Pesan Misterius-----“Apa yang kamu lakukan?” ucap Rahma kaget saat melihatku menjatuhkan diri di depan orang tua Marina.“Bangunlah, jangan lakukan itu,” ucap Rahma lagi. Namun aku masih tetap pada posisiku semula, sementara kedua orang tua Marina diam tanpa kata. Mereka berdua hanya melihatku sebentar, kemudian mengalihkan pandangan ke tempat lain. Hal itu membuatku semakin merasa bersalah. Apakah mereka juga menganggaapku bersalah sehingga bersikap seperti itu? Menganggap aku memang layak untuk bersimpuh sambil meminta pengampunan?“Bangunlah, jangan lakukan itu,” ucap lelaki paruh baya itu dengan suara datar, sementara wanita di sebelahnya sesekali mengusap air mata yang membasahi wajahnya.“Semu aitu terjadi karena salah saya, saya benar-benar minta maaf,” ucapku tulus. Andai saja saat itu mereka memakiku atau bahkan menghajarku, aku akan dengan senang hati menerimanya, daripada harus menghadapi sikap diam mereka, karena itu jauh lebih menyakitkan.“Apakah dengan bersimpuh di s
Kabar Gembira.----“Kita temui dia,” ujar Devan.Aku memutar tubuhku hingga kini berhadap-hadapan dengannya, lalu memerhatikan gestur tubuhnya untuk memastikan kalau dia tidak sedang bercanda.“Kenapa, kamu ragu?” tanyanya.“Oh, bukan begitu. Aku memang ingin menemuinya, tapi tidak sekarang, mungkin nanti setelah aku melihat Marina,” ujarku.Devan menghela napas, lalu dia menghentikan langkahnya sehingga aku pun ikut berhenti. Sepertinya Devan mempunyai sesuatu yang ingin dia katakana padaku dan aku ingin mendengarnya.“Kenapa berhenti?” selidiknya.“Aku merasa sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu,” tebakku.“Ah, itu. Aku sedang berpikir, kenapa kita tidak langsung menemui orang yang mengirimkan pesan itu sekarang? Karena selain rasa penasaran, aku juga ingin memastikan apa sebenarnya yang ingin dia tunjukkan pada kita. Kamu bisa memberitahu Rahma untuk menjaga Marina sementara waktu,” ujar Devan menjelskan. Selesai berbicara, dia mengacak rambutnya sehingga poninya menutup Sebag
Barang Bukti-----“Baju itu ….” Kataku sambil melihat ke sudut ruangan, di mana seonggok kain yang aku yakin adalah baju.Devan rupanya juga melihat apa yang kulihat, dia mendekat ke tumpukan baju tersebut, lalu dengan menggunakan kaki, dia mencoba mengurainya sehingga aku bisa melihat dengan lebih jelas kalau itu memang baju. Tapatnya sebuah jaket berwarna abu-abu yang terdapat bekas cat di bagian bawah dan lengan jaket.“Apa ini, Mbak?” tanya Devan pada wanita itu, sementara wanita itu masih berdiri di tempat semula. Pelan, dia memutar tubuhnya melihat ke arah kami.“Itu jaket suamiku,” jawabnya datar.“Aku tahu ini jaket, tapi kenapa ada di sini? Lalu, noda cat itu … warnanya sama dengan cat yang disiramkan di depan rumah Marina, apakah suami Anda ….?”Devan tidak melanjutkan kalimatnya, dia berkata sambil menatap tajam wanita tersebut, sementara wanita itu hanya berdiri diam mematung tanpa ekspresi.“Devan, tenangkan dirimu,” ucapku lirih, tepat di telinganya.“Maaf sebelumnya, M
Dendam Wanita Yang Tersakiti----“Kalau bukan karena cemburu dan sakit hati, lalu karena apa?” selidikku.Wanita itu menunduk dalam, punggungnya kembali berguncang. Sepertinya dia kembali menangis, dan aku tidak tahu apa yang membuatnya bersedih, karena dari sorot matanya ketika menceritakan tentang suaminya, tidak kulihat kesedihan di sana. Aku justru melihat kobaran kemarahan yang membara dari sorot matanya.“Marina tahu kalau aku sedang hamil, dan bulan ini memasuki trimester pertama. Aku juga pernah bercerita padanya kalau butuh lima belas tahun bagiku untuk bisa hamil. Dan saat aku menceritakan hal itu pada Marina, dia terlihat begitu bahagia, dia juga memberikanku hadiah keesokan harinya.”“Apa hubungannya kehamilanmu dengan Marina? Apakah dia menyakitimu sehingga membuat suamimu menyimpan dendam lalu menabraknya?” potongku cepat.Tentu saja Marina akan merasa sangat bahagia dengan kehamilannya, sebagai wanita yang pernah menikah dan diceraikan suaminya hanya karena dia tidak k
