rumah malah berantakan, kuno dan jadul Bu!” sambung Bang Fahri.
Aku tidak menduga jika Bang Fahri akan bicara begini. Bukankah dia juga tahu kalau kami harus berhemat hingga belum bisa membeli perabotan rumah tangga yang baru dan bagus? Ini semua masih bawaan dari rumah saat dibeli.
“Hah, sudahlah! Besok biar Ibu dan Ninik saja yang handle. Bikin sakit mata kalau terus-terusan lihat rumah begini,” sambung ibu mertua sembari mengitari rumah dengan matanya.
Cercaan mereka datang bertubi-tubi. Aku tidak mengerti kenapa mereka bersikap begini. Bukankah harusnya kami saling beramah-tamah? Ini pertemuan pertama setelah sekian lama.
“Maksudnya bagaimana, Bu? Ke-kenapa Ibu atau dia yang akan mengatur rumah kami?” tanyaku terbata seraya menunjuk Ninik.
Perasaanku berombak, jadi tidak karuan. Kenapa Bang Fahri begitu riang, lalu ibu mertua dan Salma seakan tidak keberatan dengan sikap Bang Fahri dan perempuan asing itu?
“Ris, kamu tahu sendiri kan, kalau Fahri itu Dokter, sedangkan kamu cuma ibu rumah tangga. Kamu juga tidak kuliah, kerja serabutan dengan gaji tidak seberapa.” Ibu mertua mengalihkan topik.
Dua tangannya terlipat di dada. Dia juga memandangku sebelah mata.
Untungnya, aku sudah cukup menempa diri selama ini. Cibiran begini tidak akan membuatku runtuh.
“Ya, Bu ... lalu?”
“Ibu mau Ninik jadi istrinya Fahri!”
Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya
“Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar
“Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren
Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.
Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa
“Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat
“Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat
Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa
Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.
“Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren
“Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar
Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya
“Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg