Kejutan di Kampung****Aku menyandarkan punggung di kursi bis yang akan membawaku menuju ke kotaku. Perjalanan yang cukup jauh, hal itu membuatku memutuskan untuk tidur saja. Meskipun saya tidak yakin, saya bisa tidur selama perjalanan. Dan benar saja, meskipun mataku terpejam, namun tetap saja pikiranku mengembara ke mana-mana.Bayangan wajah Alvaro tiba-tiba melintas di pelupuk mata, dengan sorot mata letihnya. Bagaimana dia memandangku ketika aku lewat dari hadapannya dan tidak mengindahkan ucapannya ketika dia akan menjelaskan sesuatu padaku tadi. Aku mungkin bermaksud sedikit kasar dan kekanak-kanakan tadi, namun semua itu kulakukan semata-mata untuk memperjelas status di antara kami. Kalau aku dan dia hanya sekedar rekan kerja, tidak lebih dari itu, dan dia tidak perlu menjelaskan apapun yang terjadi antara dia dan Amanda. “Marina, aku akan menunggumu sampai kamu siap untuk mendengarkan penjelasanku,” ucap Alvaro ketika dia berusaha mencapai langkahku tadi. Timah timah….Suar
Mereka Membohongiku----Aku menatap wajah Mayla lekat, memindai sekali lagi bocah itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, mencari mencoba kesamaan antara dirinya dengan bang Asrul. Hingga kemudian aku tersenyum kecut, merasa bodoh, bodoh sekali. Ternyata selama ini, aku hidup dalam bayang-bayang dusta orang-orang yang pernah menjadi bagian dalam kehidupan, bahkan setelah mereka tiada. “Sepertinya Umi benar, selama ini hidup saya penuh kesalahpahaman. Salah paham tentang kebaikan mereka, salah paham dengan bang Asrul, sbahkan salah paham dengan Umi juga. Selama ini saya selalu berpikir kalau kalian benar-benar ramah menyukai saya saat itu, tulus menerima saya sebagai bagian dari keluarga ini, ternyata saya salah paham. Kalian tidak pernah benar-benar tulus pada saya, pun bang Asrul. Ternyata semua yang diucapkannya hanyalah dusta semata. Tapi ada satu hal yang harus Umi tahu, kalau semua yang saya lakukan selama ini terhadap bang Asrul baik sebelum atau setelah kepergiannya, semuany
Sudah Direncanakan****Lelaki itu masih berdiri di depanku, sesekali dia melihat ke sekeliling dengan gugup, seolah takut ada seseorang yang melihatnya. Melihat hal itu, aku tersenyum tipis. Itu artinya, orang yang sedang berdiri di depanku memanglah orang yang sama dengan yang kulihat saat itu. “Saya tidak kenal dengan orang yang baru saja Anda sebut namanya,” jawabnya lirih.“Anda yakin?” tanyaku dengan menatap manik matanya. Aku ingin melihat, apakah kebohongan atau kejujuran yang terpancar dari sana.“Permisi, Bu, saya harus bekerja,” ucapnya kemudian sambil buru-buru berlalu.Tidak ingin melepaskan kesempatan itu begitu saja, akupun segera berdiri dan mengejar langkahnya.“Saya akan menunggu sampai kamu selesai,” ucapku lirih saat aku berhasil menjajari langkahnya.Dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku, kali ini dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Jika tadi dia terlihat sedikit takut, kali ini aku melihat jelas emosi kemarahan dari sorot matanya. Bukan itu
Kuceritakan Kisahku***Dia, lelaki yang baru saja kuketahui bernama Rian itu menatap tajam ke arahku. Dia terlihat tidak sabar menunggu jawaban dariku. Melihatnya seperti itu, muncul sebuah ide di kepalaku, keinginan untuk sedikit memberinya Pelajaran karena tadi telah membuatku menunggu, juga karena dia telah ikut andil dalam membuat sebuah kebohongan yang akhirnya aku hidup di dalamnya.“Maaf, saya ada urusan dan harus secepatnya pulang,” ucapku kemudian dan bersiap untuk bangkit dari tempat duduk.“Tunggu, Bu Marina … kenapa Anda berubah pikiran? Bukankah tadi sudah sepakat untuk menceritakannya pada saya?” protesnya sambil menarik tanganku.Meliha tapa yang dilakukannya, membuatku terkejut. Aku tidak menyangka dia berani memegang tanganku, dan hal itu membuatku secara spontan menepis tangannya. “Saya berubah pikiran,” ucapku datar. Dan langsung bergegas berjalan meninggakannya. Tanpa kuduga, dia berlari menyusulku.“Bu Marina, tolong beritahu saya, apa yang sebenarnya terjadi pa
