Apa perasaan Siti ini terlalu berlebihan?
Bab 148Seperti pagi-pagi biasanya, Siti terlihat fokus untuk menyiapkan sarapan. Wanita itu mulai mengesampingkan segala perasaan terkait masalah hatinya karena tak ingin terus larut dalam rasa sakit yang tak berkesudahan.Siti tak ingin terlalu memikirkan masalah percintaan, walau terkadang hatinya masih berdesir ketika bayangan Handi melintas dibenaknya."Mbak, masak apa hari ini?"Siti menoleh ke arah sumber suara dan menatap lekat sosok wanita muda yang baru saja keluar dari kamarnya."Nasi goreng aja, Sum. Kebetulan sisa nasi kemarin cukup buat sarapan," ujarnya.Sumi mengangguk pelan. Tanpa diperintah sekalipun, wanita itu bergegas untuk membantu Siti."Biar aku aja yang siapin bumbunya, Mbak.""Oh, ya sudah. Kalau gitu aku cek Putri dulu," ujarnya.Sumi hanya mengangguk pelan. Sedangkan Siti kini bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk mengecek keadaan putrinya.Setelah pintu kamarnya terbuka, Siti bisa melihat dengan jelas putrinya telah berpakaian rapi. Gadis kecil itu tengah
Bab 149Usai menenangkan dirinya, Handi segera turun dari kamar. Pria itu merapikan pakaiannya kembali. Dilihatnya area meja makan yang kini telah tersaji sarapan. Ada roti, selai, buah dan nasi goreng. "Selamat pagi, Pak!" sapa Sumi. Handi hanya mengangguk pelan. Pria itu segera duduk di kursinya dan meraih sepiring nasi goreng. Tak berselang lama, Putri keluar dari kamarnya. Gadis kecil itu menenteng tas dan berjalan mendekat ke arah meja makan."Pagi, Om!"Handi melirik sekilas. "Pagi," balasnya. Siti yang berada di dapur, kini mendekat ke arah putrinya. Wanita itu segera melepas celemek dan menyiapkan sarapan untuk Putri.Namun saat dia berada dekat dengan Handi, Siti merasakan keanehan karena pria itu bahkan berusaha untuk menghindari pandangannya.Kening Siti tampak berkerut hingga kedua alasnya saling menyatu. Dia merasa heran dengan sikap sama jika yang tiba-tiba berubah."Ibu kok diam aja?"Suara Putri berhasil membuyarkan lamunan Siti. Wanita itu segera memalingkan wajahn
Bab 150Sepanjang perjalanan menuju kantor, Handi hanya menatap jalanan. Pria itu masih saja mencoba untuk berdamai dengan perasaannya yang kini tengah dilanda oleh dilema."Rasanya aneh," gumamnya lirih.Tatang yang telah mengemudikan mobil tampak melirik ke arah sang majikan melalui kaca kecil yang berada tepat di atasnya."Apanya yang aneh, Pak?"Handi melirik ke arah supirnya. Pria itu menghela napas pelan sambil mendengus kesal. "Fokus kemudian mobilnya aja, Mang."Tatang terkekeh pelan. "Gimana saya bisa fokus kalau tahu majikan sekarang sedang nggak baik-baik saja, Pak?""Saya baik-baik saja," tukas Handi.Tatang tersenyum tipis. Dia tahu dengan jelas kalau majikannya kini berbohong."Mulut mungkin bisa mengelak, tapi ekspresi wajah nggak bisa dibohongi, Pak. Sebenarnya ada apa?"Handi diam sejenak setelah mendengar pertanyaan dari sopirnya barusan. Entah mengapa hatinya mulai tergerak dan pria itu tanpa sadar menceritakan tentang isi kepalanya."Mang, apa salah kalau menyukai
Bab 151"Mang, saya menyukai dia tanpa syarat. Saya melihatnya sebagai seorang wanita, bukan seseorang yang pernah gagal dalam hal pernikahan."Tatang tersenyum tipis ketika mendengar jawaban dari majikannya. "Kalau Pak Handi memang sudah yakin, kami juga pasti akan mendukung. Tapi, kenapa tadi kelihatannya sedih, Pak?"Handi diam sejenak. Mau tak mau dia juga harus menjelaskan situasi yang tengah membuatnya dilema."Mang, saya pagi tadi sempat mendengar hal yang kurang mengenakkan."Perlahan tapi pasti, pria itu mulai menceritakan segala hal yang tempat terjadi dan membuatnya menjadi bimbang. Tatang mengemudikan mobilnya kembali ketika lampu telah berubah menjadi hijau dan mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan ketika mendengar penjelasan dari majikannya."Jadi itu alasannya, Pak?""Benar, Mang. Saya sendiri bingung harus bagaimana sekarang. Maju tapi terkesan memaksa. Saya tidak ingin membuatnya menjadi risih," cicit Handi.Bagaimanapun juga, Handi tak ingin memaksakan perasaannya
