Dukungan Orang Terdekat------Kuremas ponsel yang ada di genggaman, aku tidak tahu jika Alvaro begitu mengkhawatirkanku. Meskipun aku belum membaca pesan yang dia kirimkan, namun melihat pesannya yang berderet, adalah sebuah bukti. Terlebih setelah mendengar semua penjelasannya tadi, semua itu membuatku kehilangan kata-kata.“Maaf, aku tidak sempat memberitahukan padamu. Aku bahkan tidak meminta ijin cuti ….” Kataku dengan suara lirih.“Yah, aku tahu itu. Dan itu bukan sebuah perilaku yang bagus, terlebih kamu termasuk pegawai baru,” ucap Alvaro dengan suara berat.“Aku minta maaf karena ….”“Tapi kamu jangan khawatir, aku dan pegawai yang lain tahu apa yang saat ini sedang terjadi.” Alvaro memotong cepat ucapanku. “Tapi lain kali kamu tidak boleh nelakukan hal seperti itu lagi,” Sambungnya.Aku menarik napas lega mendengar penuturan Al, setidaknya, dia tidak marah padaku karena tidak masuk kerja tanpa ijin, bagaimanapun juga, dia masih tetap bosku, orang yang memberiku gaji. Untuk
Kisah Kelam****Alvaro tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya melirik sekilas ke arahku sebelum kemudian dia tiba-tiba memutar arah mobil. Di momen itu, aku memutuskan untuk tidak bertanya apapun padanya. Melihat mimik serius wajahnya, aku yakin kalau dia sedang menghadapi suatu masalah serius.Mobil melaju pelan, aku mengeluarkan pandangan ke sekeliling. Tempat yang belum pernah aku kunjungi meskipun sebenarnya berada tidak jauh dari tempat tinggalku. Seperti sebuah monumen yang berada di tengah taman. Al memarkir mobil di bahu jalan."Maukah kamu menemaniku sebentar di sini?" Tanyanya pelan.Aku menatapnya heran, lalu buru-buru mengangguk dan menjawab, "Tentu saja, tempat ini sangat bagus dan udaranya sejuk."Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, memindai satu per satu yang ada di sekitarku. Sebuah taman kecil yang berada di pinggir kota. Sebuah patung berukuran cukup besar berdiri kokoh tepat di tengah, sementara di bawahnya ada kolam kecil dengan air mancur dan berbagai ikan h
Bagai Menggenggam Bara -------“A—apa maksudmu?” tanyaku gugup. Karena aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang dibicarakan atau pun maksud dari ucapan Alvaro.Dendam? Dia tidak terlihat seperti seseorang yang pendedam, terlebih, dia juga yang saat itu memberiku sebuah nasehat untuk menatap ke depan daripada terus terkungkung dalam balutan masa lalu dan sakit hati di saat Risa mencoba untuk masuk kembali ke dalam kehidupanku saat itu.Alvaro menatapku tajam, cukup lama dia memandangku hingga membuatku sedikit kikuk. Hingga kemudian dia berkata dengan suara lirih; "Aku ingin bercerita padamu, cerita yang menjadi bagian dari hidupku. Sebuah kisah yang sudah kusimpan dan berusaha kulupakan selama lebih dari dua puluh tahun."Dia berhenti, menjeda kalimatnya sebentar lalu kembali berkata, "Ketika aku bercerita, cukup dengarkan saja. Jangan banyak bertanya padaku terlebih dulu.""Al ...." Panggilku, membiarkan kalimatku mengambang dan menguap begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya i
Mencari Keberadaan Sang Kakak****Aku tidak sanggup lagi untuk melanjutkan kalimatku saat itu. Pikiran menjadi kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai anak laki-laki yang saat itu berusia 14 tahun, apa yang saat itu menimpa keluargaku adalah hal yang belum bisa ku cerna dan aku nalar sepenuhnya. Namun sebagai seorang anak dan adik, aku tahu kalau kakak dan ibuku dalam bahaya saat itu. Namun aku tidak tahu harus berbuat apa."Kamu tidak apa-apa?" Tanya pak Sulaiman padaku sambil memerhatikanku dengan seksama."Saya ... saya ingin mencari kakak saya, Pak. Tapi tidak tahu ke mana harus mencarinya," ucapku sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.Lelaki itu mengulurkan tangannya pelan, kemudian mengusap bahuku. "Ini sudah malam, sebentar lagi tugas bapak selesai dan akan digantikan dengan penjaga yang lain. Biar bapak antar pulang," ucapnya tulus.Aku memandang wajah pak Sulaiman dengan tetangga nanar. Ada perasaan haru sekaligus senang, setidaknya ada seseorang yang be
