1; Foto di Media Sosial
---Kutatap nanar foto yang terpampang di layar ponselku. Sebuah foto yang baru saja di posting oleh Bang Asrul, suamiku. Tanpa terasa, airmata meleleh membasahi kedua pipiku. Buru-buru kuhapus kasar dengan punggung tangan, sebelum ada yang melihatnya.Kutata hatiku yang bergemuruh, terasa panas bak api dalam sekam. Begitu panas hingga membuatku sulit bernapas. Kuhela nafas dalam, karena dada mendadak terasa begitu sesak, seolah sesuatu yang besar menghimpitnya.
"Siapa wanita yang bersama suamiku itu? Ah ... mungkin dia salah satu teman kerjanya." Bisikku dalam hati, mencoba berbaik sangka dengan apa yang kulihat sambil terus berusaha untuk tetap tenang.
Dengan cepat kukeluarkan ponsel dari dalam tas dan mengetik sebuah pesan untuk Bang Asrul, suamiku.
"Bang, siapa perempuan yang berfoto dengan Abang itu?" tulisku dalam pesan, yang langsung aku kirim ke nomer Bang Asrul.Hatiku kembali sakit, ada rasa nyeri jauh di dalam lubuk terdalam. Entah perasaan apa ini. Perasaan yang begitu menyiksa dan membuatku tidak nyaman. Aku menekan dadaku untuk mengurangi rasa nyeri itu, namun rasa itu seolah semakin terasa sakit.
Berkali-kali kulihat ponselku, berharap ada pesan balasan dari Bang Asrul. Namun setelah hampir 15 menit, tak ada juga pesan balasan yang aku terima.
"Kak Marina, kenapa bengong seperti itu? Masa kita di cuekin? Simpanlah ponselnya dalam tas."
Celoteh Niken ketika melihatku hanya sibuk mengutak-atik ponsel dalam genggaman. Ucapakan Niken sempat membuatku tergagap dan membuyarkan lamunan.
"Maaf ya ... tadi sedang balas pesan dari Bang Asrul," jawabku setenang mungkin, mencoba untuk tidak mengundang kecurigaan teman-temanku yang kebetulan sedang bersama.
"Bang Asrulnya tidak akan hilang, percayalah Kak. Bang Asrul kan laki-laki paling setia dan suami terbaik."
Kembali Niken melontarkan candaannya.
Iya, Bang Asrul memang suami terbaik. Setidaknya, itulah yang aku rasakan selama 15 tahun menjadi istri dan mengarungi bahtera rumah tangga bersama.Drrttt... drrttt...
Terdengar dering ponsel yang kusimpan dalam tas. Dengan cepat kukeluarkan benda pipih itu dari dalam tas. Kudapati sebuah pesan baru masuk dalam aplikasi pesan, yang ternyata dari Bang Asrul."Dia cuma teman kerja." Pesan balasan dari Bang Asrul singkat.
Ingin sekali rasanya aku balas lagi pesan itu, menanyakan lagi apakah wanita itu benar-benar teman kerjanya. Namun kuurungkan niat tersebut, mengingat saat itu aku sedang bersama dengan teman-temanku.
"Teman-teman, aku pulang duluan ya ... ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Mungkin lain kali kita bisa kumpul dan ngobrol bareng," kataku kemudian.
Akhirnya, kuputuskan untuk pergi lebih dulu, meninggal teman-teman yang lain yang masih menikmati kebersamaan kami. Akan sangat mengganggu jika aku tetap berada diantara mereka, sementara hati dan pikiranku berada di tempat lain.
Setelah sedikit cipika-cipiki dengan teman-teman, kutinggalkan mereka menuju tempat parkir, masih dengan perasaan yang campur aduk tidak menentu.
Kehela napas pelan, lalu menghembuskannya pelan. Rasanya berat sekali. "Beban apa ini sebenarnya? Kenapa hatiku terasa ngilu dan dadaku begitu sesak, apa yang terjadi dengan suamiku?" Kembali hatiku bertanya.
Aku berharap, ini hanya sebuah kekhawatiran yang berlebih dari seorang istri saja. Atau, firasatkah ini? ****Kembali kutatap foto Bang Asrul dengan wanita itu.
Dia terlihat masih begitu muda, jika dilihat dari wajahnya, mungkin usianya masih di awal 20 tahunan, masih begitu muda. Lalu aku menatap diriku sendiri dari pantulan kaca spion, gambaran seorang wanita di akhir usia 30 tahun.Aku kembali memperhatikan foto mereka berdua, gadis itu, iya ... gadis itu, dia menatap manja ke arah suamiku. Sementara jari tangannya menggenggam jemari Bang Asrul.Kembali kurasakan dadaku begitu nyeri. Rasa sakit yang yang tidak bisa aku lukiskan dengan sebuah kata atau kalimat.
