hay para pembaca semua ... sudah lama nih Author nggak menyapa. terima kasih karena sudah terus mengikuti cerita Siti sampai titik ini. semoga kalian semua mendapatkan banyak limpahan rejeki dan selalu diberi kesehatan. untuk koin mohon maaf jika kemarin dirasa mahal, tetapi untuk ke depannya akan lebih dimurahkan lagi ya. terima kasih
Bab 143Siti kini tampak bergegas untuk pergi ke pasar. Dia tengah sibuk mencatat beberapa bahan makanan yang harus dibeli di pasar dan juga supermarket."Ini sudah semua, Sum?""Udah, Mbak. Itu sesuai kebutuhan buat seminggu ke depan."Siti mengangguk pelan. Wanita itu lantas memasukkan kertas note belanjaan ke dalam dompet yang sudah disediakan oleh Handi. Pria itu memang memfasilitasi para asisten rumah tangganya dengan jumlah tertentu untuk belanja mingguan."Ya sudah, aku berangkat dulu.""Hati-hati, Mbak!" teriak Sumi, wanita itu masih fokus menata meja dapur karena pagi tadi baru saja membuat sarapan. Sedangkan Bi Yati yang dapat giliran untuk cuci piring.Siti lagi-lagi hanya mengangguk. Wanita itu beralih menatap sosok putrinya yang masih duduk dan menyantap sarapan."Put, Ibu mau pergi ke pasar. Putri mau ikut?"Putri menoleh sekilas. Gadis kecil itu dengan cepat langsung menggelengkan kepalanya."Nggak, Bu! Putri di rumah aja, sarapannya juga belum habis.""Ya sudah kalau gi
Bab 144Retno pulang dalam keadaan marah. Dia merasa sangat kesal karena tak bisa berkutik di hadapan Siti. Dia bahkan belum menyelesaikan acara belanjanya karena tak ingin berada dekat lebih lama dengan Siti."Ck! Sialan! Kalau bukan karena dia pernah lapor ke polisi, aku udah buat dia malu di depan orang," desisnya. Retno masih ingat dengan jelas wajah mantan menantunya itu yang berani menyapa sambil tersenyum ramah. Bukannya merasa dihormati, Retno justru merasa seolah-olah tengah diledek oleh Siti."Dia pasti ngeledek karena merasa menang," desisnya lagi.Tangan Retno terulur pelan dan menghentikan sebuah taksi. Wanita itu langsung masuk ke dalam taksi sambil memasang tatapan tajam."Ke Jalan Pariaman 12," ujarnya."Siap, Bu!" Tanpa banyak bicara lagi sopir taksi itu segera mengemudikan mobilnya menjauhi area supermarket.Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Retno hanya diam membisu. Namun napas wanita itu tampak memburu naik turun karena emosi.Tak perlu waktu lama dia telah sam
Bab 145"Ibu, tiup lilinnya!"Siti mengangguk pelan. Wanita itu membungkuk dan meniup lilin menyala yang tertusuk tepat di kue."Sekarang, Ibu pejam mata dan minta sesuatu!"Siti hanya bisa tersenyum. Wanita itu menurut saja dan memejam mata sejenak. Setelahnya, dia membuka matanya kembali dan menatap lekat sosok gadis kecilnya."Mbak, ayo potong kuenya! Udah nggak sabar," seloroh Sumi.Siti terkekeh pelan. Wanita itu menerima uluran pisau kue dan mulai memotongnya. Potongnya pertama, dia berikan pada Putri."Put, kamu adalah satu-satunya yang paling berharga buat Ibu. Semoga kamu jadi anak yang kuat dan bisa membuat bangga semua orang."Hanya dengan mengucapkan kalimat itu saja, Siti merasakan kehangatan mulai muncul di dalam hatinya.Raut wajah Putri tampak berbinar penuh bahagia setelah mendapatkan sepotong kue dari Siti, gadis kecil itu berlari memeluk erat tubuh ibunya. "Putri juga sangat sayang sama Ibu," lirihnya.Setelahnya Siti langsung memotong kue kembali lalu memberikannya
Bab 146Acara surprise telah selesai, Siti segera merapikan sisa kue dan memasukkannya ke dalam kulkas. Sedangkan Putri kini telah masuk ke dalam kamarnya untuk tidur siang.Setelahnya, Siti berbalik dan menghampiri dua rekan kerjanya. "Sum, tadi kuenya udah dianter ke Mang Tatang dan Dadang?"Sumi mengangguk pelan. "Udah, Mbak. Beres!" ujarnya sambil menodongkan jempol.Diliriknya sosok wanita paruh baya yang kini tampak masuk ke kamarnya. Bi Yati pasti ingin istirahat. Begitu juga dengan Sumi. "Ya sudah, kalau gitu aku mau ke kamar duluan, Sum."Sumi hanya mengangguk pelan. Sedangkan Siti kini telah masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu lantas duduk tepat di samping kasur.Siti menatap ke arah buket bunga yang tersimpan rapi di atas meja samping tempat tidurnya. Handi bukan hanya membelikan roti serta menyiapkan banyak ornamen untuk mempercantik surprise dari Putri. Tapi pria itu juga membeli buket bunga mawar yang tampak indah.Tangan Siti terulur pelan dan mengelus buket bunga itu
