Alvaro; Cerita Pak Sulaiman****Aku masih terpaku di depan pintu kamar pak Sulaiman, dengan kaki lemas, aku berusaha untuk meninggalkan tempat itu sebelum beliau tahu kalau aku sedang menguping pembicaraan mereka. Namun nahas, ketika melangkah, kakiku tersandung kaki meja hingga menimbulkan suara gaduh. Dalam hitungan detik, lelaki paruh baya yang membawaku ke rumahnya itu telah berdiri di depanku.Dengan wajah penuh tanya, beliau memandangku. Kemudian sebuah kalimat tanya terlontar pelan, "Apa yang kamu lakukan di situ, Al?"Aku menatap nanar wajah pak Sulaiman, dalam keremangan cahaya lampu yang berasal dari kamar yang pintunya terbuka, bisa kulihat dengan jelas kecemasan di wajahnya."Benarkah yang tadi Bapak bicarakan, kalau kakak saya sebenarnya tidak dijemput oleh sopir bosnya? Lalu ... siapa yang membawa kakak saya, Pak?" Tanyaku dengan suara bergetar.Pak Sulaiman berjongkok di depanku sambil menatap tajam. Napasnya turun naik, seperti sedang menahan gejolak amarah. Kedua ta
Wanita Yang Dipanggil Ibu****"Iya, ibuku," jawab Al cepat.Mata lelaki di sampingku ini tiba-tiba berbinar saat dia menyebut kata ibu. Sebuah kebahagiaan terpancar di sana, hingga membuat mendung yang tadi bergelayut di matanya perlahan pudar.Ah ... tentu saja dia akan merasa bahagia, siapapun akan merasakan kebahagiaan, karena sejatinya, seorang ibu adalah sumber kebahagiaan bagi anak-anaknya."Kok malah melamun," ucapnya lagi, membuatku sedikit kaget dan buru-buru aku melempar senyum padanya untuk menutupi kegugupan."Aku tidak tahu harus berkata apa, Al. Jujur ... saat ini aku sebenarnya sedang bingung," kataku sejurus kemudian."Ah, aku lupa," ucap Alvaro sambil memukul jidatnya. Sepertinya dia menyadari sesuatu, sesuatu yang sedang ada dalam pikiranku."Maaf, sudah membuatmu bingung. Aku tahu saat ini kamu pasti bertanya-tanya tentang ibuku dan juga kisah hidupku tadi, kan?" Ujarnya, menebak dengan tepat apa yang ada di kepalaku saat itu."Iya. Tadi kamu sempat menceritakan te
Keluarga Alvaro **** Sepanjang jalan, kami memilih untuk diam, berkutat dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik kea rah Alvaro yang fokus menyetir, wajahnya terlihat datar dengan ekpresi wajah yang tidak bisa kubaca. Iya, aku tidak tahu apakah dia saat itu sedang fokus menyetir atau sedang memikirkan sesuatu, entahlah.Hingga akhirnya mobil berbelok, memasuki sebuah perkampungan kemudian berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana. Dari dalam mobil, saya melihat dan memperhatikan rumah tersebut. Rumah yang berada di depanku, membuatku teringat dengan cerita Alvaro saat itu, gambaran rumah yang dia ceritakan saat itu sama bertahan.Apaakah ini rumah ….“Kita sudah sampai,” ucap Alvaro membuyarkan lamunan. “Aku—iya,” kataku gugup. Dengan cepat, Alvaro keluar dan daalam hitungan detik, dia sudah membuka pintu mobil untukku.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mengingat apakah benar ini adalah rumah yang pernah disebut dalam cerita waktu itu. Ketika aku meng