Buru-buru kumasukkan ponsel ke dalam tas, hingga sebuah tepukan di punggung mengagetkanku.
"Kak Marina ...." Panggil seseorang di belakang sambil menepuk punggunggu.
Panggilan dan tepukan di punggung begitu mengagetkanku. Hingga tanpa sadar, ponsel yang hendak kumasukkan ke dalam tas terjatuh. Buru-buru aku menoleh, dan mendapati adik sepupuku sudah berdiri di belakangku.
"Rahma ...." ucapku ketika kutahu siapa yang baru saja mengagetkanku.
Aku membungkuk hendak mengambil ponselku yang jatuh, namun Rahma telah lebih dahulu mengambilnya.Sebelum dia menyerahkan ponselku, matanya memandang dengan tatapan serius ke layar ponsel.
Ah ... aku lupa kalau belum keluar dari akun media sosialku tadi. Dia pasti melihat foto Bang Asrul dengan gadis itu. Rutukku dalam hati.
"Kak Marina ... di--dia siapa?" Tanya Rahma sambil memperlihatkan foto Bang Asrul dan gadis itu.
Dan seperti dugaanku, Rahma melihat foto Bang Asrul. Bahkan sekarang dia sedang menginterogasiku.
"Oh ... itu hanya teman kerja Abang," jawabku sedikit terbata.
Mendapat jawaban seperti itu, Rahma justru memandangku lekat.
Wajahnya menjadi berubah, ada gurat kekhawatiran di sana."Kakak tidak sedang ada masalah dengan Bang Asrul, kan?" Kembali Rahma melontarkan tanya.
"Kami tidak ada masalah, sungguh," jawabku meyakinkan. Karena aku memang merasa tidak sedang ada masalah dengan suamiku.
"Kak ...." Rahma menghentikan kalimatnya.
"Ada apa Rahma? Jangan membuat Kakak cemas dan khawatir," kataku menimpali.
"Bang Asrul dalam masalah, Kak. Aku melihat aura yang sangat gelap pada gadis yang foto dengannya," ucap Rahma dengan suara lirih.
Mendadak lututku menjadi lemas, keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuhku.
Bahkan kini, bukan saja hatiku yang merasa sakit. Namun seluruh jasadku seperti dirajam sembilu. Begitu perih, meskipun luka itu tidak berdarah.Rasanya, kakiku tak lagi mampu menopang berat tubuhku, aku berlutut sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, kubiarkan diriku menangis di tempat parkir. Kurasakan usapan lembut di punggung, dengan lembut, Rahma berusaha membantuku untuk berdiri.
Selain sahabat dekat, Rahma juga masih sepupu jauh. Dia tahu banyak tentangku dan juga Bang Asrul. Dan di keluarga besar kami, Rahma memang dikenal memiliki indera ke enam atau indigo.
Tidak berlebihan jika aku begitu merasa sakit dan takut mendengar penuturannya tentang Bang Asrul.
Apalagi ditambah foto-foto yang di posting suamiku di akun media sosial miliknya."Rahma, apa yang harus aku lakukan? Katakan padaku," ucapku dengan suara parau.
Rahma terdiam, dia hanya menatapku dengan tatapan iba. Beberapa kali kulihat dia menarik napas dalam. Apakah begitu buruk firasat yang dia lihat dengan penglihatannya itu?
Melihat Rahma masih terdiam, membuatku semakin kalut dan takut. Firasatku sebagai seorang wanita sekaligus istri, mengatakan sesuatu hal yang buruk telah terjadi pada suamiku, Bang Asrul.
"Sebaiknya kita pulang dulu Kak, aku tidak ingin membahasnya di sini," ucap Rahma dengan suara lembut.
"Tapi, bagaimana dengan Bang Asrul?" Tanyaku.
Rahma terdiam, lalu dengan lirih dia berkata, "Akan aku katakan setelah kita sampai di rumah."
