Wanita Dalam Hidupnya----“Siapa?” Tanyaku penuh penasaran.Meski sempat terbersit tentang gambaran seseorang yang pernah dia ceritakan waktu itu, namun aku ragu apakah orang yang dimaksud adalah beliau.“Kamu akan mengetahuinya dalam waktu dekat,” jawabnya sambil tersenyum.Aku masih memandangnya penuh tanya, mencoba memintanya untuk memberitahuku siapa orang yang dia maksud dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun bukannya memberi jawaban yang kuinginkan, dia memilih mengambil bunga yang kuletakkan di atas pangkuan lalu memindahkannya ke atas meja, lalu dengan pelan tangan kekarnya mendorong kursi rodaku menuju jendela.“Aku sudah menceritakan semua tentangmu padanya,” ucapnya sambil memandang ke luar jendela. Aku menoleh, kulihat kedua sudut bibirnya melengkung dan senyum itu jelas terlihat olehku ketika dia menoleh ke arahku.“Jangan takut, aku yakin kamu akan menyukainya,” ucapnya lagi.Lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, dan entah sejak kapan, aku begitu menikmati
Aku Ingin Berjalan Beriringan Denganmu----“Marina, dengan disaksikan ibuku, aku memintamu untuk menjadi istriku. Menikahlah denganku ….” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Alvaro mengeluarkan cincin dari kotak kecil yang dipegangnya. Perlahan, dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku.Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Aku seolah dibawa kembali ke masalalu, di mana seorang pria melakukan persis seperti yang dilakukan Alvaro saat ini. Lelaki itu meraih tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku. Aku tersenyum lebar begitu cincin itu sudah tersemat di jari manisku. Lalu, perlahan sosok pria itu mendekat dan mencium lembut punggung tanganku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa ketika bibirnya meyentuh tanganku, karena sosok pria itu perlahan menghilang dari pandangan mata.“Marina,” panggil Alvaro. Panggilan itu sontak membuatku tersentak dan serta-merta menarik tanganku dari genggaman tangannya.“Al, aku tidak bisa, maafkan aku,” kataku lirih.Kulihat wajah Alva
1; Foto di Media Sosial---Kutatap nanar foto yang terpampang di layar ponselku. Sebuah foto yang baru saja di posting oleh Bang Asrul, suamiku. Tanpa terasa, airmata meleleh membasahi kedua pipiku. Buru-buru kuhapus kasar dengan punggung tangan, sebelum ada yang melihatnya. Kutata hatiku yang bergemuruh, terasa panas bak api dalam sekam. Begitu panas hingga membuatku sulit bernapas. Kuhela nafas dalam, karena dada mendadak terasa begitu sesak, seolah sesuatu yang besar menghimpitnya."Siapa wanita yang bersama suamiku itu? Ah ... mungkin dia salah satu teman kerjanya." Bisikku dalam hati, mencoba berbaik sangka dengan apa yang kulihat sambil terus berusaha untuk tetap tenang.Dengan cepat kukeluarkan ponsel dari dalam tas dan mengetik sebuah pesan untuk Bang Asrul, suamiku. "Bang, siapa perempuan yang berfoto dengan Abang itu?" tulisku dalam pesan, yang langsung aku kirim ke nomer Bang Asrul. Hatiku kembali sakit, ada rasa nyeri jauh di dalam lubuk terdalam. Entah perasaan apa
2; Curiga ****Untuk beberapa saat, aku hanya bisa berdiri di pelataran parkiran dengan tatapan kosong. Terik matahari membuat pandanganku semakin kabur dan berkunang-kunang.Namun di dalam buram pandangan mata, aku melihat bayangan Bang Asrul dan gadis itu menari-nari di depan pelupuk mata, seolah mereka sedang menertawakan dan mengejek diriku.Entah itu sebuah fatamorgana atau sekedar ilusi dan imajinasi liarku, yang masih belum bisa menghapus foto suami dan gadis tersebut dari memori ingatan. Dan hal tersebut membuat kepalaku seperti berputar hingga terasa begitu berat. "Lebih baik Rahma antar Kak Marina pulang sekarang, biar motor Kakak di ambil sama Mario," kata Rahma lagi.Rahma menuntunku masuk ke dalam mobilnya. Sepertinya aku memang harus di antar Rahma pulang, karena aku merasa seluruh tubuhku begitu lemas. Entah ke mana hilangnya tenagaku tadi. Setelah aku berada di dalam mobil, Rahma yang berada di sampingku lagi-lagi memandangku dengan tatapan aneh. Dia seolah menyem