Kedatangan Bang Mirza****Aku yang masih disibukkan dengan pikiranku sendiri tentang ucapan Alvaro tadi, sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang. Aku baru menyadari ketika Alvaro menyentuh lenganku pelan, sentuhan yang serta-merta membuatku tersadar dari lamunan.“Marina, ini Pak Sulaiman, orang yang berjasa membuatku menjadi seperti yang kamu lihat saat ini,” ucap Alvaro pelaan sambil menatap ke arah pria paruh baya, namun masih terlihat gagah.“Jadi ini, Marina?” ucap pak Sulaiman sambil tersenyum memandangku, seolah dia sudah mengenalku sebelumnya. Tapi ini adalah pertemuan pertamaku dengannya, atau jangan-jangan Alvaro yang bercerita tentangku padanya?“Alvaro sering bercerita tentangmu setiap kali dia menelepon,” lanjutnya.Ah … ternyata benar, pak Sulaiman tahu dari Alvaro, tapi untuk apa dia bercerita tentang diriku pada pak Sulaiman. Tanpa sadar, aku menatap tajam Alvaro, meminta penjelasan tentang semuanya. “Oh, iya, aku sering bercerita pada pak Sulaiman tentang di
Karena Warisan****Aku meremas jari-jemariku, menunggu jawaban dari bang Mirza, sementara itu Rahma yang berdiri di belakangku tampak tegang. Dia sesekali memberi bahasa isyarat agar aku bersikap lebih tenang. Namun entah kenapa, saat itu aku benar-benar tidak bisa bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Mengingat apa yang pernah aku lalui saat itu, tidak sekalipun bang Mirza muncul bahkan di detik-detik terakhir kehidupan bang Asrul, adiknya sendiri. Aku tidak tahu, apakah ini sebuah perasaan dendam, namun yang pasti, setiap kali aku mengingat saat itu, hatiku terasa begitu sakit, seperti teriris sembilu.“Jadi, kamu mengungkit semua yang pernah kamu lakukan untuk Asrul, suamimu?” ucap bang Mirza dengan suara sedikit tertahan.Tunggu dulu … apa yang baru saja dikatakan bang Mirza tadi? Suami? Bang Asrul sakit hingga meninggal dunia, status kami saat itu sudah berpisah. Aku hanya mantan istri saat itu. Apakah bang Mirza lupa atau Cuma pura-pura lupa?“Sepertinya bang Mirza melu
Kisah Yang Tak Terungkap***Aku menunggu dengan sedikit gugup apa yang akan disampaikan oleh Rahma selanjutnya, namun dalam hati aku juga berharap kalau dia tidak akan mengungkit tentang asuransi yang pernah dibeli bang Asrul saat itu. Karena aku tidak ingin umi menjadi semakin terbebani dan merasa bersalah. Terlebih lagi setelah mengetahui tentang fakta yang sebenarnya, kenaapa saat itu umi tidak pernah mengunjungi bang Asrul, bahkan di hari-hari terakhir dalam hidupnya.“Marina, sebaiknya kita sudah berada di sini. Kedatangan umi ke sini bukan untuk membuat kesamaan dengan kalian. Bagi umi saat ini yang paling penting adalah merawat dan membesarkan Mayla dengan baik. Aku yakin, Asrul pun menginginkan hal itu,” ucap umi memecah keheningan. Rahma menoleh ke arahku, seolah meminta pendapatku. Perlahan, aku mengangguk, memberi isyarat kalau aku sependapat denhgan apa yang baru saja dikatakan oleh umi. Melihat itu, wajah Rahma terlihat sedikit kecewa, namun dia memilih mengikuti permin
Keputusan Yang Sulit****Umi terdiam beberapa saat, begitupun denganku yang lebih memilih untuk menunggu apa yang akan dikatakannya nanti. Aku yakin, umi masih bimbang tentang uang asuransi itu, namun mengingat dulu dia sudah mengingatnya padaku dan berkata kalau tidak bisa menerimanya. Terlebih umi juga sudah menggetahui saat itu, kalau semua biaya pengobatan dan perawatan bang Asrul aku yang menanggungnya. Masih ingat saat itu ketika umi berkata padaku; “Marina, umi bukan orang serakah. Apa yang akan dikatakan Asrul nanti jika dia tahu kalau aku, ibunya mengambil hak dari mantan istrinya, sementara yang merawatnya sampai akhir hayatnya adalah kamu, mantan istrinya. Jadi, umi menolaknya. Simpanlah, umi yakin suatu hari nanti kamu akan mendesak.”Aku menghela nafas dalam beberapa kali ketika mengingat apa yang dikatakan umi saat itu, bahkan ucapannya masih terngiang di telinga seolah baru kemarin dia berbicara denganku. Dan kini, saat ini, dia sudah duduk tepat di sebelahku membahas