Jangan Mudah Percaya****“Sudah pernah bertemu dengan Mayla?” Aku mengulangi pertanyaanku karena Rian tidak segera menjawabnya. Dia terlihat bingung, sepertinya tidak menyangka aku aku menanyakan hal itu padanya.“Belum, saya belum melihatnya lagi sejak Risa membawanya keluar rumah ketika dia bertengkar dengan ibu waktu itu,” jawabnya kemudian.Aku terdiam, mencoba menggambarkan kehidupan Risa setelah dia melahirkan Mayla. Karena sejak bang Asrul memutuskan untuk memilih Risa daripada mempertahankan rumah tangga kami, aku sudah menutup semua akses komunikasi dengan mereka, juga semua hal yang berhubungan dengan kehidupan barunya. Saat itu aku berpikir untuk melupakan semua kenangan pahit dengan mengubur semua hal yang membuat sakit hati. Dari jawaban singkat Rian, aku bisa sedikit mempunyai gambaran bagaimana kehidupan bang Asrul dan Risa setelah itu. Tidak jauh berbeda dengan bang Asrul, sepertinya Risa juga mengalami Nasib yang sama, yaitu diusir oleh keluarga dari rumah. Mungkin
Kejutan Lainnya***“Keluarlah, aku ada di luar rumahmu.”Hampir saja ponsel yang kupegang terjatuh ketika Alvaro mengatakan dia ada di luar rumahku. Memangnya apa yang dikatakannya? Tapi untuk apa dia datang ke tempat ini? Lagi pula, dari mana dia bisa tahu kalau aku tinggal di sini?Kepalaku terasa berputar-putar dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan spekulasi, hingga aku lupa kalau Alvaro masih berada di ujung telepon. Untung saja dia tidak bisa mendengar kata-kata yang ada di pikiranku. “Marina… Marina, kamu masih di sana kan?” tanya Alvaro.“A—apa yang baru saja kamu katakana?” tanyaku gugup.“Keluarlah, aku berada di depan rumahmu.”“Tidak mungkin, lagipula, untuk apa kamu jauh-jauh datang ke tempat ini?” Aku berkata, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.“Kenapa tidak keluar saja untuk membuktikan, apakah aku benar-benar ada di sini atau tidak,” ucapnya memberi tantangan.Aku menarik napas dalam, perlahan kulangkahkan kaki menuju keluar. Namun sebelum s
Gadis Misterius****Perjalanan yang lumayan jauh membuat sedikit bosan, hingga berkali-kali aku harus mengubah posisi duduk. Saya juga memainkan game yang ada di ponsel untuk mengurangi kebosanan dan menghabiskan waktu. Sebenarnya ingin sekali memejamkan mata, berharap bisa terlelap meski hanya sekejap. Namun mata seolah enggan terpejam meski merasa begitu terancam. Aku melirik gadis yang duduk di sebelahku, sambil berharap semoga saja dia bisa diajak ngobrol untuk membunuh kebosanan. Akan terasa aneh jika kami hanya saling berdiam diri satu sama lain, sementara kami duduk bersebelahan dan dalam waktu yang cukup lama.“Mungkin sekedar berbasa-basi menanyakan nama atau tujuan, tidak ada salahnya,” pikirku.Aku menoleh, memperhatikannya sejenak dan bermaksud menyapanya lebih dulu untuk memulai sebuah percakapan, dan baru saja hendak membuka mulut, dia terlihat buru-buru mengeluarkan ponselnya, sepertinya dia sedang membaca pesan yang baru dia terima. Dari ekor mata, aku bisa melihat w
Kejutan [Lagi]****Hari ini, aku sengaja datang ke tempat kerja lebih awal, hal ini kulakukan karena beberapa hari aku tidak masuk, pasti banyak sekali yang harus aku kerjakan. Selain itu, sebelum aku pulang kampung waktu itu, sempat meninggalkan beberapa pekerjaan yang masih belum selesai. Salah satunya adalah laporan keuangan. Hal itu mengingatkanku pada saat pertama kali aku datang ke kota ini, juga hari pertama aku masuk kerja. Dan itulah hari di mana aku bertemu dengan Alvaro untuk pertama kalinya di hari pertamaku kerja. Mengingat itu semua, membuatku tersenyum sendiri. Sungguh cepat sekali waktu berlalu, padahal aku merasa, kejadian itu seperti baru kemarin kualami.“Bu Marina, kok senyum-senyum sendiri?” ucap seseorang.Aku terhenyak dan spontan menoleh ke arah suara. Di ambang pintu, kulihat Hamdan berdiri sambil menatapku penuh tanya. Sepertinya dia baru saja datang dan mungkin terkejut melihatku sudah ada di sini dan sambil tersenyum sendirian, jangan-jangan, Hamdan menga