****2; Curiga ****Untuk beberapa saat, aku hanya bisa berdiri di pelataran parkiran dengan tatapan kosong. Terik matahari membuat pandanganku semakin kabur dan berkunang-kunang.Namun di dalam buram pandangan mata, aku melihat bayangan Bang Asrul dan gadis itu menari-nari di depan pelupuk mata, seolah mereka sedang menertawakan dan mengejek diriku.Entah itu sebuah fatamorgana atau sekedar ilusi dan imajinasi liarku, yang masih belum bisa menghapus foto suami dan gadis tersebut dari memori ingatan. Dan hal tersebut membuat kepalaku seperti berputar hingga terasa begitu berat. "Lebih baik Rahma antar Kak Marina pulang sekarang, biar motor Kakak di ambil sama Mario," kata Rahma lagi.Rahma menuntunku masuk ke dalam mobilnya. Sepertinya aku memang harus di antar Rahma pulang, karena aku merasa seluruh tubuhku begitu lemas. Entah ke mana hilangnya tenagaku tadi. Setelah aku berada di dalam mobil, Rahma yang berada di sampingku lagi-lagi memandangku dengan tatapan aneh. Dia seolah menyem
3; Bersikap Aneh***Rahma sudah meninggalkan rumahku sejak tadi, namun aku masih belum beranjak dari ruang tamu. Hatiku sudah mulai tenang, walau masih rerasa nyeri.Kurebahkan tubuhku di atas sofa, sambil menatap foto pernikahan yang tergantung rapi di dinding. Jam di dinding berdenting tiga kali, berarti sebentar lagi Bang Asrul akan pulang. Bergegas aku menghangatkan beberapa makanan dan membuatkan teh hangat, seperti kebiasaan yang selalu aku lakukan selama ini. Tak berapa lama, suara motor memasuki halaman rumah. Kubuka pintu dengan segera. Dan di depanku, telah berdiri lelaki berbadan tinggi dan tegap dengan wajah datarnya, dingin dan tanpa ekspresi. Kutekan keinginanku untuk menginterogasinya tentang foto yang ada di akun media sosialnya. Setidaknya, sampai Bang Asrul mandi dan berganti pakaian. Kuraih tangannya kemudian mencium punggung tangan Bang Asrul. Masih dengan sikap dingin dan tanpa ekspresi, kuikuti langkah suamiku masuk ke dalam kamar, tanpa kata."Abang ma
4; Investigasi----Dari hari ke hari, sikap Bang Asrul makin aneh dan dingin kepadaku. Jika selama ini Bang Asrul tidak terlalu memperhatikan penampilannya, kini dia selalu tampak rapi dan modis serta wangi. Bahkan betah berlama-lama di depan cermin memadu padankan pakaian yang akan dikenakannya. Aku sering berpikir, mungkin Bang Asrul tengah mengalami puber ke-dua. Walau aku tahu pekerjaan Bang Asrul memang harus dituntut berpenampilan rapi. Namun sebagai seorang chef atau koki, Bang Asrul selalu memakai baju seragam kokinya. Pernah suatu hari ketika dia hendak keluar rumah, kulihat Abang tampak sangat berbeda. Harum parfum menguar dari tubuhnya. "Abang rapi sekali hari ini, mau kemana?" tanyaku penuh selidik. "Aku ada urusan di luar sebentar, kamu di rumah saja. Tidak usah ikut."Bang Asrul menjawab pertanyaanku dengan sinis. Padahal, akupun tidak berminat untuk ikut keluar. ***Kutelusuri satu per satu nama teman-teman kerja Bang Asrul. Hampir semuanya berteman dengan ak
5; Kecewa---Sepanjang perjalanan pulang, air mataku tak berhenti mengalir. Sesekali kuseka airmata yang sedikit membuat pandangan buram, pikiran semakin tidak menentu.Tidak lagi kuhiraukan klakson yang kebetulan kendaraannya aku dahului beberapa di antara mereka bahkan sengaja berteriak padaku.Yang ada dalam pikiranku hanya ingin secepatnya sampai di rumah dan menumpahkan air mata jika masih terisa.Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Aku menangis seperti seperti orang kesurupan, tidak lagi pedulikan apakah suara tangisanku terdengar sampai keluar rumah dan didengar oleh tetanggaku atau tidak, aku tidak perduli lagi.Segala benda yang ada di atas tempat tidur sudah berpindah ke lantai hingga membuat kamar seperti kapal pecah. Karena tanpa sadar, tanganku melempar apa saja yang bisa kujangkau pada saat menangis. Setelah puas menumpahkan segala kekecewaan yang menggumpal di hati melalui air mata, aku mengedarkan pandangan ke seluruh r
