“Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?”
“Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.
“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.
Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.
“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar manik mata.
Biar mereka tahu gimana susahnya aku mengurus Bang Fahri dan Ibu mertua yang banyak gaya itu selama ini! Jika Ninik ingin hidup dengan Bang Fahri, sekalian saja semua bebannya kuberikan padanya. Jangan hanya mau enaknya dan berleha-leha.
“Apa maksudmu, Riska?” Ibu mertua mengernyit padaku. Suaranya yang melengking tadi menurun tajam.
Tapi, bibir ini malas menjelaskan untuk sekarang. Lebih baik, kutegaskan sekali lagi pada Bang Fahri, “Setelah ini, semua tugas-tugas di rumah ini jadi milik Ninik, Bang. Aku tidak mau peduli lagi, Bang.”
“Tugasmu sebagai istri itu kan ….”
“Kalau begitu aku tidak akan setuju dengan pernikahan kalian. Kamu tahu sendiri kan, kalau kamu tidak bisa asal mendaftarkan pernikahan kalau aku menolak?” tantangku seraya menyunggingkan bibir. Puas sekali meski hanya membalas lewat perkataan.
Ekspresi Ninik berubah sesuai harapan. Dia sangat terkejut, manik matanya membola hingga terlihat menakutkan. Apa dia datang ke sini dengan bayangan ingin hidup enak serta memperalatku? Enak saja.
“Riska!”
“Aku juga akan bekerja lagi, Bang. Aku akan bekerja seharian penuh, mencari nafkah untuk perutku sendiri.”
Kata-kataku tegas, membuat Bang Fahri terperangah. Kutebak dia tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Dia mengira kalau aku hanyalah Perempuan dungu, bodoh dan polos yang bisa dipermainkan olehnya. Saat menuntut madu, mungkin dia menduga kalau aku hanya akan menangis, memohon dan merengek padanya.
Memang, aku juga tidak ingin menjanda terlalu cepat. Ayah akan sangat bersedih jika tahu apa yang terjadi denganku di sini, karena itu biarlah Bang Fahri dan keluarga menerima akibat lebih dulu, sebelum kuceritakan pada Ayah di desa.
“Ya sudah, biarkan saja, Fahri. Paling penting kamu dan Ninik bisa nikah, tidak akan ada yang menghalangi!” jelas ibu mertua lagi.
Aku mengangguk, setuju sekali. Toh, menolak pun juga tidak akan menghasilkan apa-apa. Aku hanya akan dibenci, dimarahi, dan diperlakukan dengan buruk. Lebih baik begini, hitung-hitung kulepas semua beban dan sampah untuk Perempuan yang kini cengengesan sendirian.
“Baiklah, ya sudah kalau gitu!” putusku cepat.
Bang Fahri menatapku, sorot matanya berubah. Namun, aku membalasnya dengan senyuman lebar. Jika dia ingin berbahagia, maka aku juga akan melakukan hal yang sama. Kenapa aku harus bersedia tersiksa untuknya?
Kulangkahkan kaki pergi menuju kamar, ibu mertua masih mengomel, menyuruhku berhenti dan mendengar semua caciannya itu. Setelahnya, aku membuka pintu, menghempas badan ke ranjang.
Pandanganku bertaut dengan plafon, lalu lampu yang mulai redup di tengahnya. Sebentar lagi, aku akan berbagi suami dengan orang lain. Bang Fahri akan membagi hatinya untuk Perempuan bernama Ninik itu. Semua ini karena aku dianggap tidak pantas untuknya, tidak layak menjadi istrinya, tidak cocok berdampingan dengannya. Lantas, kenapa dulu Bang Fahri memilihku? Bukankah sejak awal dia tahu kalau aku hanyalah gadis desa tamatan SMA?
Sejenak, aku menoleh ke samping, bantal milik Bang Fahri kosong. Nanti juga akan selalu kosong saat Ninik sudah resmi menjadi istrinya. Bukankah Bang Fahri tidak akan pernah lagi merebahkan tubuhnya di sampingku? Tadi dia mengaku jijik dan geli tidur seranjang denganku saat di desa karena terus membayangkan tai-tai sapi dan aroma sapi, dan sekarang dia akan jijik tidur bersama istri tuanya yang kuno dan kampungan ini. Sakit sekali rasanya mendengar Bang Fahri mengatakan hal itu dengan mulutnya sendiri.
Tidak terasa, air mataku mencuri celah di sudut. Merembes kuat tidak tertahankan. Bibirku bergetar, aku menangis dalam diam, menahan diri untuk tidak bersuara.
Sejenak, bayangan wajah ibu dan ayah melintas. Teringat olehku, Ayah memelukku erat saat kami berpisah dan aku meninggalkan rumah demi Bang Fahri. Sekarang, harapan itu sirna, Bang Fahri menusukku dari belakang. Semua pengorbananku untuknya tidak dihargai.
Air mataku terus tumpah, membasahi bantal. Lalu, aku terlelap dalam tangis ….
“Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren
Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.
Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa
“Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat
“Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg
Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya
“Ris, kamu dari mana saja?”Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma keringat hingga matahari juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Zul mengajakku dan Burman makan malam, jadinya aku pulang dalam keadaan perut kenyang.“Ris, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Fahri, menatapku berang. Sedangkan Salma masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ninik juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Salma dan Ninik.“Kami belum makan malam gara-gara kamu keluar sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyat
Tapi, Burman hanya tertawa kecil. Dia mengetuk pintu tebal itu, lalu mendorong daun pintunya hingga merenggang. Burman membuka ruangan yang seperti terlarang itu untukku sampai bisa kulihat seluruh isinya dengan jelas.Ruangannya cukup besar dan nyaman, ada dua sofa di tengah, lalu meja lebar yang di atasnya terdapat komputer dan laptop, lalu berbagai berkas serta file memenuhi lemari di belakang meja itu. Di kursi putar yang terlihat nyaman, pria yang kucari sedari tadi sedang duduk kebingungan.“Bos, lihat siapa yang datang?” ucap Burman. “Aku ketemu dia di depan gerbang.”Pria yang dipanggil itu mengangkat dagu, lalu tatapan kami bertemu. Aku tidak percaya jika pria yang selalu kutemui di desa adalah pimpinan sebuah pabrik penggilingan daging ini. Apakah itu alasan kenapa Bang Zul jarang pulang ke desa dan selalu terlihat sibuk? Karena dia adalah seorang pimpinan?“Riska?” Bang Zul memanggil namaku. Ditanggalkannya kacamata, Bang Zul bangkit dari kursi putarnya.Sejenak, aku merasa
Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.Aku lekas menggelengkan kepala.
“Riska? Aku masuk!” seru Bang Fahri keras.Belum sempat aku bangkit dari rebah, Bang Fahri mendorong pintu kamar selebar mungkin. Kulihat Ninik berdiri di dekatnya, sangat dekat sampai dada-nya yang menonjol menyentuh lengan Bang Fahri.Rupanya, hari telah berganti. Matahari meninggi dan semburat cahayanya menerobos masuk lewat jendela. Semalam aku tertidur karena lelah menangis hingga tidak menyadari pagi datang dan siang menjelang.“Bagus, ya! Bagus banget, Perempuan bangunnya siang.” Kudengar suara melengking itu menyindirku.“Sudah, Bu! Ini masih pagi, jangan sampai mood Ninik jadi buruk, Bu.” Bang Fahri menegur Ibunya sendiri.Ibu mertua langsung muram, namun ekspresinya lekas berubah . Perempuan itu terlihat jauh lebih berbahagia hari ini.“Nik, masuklah. Coba lihat kamar ini.” Bang Fahri bertutur.Ninik tersenyum, Perempuan yang memakai tunik selutut itu melangkah ke dalam kamar. Rambutnya tercepol rapi, wajahnya berias tipis dan cantik. Saat Ninik mendekat, aroma tubuhnya teren
“Dasar kampungan, udik, bau sapi!” Ibu mertua mencerca. “Gimana mau berubah kalau lingkunganmu saja seperti ini, Ris. Kamu itu harusnya pilih-pilih teman dan relasi, biar ketularan elit dan hebat. Lihat Ninik, lihat juga Fahri … harusnya kamu tiru mereka, bukannya malah makin jauh dari standar. Kamu itu dinikahi dokter, Ris. Kamu kira semua orang bisa jadi istri dokter, hah?” “Bu, berhenti menghinaku.” Aku bersuara dengan intonasi yang lebih tegas.“Kamu ngebela diri? Kamu itu sudah salah, Ris. Harusnya kamu minta maaf dan berubah, bukannya membela diri dan memelototi mertuamu.” Ibu mertua berteriak. Beliau menunjuk dadanya.Aku menyumbat telinga dengan telapak tangan. Suara ibu mertua benar-benar memuakkan sekarang, bahkan melihat wajahnya saja seisi perutku bergejolak, seolah-olah diaduk dari dalam.“Sudahlah, terserah saja, Bu. Sekarang, aku hanya mau bilang kalau Bang Fahri dan Ninik mau menikah, silakan saja. Tapi, aku lepas tangan dengan semuanya!” ujarku dingin sembari memutar
Deg, zrash! Luar biasa kurasakan sambaran petir yang menghunus dada. Bagaimana bisa dia berkata demikian dengan mudahnya? Selama ini, akulah yang menemani Bang Fahri dalam suka dan duka, meski harus menentang ayah dan ikut merantau dengan Bang Fahri, lalu kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat ini.Bang Fahri menolak bekerja di desa lebih lama, dia ingin pindah ke kota. Katanya, dokter sepertinya haruslah bekerja di rumah sakit besar, bukannya di pedesaan. Alhasil, aku menuruti keinginannya itu, meninggalkan desa meski ayah harus kecewa lalu pindah ke rumah ini.“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang.“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah, tapi yang jelas Ibu enggak minta persetujuan kamu, Fahri dan Ninik harus menikah!” tambahnya lagi.Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?Padahal, sudah kulakukan semua yang kubisa untuk Bang Fahri. Sudah kuupayakan banyak hal untuk menurutinya
“Baumu busuk sekali, Riska. Benar-benar bau busuk, bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” Suara bariton ibu mertua membuatku terperangah.Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab nafasku masih tersengal. Aku lari pontang-panting dari Balai Lurah setelah dihubungi Bang Fahri. Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan istri Pak RW yang tinggal di seberang rumah. Saking panik dan buru-burunya, aku nyaris tertabrak motor, mencoba menghindar malah jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari?,” sambung ibu mertua. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis. Untungnya Fahri angkat telepon Ibu, padahal dia sibuk,” cerocos ibu mertua lagi.Beliau enggan masuk ke dalam rumah meski bang Fahri sudah mempersilahkan. Kekesalannya terlalu menumpuk, membuatnya terus mengomeli dan menghinaku.“B-bukan beg