Semua Salahku-----“Aristia, dia menceritakan padaku kalau kamu sengaja menyuruhnya bekerja di dapur di hari pertamanya berkerja,” jawab Alvaro datar.Aku hanya mampu diam terpaku mendengar apa yang baru saja Alvaro katakana padaku, lagi pula, seandainya menjawab pun, kurasa akan percuma. Karena aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau apa yang telah dikatakan Tia padanya tentangku.“Iya, aku memang memintanya untuk membantu di dapur mengingat saat itu sedang tidak ada pelanggan. Hal itu kulakukan agar dia bisa lebih akrab dengan karyawan yang lainnya,” ucapku setelah beberapa saat terdiam.“Tetap saja apa yang kamu lakukan itu salah, Marina,” sahutnya cepat.“Kamu tahu ngga?” tanya Al sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku, lalu menjedaa kalimatnya, “Itu bukan tugasnya, dia melamar pekerjaan di sini sebagai kasir,” lanjutnya dengan penuh penekanan.Aku kembali terdiam dan kehilangan kata-kata, sungguh tidak menyangka kalau Alvaro akan marah seperti itu hanya karena aku memin
Benarkah Sabotase?----“Maaf, dengan berat hati kami mengatakan kalau tidak bisa memberi tenggang waktu lagi.”Aku menghela napas dalam sesaat setelah membaca pesan balasan tersebut. Kemarin, aku sengaja mengirimkan email untuk memberi waktu tenggang agar aku bisa menyusun kembali proposal yang hilang tersebut, namun ternyata mereka tidak memberi waktu tenggang. Hal itu bisa dimaklumi, mungkin mereka ingin menghargai peserta tender lain yang telah bekerja keras mengirimkan proposal tepat waktu. Juga demi profesionalitas dalam bekerja. Aku pun ingin melakukannya, namun kenyataan berkata lain, sesuatu yang tidak kuduga terjadi seperti saat ini.Mengingat semua itu, ada perasaan kesal dan marah yang campur aduk menjadi satu. Bagaimana tidak, kerja kerasku dalam menyelesaikan proposal tersebut, bahkan aku rela bekerja sampai larut malam agar bisa selesai tepat waktu, namun ketika kupikir semuanya sudah hampir selesai dan tinggal menyempurnakannya, ternyata semua kerja kerasku lenyap begi
Bertemu Rini***“Sa—sabotase? Maksudnya?” tanyaku gugup.“Aku hanya menduga saja, asal bicara. Kuharap, lupakan saja apa yang baru saja kukatakan,” jawab Devan, namun aku bisa melihat sesuatu dari sorot matanya ketika dia mencoba menghindari tatapanku tadi.“Sebaiknya aku pamit sekarang, tidak enak jika dilihat tetangga,” ujarnya kemudian.“Iya, kamu benar.” Aku menampali, kemudian berdiri bermaksud untuk mengantarnya sampai ke halaman. Namun Devan menolak, dia bilang tidak perlu melakukan itu.“Aku hanya punya satu nasehat untukmu, Marina. Berhati-hati menyimpan berkas terlebih berkas yang berhubungan dengan pekerjaanmu. Gunakan komputermu sendiri, dan jangan lupa pasang kode pengaman agar tidak muda diakses oleh orang lain selain dirimu,” ucap Devan sebelum dia melangkah menuju motornya.Kupandangi Devan sampai motornya berbelok dan tidak lagi terlihat. Namun kedatangan Devan membuatku berpikir, bisa jadi apa yang dikatakannya tadi benar. Kalau sebenarnya ada seseorang yang mencoba
