Bab 154Adi mengepalkan tangannya dengan erat. "Sialan! Giliran lagi susah, dia nggak mau bantu!"Napas Adi kini terlihat memburu naik turun karena emosi. Dia merasa semakin kesal karena tak mendapat bantuan sedikitpun dari Yayuk. Wanita itu malah terus saja menyalahkannya.Adi kembali mengarahkan pandangannya ke arah beberapa kerumunan bekerja bangunan yang masih saja berdebat dengan mandor.Kepalanya terasa makin pening karena belum mendapatkan solusi. Bagaimanapun dia harus mendapatkan uang secepat mungkin agar bisa menutup mulut mereka semua.Ada sebuah jalan pintas yang terpikir oleh Adi. Dia bisa mendapatkan pinjaman uang dengan cepat pada rentenir. Tapi konsekuensinya dia harus membayar tepat waktu karena lintah darat selalu saja menghisap darah dengan kuat tanpa ampun."Hanya itu saja solusinya sekarang. Nggak ada yang lain," gumamnya lirih.Adi tahu dengan jelas kalau ini merupakan sebuah solusi sekaligus konsekuensi yang berat karena jika dia melakukan kesalahan maka habis s
Bab 155Tatang menghentikan mobilnya setelah memasuki area rumah sang majikan. Dia melirik sekilas ke arah Handi dan tersenyum tipis."Pak Handi sudah memikirkannya matang-matang, bukan?"Handi yang hendak membuka pintu mobilnya itu tampak berhenti dan menoleh ke arah supirnya. Dia menganggukkan kepalanya dengan cepat tanpa ragu sedikitpun.Tanpa banyak bicara, Handi langsung keluar dari mobilnya. Sedangkan Tatang kini segera memarkirkan mobil majikannya itu ke dalam bagasi. Tak berselang lama, Handi membuka pintu rumahnya dan saat itulah dia disambut oleh sosok gadis kecil bak malaikat yang kini berada tepat di hadapannya."Selamat datang, Om Handi!"Wajah Putri terlihat berbinar senang ketika melihat kepulangan Handi. Gadis kecil itu bahkan tak segan untuk menyambutnya."Hari ini capek nggak, Om?"Handi mengangguk pelan. "Sedikit," jawabnya."Kata Ibu, orang dewasa itu pasti capek karena kerja dan harus dapat uang. Putri kalau sudah dewasa nanti mau cepet-cepet kerja biar bisa bant
Bab 156Handi tersenyum tipis sambil menatap layar monitor yang kini tengah menyala. Dia masih ingat dengan jelas senyum canggung yang ditampakkan oleh Siti.Entah bagaimana perasaan Siti, dia hanya ingin berusaha lebih jauh lagi agar bisa membuat wanitanya itu bisa membuka hati."Dia sangat manis kalau tersenyum," lirihnya.Tak bisa dipungkiri, perasaannya kini semakin jelas dan Handi sadar kalau dia memang sudah jatuh hati pada Siti.Aneh memang jika dipikirkan kembali karena Handi selama ini hampir tak pernah dekat dengan wanita manapun. Tapi nyatanya dia benar-benar bertekuk lutut ketika berhadapan dengan Siti.Handi menghela napas perlahan. Pria itu melirik ke arah gelas yang kini kosong. Ada pikiran aneh yang mulai hinggap di dalam kepalanya dan Handi memutuskan untuk pergi ke dapur.Langkah kakinya terdengar menggema. Dia menuruni tangga dan perjalanan dekat ke arah dispenser.Diliriknya sosok wanita yang kini tengah sibuk memotong ayam. Tanpa sadar dia tersenyum tipis ketika m
Bab 157"Pak, apa yang ingin anda tanyakan?"Handi tersentak kaget. "Ah? Soal itu ... masa iddah mu sudah selesai, bukan?"Siti menganggukkan kepalanya perlahan. "Sudah, Pak. Memangnya kenapa, ya?"Bukannya menjawab pertanyaan dari Siti, pria itu justru tampak tersenyum tipis."Nggak apa-apa, saya hanya penasaran."Jawaban Handi tentu saja masih belum bisa memuaskan rasa penasaran yang muncul di dalam hati Siti.Apalagi majikannya itu tiba-tiba bertanya tentang masa iddah. Rasa-rasanya cukup aneh jika pertanyaan itu muncul hanya karena sebuah rasa penasaran saja."Benar tidak ada yang ingin anda tanyakan lagi, Pak?"Handi mengangguk pelan. Siti menghela napas. "Kalau begitu saya akan lanjut memasak lagi," ujarnya.Namun sebelum dia berhasil berlalu pergi, Handi tiba-tiba menarik tangan Siti. Alhasil, Siti menoleh dengan tatapan terkejut."A-ada apa, Pak?"Tangan Handi yang kekar terasa mencengkram kuat. Siti meringis pelan, rasanya memang tak sakit. Tapi cukup untuk membuatnya kaget.
