Perseteruan-----“Marina … Marina, kamu tidak apa-apa?” tanya Alvaro sambil memegang kedua pundakku, dia terlihat begitu cemas.Perlahan aku melepaskan tangan Alvaro dari pundakku dan segera menjawab pertanyaannya, “Aku tidak apa-apa, mungkin aku mimisan.”“Amanda, lihat apa yang telah kamu lakukan pada Marina,” ucap Alvaro geram.“Jangan berlebihan, aku hanya memberinya sedikit Pelajaran karena terlalu ikut campur urusan kita,” jawab Amanda tidak kalah.“Aku tidak apa-apa, Al,” ucapku memotong pembicaraan mereka.Meskipun aku masih merasakan panas dinpipiku dan sakit di hidungku, namun aku tidak mau menunjukkan hal itu di depan Amanda. Aku tidak ingin terlihat lemah di depannya. Namun demikian, aku tidak akan melupakan apa yang baru saja dia lakukan padaku, beraninya dia menamparku seperti itu.“Kamu dengar dia, kan? Marina bilang tidak apa-apa, jangan berlebihan. Cih … ternyata wanita seperti itu yang selama ini kamu sukai, lemah dan manja,” cibir Amanda.Tunggu dulu! Apa yang bar
Babak Baru----“Di mana kamu menyembunyikan Kimi?” Tia mengulang pertanyaannya.Aku menatap Alvaro, dia terlihat terkejut dengan kehadiran Aristia yang secara tiba-tiba menanyakan padanya keberadaan Kimi. Ini sudah sangat keterlaluan, karena gadis itu sudah terlalu jauh melewati batas. Dan bisa dibilang sudah sangat lancang.“Kamu sudah sangat lancang, Tia, karena masuk ke dalam ruang kerjaku tanpa permisi,” ucapku pada gadis itu dengan lantang. Aku tidak bisa membiarkannya bertindak semaunya seperti itu hanya karena aku pernah membiarkannya berbuat lancang sebelumnya.Aristia mengepalkan kedua tangannya dan bersiap untuk menjawab ucapanku, namun aku segera berkata lagi dengan tegas, “Keluar dari ruanganku!”Akan tetapi, Aristia sepertinya tidak menghiraukan ucapanku. Bukannya keluar dari ruang kerjaku, gadis itu justru berjalan mendekatiku dengan sangat percaya diri. Drama apa lagi yang akan kusaksikan dari gadis ini setelah Amanda pergi?“Kenapa aku harus keluar? Bukankah Bu Marina
Surat Ancaman----“Mbak … Mbak Marina ….”Terdengar suara Rahma memanggilku beberapa kali dari ponsel yang tergelatk di atas lantai. Untuk sesaat, aku benar-benar tidak bisa berpikir, yang kurasakan saat itu hanyalah ketakutan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Terlebih Rahma juga mengatakan kalau dia juga mendapat penglihatan buruk tentang diriku.Rahma, Indera ke enamnya memang sangat peka, bahkan beberapa orang menyebutnya sebagai anak indigo ketika dia masih kecil karena sering melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Namun dia sudah menutup penglihatannya tersebut karena terlalu mengganggu kehidupannya dan juga demi kebaikan. Namun aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba dia mendapatkan penglihatan ke enamnya kembali?Setelah aku berhasil menenangkan pikiran dan menghilangkan rasa ketakutan yang tiba-tiba menyerang, aku mengambil ponsel yang tadi sempat terjatuh dan memeriksanya, ternyata Rahma sudah mengakhiri panggilan.Tring … tring ….Ponsel kembali berdering
Teror Pertama----Aku masih berdiri mematung di depan pintu dengan dada yang berdegup kencang, sementara itu keringat dingin mulai membasahi punggung. Kucoba memegang erat ponsel agar tidak terjatuh, aku tidak ingin seseorang di luar sana mengetahui kalau aku saat ini sedang berdiri menahan rasa takut.Untuk beberapa saat, suasana begitu hening, begitu hening sehingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Di saat seperti ini, aku berharap ada seseorang yang lewat di depan sana. Lagipula, ini belum terlalu larut, kenapa anak-anak tetangga yang biasanya nongkrong dan bermain gitar di ujung sana pun juga tidak terdengar.Cukup lama aku berdiri mematung sambil melawan rasa takut, hingga kemudian aku memutuskan untuk kembali mengintip ke luar. Aku menarik napas dalam, lalu aku membuka gorden menarik gorden dengan cepat, sehingga menimbulkan suara gemeretak dari roda-roda kecil yang beradu dengan pipanya. Aku tidak perduli jika orang yang mengetuk pintu tadi masih ada di depan sana