Cerita Grace-----Grace meletakkan kedua tangannya di atas meja sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku, ingin memastikan kalau dia tidaak salah dengar, lalu berbisik, “Kamu serius, Marina?”“Hmm… aku serius dan benar-benar sudah pernah bertemu dengannya. Bahkan bergabung untuk makan malam bersama dalam satu meja,” jawabku. Kemudian aku menceritakan pada Grace awal mula aku bertemu dengan Amanda, di mana saat itu Alvaro mengajakku makan malam yang kebetulan bertemu dengan Amanda yang juga sedang menikmati makan malam bersama suami juga Kimi, anaknya. Grace menutup mulutnya dengan telapak tangan dengan mata yang memelotot seolah tidak mempercayai ucapanku.“Marina, kamu serius?” kembali Grace bertanya.“Bua tapa aku berbohong tentang hal seperti itu, Grace, tidak ada kebahagiaan buatku,” ujarku kesal.“Jadi, apa yang membuatmu meragukan ceritaku? Apakah ada rahasia yang sedang kamu sembunyikan dariku seperti waktu itu?” cecarku lagi, kali ini kupastikan Grace tidak lagi berkelit atau
Aku Ingin Berjalan Beriringan Denganmu----“Marina, dengan disaksikan ibuku, aku memintamu untuk menjadi istriku. Menikahlah denganku ….” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Alvaro mengeluarkan cincin dari kotak kecil yang dipegangnya. Perlahan, dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku.Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Aku seolah dibawa kembali ke masalalu, di mana seorang pria melakukan persis seperti yang dilakukan Alvaro saat ini. Lelaki itu meraih tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku. Aku tersenyum lebar begitu cincin itu sudah tersemat di jari manisku. Lalu, perlahan sosok pria itu mendekat dan mencium lembut punggung tanganku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa ketika bibirnya meyentuh tanganku, karena sosok pria itu perlahan menghilang dari pandangan mata.“Marina,” panggil Alvaro. Panggilan itu sontak membuatku tersentak dan serta-merta menarik tanganku dari genggaman tangannya.“Al, aku tidak bisa, maafkan aku,” kataku lirih.Kulihat wajah Alva
Wanita Dalam Hidupnya----“Siapa?” Tanyaku penuh penasaran.Meski sempat terbersit tentang gambaran seseorang yang pernah dia ceritakan waktu itu, namun aku ragu apakah orang yang dimaksud adalah beliau.“Kamu akan mengetahuinya dalam waktu dekat,” jawabnya sambil tersenyum.Aku masih memandangnya penuh tanya, mencoba memintanya untuk memberitahuku siapa orang yang dia maksud dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun bukannya memberi jawaban yang kuinginkan, dia memilih mengambil bunga yang kuletakkan di atas pangkuan lalu memindahkannya ke atas meja, lalu dengan pelan tangan kekarnya mendorong kursi rodaku menuju jendela.“Aku sudah menceritakan semua tentangmu padanya,” ucapnya sambil memandang ke luar jendela. Aku menoleh, kulihat kedua sudut bibirnya melengkung dan senyum itu jelas terlihat olehku ketika dia menoleh ke arahku.“Jangan takut, aku yakin kamu akan menyukainya,” ucapnya lagi.Lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, dan entah sejak kapan, aku begitu menikmati