Dipaksa Mengaku---“Siapa mereka Rini, dan apa yang mereka lakukan padamu?” selidikku.Rini menunduk sambil meremas bajunya, tubuhnya sedikit menegang. Untuk beberapa saat kami masih saling diam, sengaja kubiarkan gadis itu selesai dengan perang batinnya. Meskipun aku sangat yakin kalau sebenarnya dia telah melewati banyak hal yang tidak menyenangkan.Akan tetapi saling berdiam diri dan hanya diam menunggu jawaban, justru membuatku merasa tidak nyaman. Jangan-jangan Rini tidak bersedia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya karena sebuah alasan?“Rini, kalau kamu tidak bersedia menceritakan apa yang terjadi padamu, aku tidak akan memaksa. Bagiku, melihatmu baik-baik saja dan bisa tersenyum seperti tadi saja, sudah membuatku senang dan lega,” ucapku kemudian, memecah keheningan.Rini mengangkat wajahnya dan menoleh, dia menatapku lekat seolah ingin menyelami apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Apakah dia sjuga meragukan ketulusn dan maksdu baikku?“Bu Marina, saya ---“Ti
Wanita Psycho----“Apa yang kamu lakukan di sini Rini?” Amanda kembali bertanya, sementara itu, Rini terlihat gugup, lebih tepatnya, ketakutan.“Saya ….”Rini tidak melanjutkan kalimatnya, dia melirik ke arahku lalu kembali menundukkan kepala sambil meremas ujung bajunya. Melihatnya seperti itu, aku yakin sekali kalau saat itu Rini merasakan sebuah ketakutan yang luar biasa, gestur tubuhnya mengatakan semuanya. Aku harus melakukan sesuatu untuk gadis ini, tidak akan kubiarkan dia mengalami penganiayaan dalam bentuk apapun. Sudah cukup apa yang dilakukan Amanda padanya saat itu.“Oh, ada Marina juga di sini. Dan sepertinya kalian sedang berbagi cerita, bukan beitu?” ucap Amanda, kali ini dia mengalihkan pandangannya padaku.Sekuat tenaga aku menahan gejolak emosi yang ada di dalam dada, biarkan saja dia berbicara sesuka hatinya, dan tidak perlu aku memprovokasinya. Namun jika dia sudah melampaui batas dan keterlaluan, aku tidak akan membiarkannya melenggang dengan bebas.“Iya, kami ke
Gagal Mengadu Domba-----Aku melirik Amanda sekilas Amanda yang duduk di sebelah Rini, dia terlihat untuk bersikap tenang. Namun gesture tubuhnya tidak bisa berbohong. Karena beberapa kali aku melihatnya merubah posisi duduknya, sepertinya dia juga mulai tegang. Ini mungkin kesempatanku untuk memprovokasinya, namun aku tidak akan melakukan hal itu. Karena aku tidak ingin memulai perseteruan dengannya, meskipun sebenarnya, perseteruan kami sudah berlangsung saat ini.Amanda juga mengatakan mengetahui sesuatu tentang Grace, sesuatu yang tidak kuketahui. Mungkin dia bermaksud untuk mengadu domba antara aku dengan Grace. Tapi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Mungkin benar aku tidak banyak mengetahui tentang sahabat lamaku itu, dan aku menganggapnya wajar. Karena semua orang pasti memiliki sebuah rahasia yang tidak ingin mereka bagi dengan orang lain. Mungkin Grace juga seperti itu, dan kalaupun benar, aku tidak ingin mengetahuinya dari orang lain, terutama Amanda. Aku akan memi
Seperti Orang Asing----”Devan, bisa kamu jelaskan tentng apa yang kamu katakana tadi?” Kembali Alvaro mengulang pertanyaannya.Devan terlihat bingung, sepertinya dia menyadari kalau baru saja membuat kesalahan dalam ucapannya. Dia mengacak rambutnya kasar, lalu berkata, “Aku datang ke sini untuk membantu Marina. Dia bilang komputernya sedikit bermasalah dan dia meminta bantuanku.”Alvaro mengernyitkan dahinya, kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arahku, kini dengan tatapan serius. Mungkin dia ingin memastikan apakah ucapan Devan benar atau sebaliknya. Kucoba untuk berusaha tetap tenang aku mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaanya.“Iya, aku meminta bantuan Devan untuk membuatkanku website pribadi,” ucapku lirih. Dari sudut mata, aku melihat Devan tersenyum simpul. Maafkan aku, Al, aku tidak bermaksud untuk berbohong padamu. Namun ada sesuatu yang ingin kulakukan untuk mencari tahu, apakah dugaanku selama ini benar atau salah.“Kamu tidak pernah bilang padaku, Marina?” ucap Alv
