Seperti Orang Asing----”Devan, bisa kamu jelaskan tentng apa yang kamu katakana tadi?” Kembali Alvaro mengulang pertanyaannya.Devan terlihat bingung, sepertinya dia menyadari kalau baru saja membuat kesalahan dalam ucapannya. Dia mengacak rambutnya kasar, lalu berkata, “Aku datang ke sini untuk membantu Marina. Dia bilang komputernya sedikit bermasalah dan dia meminta bantuanku.”Alvaro mengernyitkan dahinya, kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arahku, kini dengan tatapan serius. Mungkin dia ingin memastikan apakah ucapan Devan benar atau sebaliknya. Kucoba untuk berusaha tetap tenang aku mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaanya.“Iya, aku meminta bantuan Devan untuk membuatkanku website pribadi,” ucapku lirih. Dari sudut mata, aku melihat Devan tersenyum simpul. Maafkan aku, Al, aku tidak bermaksud untuk berbohong padamu. Namun ada sesuatu yang ingin kulakukan untuk mencari tahu, apakah dugaanku selama ini benar atau salah.“Kamu tidak pernah bilang padaku, Marina?” ucap Alv
Misi Rahasia----“Di mana dia sekarang dan apa yang kalian kerjakan?” selidikku.Aku memperhatikan Devan yang masih fokus menyantap makanannya, dia hanya melirikku sekilas tanpa menjawab pertanyaanku. Mungkin dia benar-benar lapar sehingga tidak ingin diganggu ketika sedang menikmati makannanya. Baiklah, aku akan menunggu sampai dia selesai makan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan, sehingga membuat Alvaro tidak mempunyai waktu untuk sekedar membaca pesan yang kukirim untuknya.Sementara Devan sibuk menikmati makanannya, kubiarkan pikiranku mengembara ke mana-mana. Sambil sesekali aku memerhatikan Devan. Aku masih ingat kapan pertama kali aku bertemu dengannya hingga akhirnya kami menjadi seperti sekarang, seperti sahabat lama. Meskipun jarang berkomunikasi, namun seolah tahu kapan waktu menghubungi satu sama lainnya dan mengulurkan bantuannya.Devan, seorang lelaki muda yang harus mengubur cita-citanya untuk menjadi seorang pembalap karena sebuah kecelakaan, meskip
Terjebak Dalam Pertengkaran-----Aku berjalan menyusuri trotoar dan memang sengaja memilih untuk berjalan kaki daripada naik taksi online untuk kembali ke tempat kerja. Sepanjang perjalanan, kepalaku dipenuhi dengan berbagai spekulasi serta berbagai pertanyaan; kenapa aku bisa berada dan terjebak di dalam pertikaian antara Alvaro dan Amanda? Apakah saat ini aku juga sedang memetik karmaku karena telah banyak melakukan kesalahan di masa lalu.Tanpa terasa, aku sudah berjalan hampir sepuluh menit, keringat membasahi sekujur tubuh. Tidak jauh lagi aku akan sampai, pikirku. Namun kaki terasa sakit dan aku memutuskan untuk berhenti sejenak, kebetulan tidak jauh dari tempatku berdiri, ada warung kecil.“Pak, air mineral satu,” kataku pada bapak penjual. Lelaki paruh baya dengan kaca mata tebal yang sedang membaca sebuah buku itu mendongak melihatku, dan buru-buru berdiri.“Lima ribu,” jawabnya saat kutunjukkan sebotol air mineral dingin padanya.Aku duduk di sebuah kursi kecil di sebelah
Di Luar Dugaan-----“Kamu benar-benar menjijikkan, kamu sakit!”Seketika tubuh Amanda seolah membeku begitu mendengar ucapan Alvaro barusan. Dia sepertinya tidak menduga Alvaro akan mengatakan hal itu padanya. Bukan hanya Amanda yang terkejut mendengarnya, aku dan beberapa karyawan yang ada di sana pun ikut terkejut, dan kami memilih untuk diam.Amanda merapikan bajunya lalu menatap balik Alvaro, masih dengan tatapan tidak percaya. Melihat hal itu, aku memberi isyarat pada karyawan yang ada di sana untuk segera keluar. Karena apa yang terjadi adalah masalah pribadi antara Alvaro dan Amanda. Mereka akhirnya satu per satu keluar dari ruangan, setelah memastikan mereka semua keluar, aku pun bergegagas menyusul mereka.“Tetap berada di tempatmu!” Bentak Amanda saat kaki ini baru saja melangkah.“Keluarlah Marina, tinggalkan kami berdua,” ucap Alvaro tanpa melihat ke arahku.“Aku bilang jangan keluar dan tetap berada di tempatmu!” Pekik Amanda sekali lagi, hingga membuatku mematung di te