Bab 152Handi tiba di perusahaannya. Pria itu segera duduk di kursi kerja dan menyalakan layar monitor. Pria itu tampak serius karena memikirkan tentang pekerjaan dan cara agar bisa mendekati Siti.Setelah mendengar perkataan Tatang, dia mendapatkan sebuah pencerahan bahwa perjuangannya baru saja dimulai.Rosa yang sudah duduk di kursinya itu tampak melirik ke arah sang atasan. Wanita itu tampak mengerutkan keningnya karena merasa heran dengan sikap Handi. Seharusnya dia memang merasa senang ketika melihat atasannya tampak fokus melihat pekerjaan. Tapi Rossa tahu dengan jelas ada keanehan di dalam diri Handi.Tapi dengan cepat wanita itu langsung menggelengkan kepalanya agar bisa menepis pikiran aneh yang sempat. Rossa beralih meraih dokumen berwarna biru dan beranjak dari tempat duduknya."Pak, ini adalah proposal pengajuan dana yang dilakukan kembali oleh Pak Adi Sucipto."Handi melirik sekilas ke arah dokumen yang baru saja diulurkan oleh sekretaris pribadinya. Pria itu segera meng
Bab 153Mata Adi tampak membulat dengan sempurna ketika ketakutannya kini telah berada tepat di depan matanya. "Apa? Demo?!"Jika demo memang benar akan dilakukan maka tabiat buruknya pasti akan tercium oleh perusahaan.Tentu saja dia tak mungkin diam saja. Bagaimanapun dia juga harus bergerak agar bisa membungkam mulut para tukang bangunan."Sialan! Emangnya kamu nggak berusaha bilang supaya mereka sabar?""Sudah, Pak! Tapi mereka tetap saja ngotot agar kita segera membayar tunggakan gaji."Adi mengusap wajahnya dengan kasar. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Batinnya.Dana dari perusahaan saat ini masih belum disetujui. Bahkan Yayuk sendiri juga bingung karena dia tak bisa melakukan apapun sebab proposal belum juga ditandatangani oleh Handi."Sialan! Kenapa jadi seperti ini? Padahal kemarin-kemarin juga masih lancar," desisnya.Paling tidak dia harus mendapatkan uang sekitar 100 juta rupiah. Itu bukanlah nominal yang kecil. Mengingat isi rekeningnya kini bahkan hanya bersisa bela
Bab 154Adi mengepalkan tangannya dengan erat. "Sialan! Giliran lagi susah, dia nggak mau bantu!"Napas Adi kini terlihat memburu naik turun karena emosi. Dia merasa semakin kesal karena tak mendapat bantuan sedikitpun dari Yayuk. Wanita itu malah terus saja menyalahkannya.Adi kembali mengarahkan pandangannya ke arah beberapa kerumunan bekerja bangunan yang masih saja berdebat dengan mandor.Kepalanya terasa makin pening karena belum mendapatkan solusi. Bagaimanapun dia harus mendapatkan uang secepat mungkin agar bisa menutup mulut mereka semua.Ada sebuah jalan pintas yang terpikir oleh Adi. Dia bisa mendapatkan pinjaman uang dengan cepat pada rentenir. Tapi konsekuensinya dia harus membayar tepat waktu karena lintah darat selalu saja menghisap darah dengan kuat tanpa ampun."Hanya itu saja solusinya sekarang. Nggak ada yang lain," gumamnya lirih.Adi tahu dengan jelas kalau ini merupakan sebuah solusi sekaligus konsekuensi yang berat karena jika dia melakukan kesalahan maka habis s
Bab 155Tatang menghentikan mobilnya setelah memasuki area rumah sang majikan. Dia melirik sekilas ke arah Handi dan tersenyum tipis."Pak Handi sudah memikirkannya matang-matang, bukan?"Handi yang hendak membuka pintu mobilnya itu tampak berhenti dan menoleh ke arah supirnya. Dia menganggukkan kepalanya dengan cepat tanpa ragu sedikitpun.Tanpa banyak bicara, Handi langsung keluar dari mobilnya. Sedangkan Tatang kini segera memarkirkan mobil majikannya itu ke dalam bagasi. Tak berselang lama, Handi membuka pintu rumahnya dan saat itulah dia disambut oleh sosok gadis kecil bak malaikat yang kini berada tepat di hadapannya."Selamat datang, Om Handi!"Wajah Putri terlihat berbinar senang ketika melihat kepulangan Handi. Gadis kecil itu bahkan tak segan untuk menyambutnya."Hari ini capek nggak, Om?"Handi mengangguk pelan. "Sedikit," jawabnya."Kata Ibu, orang dewasa itu pasti capek karena kerja dan harus dapat uang. Putri kalau sudah dewasa nanti mau cepet-cepet kerja biar bisa bant