Bab 140Siti turun dari taksi. Dadang yang melihat kedatangan Siti, kini tergopoh-gopoh untuk membukakan pagar."Makasih, Dang!"Dadang tersenyum tipis. "Sama-sama, Mbak! Habis dari mana saja?""Ketemu temen tadi, Dang." Hanya jawaban singkat saja yang keluar dari mulut Siti dan wanita itu langsung bergegas masuk karena tak ingin menunda lebih lama lagi. Sudah setengah hari dia berada di luar rumah dan pastinya merasa tak enak hati pada Sumi serta Bi Yati."Assalamualaikum," ujarnya sambil membuka pintu rumah."Waalaikumsalam," jawab Sumi. Putri yang ada di kamar juga kini keluar ketika mendengar suara ibunya. Gadis kecil itu berlari mendekat dan memeluk Siti."Ibu kok lama banget?"Siti tersenyum tipis sambil mengelus pelan puncak kepala gadis kecilnya dengan lembut. "Soalnya Ibu tadi harus ketemu sama temen, Put."Kening Siti terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu ketika melihat anaknya mengenakan pakaian yang berbeda."Kamu habis dari mana?"Putri tersentak kaget. Ga
Bab 141Setelah Siti selesai membersihkan diri, wanita itu kembali keluar dan lanjut untuk menyiapkan makan malam karena hari yang sudah sore.Pandangan Siti beralih menatap Sumi dan Bi Yati secara bergantian."Biar aku aja yang masak. Sumi dan Bibi istirahat aja dulu. Pasti capek seharian kerja, 'kan?"Sumi menoleh sekilas. "Nggak apa-apa, Mbak. Masih kuat kok," tolaknya. Siti menghela napasnya perlahan. Wanita itu lantas merebut pisau yang tengah dipegang oleh Sumi."Dibilang istirahat aja dulu. Kalau nggak giliran malah aku yang merasa sungkan," ujarnya."Ya udah deh kalau maksa. Kalau gitu aku sama Bi Yati istirahat dulu, Mbak."Siti mengangguk pelan seraya tersenyum tipis. Kini seorang gadis kecil tampak mendekat ke arahnya."Putri bantuin ya, Bu?""Boleh, tapi cuci tangan dulu," ujarnya.Gadis kecil itu bergegas mencuci tangannya. Saat Sumi dan Bi Yati beristirahat, Putri membantu ibunya untuk menyiapkan bahan-bahan masakan."Masak apa malam ini, Bu?"Siti diam sejenak. Dia me
Bab 142Siti diam sejenak. Wanita itu perlahan mengangkat wajahnya dan menatap lekat sosok pria yang berdiri tepat di hadapannya."Apa Bapak khawatir?"Pertanyaan lugu itu lolos begitu saja dari bibirnya. Bagaimanapun juga sikap sang majikan telah membuatnya bertanya-tanya."Bisa dibilang seperti itu," ujar Handi.Kening Siti tampak berkerut. Dia makin tak mengerti. Memang wajar apabila majikan khawatir dengan bawahannya, tapi apa ada yang wajar jika perhatiannya itu berlebihan?Bahkan Handi sendiri sampai rela mengobati Siti. Padahal pria itu bisa saja tak peduli.Handi menghela napas pelan. Ditatapnya lekat manik mata Siti. "Kamu itu berharga," ujarnya lagi."Maksud Bapak apa?"Pernyataan Handi yang ambigu membuat Siti salah tingkah. Namun Handi hanya diam. Handi kini menatapnya dengan lekat. Semakin dalam dan juga ... intim.Rasanya, suasana begitu hening. Siti bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Suara yang makin lama tak beraturan.Namun tak lama keduanya saling
Bab 143Siti kini tampak bergegas untuk pergi ke pasar. Dia tengah sibuk mencatat beberapa bahan makanan yang harus dibeli di pasar dan juga supermarket."Ini sudah semua, Sum?""Udah, Mbak. Itu sesuai kebutuhan buat seminggu ke depan."Siti mengangguk pelan. Wanita itu lantas memasukkan kertas note belanjaan ke dalam dompet yang sudah disediakan oleh Handi. Pria itu memang memfasilitasi para asisten rumah tangganya dengan jumlah tertentu untuk belanja mingguan."Ya sudah, aku berangkat dulu.""Hati-hati, Mbak!" teriak Sumi, wanita itu masih fokus menata meja dapur karena pagi tadi baru saja membuat sarapan. Sedangkan Bi Yati yang dapat giliran untuk cuci piring.Siti lagi-lagi hanya mengangguk. Wanita itu beralih menatap sosok putrinya yang masih duduk dan menyantap sarapan."Put, Ibu mau pergi ke pasar. Putri mau ikut?"Putri menoleh sekilas. Gadis kecil itu dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya."Nggak, Bu! Putri di rumah aja, sarapannya juga belum habis.""Ya sudah kalau gi