Pengakuan Asrul---“Kalimat yang diucapkan dari orang yang kita cintai, tidak selalu membuat hati menjadi bahagia. Adakalanya, kalimat tersebut justru bisa membuat kita hancur” ---Aku masih tergugu sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Sementara Bang Asrul masih belum beranjak dari kursi, di mana dia duduk. Dia membisu, hanya suara isakku yang terdengar memenuhi ruangan.Di saat seperti itu, aku benar-benar merindukan sosok Bang Asrul, suamiku yang pernah kumiliki dahulu. Karena dahulu, aku benar-benar bisa merasakan memiliki seorang suami. Seseorang yang bisa berbagi apa saja denganku, mengulurkan tangannya ketika aku terjatuh, juga menyeka airmataku di kala aku menangis.Namun kini, tak lagi kutemui laki-laki yang sudah menjadi suamiku selama 15 tahun.Bang Asrul membiarkanku menangis, diam terpaku bak patung tanpa melakukan apapun."Sejak kapan Bang Asrul berhubungan dengan wanita itu?" Tanyaku setelah menyeka airmata dengan kasar."Marina ... ini tidak seperti ya
Jarak di Antara Kami-----Kembali, ruang tamu menjadi hening. Kuusap kasar wajahku, sementara Rahma sibuk mengotak-atik ponselnya, seperti sedang mencari sesuatu di sana."Kak ... Kakak ingat ga, temanku yang satu tempat kerja dengan Bang Asrul?"Dengan bertopang dagu, Rahma bertanya padaku."Hmm, Kakak ingat. Kenapa?" tanyaku penasaran."Kenapa kakak tidak coba bertanya padanya langsung? Walau aku sudah pernah menyampaikan tentang masalah kakak padanya, akan lebih baik jika kakak juga berbicara langsung denganna.""Begitu ya?""Iya, kebetulan hari ini aku ada janji ketemu dengannya. Apa sekalian saja kakak ikut?"Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan Rahma.Rasa penasaran tentang penyebab perubahan sikap Bang Asrul membuatku melupakan rasa sakit hati dan kecewaku padanya."Rahma, maukah kamu berjanji satu hal sama kakak?" tanyaku pada Rahma sebelum kami melangkah keluar."Berjanji apa, Kak?" Tanyanya."Kakak mohon, jangan memberitahukan apa yang sedang menimpa rumah tangga k
Ceraikan Aku, Bang!----Bang Asrul melangkah ke kamar mandi dengan hanya berbalut handuk, dia melewatiku yang duduk di tepi ranjang begitu saja, ekspresinya begitu datar. Bahkan tidak terlihat sisa emosi dari pertengkaran kami sebelumnya.Kucoba untuk menatap wajahnya, namun Bang Asrul membuang muka, seolah enggan untuk melihatku, lebih tepatnya, menghindar dari tatapan mataku."Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dariku, Bang?" Tanyaku dalam hati.Masih terdiam di tepi ranjang, sambil menikmati suara air dari guyuran gayung yang menyiram tubuh Bang Asrul.Aku membayangkan saat awal kami menikah dulu. Di mana, kami selalu menghabiskan waktu bersama setiap kali Bang Asrul pulang kerja.Bercerita apa saja, tentang cita-cita dan rencana untuk selalu bersama, sampai ajal memisahkan. Mengingat semua itu, aku hanya mampu menarik napas dalam, karena tiba-tiba dadaku terasa sesak, seperti ada sesuatu yang besar menghimpitnya.Percikan air dari kamar mandi membawa anganku melayang, saat kami
Tidak Ingin Dimadu---“Suami adalah salah satu surga istri. Jika untuk menuju ke sana, aku harus merasakan kesakitan dan penderitaan tak bertepi, maka ijinkan aku untuk memilih mencari jalan surga yang lain”--"Aku tidak akan pernah menceraikanmu!" Bang Asrul menjawab lantang. Bang Asrul juga mengepalkan tangan dengan wajah menegang. Aku tahu, Bang Asrul sedang marah, tidak ... dia tidak marah. Tapi berusaha mempertahankan egonya.Sementara aku, masih dengan posisi semula, duduk di tepi tempat tidur sambil tetap memandang wajah suamiku.Tak kutemui lagi sorot teduh dari matanya, atau senyum lembut yang selalu terukir tiap kali aku merajuk sambil merayu dengan untaian kata-kata manis.Semua itu tak lagi kutemukan pada sosok laki-laki yang sekarang berdiri tepat di hadapanku, yang kulihat hanya sosok lelaki yang terlihat asing yang dipenuhi ego dan amarah."Dengar ... Marina, sampai kapan pun, Abang tidak akan menceraikanmu. Kamu akan tetap menjadi istri Abang, ratu di rumah ini sampa