Misi Rahasia----“Di mana dia sekarang dan apa yang kalian kerjakan?” selidikku.Aku memperhatikan Devan yang masih fokus menyantap makanannya, dia hanya melirikku sekilas tanpa menjawab pertanyaanku. Mungkin dia benar-benar lapar sehingga tidak ingin diganggu ketika sedang menikmati makannanya. Baiklah, aku akan menunggu sampai dia selesai makan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan, sehingga membuat Alvaro tidak mempunyai waktu untuk sekedar membaca pesan yang kukirim untuknya.Sementara Devan sibuk menikmati makanannya, kubiarkan pikiranku mengembara ke mana-mana. Sambil sesekali aku memerhatikan Devan. Aku masih ingat kapan pertama kali aku bertemu dengannya hingga akhirnya kami menjadi seperti sekarang, seperti sahabat lama. Meskipun jarang berkomunikasi, namun seolah tahu kapan waktu menghubungi satu sama lainnya dan mengulurkan bantuannya.Devan, seorang lelaki muda yang harus mengubur cita-citanya untuk menjadi seorang pembalap karena sebuah kecelakaan, meskip
Aku Ingin Berjalan Beriringan Denganmu----“Marina, dengan disaksikan ibuku, aku memintamu untuk menjadi istriku. Menikahlah denganku ….” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Alvaro mengeluarkan cincin dari kotak kecil yang dipegangnya. Perlahan, dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku.Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Aku seolah dibawa kembali ke masalalu, di mana seorang pria melakukan persis seperti yang dilakukan Alvaro saat ini. Lelaki itu meraih tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku. Aku tersenyum lebar begitu cincin itu sudah tersemat di jari manisku. Lalu, perlahan sosok pria itu mendekat dan mencium lembut punggung tanganku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa ketika bibirnya meyentuh tanganku, karena sosok pria itu perlahan menghilang dari pandangan mata.“Marina,” panggil Alvaro. Panggilan itu sontak membuatku tersentak dan serta-merta menarik tanganku dari genggaman tangannya.“Al, aku tidak bisa, maafkan aku,” kataku lirih.Kulihat wajah Alva
Wanita Dalam Hidupnya----“Siapa?” Tanyaku penuh penasaran.Meski sempat terbersit tentang gambaran seseorang yang pernah dia ceritakan waktu itu, namun aku ragu apakah orang yang dimaksud adalah beliau.“Kamu akan mengetahuinya dalam waktu dekat,” jawabnya sambil tersenyum.Aku masih memandangnya penuh tanya, mencoba memintanya untuk memberitahuku siapa orang yang dia maksud dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun bukannya memberi jawaban yang kuinginkan, dia memilih mengambil bunga yang kuletakkan di atas pangkuan lalu memindahkannya ke atas meja, lalu dengan pelan tangan kekarnya mendorong kursi rodaku menuju jendela.“Aku sudah menceritakan semua tentangmu padanya,” ucapnya sambil memandang ke luar jendela. Aku menoleh, kulihat kedua sudut bibirnya melengkung dan senyum itu jelas terlihat olehku ketika dia menoleh ke arahku.“Jangan takut, aku yakin kamu akan menyukainya,” ucapnya lagi.Lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, dan entah sejak kapan, aku begitu menikmati