Bab 159Handi tersenyum tipis ketika pintu ruang kerjanya kembali tertutup rapat. "Sepertinya ada sedikit perubahan," gumamnya lirih.Handi menatap soto yang kini tampak mengepulkan asap. Aromanya bahkan sangat menggiurkan dan membuat perutnya kini keroncongan.Tanpa basa-basi sedikitpun pria itu segera meraih sendok dan mulai mengaduk sotonya. Perlahan-lahan dia mencicipi kuah dan seperti biasanya, Siti memang tak pernah salah soal masakan."Ini enak," pujinya tulus.Soto tanpa perlu tambahan saus dan juga sambal bahkan rasanya sangat nikmat. Handi mulai memakannya. Terkadang pria itu kembali memikirkan tentang caranya untuk mendekati Siti. Masih ada banyak hal yang harus dipelajari karena selama ini memang tak pernah dekat dengan wanita manapun.Handi takut melakukan kesalahan. Dia tak ingin dianggap buruk lagi oleh Siti. Apalagi wanita itu tadi telah mengutarakan isi hatinya yang tak suka ketika diabaikan.Di waktu yang bersamaan, Putri telah masuk ke kamarnya. Sedangkan Siti kin
Bab 159Handi tersenyum tipis ketika pintu ruang kerjanya kembali tertutup rapat. "Sepertinya ada sedikit perubahan," gumamnya lirih.Handi menatap soto yang kini tampak mengepulkan asap. Aromanya bahkan sangat menggiurkan dan membuat perutnya kini keroncongan.Tanpa basa-basi sedikitpun pria itu segera meraih sendok dan mulai mengaduk sotonya. Perlahan-lahan dia mencicipi kuah dan seperti biasanya, Siti memang tak pernah salah soal masakan."Ini enak," pujinya tulus.Soto tanpa perlu tambahan saus dan juga sambal bahkan rasanya sangat nikmat. Handi mulai memakannya. Terkadang pria itu kembali memikirkan tentang caranya untuk mendekati Siti. Masih ada banyak hal yang harus dipelajari karena selama ini memang tak pernah dekat dengan wanita manapun.Handi takut melakukan kesalahan. Dia tak ingin dianggap buruk lagi oleh Siti. Apalagi wanita itu tadi telah mengutarakan isi hatinya yang tak suka ketika diabaikan.Di waktu yang bersamaan, Putri telah masuk ke kamarnya. Sedangkan Siti kin
Bab 160Tepat di malam ini, Siti menyerahkan bab terakhir novelnya kepada editor. Tak berselang lama dia mendapatkan kabar bahwa novelnya itu akan siap cetak dalam satu minggu kedepan.Setelah selesai berbalas pesan dengan editornya, Siti kini berbalik menatap putrinya yang sudah tertidur lelap. "Sebisa mungkin aku nggak akan mengeluh lelah asalkan ini semua demi kebaikanmu, Put."Sebagai seorang ibu tunggal, Siti tentunya tak ingin membuat anaknya tumbuh kekurangan. Sudah cukup dia disia-siakan dan juga dihina oleh orang lain, tapi putrinya tak boleh merasakan hal pahit itu.Siti menghela napas perlahan. Tabungannya gini sudah terkumpul cukup banyak dan itu semua cukup untuk hidup selama beberapa tahun ke depan. Tapi dia tak memiliki keinginan untuk mengundurkan diri sebagai asisten rumah tangga. Siti masih ingat dengan jelas bagaimana dulu hidupnya terluntang-lantung dan hanya Handi yang mau menerimanya sebagai pembantu. Itu semua bahkan didapatkannya dari bantuan Dirga, suami Eva.
Bab 161Adi baru saja tiba di area parkir. Namun para tukang bangunan yang sedari tadi menunggu kini menyerbunya bagai semut."Pak Adi! Bayarkan gaji kami!""Cepat bayar, Pak!""Jangan lari dari tanggung jawab! Kita semua juga butuh makan!" teriak para pekerja sambil menggedor mobil Adi.Rahang Adi tampak mengeras. Padahal dia baru saja tiba. Tapi para pekerja sialan ini sudah menyerbunya. Diliriknya sosok mandor yang berdiri tak jauh. Bahkan mandor juga diam saja seolah tak ada inisiatif sedikitpun untuk membantu mendinginkan suasana."Sialan!" desisnya seraya memukul setir mobil.Tak mungkin jika dia terus berada di dalam mobil. Suasana yang makin ricuh justru akan membawa masalah lain. Dia harus keluar dan melerai para tukang bangunan.Mau tak mau, Adi harus keluar dari mobilnya."Jangan berisik! Tunggu sebentar saya keluar dulu!" bentaknya.Suasana yang ricuh sedikit berkurang. Para pekerja mulai mundur dan mempersilahkan Adi. Begitu pintu mobil terbuka, Adi menatap satu persatu