Kejutan [Lagi]****Hari ini, aku sengaja datang ke tempat kerja lebih awal, hal ini kulakukan karena beberapa hari aku tidak masuk, pasti banyak sekali yang harus aku kerjakan. Selain itu, sebelum aku pulang kampung waktu itu, sempat meninggalkan beberapa pekerjaan yang masih belum selesai. Salah satunya adalah laporan keuangan. Hal itu mengingatkanku pada saat pertama kali aku datang ke kota ini, juga hari pertama aku masuk kerja. Dan itulah hari di mana aku bertemu dengan Alvaro untuk pertama kalinya di hari pertamaku kerja. Mengingat itu semua, membuatku tersenyum sendiri. Sungguh cepat sekali waktu berlalu, padahal aku merasa, kejadian itu seperti baru kemarin kualami.“Bu Marina, kok senyum-senyum sendiri?” ucap seseorang.Aku terhenyak dan spontan menoleh ke arah suara. Di ambang pintu, kulihat Hamdan berdiri sambil menatapku penuh tanya. Sepertinya dia baru saja datang dan mungkin terkejut melihatku sudah ada di sini dan sambil tersenyum sendirian, jangan-jangan, Hamdan menga
Aristia****“Iya, Bu, saya akan melamar pekerjaan di sini dan menuggu pak Alvaro untuk interview,” jawabnya.Jawaban Tia membuatku kehilangan kata-kata sekaligus mengurungkan niat untuk membantu Alvaro, melakukan sesi wawancara dengan Tia. Entah mengapa, aku merasa ada yang tidak beres dari semua ini. Namun aku tidak tahu, apa yang sebenarnya terasa aneh. Terlabih, kedatangannya ke sini dengan menaiki mobil mewah itu terlalu mencolok, sementara dia hanya melamar pekerjaan sebagai kasir. Dan mobil yang dipakainya itu, aku sangat yakin adalah mobil milik Amanda.Ingatanku kembali pada saat dia naik bis dan duduk di sebelahku, aku yakin sekali saat itu dia menerima telepon dari seseorang yang dia panggil dengan bu Amanda. Apakah Amanda yang dia sebut adalah Amanda yang sama dengan yang aku kenal?“Bu Marina, apakah pak Alvaro masih lama?” tanya Tia membuyarkan lamunan.“Tidak, sebentar lagi dia akan sampaI. Baru saja dia menelepon kalau sudah dalam perjalanan,” jawabku.“Kalau boleh tah
Keributan di Hari Pertama**** Sejak pertama kali Tia muncul di tempat kerja, ketegangan semakin terasa di antara karyawan, terlebih kehadirannya tepat setelah Rini dipecat karena dituduh melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Untuk hal ini, aku merasa kasihan terhadap Rini, karena dia menjadi korban ketidakadilan di tempat kerja, mungkin aku akan mengunjunginya dalam beberapa hari kedepan. Karena beberapa hari ini aku disibukkan dengan pesanan catering yang cukup banyak dari seorang pelanggan untuk acara ulang tahun anaknya.Hari ini, seharusnya adalah hari pertama Tia masuk kerja, aku akan melihat kinerjanya. Apakah dia benar-benar bisa bekerja atau sekedar iseng ingin berada di tempat ini karena Amanda menginginkan dia berada di sini. Mengingat semua itu, semakin membuatku yakin kalau keberadaan Tia di sini untuk melakukan suatu hal tertentu yang aku sendiri tidak tahu apa.Aku keluar dari ruanganku, biasanya jam menjelang makan siang, kafe akan menjadi lebih
Semua Salahku-----“Aristia, dia menceritakan padaku kalau kamu sengaja menyuruhnya bekerja di dapur di hari pertamanya berkerja,” jawab Alvaro datar.Aku hanya mampu diam terpaku mendengar apa yang baru saja Alvaro katakana padaku, lagi pula, seandainya menjawab pun, kurasa akan percuma. Karena aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau apa yang telah dikatakan Tia padanya tentangku.“Iya, aku memang memintanya untuk membantu di dapur mengingat saat itu sedang tidak ada pelanggan. Hal itu kulakukan agar dia bisa lebih akrab dengan karyawan yang lainnya,” ucapku setelah beberapa saat terdiam.“Tetap saja apa yang kamu lakukan itu salah, Marina,” sahutnya cepat.“Kamu tahu ngga?” tanya Al sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku, lalu menjedaa kalimatnya, “Itu bukan tugasnya, dia melamar pekerjaan di sini sebagai kasir,” lanjutnya dengan penuh penekanan.Aku kembali terdiam dan kehilangan kata-kata, sungguh tidak menyangka kalau Alvaro akan marah seperti itu hanya karena aku memin