Happy Ending----“Syukurlah, kamu sudah sadar Marina,” ucap seseorang di sampingku.Aku berusaha menoleh untuk memastikan siapa orang yang ada di sampingku, namun ketika aku menggerakkan kepala untuk menoleh, terasa sakit dan ngilu hingga membuatku mengaduh dan merintih kesakitan.“Aduh ….” Ucapku sambil memegang leherku yang terasa sakit. Dan di saat itu pula aku melihat jarum infus yang menancap di lenganku, juga sebuah perban di leher ketika aku merabanya.Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat kejadian terakhir yang kualami sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran.“Kamu tidak apa-apa, Nak? Ibu tahu ini pasti sangat menyakitkan sekali bagimu.”Aku kembali membuka mata perlahan, kulihat ibu yang duduk di sampingku meneteskan air mata. Rupanya, suara-suara yang kudengar adalah suara ibuku, dan suara itu juga yang selalu membuatku kembali ke alam sadar setiap kali aku pingsan dan juga ketika koma. Wanita yang melahirkanku itu selalu berada di sampingku, yang tidak putus mel
Amanda Menggila----“A---apa yang akan kamu lakukan, Amanda?” tanyaku gugup saat kulihat Amanda berjalan mendekati, di tangannya menggenggam sesuatu yang berkilau.Amanda tidak menghiraukan ucapanku, dia makin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depanku. Perlahan, dia membungkukkan tubuhnya ke arahku, bukan itu saja, dia lalu berjongkok tepat di depanku sambil menatapku tajam.Amanda menyeringai, memperlihatkan giginya yang rapi, andai saat ini dia tidak membawa benda itu, mungkin senyum itu terlihat sangat cantik, namun kini, senyumnya terlihat sangat menakutkan. Aku seperti sedang berada dalam suatu adegan menegangkan di mana sang tokoh antagonis sedang berusaha melukai tokoh protagonis. Meskipun sebenarnya, apa yang saat ini terjadi bukan lagi sebuah adegan dalam film atau nonel, namun terjadi langsung padaku.“Kamu tahu, Marina, aku itu sangat sangat membencimu. Jangankan melihatmu, mendengar namamu disebut saja, membuatku sangat muak dan benci,” ucapnya.“Aku tidak tahu apa
Suami Irna Tertangkap----“Aku baru saja mendapat kabar dari Alvaro, kalau saat ini suamimu sudah tertangkap. Dia dan seorang pria ditangkap di salah satu rumah kos yang tidak jauh dari tempat tinggal Amanda.”Irna terdiam, dia terlihat seperti kehilangan kata-kata. Karena kulihat dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu namun urung. Mungkinkah kabar tertangkapnya suaminya itu membuatnya sedih? Bisa jadi begitu, bagaimanapun juga, mereka adalah suami istri yang sudah menghabiskan waktu belasan tahun hidup bersama. Meskipun Irna saat ini begitu murka terhadap suaminya atas semua yang telah dilakukan, namun tetap saja tidak merubah kenyataan kalau keduanya pernah saling menyintai.“Irna, kamu baik-baik saja?” tanyaku setelah beberapa saat.“i---iya, aku baik-baik saja,” jawabnya gugup sambil merubah posisi duduknya.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pemuda yang tadi datang bersamanya pelan. Dia terlihat khawatir melihat perubahan Irna.“Aku tidak apa-apa,” jawab Irna pelan.