Alvaro; Cerita Pak Sulaiman****Aku masih terpaku di depan pintu kamar pak Sulaiman, dengan kaki lemas, aku berusaha untuk meninggalkan tempat itu sebelum beliau tahu kalau aku sedang menguping pembicaraan mereka. Namun nahas, ketika melangkah, kakiku tersandung kaki meja hingga menimbulkan suara gaduh. Dalam hitungan detik, lelaki paruh baya yang membawaku ke rumahnya itu telah berdiri di depanku.Dengan wajah penuh tanya, beliau memandangku. Kemudian sebuah kalimat tanya terlontar pelan, "Apa yang kamu lakukan di situ, Al?"Aku menatap nanar wajah pak Sulaiman, dalam keremangan cahaya lampu yang berasal dari kamar yang pintunya terbuka, bisa kulihat dengan jelas kecemasan di wajahnya."Benarkah yang tadi Bapak bicarakan, kalau kakak saya sebenarnya tidak dijemput oleh sopir bosnya? Lalu ... siapa yang membawa kakak saya, Pak?" Tanyaku dengan suara bergetar.Pak Sulaiman berjongkok di depanku sambil menatap tajam. Napasnya turun naik, seperti sedang menahan gejolak amarah. Kedua ta
Wanita Yang Dipanggil Ibu****"Iya, ibuku," jawab Al cepat.Mata lelaki di sampingku ini tiba-tiba berbinar saat dia menyebut kata ibu. Sebuah kebahagiaan terpancar di sana, hingga membuat mendung yang tadi bergelayut di matanya perlahan pudar.Ah ... tentu saja dia akan merasa bahagia, siapapun akan merasakan kebahagiaan, karena sejatinya, seorang ibu adalah sumber kebahagiaan bagi anak-anaknya."Kok malah melamun," ucapnya lagi, membuatku sedikit kaget dan buru-buru aku melempar senyum padanya untuk menutupi kegugupan."Aku tidak tahu harus berkata apa, Al. Jujur ... saat ini aku sebenarnya sedang bingung," kataku sejurus kemudian."Ah, aku lupa," ucap Alvaro sambil memukul jidatnya. Sepertinya dia menyadari sesuatu, sesuatu yang sedang ada dalam pikiranku."Maaf, sudah membuatmu bingung. Aku tahu saat ini kamu pasti bertanya-tanya tentang ibuku dan juga kisah hidupku tadi, kan?" Ujarnya, menebak dengan tepat apa yang ada di kepalaku saat itu."Iya. Tadi kamu sempat menceritakan te
Keluarga Alvaro **** Sepanjang jalan, kami memilih untuk diam, berkutat dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik kea rah Alvaro yang fokus menyetir, wajahnya terlihat datar dengan ekpresi wajah yang tidak bisa kubaca. Iya, aku tidak tahu apakah dia saat itu sedang fokus menyetir atau sedang memikirkan sesuatu, entahlah.Hingga akhirnya mobil berbelok, memasuki sebuah perkampungan kemudian berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana. Dari dalam mobil, saya melihat dan memperhatikan rumah tersebut. Rumah yang berada di depanku, membuatku teringat dengan cerita Alvaro saat itu, gambaran rumah yang dia ceritakan saat itu sama bertahan.Apaakah ini rumah ….“Kita sudah sampai,” ucap Alvaro membuyarkan lamunan. “Aku—iya,” kataku gugup. Dengan cepat, Alvaro keluar dan daalam hitungan detik, dia sudah membuka pintu mobil untukku.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mengingat apakah benar ini adalah rumah yang pernah disebut dalam cerita waktu itu. Ketika aku meng
Kedatangan Bang Mirza****Aku yang masih disibukkan dengan pikiranku sendiri tentang ucapan Alvaro tadi, sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang. Aku baru menyadari ketika Alvaro menyentuh lenganku pelan, sentuhan yang serta-merta membuatku tersadar dari lamunan.“Marina, ini Pak Sulaiman, orang yang berjasa membuatku menjadi seperti yang kamu lihat saat ini,” ucap Alvaro pelaan sambil menatap ke arah pria paruh baya, namun masih terlihat gagah.“Jadi ini, Marina?” ucap pak Sulaiman sambil tersenyum memandangku, seolah dia sudah mengenalku sebelumnya. Tapi ini adalah pertemuan pertamaku dengannya, atau jangan-jangan Alvaro yang bercerita tentangku padanya?“Alvaro sering bercerita tentangmu setiap kali dia menelepon,” lanjutnya.Ah … ternyata benar, pak Sulaiman tahu dari Alvaro, tapi untuk apa dia bercerita tentang diriku pada pak Sulaiman. Tanpa sadar, aku menatap tajam Alvaro, meminta penjelasan tentang semuanya. “Oh, iya, aku sering bercerita pada pak Sulaiman tentang di