Perseteruan-----“Marina … Marina, kamu tidak apa-apa?” tanya Alvaro sambil memegang kedua pundakku, dia terlihat begitu cemas.Perlahan aku melepaskan tangan Alvaro dari pundakku dan segera menjawab pertanyaannya, “Aku tidak apa-apa, mungkin aku mimisan.”“Amanda, lihat apa yang telah kamu lakukan pada Marina,” ucap Alvaro geram.“Jangan berlebihan, aku hanya memberinya sedikit Pelajaran karena terlalu ikut campur urusan kita,” jawab Amanda tidak kalah.“Aku tidak apa-apa, Al,” ucapku memotong pembicaraan mereka.Meskipun aku masih merasakan panas dinpipiku dan sakit di hidungku, namun aku tidak mau menunjukkan hal itu di depan Amanda. Aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. Namun demikian, aku tidak akan melupakan apa yang baru saja dia lakukan padaku, beraninya dia menamparku seperti itu.“Kamu dengar dia, kan? Marina bilang tidak apa-apa, jangan berlebihan. Cih … ternyata wanita seperti itu yang selama ini kamu sukai, lemah dan manja,” cibir Amanda.Tunggu dulu! Apa yang bar
Babak Baru----“Di mana kamu menyembunyikan Kimi?” Tia mengulang pertanyaannya.Aku menatap Alvaro, dia terlihat terkejut dengan kehadiran Aristia yang secara tiba-tiba menanyakan padanya keberadaan Kimi. Ini sudah sangat keterlaluan, karena gadis itu sudah terlalu jauh melewati batas. Dan bisa dibilang sudah sangat lancang.“Kamu sudah sangat lancang, Tia, karena masuk ke dalam ruang kerjaku tanpa permisi,” ucapku pada gadis itu dengan lantang. Aku tidak bisa membiarkannya bertindak semaunya seperti itu hanya karena aku pernah membiarkannya berbuat lancang sebelumnya.Aristia mengepalkan kedua tangannya dan bersiap untuk menjawab ucapanku, namun aku segera berkata lagi dengan tegas, “Keluar dari ruanganku!”Akan tetapi, Aristia sepertinya tidak menghiraukan ucapanku. Bukannya keluar dari ruang kerjaku, gadis itu justru berjalan mendekatiku dengan sangat percaya diri. Drama apa lagi yang akan kusaksikan dari gadis ini setelah Amanda pergi?“Kenapa aku harus keluar? Bukankah Bu Marina
Surat Ancaman----“Mbak … Mbak Marina ….”Terdengar suara Rahma memanggilku beberapa kali dari ponsel yang tergelatk di atas lantai. Untuk sesaat, aku benar-benar tidak bisa berpikir, yang kurasakan saat itu hanyalah ketakutan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Terlebih Rahma juga mengatakan kalau dia juga mendapat penglihatan buruk tentang diriku.Rahma, Indera ke enamnya memang sangat peka, bahkan beberapa orang menyebutnya sebagai anak indigo ketika dia masih kecil karena sering melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Namun dia sudah menutup penglihatannya tersebut karena terlalu mengganggu kehidupannya dan juga demi kebaikan. Namun aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba dia mendapatkan penglihatan ke enamnya kembali?Setelah aku berhasil menenangkan pikiran dan menghilangkan rasa ketakutan yang tiba-tiba menyerang, aku mengambil ponsel yang tadi sempat terjatuh dan memeriksanya, ternyata Rahma sudah mengakhiri panggilan.Tring … tring ….Ponsel kembali berdering
Teror Pertama----Aku masih berdiri mematung di depan pintu dengan dada yang berdegup kencang, sementara itu keringat dingin mulai membasahi punggung. Kucoba memegang erat ponsel agar tidak terjatuh, aku tidak ingin seseorang di luar sana mengetahui kalau aku saat ini sedang berdiri menahan rasa takut.Untuk beberapa saat, suasana begitu hening, begitu hening sehingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Di saat seperti ini, aku berharap ada seseorang yang lewat di depan sana. Lagipula, ini belum terlalu larut, kenapa anak-anak tetangga yang biasanya nongkrong dan bermain gitar di ujung sana pun juga tidak terdengar.Cukup lama aku berdiri mematung sambil melawan rasa takut, hingga kemudian aku memutuskan untuk kembali mengintip ke luar. Aku menarik napas dalam, lalu aku membuka gorden menarik gorden dengan cepat, sehingga menimbulkan suara gemeretak dari roda-roda kecil yang beradu dengan pipanya. Aku tidak perduli jika orang yang mengetuk pintu tadi masih ada di depan sana