Happy Ending----“Syukurlah, kamu sudah sadar Marina,” ucap seseorang di sampingku.Aku berusaha menoleh untuk memastikan siapa orang yang ada di sampingku, namun ketika aku menggerakkan kepala untuk menoleh, terasa sakit dan ngilu hingga membuatku mengaduh dan merintih kesakitan.“Aduh ….” Ucapku sambil memegang leherku yang terasa sakit. Dan di saat itu pula aku melihat jarum infus yang menancap di lenganku, juga sebuah perban di leher ketika aku merabanya.Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat kejadian terakhir yang kualami sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran.“Kamu tidak apa-apa, Nak? Ibu tahu ini pasti sangat menyakitkan sekali bagimu.”Aku kembali membuka mata perlahan, kulihat ibu yang duduk di sampingku meneteskan air mata. Rupanya, suara-suara yang kudengar adalah suara ibuku, dan suara itu juga yang selalu membuatku kembali ke alam sadar setiap kali aku pingsan dan juga ketika koma. Wanita yang melahirkanku itu selalu berada di sampingku, yang tidak putus mel
Amanda Menggila----“A---apa yang akan kamu lakukan, Amanda?” tanyaku gugup saat kulihat Amanda berjalan mendekati, di tangannya menggenggam sesuatu yang berkilau.Amanda tidak menghiraukan ucapanku, dia makin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depanku. Perlahan, dia membungkukkan tubuhnya ke arahku, bukan itu saja, dia lalu berjongkok tepat di depanku sambil menatapku tajam.Amanda menyeringai, memperlihatkan giginya yang rapi, andai saat ini dia tidak membawa benda itu, mungkin senyum itu terlihat sangat cantik, namun kini, senyumnya terlihat sangat menakutkan. Aku seperti sedang berada dalam suatu adegan menegangkan di mana sang tokoh antagonis sedang berusaha melukai tokoh protagonis. Meskipun sebenarnya, apa yang saat ini terjadi bukan lagi sebuah adegan dalam film atau nonel, namun terjadi langsung padaku.“Kamu tahu, Marina, aku itu sangat sangat membencimu. Jangankan melihatmu, mendengar namamu disebut saja, membuatku sangat muak dan benci,” ucapnya.“Aku tidak tahu apa
Suami Irna Tertangkap----“Aku baru saja mendapat kabar dari Alvaro, kalau saat ini suamimu sudah tertangkap. Dia dan seorang pria ditangkap di salah satu rumah kos yang tidak jauh dari tempat tinggal Amanda.”Irna terdiam, dia terlihat seperti kehilangan kata-kata. Karena kulihat dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu namun urung. Mungkinkah kabar tertangkapnya suaminya itu membuatnya sedih? Bisa jadi begitu, bagaimanapun juga, mereka adalah suami istri yang sudah menghabiskan waktu belasan tahun hidup bersama. Meskipun Irna saat ini begitu murka terhadap suaminya atas semua yang telah dilakukan, namun tetap saja tidak merubah kenyataan kalau keduanya pernah saling menyintai.“Irna, kamu baik-baik saja?” tanyaku setelah beberapa saat.“i---iya, aku baik-baik saja,” jawabnya gugup sambil merubah posisi duduknya.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pemuda yang tadi datang bersamanya pelan. Dia terlihat khawatir melihat perubahan Irna.“Aku tidak apa-apa,” jawab Irna pelan.