Bab 144Retno pulang dalam keadaan marah. Dia merasa sangat kesal karena tak bisa berkutik di hadapan Siti. Dia bahkan belum menyelesaikan acara belanjanya karena tak ingin berada dekat lebih lama dengan Siti."Ck! Sialan! Kalau bukan karena dia pernah lapor ke polisi, aku udah buat dia malu di depan orang," desisnya. Retno masih ingat dengan jelas wajah mantan menantunya itu yang berani menyapa sambil tersenyum ramah. Bukannya merasa dihormati, Retno justru merasa seolah-olah tengah diledek oleh Siti."Dia pasti ngeledek karena merasa menang," desisnya lagi.Tangan Retno terulur pelan dan menghentikan sebuah taksi. Wanita itu langsung masuk ke dalam taksi sambil memasang tatapan tajam."Ke Jalan Pariaman 12," ujarnya."Siap, Bu!" Tanpa banyak bicara lagi sopir taksi itu segera mengemudikan mobilnya menjauhi area supermarket.Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Retno hanya diam membisu. Namun napas wanita itu tampak memburu naik turun karena emosi.Tak perlu waktu lama dia telah sam
Bab 145"Ibu, tiup lilinnya!"Siti mengangguk pelan. Wanita itu membungkuk dan meniup lilin menyala yang tertusuk tepat di kue."Sekarang, Ibu pejam mata dan minta sesuatu!"Siti hanya bisa tersenyum. Wanita itu menurut saja dan memejam mata sejenak. Setelahnya, dia membuka matanya kembali dan menatap lekat sosok gadis kecilnya."Mbak, ayo potong kuenya! Udah nggak sabar," seloroh Sumi.Siti terkekeh pelan. Wanita itu menerima uluran pisau kue dan mulai memotongnya. Potongnya pertama, dia berikan pada Putri."Put, kamu adalah satu-satunya yang paling berharga buat Ibu. Semoga kamu jadi anak yang kuat dan bisa membuat bangga semua orang."Hanya dengan mengucapkan kalimat itu saja, Siti merasakan kehangatan mulai muncul di dalam hatinya.Raut wajah Putri tampak berbinar penuh bahagia setelah mendapatkan sepotong kue dari Siti, gadis kecil itu berlari memeluk erat tubuh ibunya. "Putri juga sangat sayang sama Ibu," lirihnya.Setelahnya Siti langsung memotong kue kembali lalu memberikannya
Bab 146Acara surprise telah selesai, Siti segera merapikan sisa kue dan memasukkannya ke dalam kulkas. Sedangkan Putri kini telah masuk ke dalam kamarnya untuk tidur siang.Setelahnya, Siti berbalik dan menghampiri dua rekan kerjanya. "Sum, tadi kuenya udah dianter ke Mang Tatang dan Dadang?"Sumi mengangguk pelan. "Udah, Mbak. Beres!" ujarnya sambil menodongkan jempol.Diliriknya sosok wanita paruh baya yang kini tampak masuk ke kamarnya. Bi Yati pasti ingin istirahat. Begitu juga dengan Sumi. "Ya sudah, kalau gitu aku mau ke kamar duluan, Sum."Sumi hanya mengangguk pelan. Sedangkan Siti kini telah masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu lantas duduk tepat di samping kasur.Siti menatap ke arah buket bunga yang tersimpan rapi di atas meja samping tempat tidurnya. Handi bukan hanya membelikan roti serta menyiapkan banyak ornamen untuk mempercantik surprise dari Putri. Tapi pria itu juga membeli buket bunga mawar yang tampak indah.Tangan Siti terulur pelan dan mengelus buket bunga itu
Bab 147Siti menarik tubuhnya kembali setelah wanita itu selesai membacakan sebuah dongeng untuk putrinya. Siti menatap lekat sosok anaknya yang kini sudah tertidur lelap. Wanita itu kembali memikirkan tentang perkataan putrinya barusan."Ayah untuk Putri?"Tapi Siti merasa kalau itu hanyalah omong kosong karena Putri mungkin saja merindukan sosok ayah. Wajar bagi gadis kecil berumur 7 tahun itu masih menginginkan kasih sayang yang cukup dari ayahnya."Astaghfirullahaladzim … aku nggak seharusnya berpikir aneh," lirihnya sambil mengingatkan diri sendiri.Apalagi Putri selama ini selalu mendapatkan perlakuan buruk oleh Adi. Tak pernah sekalipun pria itu memperlakukan putrinya dengan lembut layaknya darah dagingnya sendiri."Mas, andai kamu tahu betapa besar rasa kesepian Putri. Mungkinkah kamu menyesal?"Siti tak bisa melakukan apapun untuk mengusir rasa kerinduan yang acap kali muncul di dalam hati Putri. Hanya sosok seorang ayah yang bisa membuat gadis kecil itu bahagia.Siti tahu jel