Sudah Direncanakan****Lelaki itu masih berdiri di depanku, sesekali dia melihat ke sekeliling dengan gugup, seolah takut ada seseorang yang melihatnya. Melihat hal itu, aku tersenyum tipis. Itu artinya, orang yang sedang berdiri di depanku memanglah orang yang sama dengan yang kulihat saat itu. “Saya tidak kenal dengan orang yang baru saja Anda sebut namanya,” jawabnya lirih.“Anda yakin?” tanyaku dengan menatap manik matanya. Aku ingin melihat, apakah kebohongan atau kejujuran yang terpancar dari sana.“Permisi, Bu, saya harus bekerja,” ucapnya kemudian sambil buru-buru berlalu.Tidak ingin melepaskan kesempatan itu begitu saja, akupun segera berdiri dan mengejar langkahnya.“Saya akan menunggu sampai kamu selesai,” ucapku lirih saat aku berhasil menjajari langkahnya.Dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku, kali ini dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Jika tadi dia terlihat sedikit takut, kali ini aku melihat jelas emosi kemarahan dari sorot matanya. Bukan itu
Kuceritakan Kisahku***Dia, lelaki yang baru saja kuketahui bernama Rian itu menatap tajam ke arahku. Dia terlihat tidak sabar menunggu jawaban dariku. Melihatnya seperti itu, muncul sebuah ide di kepalaku, keinginan untuk sedikit memberinya Pelajaran karena tadi telah membuatku menunggu, juga karena dia telah ikut andil dalam membuat sebuah kebohongan yang akhirnya aku hidup di dalamnya.“Maaf, saya ada urusan dan harus secepatnya pulang,” ucapku kemudian dan bersiap untuk bangkit dari tempat duduk.“Tunggu, Bu Marina … kenapa Anda berubah pikiran? Bukankah tadi sudah sepakat untuk menceritakannya pada saya?” protesnya sambil menarik tanganku.Meliha tapa yang dilakukannya, membuatku terkejut. Aku tidak menyangka dia berani memegang tanganku, dan hal itu membuatku secara spontan menepis tangannya. “Saya berubah pikiran,” ucapku datar. Dan langsung bergegas berjalan meninggakannya. Tanpa kuduga, dia berlari menyusulku.“Bu Marina, tolong beritahu saya, apa yang sebenarnya terjadi pa
Jangan Mudah Percaya****“Sudah pernah bertemu dengan Mayla?” Aku mengulangi pertanyaanku karena Rian tidak segera menjawabnya. Dia terlihat bingung, sepertinya tidak menyangka aku aku menanyakan hal itu padanya.“Belum, saya belum melihatnya lagi sejak Risa membawanya keluar rumah ketika dia bertengkar dengan ibu waktu itu,” jawabnya kemudian.Aku terdiam, mencoba menggambarkan kehidupan Risa setelah dia melahirkan Mayla. Karena sejak bang Asrul memutuskan untuk memilih Risa daripada mempertahankan rumah tangga kami, aku sudah menutup semua akses komunikasi dengan mereka, juga semua hal yang berhubungan dengan kehidupan barunya. Saat itu aku berpikir untuk melupakan semua kenangan pahit dengan mengubur semua hal yang membuat sakit hati. Dari jawaban singkat Rian, aku bisa sedikit mempunyai gambaran bagaimana kehidupan bang Asrul dan Risa setelah itu. Tidak jauh berbeda dengan bang Asrul, sepertinya Risa juga mengalami Nasib yang sama, yaitu diusir oleh keluarga dari rumah. Mungkin
Kejutan Lainnya***“Keluarlah, aku ada di luar rumahmu.”Hampir saja ponsel yang kupegang terjatuh ketika Alvaro mengatakan dia ada di luar rumahku. Memangnya apa yang dikatakannya? Tapi untuk apa dia datang ke tempat ini? Lagi pula, dari mana dia bisa tahu kalau aku tinggal di sini?Kepalaku terasa berputar-putar dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan spekulasi, hingga aku lupa kalau Alvaro masih berada di ujung telepon. Untung saja dia tidak bisa mendengar kata-kata yang ada di pikiranku. “Marina… Marina, kamu masih di sana kan?” tanya Alvaro.“A—apa yang baru saja kamu katakana?” tanyaku gugup.“Keluarlah, aku berada di depan rumahmu.”“Tidak mungkin, lagipula, untuk apa kamu jauh-jauh datang ke tempat ini?” Aku berkata, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.“Kenapa tidak keluar saja untuk membuktikan, apakah aku benar-benar ada di sini atau tidak,” ucapnya memberi tantangan.Aku menarik napas dalam, perlahan kulangkahkan kaki menuju keluar. Namun sebelum s