Benarkah Sabotase?----“Maaf, dengan berat hati kami mengatakan kalau tidak bisa memberi tenggang waktu lagi.”Aku menghela napas dalam sesaat setelah membaca pesan balasan tersebut. Kemarin, aku sengaja mengirimkan email untuk memberi waktu tenggang agar aku bisa menyusun kembali proposal yang hilang tersebut, namun ternyata mereka tidak memberi waktu tenggang. Hal itu bisa dimaklumi, mungkin mereka ingin menghargai peserta tender lain yang telah bekerja keras mengirimkan proposal tepat waktu. Juga demi profesionalitas dalam bekerja. Aku pun ingin melakukannya, namun kenyataan berkata lain, sesuatu yang tidak kuduga terjadi seperti saat ini.Mengingat semua itu, ada perasaan kesal dan marah yang campur aduk menjadi satu. Bagaimana tidak, kerja kerasku dalam menyelesaikan proposal tersebut, bahkan aku rela bekerja sampai larut malam agar bisa selesai tepat waktu, namun ketika kupikir semuanya sudah hampir selesai dan tinggal menyempurnakannya, ternyata semua kerja kerasku lenyap begi
Bertemu Rini***“Sa—sabotase? Maksudnya?” tanyaku gugup.“Aku hanya menduga saja, asal bicara. Kuharap, lupakan saja apa yang baru saja kukatakan,” jawab Devan, namun aku bisa melihat sesuatu dari sorot matanya ketika dia mencoba menghindari tatapanku tadi.“Sebaiknya aku pamit sekarang, tidak enak jika dilihat tetangga,” ujarnya kemudian.“Iya, kamu benar.” Aku menampali, kemudian berdiri bermaksud untuk mengantarnya sampai ke halaman. Namun Devan menolak, dia bilang tidak perlu melakukan itu.“Aku hanya punya satu nasehat untukmu, Marina. Berhati-hati menyimpan berkas terlebih berkas yang berhubungan dengan pekerjaanmu. Gunakan komputermu sendiri, dan jangan lupa pasang kode pengaman agar tidak muda diakses oleh orang lain selain dirimu,” ucap Devan sebelum dia melangkah menuju motornya.Kupandangi Devan sampai motornya berbelok dan tidak lagi terlihat. Namun kedatangan Devan membuatku berpikir, bisa jadi apa yang dikatakannya tadi benar. Kalau sebenarnya ada seseorang yang mencoba
Dipaksa Mengaku---“Siapa mereka Rini, dan apa yang mereka lakukan padamu?” selidikku.Rini menunduk sambil meremas bajunya, tubuhnya sedikit menegang. Untuk beberapa saat kami masih saling diam, sengaja kubiarkan gadis itu selesai dengan perang batinnya. Meskipun aku sangat yakin kalau sebenarnya dia telah melewati banyak hal yang tidak menyenangkan.Akan tetapi saling berdiam diri dan hanya diam menunggu jawaban, justru membuatku merasa tidak nyaman. Jangan-jangan Rini tidak bersedia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya karena sebuah alasan?“Rini, kalau kamu tidak bersedia menceritakan apa yang terjadi padamu, aku tidak akan memaksa. Bagiku, melihatmu baik-baik saja dan bisa tersenyum seperti tadi saja, sudah membuatku senang dan lega,” ucapku kemudian, memecah keheningan.Rini mengangkat wajahnya dan menoleh, dia menatapku lekat seolah ingin menyelami apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Apakah dia sjuga meragukan ketulusn dan maksdu baikku?“Bu Marina, saya ---“Ti
Wanita Psycho----“Apa yang kamu lakukan di sini Rini?” Amanda kembali bertanya, sementara itu, Rini terlihat gugup, lebih tepatnya, ketakutan.“Saya ….”Rini tidak melanjutkan kalimatnya, dia melirik ke arahku lalu kembali menundukkan kepala sambil meremas ujung bajunya. Melihatnya seperti itu, aku yakin sekali kalau saat itu Rini merasakan sebuah ketakutan yang luar biasa, gestur tubuhnya mengatakan semuanya. Aku harus melakukan sesuatu untuk gadis ini, tidak akan kubiarkan dia mengalami penganiayaan dalam bentuk apapun. Sudah cukup apa yang dilakukan Amanda padanya saat itu.“Oh, ada Marina juga di sini. Dan sepertinya kalian sedang berbagi cerita, bukan beitu?” ucap Amanda, kali ini dia mengalihkan pandangannya padaku.Sekuat tenaga aku menahan gejolak emosi yang ada di dalam dada, biarkan saja dia berbicara sesuka hatinya, dan tidak perlu aku memprovokasinya. Namun jika dia sudah melampaui batas dan keterlaluan, aku tidak akan membiarkannya melenggang dengan bebas.“Iya, kami ke