3; Bersikap Aneh***Rahma sudah meninggalkan rumahku sejak tadi, namun aku masih belum beranjak dari ruang tamu. Hatiku sudah mulai tenang, walau masih rerasa nyeri.Kurebahkan tubuhku di atas sofa, sambil menatap foto pernikahan yang tergantung rapi di dinding. Jam di dinding berdenting tiga kali, berarti sebentar lagi Bang Asrul akan pulang. Bergegas aku menghangatkan beberapa makanan dan membuatkan teh hangat, seperti kebiasaan yang selalu aku lakukan selama ini. Tak berapa lama, suara motor memasuki halaman rumah. Kubuka pintu dengan segera. Dan di depanku, telah berdiri lelaki berbadan tinggi dan tegap dengan wajah datarnya, dingin dan tanpa ekspresi. Kutekan keinginanku untuk menginterogasinya tentang foto yang ada di akun media sosialnya. Setidaknya, sampai Bang Asrul mandi dan berganti pakaian. Kuraih tangannya kemudian mencium punggung tangan Bang Asrul. Masih dengan sikap dingin dan tanpa ekspresi, kuikuti langkah suamiku masuk ke dalam kamar, tanpa kata."Abang ma
4; Investigasi----Dari hari ke hari, sikap Bang Asrul makin aneh dan dingin kepadaku. Jika selama ini Bang Asrul tidak terlalu memperhatikan penampilannya, kini dia selalu tampak rapi dan modis serta wangi. Bahkan betah berlama-lama di depan cermin memadu padankan pakaian yang akan dikenakannya. Aku sering berpikir, mungkin Bang Asrul tengah mengalami puber ke-dua. Walau aku tahu pekerjaan Bang Asrul memang harus dituntut berpenampilan rapi. Namun sebagai seorang chef atau koki, Bang Asrul selalu memakai baju seragam kokinya. Pernah suatu hari ketika dia hendak keluar rumah, kulihat Abang tampak sangat berbeda. Harum parfum menguar dari tubuhnya. "Abang rapi sekali hari ini, mau kemana?" tanyaku penuh selidik. "Aku ada urusan di luar sebentar, kamu di rumah saja. Tidak usah ikut."Bang Asrul menjawab pertanyaanku dengan sinis. Padahal, akupun tidak berminat untuk ikut keluar. ***Kutelusuri satu per satu nama teman-teman kerja Bang Asrul. Hampir semuanya berteman dengan ak
5; Kecewa---Sepanjang perjalanan pulang, air mataku tak berhenti mengalir. Sesekali kuseka airmata yang sedikit membuat pandangan buram, pikiran semakin tidak menentu.Tidak lagi kuhiraukan klakson yang kebetulan kendaraannya aku dahului beberapa di antara mereka bahkan sengaja berteriak padaku.Yang ada dalam pikiranku hanya ingin secepatnya sampai di rumah dan menumpahkan air mata jika masih terisa.Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Aku menangis seperti seperti orang kesurupan, tidak lagi pedulikan apakah suara tangisanku terdengar sampai keluar rumah dan didengar oleh tetanggaku atau tidak, aku tidak perduli lagi.Segala benda yang ada di atas tempat tidur sudah berpindah ke lantai hingga membuat kamar seperti kapal pecah. Karena tanpa sadar, tanganku melempar apa saja yang bisa kujangkau pada saat menangis. Setelah puas menumpahkan segala kekecewaan yang menggumpal di hati melalui air mata, aku mengedarkan pandangan ke seluruh r
Pengakuan Asrul---“Kalimat yang diucapkan dari orang yang kita cintai, tidak selalu membuat hati menjadi bahagia. Adakalanya, kalimat tersebut justru bisa membuat kita hancur” ---Aku masih tergugu sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Sementara Bang Asrul masih belum beranjak dari kursi, di mana dia duduk. Dia membisu, hanya suara isakku yang terdengar memenuhi ruangan.Di saat seperti itu, aku benar-benar merindukan sosok Bang Asrul, suamiku yang pernah kumiliki dahulu. Karena dahulu, aku benar-benar bisa merasakan memiliki seorang suami. Seseorang yang bisa berbagi apa saja denganku, mengulurkan tangannya ketika aku terjatuh, juga menyeka airmataku di kala aku menangis.Namun kini, tak lagi kutemui laki-laki yang sudah menjadi suamiku selama 15 tahun.Bang Asrul membiarkanku menangis, diam terpaku bak patung tanpa melakukan apapun."Sejak kapan Bang Asrul berhubungan dengan wanita itu?" Tanyaku setelah menyeka airmata dengan kasar."Marina ... ini tidak seperti ya