Sumpah----“Bagaimana penabrak itu, apakah kamu tahu siapa pelakunya?” tanyanya lagi.Aku merasakan seluruh tubuhku menjadi lemas, seolah tiada lagi tulang yang menopang tubuh ini. Dengan susah payah, kubawa tubuh lemasku untuk menjangkau kursi yang ada di sana lalu membiarkan tubuhku luruh di atasnya.Kurasakan kepalaku berdenyut hebat saat aku mencoba mengingat mobil yang melaju kencang dan menabrak tubuh Marina, namun aku sama sekali tidak mampu mengingat apapun, bahkan jenis mobilnya pun tidak kuketahui.Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan hal tersebut? Aku memegang kepalaku yang semakin berdenyut sambil mengacak rambutku.“Hentikan, Al, apa yang kamu lakukan?! Devan membentakku.Aku mendongak lemah lalu menatap pria yang berdiri di depanku itu dengan pasrah, aku akan menerima apapun yang akan dia lakukan padaku karena menganggapku manusia yang tidak berguna.“Aku … sama sekali tidak bisa mengingat apapun, Van,” kataku lemah.“Arrghh ….” Devan mengeram frustasi.Bergegas Devan
Mencari Saksi----“Siapa dia, apakah dia benar-benar bisa mempunyai bukti yang kamu butuhkan?” cecar Devan begitu aku mengakhiri teleon.“Aku tidak tahu siapa dia, Van.”“Lalu, bagaimana dia tahu tentang kejadian yang menimpa Marina? Dan dari mana dia mengetahui kalau kamu juga sedang mencari saksi atas kejadian tersebut?” kembali Devan mencecarku dengan pertanyaan.“Aku mempostingnya di media sosial, kamu tahu, kan, bagaimana ampuhnya media sosial dan penggunanya? Dan saat ini aku ingin menggunakan beberapa akun media sosial yang kumiliki untuk mencari bukti dan saksi. Aku juga menawarkan imbalan bagi siapa saja yang mempunyai informasi tersebut,” sahutku menjelaskan.Devan menatapku tidak percaya, namun saat ini, aku tidak ingin berdebat soal itu dengannya, apakah dia bakal setuju dengan apa yang kulakukan atau tidak. Bagiku saat ini adalah mencari bukti sebanyak-banyaknya, dan media sosial lah tempat di mana aku bisa mendapatkannya.“Apakah kamu sudah memikirkan imbas dan konsekw
Pesan Misterius-----“Apa yang kamu lakukan?” ucap Rahma kaget saat melihatku menjatuhkan diri di depan orang tua Marina.“Bangunlah, jangan lakukan itu,” ucap Rahma lagi. Namun aku masih tetap pada posisiku semula, sementara kedua orang tua Marina diam tanpa kata. Mereka berdua hanya melihatku sebentar, kemudian mengalihkan pandangan ke tempat lain. Hal itu membuatku semakin merasa bersalah. Apakah mereka juga menganggaapku bersalah sehingga bersikap seperti itu? Menganggap aku memang layak untuk bersimpuh sambil meminta pengampunan?“Bangunlah, jangan lakukan itu,” ucap lelaki paruh baya itu dengan suara datar, sementara wanita di sebelahnya sesekali mengusap air mata yang membasahi wajahnya.“Semu aitu terjadi karena salah saya, saya benar-benar minta maaf,” ucapku tulus. Andai saja saat itu mereka memakiku atau bahkan menghajarku, aku akan dengan senang hati menerimanya, daripada harus menghadapi sikap diam mereka, karena itu jauh lebih menyakitkan.“Apakah dengan bersimpuh di s
Kabar Gembira.----“Kita temui dia,” ujar Devan.Aku memutar tubuhku hingga kini berhadap-hadapan dengannya, lalu memerhatikan gestur tubuhnya untuk memastikan kalau dia tidak sedang bercanda.“Kenapa, kamu ragu?” tanyanya.“Oh, bukan begitu. Aku memang ingin menemuinya, tapi tidak sekarang, mungkin nanti setelah aku melihat Marina,” ujarku.Devan menghela napas, lalu dia menghentikan langkahnya sehingga aku pun ikut berhenti. Sepertinya Devan mempunyai sesuatu yang ingin dia katakana padaku dan aku ingin mendengarnya.“Kenapa berhenti?” selidiknya.“Aku merasa sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu,” tebakku.“Ah, itu. Aku sedang berpikir, kenapa kita tidak langsung menemui orang yang mengirimkan pesan itu sekarang? Karena selain rasa penasaran, aku juga ingin memastikan apa sebenarnya yang ingin dia tunjukkan pada kita. Kamu bisa memberitahu Rahma untuk menjaga Marina sementara waktu,” ujar Devan menjelskan. Selesai berbicara, dia mengacak rambutnya sehingga poninya menutup Sebag