Bertahan Dalam Teror----Devan memberiku ide untuk pindah dari rumah untuk sementara waktu, aku tahu dia bermaksud baik agar aku terhindar dari teror yang mungkin akan berlanjut untuk beberapa waktu ke depan. Namun untuk pindah dan tinggal di rumahnya bukanlah sebuah ide yang baik, dan aku tidak akan menerimanya.“Tidak Dev, aku akan tetap tinggal di sini. Semoga saja kiriman bangkai ayam tersebut tidak akan terulang kembali,” jawabku kemudian, tentu saja setelah melalui beberapa pertimbangan.“Tapi Marina ….”“Percayalah padaku, aku tidak apa-apa. Toh itu hanya bangkai ayam saja,” aku memotong cepat kalimatnya.“Baiklah kalau begitu, aku akan ke sana,” ucapnya kemudian.“Ke mana, rumahku? Tidak perlu, aku sudah membersihkan semuanya. Lagipula saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat kerja,” ucapku menjelaskan, yang memang kebetulan aku sedang dalam perjalanan ke tempat kerja meskipun sedikit terlambat.“Kamu yakin?” tanya Devan lagi, masih dengan suara khawatir.“Hmm …
Tabrak Lari----Aku melangkahkan kaki menyusuri gang menuju ke rumah, meskipun kaki terasa berat ketika melangkah. Ada perasaan yang tidak biasa yang membuatku sedikit enggan untuk pulang ke rumah. Dan aku berpikir, itu semua karena imbas atas kejadian demi kejadian yang terjadi akhir-akhir ini, terutama teror bangkai ayam yang diletakkan di depan pintu. Mungki itulah yang membuatku sedikit berat ketika kaki ini perlahan semakin mendekati rumah.Perasaan was-was dan taku beberapa kali hinggap, namun buru-buru kutepis. “Aku tidak boleh kalah dalam menghadapi para pengecut itu,” pikirku menguatkan diri sendiri. Toh aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di rumah ini, itu artinya aku juga harus siap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi.Tring tring …Dering ponsel terdengar dari dalam tas tepat ketika aku sudah berdiri di depan pintu. Telepon dari Alvaro.“Kamu di mana? Apakah sudah sampai di rumah dengan selamat?” tanyanya begitu sambungan telepon terhubung.“Iya,
Alvaro dan Penyesalannya-----Pagi itu ketika aku masih berada di rumah, Devan meneleponku. Dalam hati aku berpikir, ada apa dia pagi-pagi begini meneleponku? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya, atau mungkin Amanda juga telah mengganggunya. Karena tidak biasanya dia menghubungiku jika bukan perkara penting. Karena selama ini, akulah yang selalu menghubunginya lebih dulu. Awalnya aku berpikir dia sedikit sombong, namun seiring berjalannya waktu, aku menjadi paham kenapa dia seperti itu. Dia hanya ingin menjaga privasi masing-masing saja.Jadi ketika tiba-tiba dia menghubungiku lebih dulu, aku berpikir, pasti ada sesuatu yang sangat penting yang ingin dia sampaikan padaku.“Tumben pagi-pagi lo telpon, dapat rejeki nomplok, ya?” Tanyaku begitu sambungan terhubung.“Rejeki apaan, berita buruk sih iya,” sahutnya.Aku mengernyit, apakah benar dugaanku tadi, kalau Amanda sudah berulah dan memberinya masalah? Aku berusaha menebak.“Marina, seseorang menerornya semalam. Dan pagi ini, dia
Sumpah----“Bagaimana penabrak itu, apakah kamu tahu siapa pelakunya?” tanyanya lagi.Aku merasakan seluruh tubuhku menjadi lemas, seolah tiada lagi tulang yang menopang tubuh ini. Dengan susah payah, kubawa tubuh lemasku untuk menjangkau kursi yang ada di sana lalu membiarkan tubuhku luruh di atasnya.Kurasakan kepalaku berdenyut hebat saat aku mencoba mengingat mobil yang melaju kencang dan menabrak tubuh Marina, namun aku sama sekali tidak mampu mengingat apapun, bahkan jenis mobilnya pun tidak kuketahui.Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan hal tersebut? Aku memegang kepalaku yang semakin berdenyut sambil mengacak rambutku.“Hentikan, Al, apa yang kamu lakukan?! Devan membentakku.Aku mendongak lemah lalu menatap pria yang berdiri di depanku itu dengan pasrah, aku akan menerima apapun yang akan dia lakukan padaku karena menganggapku manusia yang tidak berguna.“Aku … sama sekali tidak bisa mengingat apapun, Van,” kataku lemah.“Arrghh ….” Devan mengeram frustasi.Bergegas Devan