Wanita Yang Dipanggil Ibu****"Iya, ibuku," jawab Al cepat.Mata lelaki di sampingku ini tiba-tiba berbinar saat dia menyebut kata ibu. Sebuah kebahagiaan terpancar di sana, hingga membuat mendung yang tadi bergelayut di matanya perlahan pudar.Ah ... tentu saja dia akan merasa bahagia, siapapun akan merasakan kebahagiaan, karena sejatinya, seorang ibu adalah sumber kebahagiaan bagi anak-anaknya."Kok malah melamun," ucapnya lagi, membuatku sedikit kaget dan buru-buru aku melempar senyum padanya untuk menutupi kegugupan."Aku tidak tahu harus berkata apa, Al. Jujur ... saat ini aku sebenarnya sedang bingung," kataku sejurus kemudian."Ah, aku lupa," ucap Alvaro sambil memukul jidatnya. Sepertinya dia menyadari sesuatu, sesuatu yang sedang ada dalam pikiranku."Maaf, sudah membuatmu bingung. Aku tahu saat ini kamu pasti bertanya-tanya tentang ibuku dan juga kisah hidupku tadi, kan?" Ujarnya, menebak dengan tepat apa yang ada di kepalaku saat itu."Iya. Tadi kamu sempat menceritakan te
Keluarga Alvaro **** Sepanjang jalan, kami memilih untuk diam, berkutat dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik kea rah Alvaro yang fokus menyetir, wajahnya terlihat datar dengan ekpresi wajah yang tidak bisa kubaca. Iya, aku tidak tahu apakah dia saat itu sedang fokus menyetir atau sedang memikirkan sesuatu, entahlah.Hingga akhirnya mobil berbelok, memasuki sebuah perkampungan kemudian berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana. Dari dalam mobil, saya melihat dan memperhatikan rumah tersebut. Rumah yang berada di depanku, membuatku teringat dengan cerita Alvaro saat itu, gambaran rumah yang dia ceritakan saat itu sama bertahan.Apaakah ini rumah ….“Kita sudah sampai,” ucap Alvaro membuyarkan lamunan. “Aku—iya,” kataku gugup. Dengan cepat, Alvaro keluar dan daalam hitungan detik, dia sudah membuka pintu mobil untukku.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mengingat apakah benar ini adalah rumah yang pernah disebut dalam cerita waktu itu. Ketika aku meng
Kedatangan Bang Mirza****Aku yang masih disibukkan dengan pikiranku sendiri tentang ucapan Alvaro tadi, sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang. Aku baru menyadari ketika Alvaro menyentuh lenganku pelan, sentuhan yang serta-merta membuatku tersadar dari lamunan.“Marina, ini Pak Sulaiman, orang yang berjasa membuatku menjadi seperti yang kamu lihat saat ini,” ucap Alvaro pelaan sambil menatap ke arah pria paruh baya, namun masih terlihat gagah.“Jadi ini, Marina?” ucap pak Sulaiman sambil tersenyum memandangku, seolah dia sudah mengenalku sebelumnya. Tapi ini adalah pertemuan pertamaku dengannya, atau jangan-jangan Alvaro yang bercerita tentangku padanya?“Alvaro sering bercerita tentangmu setiap kali dia menelepon,” lanjutnya.Ah … ternyata benar, pak Sulaiman tahu dari Alvaro, tapi untuk apa dia bercerita tentang diriku pada pak Sulaiman. Tanpa sadar, aku menatap tajam Alvaro, meminta penjelasan tentang semuanya. “Oh, iya, aku sering bercerita pada pak Sulaiman tentang di
Karena Warisan****Aku meremas jari-jemariku, menunggu jawaban dari bang Mirza, sementara itu Rahma yang berdiri di belakangku tampak tegang. Dia sesekali memberi bahasa isyarat agar aku bersikap lebih tenang. Namun entah kenapa, saat itu aku benar-benar tidak bisa bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Mengingat apa yang pernah aku lalui saat itu, tidak sekalipun bang Mirza muncul bahkan di detik-detik terakhir kehidupan bang Asrul, adiknya sendiri. Aku tidak tahu, apakah ini sebuah perasaan dendam, namun yang pasti, setiap kali aku mengingat saat itu, hatiku terasa begitu sakit, seperti teriris sembilu.“Jadi, kamu mengungkit semua yang pernah kamu lakukan untuk Asrul, suamimu?” ucap bang Mirza dengan suara sedikit tertahan.Tunggu dulu … apa yang baru saja dikatakan bang Mirza tadi? Suami? Bang Asrul sakit hingga meninggal dunia, status kami saat itu sudah berpisah. Aku hanya mantan istri saat itu. Apakah bang Mirza lupa atau Cuma pura-pura lupa?“Sepertinya bang Mirza melu