Bab 147Siti menarik tubuhnya kembali setelah wanita itu selesai membacakan sebuah dongeng untuk putrinya. Siti menatap lekat sosok anaknya yang kini sudah tertidur lelap. Wanita itu kembali memikirkan tentang perkataan putrinya barusan."Ayah untuk Putri?"Tapi Siti merasa kalau itu hanyalah omong kosong karena Putri mungkin saja merindukan sosok ayah. Wajar bagi gadis kecil berumur 7 tahun itu masih menginginkan kasih sayang yang cukup dari ayahnya."Astaghfirullahaladzim … aku nggak seharusnya berpikir aneh," lirihnya sambil mengingatkan diri sendiri.Apalagi Putri selama ini selalu mendapatkan perlakuan buruk oleh Adi. Tak pernah sekalipun pria itu memperlakukan putrinya dengan lembut layaknya darah dagingnya sendiri."Mas, andai kamu tahu betapa besar rasa kesepian Putri. Mungkinkah kamu menyesal?"Siti tak bisa melakukan apapun untuk mengusir rasa kerinduan yang acap kali muncul di dalam hati Putri. Hanya sosok seorang ayah yang bisa membuat gadis kecil itu bahagia.Siti tahu jel
Bab 148Seperti pagi-pagi biasanya, Siti terlihat fokus untuk menyiapkan sarapan. Wanita itu mulai mengesampingkan segala perasaan terkait masalah hatinya karena tak ingin terus larut dalam rasa sakit yang tak berkesudahan.Siti tak ingin terlalu memikirkan masalah percintaan, walau terkadang hatinya masih berdesir ketika bayangan Handi melintas dibenaknya."Mbak, masak apa hari ini?"Siti menoleh ke arah sumber suara dan menatap lekat sosok wanita muda yang baru saja keluar dari kamarnya."Nasi goreng aja, Sum. Kebetulan sisa nasi kemarin cukup buat sarapan," ujarnya.Sumi mengangguk pelan. Tanpa diperintah sekalipun, wanita itu bergegas untuk membantu Siti."Biar aku aja yang siapin bumbunya, Mbak.""Oh, ya sudah. Kalau gitu aku cek Putri dulu," ujarnya.Sumi hanya mengangguk pelan. Sedangkan Siti kini bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk mengecek keadaan putrinya.Setelah pintu kamarnya terbuka, Siti bisa melihat dengan jelas putrinya telah berpakaian rapi. Gadis kecil itu tengah
Bab 149Usai menenangkan dirinya, Handi segera turun dari kamar. Pria itu merapikan pakaiannya kembali. Dilihatnya area meja makan yang kini telah tersaji sarapan. Ada roti, selai, buah dan nasi goreng. "Selamat pagi, Pak!" sapa Sumi. Handi hanya mengangguk pelan. Pria itu segera duduk di kursinya dan meraih sepiring nasi goreng. Tak berselang lama, Putri keluar dari kamarnya. Gadis kecil itu menenteng tas dan berjalan mendekat ke arah meja makan."Pagi, Om!"Handi melirik sekilas. "Pagi," balasnya. Siti yang berada di dapur, kini mendekat ke arah putrinya. Wanita itu segera melepas celemek dan menyiapkan sarapan untuk Putri.Namun saat dia berada dekat dengan Handi, Siti merasakan keanehan karena pria itu bahkan berusaha untuk menghindari pandangannya.Kening Siti tampak berkerut hingga kedua alasnya saling menyatu. Dia merasa heran dengan sikap sama jika yang tiba-tiba berubah."Ibu kok diam aja?"Suara Putri berhasil membuyarkan lamunan Siti. Wanita itu segera memalingkan wajahn
Bab 150Sepanjang perjalanan menuju kantor, Handi hanya menatap jalanan. Pria itu masih saja mencoba untuk berdamai dengan perasaannya yang kini tengah dilanda oleh dilema."Rasanya aneh," gumamnya lirih.Tatang yang telah mengemudikan mobil tampak melirik ke arah sang majikan melalui kaca kecil yang berada tepat di atasnya."Apanya yang aneh, Pak?"Handi melirik ke arah supirnya. Pria itu menghela napas pelan sambil mendengus kesal. "Fokus kemudian mobilnya aja, Mang."Tatang terkekeh pelan. "Gimana saya bisa fokus kalau tahu majikan sekarang sedang nggak baik-baik saja, Pak?""Saya baik-baik saja," tukas Handi.Tatang tersenyum tipis. Dia tahu dengan jelas kalau majikannya kini berbohong."Mulut mungkin bisa mengelak, tapi ekspresi wajah nggak bisa dibohongi, Pak. Sebenarnya ada apa?"Handi diam sejenak setelah mendengar pertanyaan dari sopirnya barusan. Entah mengapa hatinya mulai tergerak dan pria itu tanpa sadar menceritakan tentang isi kepalanya."Mang, apa salah kalau menyukai