Marina Sadar Dari Koma****“Marina, dia --- dia sudah sadar,” kataku terbeta karena gugup sekaligus bahagia.“Marina sudah sadar?” tanya Devan dengan mata terbelalak seolah tidak percaya.Untuk beberapa saat, aku diliputi rasa bahagia sekaligus haru. Aku bersyukur akhirnya Marina sadar setelah lebih dari dua minggu terbaring koma di atas tempat tidur. Sepertinya Tuhan mendengar doa-doaku selama ini, karena aku juga berhasil mendapatkan seseorang yang akan bersedia menjadi saksi atas kejadian tersebut.“Marina sangat beruntung mempunyai teman seperti kalian, yang selalu berada dan ada di saat dia membutuhkannya. Pergilah, temui Marina, dia pasti akan bahagia melihat kalian,” ujar Irna.“Bagaimana denganmu?” tanyaku. Jujur, meninggalkan Irna sendirian seperti ini membuatku khawatir, aku takut jika suaminya akan datang dan melakukan sesuatu padanya, juga orang-orang suruhan Amanda. Jika dia mengetahui kalau Irna akan berdiri di pihak lawan, aku yakin dia tidak akan tinggal diam.“Aku a
Cobaan Kedua [Marina]----Kurasakan tubuhku terasa begitu sakit, seolah seluruh tulang di tubuhku remuk. Ingin sekali aku menggerakkan tubuh, namun tidak mampu. Jangankan menggerakkan tubuh, sekedar membuka keedua mata pun aku tidak bisa. Apakah aku sudah mati? Kalau memang aku sudah mati, kenapa aku bisa mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarku? Aku bahkan bisa mendengar suara Alvaro, meskipun itu samar-samar. Aku juga bisa mengenali suara Devan dan Rahma yang sedang berbicara di dekatku.“Marina, bangunlah, Nak. Sudah lama sekali kamu tertidur, tidakkah kamu ingin melihat ibu dan bapak? Bapak ada di sini, sudah beberapa hari ini bapakmu menemani ibu di sini, menunggumu bangun.”Suara itu, aku tahu siapa pemiliknya. Wanita yang suaranya selalu mampu membuatku merasa nyaman dan tenang setiap kali berbicara dengannya. Iya, itu suara ibu.“Bu, Marina juga kangen sama ibu,” ucapku. Namun suaraku tidak pernah keluar dari mulutku.Lalu, kurasakan sentuhan lembut di tanganku, se
Mencoba Ikhlas----Hari ini dokter datang membawa kabar baik, aku sduah diperbolrhkan untuk pulang. Ibu dan bapak terlihat sangat bahagia mendengarnya, namun aku tahu, di balik senyum bahagia mereka berdua. Tersembunyi kesedihan yang luar biasa. Aku tahu, mereka berdua selalu berusaha untu tetap tersenyum di depanku, namun aku yakin kalau sebenarnya mereka sangat bersedih, mengetahui fakta kalau aku tidak bisa lagi berjalan. Meskipun dokter berulang kali meyakinkanku dan kedua orang tuaku, kalau aku akan bisa berjalan lagi seperti semula, namun tetap saja kenyataan pahit kalau saat ini aku harus menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakiku, dan itu tidak mudah bagiku untuk menerimanya.Keyakinanku semakin kuat ketika tanpa sengaja aku terbangun di malam hari dan mendapati ibu dan bapak sedang berbicara dengan suara lirih dalam remang cahaya lampu. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk bisa mengetahui apa yang saat itu kedua orang tuaku bicarakan. Mereka berdua sedang membicarak
Akan Menjadi Pengganti Kakimu.----“Irna … telah kehilangan bayinya,” sahut Al lirih.Aku kembali menghela napas dalam, meskipun aku belum pernah merasakan hamil sebelumnya, namun mendengar berita kalau Irna telah kehilangan bayinya, membuatku merasa sedih, seperti ada sesuatu yang ditarik paksa dari dalam hatiku. Karena aku tahu kalau Irna benar-benar menginginkan bayi itu, seorang anak yang telah lama dia dambakan, namun dia harus kehilangan bayi itu sebelum dia sempat melihat wajahnya, sungguh menyedihkan.“Bagaimana Irna bisa kehilangan bayinya? Apakah dia keguguran?” selidikku.“Iya, dia keguguran. Namun sebenarnya dia bisa mempertahankan bayinya andai saja ….”Alvaro menggantung kalimatnya hingga membuatku penasaran. Karena dari yang aku ketahui, Irna pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kandungannya, namun kenyataannya dia justru harus keguguran. Pasti ada sesuatu hal yang menimpa Irna saat itu.“Dia terlambat untuk mendapatkan perawatan dari dokter sehingga bayinya