Kisah Yang Tak Terungkap***Aku menunggu dengan sedikit gugup apa yang akan disampaikan oleh Rahma selanjutnya, namun dalam hati aku juga berharap kalau dia tidak akan mengungkit tentang asuransi yang pernah dibeli bang Asrul saat itu. Karena aku tidak ingin umi menjadi semakin terbebani dan merasa bersalah. Terlebih lagi setelah mengetahui tentang fakta yang sebenarnya, kenaapa saat itu umi tidak pernah mengunjungi bang Asrul, bahkan di hari-hari terakhir dalam hidupnya.“Marina, sebaiknya kita sudah berada di sini. Kedatangan umi ke sini bukan untuk membuat kesamaan dengan kalian. Bagi umi saat ini yang paling penting adalah merawat dan membesarkan Mayla dengan baik. Aku yakin, Asrul pun menginginkan hal itu,” ucap umi memecah keheningan. Rahma menoleh ke arahku, seolah meminta pendapatku. Perlahan, aku mengangguk, memberi isyarat kalau aku sependapat denhgan apa yang baru saja dikatakan oleh umi. Melihat itu, wajah Rahma terlihat sedikit kecewa, namun dia memilih mengikuti permin
Keputusan Yang Sulit****Umi terdiam beberapa saat, begitupun denganku yang lebih memilih untuk menunggu apa yang akan dikatakannya nanti. Aku yakin, umi masih bimbang tentang uang asuransi itu, namun mengingat dulu dia sudah mengingatnya padaku dan berkata kalau tidak bisa menerimanya. Terlebih umi juga sudah menggetahui saat itu, kalau semua biaya pengobatan dan perawatan bang Asrul aku yang menanggungnya. Masih ingat saat itu ketika umi berkata padaku; “Marina, umi bukan orang serakah. Apa yang akan dikatakan Asrul nanti jika dia tahu kalau aku, ibunya mengambil hak dari mantan istrinya, sementara yang merawatnya sampai akhir hayatnya adalah kamu, mantan istrinya. Jadi, umi menolaknya. Simpanlah, umi yakin suatu hari nanti kamu akan mendesak.”Aku menghela nafas dalam beberapa kali ketika mengingat apa yang dikatakan umi saat itu, bahkan ucapannya masih terngiang di telinga seolah baru kemarin dia berbicara denganku. Dan kini, saat ini, dia sudah duduk tepat di sebelahku membahas
Cerita Grace-----Grace meletakkan kedua tangannya di atas meja sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku, ingin memastikan kalau dia tidaak salah dengar, lalu berbisik, “Kamu serius, Marina?”“Hmm… aku serius dan benar-benar sudah pernah bertemu dengannya. Bahkan bergabung untuk makan malam bersama dalam satu meja,” jawabku. Kemudian aku menceritakan pada Grace awal mula aku bertemu dengan Amanda, di mana saat itu Alvaro mengajakku makan malam yang kebetulan bertemu dengan Amanda yang juga sedang menikmati makan malam bersama suami juga Kimi, anaknya. Grace menutup mulutnya dengan telapak tangan dengan mata yang memelotot seolah tidak mempercayai ucapanku.“Marina, kamu serius?” kembali Grace bertanya.“Bua tapa aku berbohong tentang hal seperti itu, Grace, tidak ada kebahagiaan buatku,” ujarku kesal.“Jadi, apa yang membuatmu meragukan ceritaku? Apakah ada rahasia yang sedang kamu sembunyikan dariku seperti waktu itu?” cecarku lagi, kali ini kupastikan Grace tidak lagi berkelit atau
Bertemu Amanda****Amanda masih berdiri di depanku, sepertinya dia menunggu jawabanku, apakah aku akan menerima permintaanya atau langsung menolaknya.“Aku lihat nanti ya, kalau misalnya tidak terlalu sibuk maka bisa kupertimbangkan,” kataku kemudian setelah berpikir sejenak. Mendengar jawabanku, Amanda tersenyum manis, dia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi mengecewakan di wajahnya.“Baiklah, aku akan menghubungimu nanti,” ucapnya kemudian.Aku melihat Amanda yang berjalan hingga dia masuk ke dalam mobil, dia membunyikan klakson sebelum akhirnya pergi. Ada perasaan lega begitu dia meninggalkan tempat ini dan itu membuatku menghela napas dalam beberapa kali.“Tapi, pak Alvaro belum pulang, dia juga tidak bisa dihubungi,” terang Hamdan sebelum saya menanyakannya. Kuremas ponsel yang masih kugenggam. “Di mana dia saat ini, apakah sesuatu telah terjadi padanya?” pikirku.“Terima kasih, Hamdan. Aku akan mencoba menghubunginya lagi,” ucapku. Pemuda itu kemudian berlalu, namun baru beb