Bertemu Irna-----Percakapanku dengan Alvaro berlalu begitu saja, tanpa adanya kejelasan tentang apa maksud dari ucapannya saat itu. Meskipun sudah satu minggu berlalu, namun aku masih mengingat dengan jelas kata demi kata yang dia ucapkan saat itu.Dia mengatakan kalau dirinya akan menjadi pengganti kakiku seandainya aku benar-benar kehilangan kemampuan untuk berjalan, dia juga mengatakan akan menggendongku ke manapun aku ingin pergi. Sungguh sebuah kalimat yang romantic dan puitis dan akan membuat hati setiap wanita meleleha saat mendengarnya. Dan seandainya aku mendengar kalimat itu sepuluh atau lima belas tahun lalu, hatiku pun akan meleleh dan luluh. Namun sayang, dia mengucapakan kalimat itu di saat yang tidak tepat, di saat aku tidak ingin mendengar apapun selain kabar baik tentang kesehatanku, juga kasus tabrak lari yang kualami. Aku ingin sekali melihat mereka, para pelaku dan juga dalang di balik semuanya, tertangkap dan meringkuk di balik jeruji besi.Drtt … drtt ….Lamuna
Akan Menjadi Pengganti Kakimu.----“Irna … telah kehilangan bayinya,” sahut Al lirih.Aku kembali menghela napas dalam, meskipun aku belum pernah merasakan hamil sebelumnya, namun mendengar berita kalau Irna telah kehilangan bayinya, membuatku merasa sedih, seperti ada sesuatu yang ditarik paksa dari dalam hatiku. Karena aku tahu kalau Irna benar-benar menginginkan bayi itu, seorang anak yang telah lama dia dambakan, namun dia harus kehilangan bayi itu sebelum dia sempat melihat wajahnya, sungguh menyedihkan.“Bagaimana Irna bisa kehilangan bayinya? Apakah dia keguguran?” selidikku.“Iya, dia keguguran. Namun sebenarnya dia bisa mempertahankan bayinya andai saja ….”Alvaro menggantung kalimatnya hingga membuatku penasaran. Karena dari yang aku ketahui, Irna pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kandungannya, namun kenyataannya dia justru harus keguguran. Pasti ada sesuatu hal yang menimpa Irna saat itu.“Dia terlambat untuk mendapatkan perawatan dari dokter sehingga bayinya
Mencoba Ikhlas----Hari ini dokter datang membawa kabar baik, aku sduah diperbolrhkan untuk pulang. Ibu dan bapak terlihat sangat bahagia mendengarnya, namun aku tahu, di balik senyum bahagia mereka berdua. Tersembunyi kesedihan yang luar biasa. Aku tahu, mereka berdua selalu berusaha untu tetap tersenyum di depanku, namun aku yakin kalau sebenarnya mereka sangat bersedih, mengetahui fakta kalau aku tidak bisa lagi berjalan. Meskipun dokter berulang kali meyakinkanku dan kedua orang tuaku, kalau aku akan bisa berjalan lagi seperti semula, namun tetap saja kenyataan pahit kalau saat ini aku harus menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakiku, dan itu tidak mudah bagiku untuk menerimanya.Keyakinanku semakin kuat ketika tanpa sengaja aku terbangun di malam hari dan mendapati ibu dan bapak sedang berbicara dengan suara lirih dalam remang cahaya lampu. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk bisa mengetahui apa yang saat itu kedua orang tuaku bicarakan. Mereka berdua sedang membicarak
Cobaan Kedua [Marina]----Kurasakan tubuhku terasa begitu sakit, seolah seluruh tulang di tubuhku remuk. Ingin sekali aku menggerakkan tubuh, namun tidak mampu. Jangankan menggerakkan tubuh, sekedar membuka keedua mata pun aku tidak bisa. Apakah aku sudah mati? Kalau memang aku sudah mati, kenapa aku bisa mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarku? Aku bahkan bisa mendengar suara Alvaro, meskipun itu samar-samar. Aku juga bisa mengenali suara Devan dan Rahma yang sedang berbicara di dekatku.“Marina, bangunlah, Nak. Sudah lama sekali kamu tertidur, tidakkah kamu ingin melihat ibu dan bapak? Bapak ada di sini, sudah beberapa hari ini bapakmu menemani ibu di sini, menunggumu bangun.”Suara itu, aku tahu siapa pemiliknya. Wanita yang suaranya selalu mampu membuatku merasa nyaman dan tenang setiap kali berbicara dengannya. Iya, itu suara ibu.“Bu, Marina juga kangen sama ibu,” ucapku. Namun suaraku tidak pernah keluar dari mulutku.Lalu, kurasakan sentuhan lembut di tanganku, se