Cerita Grace-----Grace meletakkan kedua tangannya di atas meja sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku, ingin memastikan kalau dia tidaak salah dengar, lalu berbisik, “Kamu serius, Marina?”“Hmm… aku serius dan benar-benar sudah pernah bertemu dengannya. Bahkan bergabung untuk makan malam bersama dalam satu meja,” jawabku. Kemudian aku menceritakan pada Grace awal mula aku bertemu dengan Amanda, di mana saat itu Alvaro mengajakku makan malam yang kebetulan bertemu dengan Amanda yang juga sedang menikmati makan malam bersama suami juga Kimi, anaknya. Grace menutup mulutnya dengan telapak tangan dengan mata yang memelotot seolah tidak mempercayai ucapanku.“Marina, kamu serius?” kembali Grace bertanya.“Bua tapa aku berbohong tentang hal seperti itu, Grace, tidak ada kebahagiaan buatku,” ujarku kesal.“Jadi, apa yang membuatmu meragukan ceritaku? Apakah ada rahasia yang sedang kamu sembunyikan dariku seperti waktu itu?” cecarku lagi, kali ini kupastikan Grace tidak lagi berkelit atau
Bertemu Amanda****Amanda masih berdiri di depanku, sepertinya dia menunggu jawabanku, apakah aku akan menerima permintaanya atau langsung menolaknya.“Aku lihat nanti ya, kalau misalnya tidak terlalu sibuk maka bisa kupertimbangkan,” kataku kemudian setelah berpikir sejenak. Mendengar jawabanku, Amanda tersenyum manis, dia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi mengecewakan di wajahnya.“Baiklah, aku akan menghubungimu nanti,” ucapnya kemudian.Aku melihat Amanda yang berjalan hingga dia masuk ke dalam mobil, dia membunyikan klakson sebelum akhirnya pergi. Ada perasaan lega begitu dia meninggalkan tempat ini dan itu membuatku menghela napas dalam beberapa kali.“Tapi, pak Alvaro belum pulang, dia juga tidak bisa dihubungi,” terang Hamdan sebelum saya menanyakannya. Kuremas ponsel yang masih kugenggam. “Di mana dia saat ini, apakah sesuatu telah terjadi padanya?” pikirku.“Terima kasih, Hamdan. Aku akan mencoba menghubunginya lagi,” ucapku. Pemuda itu kemudian berlalu, namun baru beb
Déjà vu**** “Kamu yakin?” tanya Amanda penuh penekanan.Sampai detik itu, aku masih belum mempunyai gambaran tentang apa sebenarnya yang ingin disampaikan Amanda padaku. Namun aku merasa, sesuatu itu bukanlah hal yang baik.“Aku … tidak mengerti apa yang kamu katakana, Amanda,” kataku lirih sambil menggelengkan kepala.Amanda tersenyum manis sambil menatapku tanpa berkedip, entah apa yang membuat wanita cantik yang duduk di depanku ini tersenyum padaku. Namu nada satu hal yang aku tidak suka darinya, cara dia menatapku seperti seekor harimau yang sedang mengintai mangsanya dan tidak ingin kehilangan target buruannya.“Ha ha ha ha ….”Tiba-tiba Amanda tertawa, dan kali ini tawanya yang cukup kencang membuat beberapa pengunjung yang ada di sana menoleh dan memperhatikan kea rah kami. Aku menghela napas pelan, otakku berpikir keras mencari cara untuk segera mengakhiri percakapan
Siapa Yang Berdusta?----Bergegas aku melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu, sebelum aku pergi, sekilas sempat kulihat Alvaro menatapku dari dalam mobil. Namun siapa yang perduli dengan semua itu? Yang kuinginkan saat itu hanyalah, segera meninggalkan mereka.Tanpa terasa, aku sudah berjalan cukup jauh dengan pikiran yang melayang entah kemana. Aku beru menghentikan langkah ketika hampir saja terjatuh ketika kakiku tersandung batu. Ku edarkan pandangan ke sekitar, ah … rupanya aku sudah berjalan sangat jauh. Hingga membuat kakiku terasa kaku dan pegal. Dan akhirnya memutuskan untuk duduk di bangku halte yang tidak jauh dari sana.Aku melepas Sepatu dan ternyata kakiku juga lecet. “Benar-benar hari yang melelahkan,” gumamku pada diri sendiri sambil menempelkan plester pada tumitku yang lecet. Kulirik arloji di tangan, “Belum terlalu sore,” gumamku lagi. Hingga aku memutuskan untuk duduk di sana untuk beberapa waktu sebelum memutuskan untuk pulang. Halte kebetulan sepi, tidak ter