Gadis Misterius****Perjalanan yang lumayan jauh membuat sedikit bosan, hingga berkali-kali aku harus mengubah posisi duduk. Saya juga memainkan game yang ada di ponsel untuk mengurangi kebosanan dan menghabiskan waktu. Sebenarnya ingin sekali memejamkan mata, berharap bisa terlelap meski hanya sekejap. Namun mata seolah enggan terpejam meski merasa begitu terancam. Aku melirik gadis yang duduk di sebelahku, sambil berharap semoga saja dia bisa diajak ngobrol untuk membunuh kebosanan. Akan terasa aneh jika kami hanya saling berdiam diri satu sama lain, sementara kami duduk bersebelahan dan dalam waktu yang cukup lama.“Mungkin sekedar berbasa-basi menanyakan nama atau tujuan, tidak ada salahnya,” pikirku.Aku menoleh, memperhatikannya sejenak dan bermaksud menyapanya lebih dulu untuk memulai sebuah percakapan, dan baru saja hendak membuka mulut, dia terlihat buru-buru mengeluarkan ponselnya, sepertinya dia sedang membaca pesan yang baru dia terima. Dari ekor mata, aku bisa melihat w
Kejutan [Lagi]****Hari ini, aku sengaja datang ke tempat kerja lebih awal, hal ini kulakukan karena beberapa hari aku tidak masuk, pasti banyak sekali yang harus aku kerjakan. Selain itu, sebelum aku pulang kampung waktu itu, sempat meninggalkan beberapa pekerjaan yang masih belum selesai. Salah satunya adalah laporan keuangan. Hal itu mengingatkanku pada saat pertama kali aku datang ke kota ini, juga hari pertama aku masuk kerja. Dan itulah hari di mana aku bertemu dengan Alvaro untuk pertama kalinya di hari pertamaku kerja. Mengingat itu semua, membuatku tersenyum sendiri. Sungguh cepat sekali waktu berlalu, padahal aku merasa, kejadian itu seperti baru kemarin kualami.“Bu Marina, kok senyum-senyum sendiri?” ucap seseorang.Aku terhenyak dan spontan menoleh ke arah suara. Di ambang pintu, kulihat Hamdan berdiri sambil menatapku penuh tanya. Sepertinya dia baru saja datang dan mungkin terkejut melihatku sudah ada di sini dan sambil tersenyum sendirian, jangan-jangan, Hamdan menga
Aristia****“Iya, Bu, saya akan melamar pekerjaan di sini dan menuggu pak Alvaro untuk interview,” jawabnya.Jawaban Tia membuatku kehilangan kata-kata sekaligus mengurungkan niat untuk membantu Alvaro, melakukan sesi wawancara dengan Tia. Entah mengapa, aku merasa ada yang tidak beres dari semua ini. Namun aku tidak tahu, apa yang sebenarnya terasa aneh. Terlabih, kedatangannya ke sini dengan menaiki mobil mewah itu terlalu mencolok, sementara dia hanya melamar pekerjaan sebagai kasir. Dan mobil yang dipakainya itu, aku sangat yakin adalah mobil milik Amanda.Ingatanku kembali pada saat dia naik bis dan duduk di sebelahku, aku yakin sekali saat itu dia menerima telepon dari seseorang yang dia panggil dengan bu Amanda. Apakah Amanda yang dia sebut adalah Amanda yang sama dengan yang aku kenal?“Bu Marina, apakah pak Alvaro masih lama?” tanya Tia membuyarkan lamunan.“Tidak, sebentar lagi dia akan sampaI. Baru saja dia menelepon kalau sudah dalam perjalanan,” jawabku.“Kalau boleh tah
Keributan di Hari Pertama**** Sejak pertama kali Tia muncul di tempat kerja, ketegangan semakin terasa di antara karyawan, terlebih kehadirannya tepat setelah Rini dipecat karena dituduh melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Untuk hal ini, aku merasa kasihan terhadap Rini, karena dia menjadi korban ketidakadilan di tempat kerja, mungkin aku akan mengunjunginya dalam beberapa hari kedepan. Karena beberapa hari ini aku disibukkan dengan pesanan catering yang cukup banyak dari seorang pelanggan untuk acara ulang tahun anaknya.Hari ini, seharusnya adalah hari pertama Tia masuk kerja, aku akan melihat kinerjanya. Apakah dia benar-benar bisa bekerja atau sekedar iseng ingin berada di tempat ini karena Amanda menginginkan dia berada di sini. Mengingat semua itu, semakin membuatku yakin kalau keberadaan Tia di sini untuk melakukan suatu hal tertentu yang aku sendiri tidak tahu apa.Aku keluar dari ruanganku, biasanya jam menjelang makan siang, kafe akan menjadi lebih