Barang Bukti-----“Baju itu ….” Kataku sambil melihat ke sudut ruangan, di mana seonggok kain yang aku yakin adalah baju.Devan rupanya juga melihat apa yang kulihat, dia mendekat ke tumpukan baju tersebut, lalu dengan menggunakan kaki, dia mencoba mengurainya sehingga aku bisa melihat dengan lebih jelas kalau itu memang baju. Tapatnya sebuah jaket berwarna abu-abu yang terdapat bekas cat di bagian bawah dan lengan jaket.“Apa ini, Mbak?” tanya Devan pada wanita itu, sementara wanita itu masih berdiri di tempat semula. Pelan, dia memutar tubuhnya melihat ke arah kami.“Itu jaket suamiku,” jawabnya datar.“Aku tahu ini jaket, tapi kenapa ada di sini? Lalu, noda cat itu … warnanya sama dengan cat yang disiramkan di depan rumah Marina, apakah suami Anda ….?”Devan tidak melanjutkan kalimatnya, dia berkata sambil menatap tajam wanita tersebut, sementara wanita itu hanya berdiri diam mematung tanpa ekspresi.“Devan, tenangkan dirimu,” ucapku lirih, tepat di telinganya.“Maaf sebelumnya, M
Dendam Wanita Yang Tersakiti----“Kalau bukan karena cemburu dan sakit hati, lalu karena apa?” selidikku.Wanita itu menunduk dalam, punggungnya kembali berguncang. Sepertinya dia kembali menangis, dan aku tidak tahu apa yang membuatnya bersedih, karena dari sorot matanya ketika menceritakan tentang suaminya, tidak kulihat kesedihan di sana. Aku justru melihat kobaran kemarahan yang membara dari sorot matanya.“Marina tahu kalau aku sedang hamil, dan bulan ini memasuki trimester pertama. Aku juga pernah bercerita padanya kalau butuh lima belas tahun bagiku untuk bisa hamil. Dan saat aku menceritakan hal itu pada Marina, dia terlihat begitu bahagia, dia juga memberikanku hadiah keesokan harinya.”“Apa hubungannya kehamilanmu dengan Marina? Apakah dia menyakitimu sehingga membuat suamimu menyimpan dendam lalu menabraknya?” potongku cepat.Tentu saja Marina akan merasa sangat bahagia dengan kehamilannya, sebagai wanita yang pernah menikah dan diceraikan suaminya hanya karena dia tidak k
Marina Sadar Dari Koma****“Marina, dia --- dia sudah sadar,” kataku terbeta karena gugup sekaligus bahagia.“Marina sudah sadar?” tanya Devan dengan mata terbelalak seolah tidak percaya.Untuk beberapa saat, aku diliputi rasa bahagia sekaligus haru. Aku bersyukur akhirnya Marina sadar setelah lebih dari dua minggu terbaring koma di atas tempat tidur. Sepertinya Tuhan mendengar doa-doaku selama ini, karena aku juga berhasil mendapatkan seseorang yang akan bersedia menjadi saksi atas kejadian tersebut.“Marina sangat beruntung mempunyai teman seperti kalian, yang selalu berada dan ada di saat dia membutuhkannya. Pergilah, temui Marina, dia pasti akan bahagia melihat kalian,” ujar Irna.“Bagaimana denganmu?” tanyaku. Jujur, meninggalkan Irna sendirian seperti ini membuatku khawatir, aku takut jika suaminya akan datang dan melakukan sesuatu padanya, juga orang-orang suruhan Amanda. Jika dia mengetahui kalau Irna akan berdiri di pihak lawan, aku yakin dia tidak akan tinggal diam.“Aku a
Cobaan Kedua [Marina]----Kurasakan tubuhku terasa begitu sakit, seolah seluruh tulang di tubuhku remuk. Ingin sekali aku menggerakkan tubuh, namun tidak mampu. Jangankan menggerakkan tubuh, sekedar membuka keedua mata pun aku tidak bisa. Apakah aku sudah mati? Kalau memang aku sudah mati, kenapa aku bisa mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarku? Aku bahkan bisa mendengar suara Alvaro, meskipun itu samar-samar. Aku juga bisa mengenali suara Devan dan Rahma yang sedang berbicara di dekatku.“Marina, bangunlah, Nak. Sudah lama sekali kamu tertidur, tidakkah kamu ingin melihat ibu dan bapak? Bapak ada di sini, sudah beberapa hari ini bapakmu menemani ibu di sini, menunggumu bangun.”Suara itu, aku tahu siapa pemiliknya. Wanita yang suaranya selalu mampu membuatku merasa nyaman dan tenang setiap kali berbicara dengannya. Iya, itu suara ibu.“Bu, Marina juga kangen sama ibu,” ucapku. Namun suaraku tidak pernah keluar dari mulutku.Lalu, kurasakan sentuhan lembut di tanganku, se