Kejutan di Kampung****Aku menyandarkan punggung di kursi bis yang akan membawaku menuju ke kotaku. Perjalanan yang cukup jauh, hal itu membuatku memutuskan untuk tidur saja. Meskipun saya tidak yakin, saya bisa tidur selama perjalanan. Dan benar saja, meskipun mataku terpejam, namun tetap saja pikiranku mengembara ke mana-mana.Bayangan wajah Alvaro tiba-tiba melintas di pelupuk mata, dengan sorot mata letihnya. Bagaimana dia memandangku ketika aku lewat dari hadapannya dan tidak mengindahkan ucapannya ketika dia akan menjelaskan sesuatu padaku tadi. Aku mungkin bermaksud sedikit kasar dan kekanak-kanakan tadi, namun semua itu kulakukan semata-mata untuk memperjelas status di antara kami. Kalau aku dan dia hanya sekedar rekan kerja, tidak lebih dari itu, dan dia tidak perlu menjelaskan apapun yang terjadi antara dia dan Amanda. “Marina, aku akan menunggumu sampai kamu siap untuk mendengarkan penjelasanku,” ucap Alvaro ketika dia berusaha mencapai langkahku tadi. Timah timah….Suar
Mereka Membohongiku----Aku menatap wajah Mayla lekat, memindai sekali lagi bocah itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, mencari mencoba kesamaan antara dirinya dengan bang Asrul. Hingga kemudian aku tersenyum kecut, merasa bodoh, bodoh sekali. Ternyata selama ini, aku hidup dalam bayang-bayang dusta orang-orang yang pernah menjadi bagian dalam kehidupan, bahkan setelah mereka tiada. “Sepertinya Umi benar, selama ini hidup saya penuh kesalahpahaman. Salah paham tentang kebaikan mereka, salah paham dengan bang Asrul, sbahkan salah paham dengan Umi juga. Selama ini saya selalu berpikir kalau kalian benar-benar ramah menyukai saya saat itu, tulus menerima saya sebagai bagian dari keluarga ini, ternyata saya salah paham. Kalian tidak pernah benar-benar tulus pada saya, pun bang Asrul. Ternyata semua yang diucapkannya hanyalah dusta semata. Tapi ada satu hal yang harus Umi tahu, kalau semua yang saya lakukan selama ini terhadap bang Asrul baik sebelum atau setelah kepergiannya, semuany
Sudah Direncanakan****Lelaki itu masih berdiri di depanku, sesekali dia melihat ke sekeliling dengan gugup, seolah takut ada seseorang yang melihatnya. Melihat hal itu, aku tersenyum tipis. Itu artinya, orang yang sedang berdiri di depanku memanglah orang yang sama dengan yang kulihat saat itu. “Saya tidak kenal dengan orang yang baru saja Anda sebut namanya,” jawabnya lirih.“Anda yakin?” tanyaku dengan menatap manik matanya. Aku ingin melihat, apakah kebohongan atau kejujuran yang terpancar dari sana.“Permisi, Bu, saya harus bekerja,” ucapnya kemudian sambil buru-buru berlalu.Tidak ingin melepaskan kesempatan itu begitu saja, akupun segera berdiri dan mengejar langkahnya.“Saya akan menunggu sampai kamu selesai,” ucapku lirih saat aku berhasil menjajari langkahnya.Dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku, kali ini dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Jika tadi dia terlihat sedikit takut, kali ini aku melihat jelas emosi kemarahan dari sorot matanya. Bukan itu
Kuceritakan Kisahku***Dia, lelaki yang baru saja kuketahui bernama Rian itu menatap tajam ke arahku. Dia terlihat tidak sabar menunggu jawaban dariku. Melihatnya seperti itu, muncul sebuah ide di kepalaku, keinginan untuk sedikit memberinya Pelajaran karena tadi telah membuatku menunggu, juga karena dia telah ikut andil dalam membuat sebuah kebohongan yang akhirnya aku hidup di dalamnya.“Maaf, saya ada urusan dan harus secepatnya pulang,” ucapku kemudian dan bersiap untuk bangkit dari tempat duduk.“Tunggu, Bu Marina … kenapa Anda berubah pikiran? Bukankah tadi sudah sepakat untuk menceritakannya pada saya?” protesnya sambil menarik tanganku.Meliha tapa yang dilakukannya, membuatku terkejut. Aku tidak menyangka dia berani memegang tanganku, dan hal itu membuatku secara spontan menepis tangannya. “Saya berubah pikiran,” ucapku datar. Dan langsung bergegas berjalan meninggakannya. Tanpa kuduga, dia berlari menyusulku.“Bu Marina, tolong beritahu saya, apa yang sebenarnya terjadi pa