Bertemu Irna-----Percakapanku dengan Alvaro berlalu begitu saja, tanpa adanya kejelasan tentang apa maksud dari ucapannya saat itu. Meskipun sudah satu minggu berlalu, namun aku masih mengingat dengan jelas kata demi kata yang dia ucapkan saat itu.Dia mengatakan kalau dirinya akan menjadi pengganti kakiku seandainya aku benar-benar kehilangan kemampuan untuk berjalan, dia juga mengatakan akan menggendongku ke manapun aku ingin pergi. Sungguh sebuah kalimat yang romantic dan puitis dan akan membuat hati setiap wanita meleleha saat mendengarnya. Dan seandainya aku mendengar kalimat itu sepuluh atau lima belas tahun lalu, hatiku pun akan meleleh dan luluh. Namun sayang, dia mengucapakan kalimat itu di saat yang tidak tepat, di saat aku tidak ingin mendengar apapun selain kabar baik tentang kesehatanku, juga kasus tabrak lari yang kualami. Aku ingin sekali melihat mereka, para pelaku dan juga dalang di balik semuanya, tertangkap dan meringkuk di balik jeruji besi.Drtt … drtt ….Lamuna
Akan Menjadi Pengganti Kakimu.----“Irna … telah kehilangan bayinya,” sahut Al lirih.Aku kembali menghela napas dalam, meskipun aku belum pernah merasakan hamil sebelumnya, namun mendengar berita kalau Irna telah kehilangan bayinya, membuatku merasa sedih, seperti ada sesuatu yang ditarik paksa dari dalam hatiku. Karena aku tahu kalau Irna benar-benar menginginkan bayi itu, seorang anak yang telah lama dia dambakan, namun dia harus kehilangan bayi itu sebelum dia sempat melihat wajahnya, sungguh menyedihkan.“Bagaimana Irna bisa kehilangan bayinya? Apakah dia keguguran?” selidikku.“Iya, dia keguguran. Namun sebenarnya dia bisa mempertahankan bayinya andai saja ….”Alvaro menggantung kalimatnya hingga membuatku penasaran. Karena dari yang aku ketahui, Irna pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kandungannya, namun kenyataannya dia justru harus keguguran. Pasti ada sesuatu hal yang menimpa Irna saat itu.“Dia terlambat untuk mendapatkan perawatan dari dokter sehingga bayinya
Mencoba Ikhlas----Hari ini dokter datang membawa kabar baik, aku sduah diperbolrhkan untuk pulang. Ibu dan bapak terlihat sangat bahagia mendengarnya, namun aku tahu, di balik senyum bahagia mereka berdua. Tersembunyi kesedihan yang luar biasa. Aku tahu, mereka berdua selalu berusaha untu tetap tersenyum di depanku, namun aku yakin kalau sebenarnya mereka sangat bersedih, mengetahui fakta kalau aku tidak bisa lagi berjalan. Meskipun dokter berulang kali meyakinkanku dan kedua orang tuaku, kalau aku akan bisa berjalan lagi seperti semula, namun tetap saja kenyataan pahit kalau saat ini aku harus menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakiku, dan itu tidak mudah bagiku untuk menerimanya.Keyakinanku semakin kuat ketika tanpa sengaja aku terbangun di malam hari dan mendapati ibu dan bapak sedang berbicara dengan suara lirih dalam remang cahaya lampu. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk bisa mengetahui apa yang saat itu kedua orang tuaku bicarakan. Mereka berdua sedang membicarak
Cobaan Kedua [Marina]----Kurasakan tubuhku terasa begitu sakit, seolah seluruh tulang di tubuhku remuk. Ingin sekali aku menggerakkan tubuh, namun tidak mampu. Jangankan menggerakkan tubuh, sekedar membuka keedua mata pun aku tidak bisa. Apakah aku sudah mati? Kalau memang aku sudah mati, kenapa aku bisa mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarku? Aku bahkan bisa mendengar suara Alvaro, meskipun itu samar-samar. Aku juga bisa mengenali suara Devan dan Rahma yang sedang berbicara di dekatku.“Marina, bangunlah, Nak. Sudah lama sekali kamu tertidur, tidakkah kamu ingin melihat ibu dan bapak? Bapak ada di sini, sudah beberapa hari ini bapakmu menemani ibu di sini, menunggumu bangun.”Suara itu, aku tahu siapa pemiliknya. Wanita yang suaranya selalu mampu membuatku merasa nyaman dan tenang setiap kali berbicara dengannya. Iya, itu suara ibu.“Bu, Marina juga kangen sama ibu,” ucapku. Namun suaraku tidak pernah keluar dari mulutku.Lalu, kurasakan sentuhan lembut di tanganku, se