Kisah Kelam****Alvaro tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya melirik sekilas ke arahku sebelum kemudian dia tiba-tiba memutar arah mobil. Di momen itu, aku memutuskan untuk tidak bertanya apapun padanya. Melihat mimik serius wajahnya, aku yakin kalau dia sedang menghadapi suatu masalah serius.Mobil melaju pelan, aku mengeluarkan pandangan ke sekeliling. Tempat yang belum pernah aku kunjungi meskipun sebenarnya berada tidak jauh dari tempat tinggalku. Seperti sebuah monumen yang berada di tengah taman. Al memarkir mobil di bahu jalan."Maukah kamu menemaniku sebentar di sini?" Tanyanya pelan.Aku menatapnya heran, lalu buru-buru mengangguk dan menjawab, "Tentu saja, tempat ini sangat bagus dan udaranya sejuk."Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, memindai satu per satu yang ada di sekitarku. Sebuah taman kecil yang berada di pinggir kota. Sebuah patung berukuran cukup besar berdiri kokoh tepat di tengah, sementara di bawahnya ada kolam kecil dengan air mancur dan berbagai ikan h
Bagai Menggenggam Bara -------“A—apa maksudmu?” tanyaku gugup. Karena aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang dibicarakan atau pun maksud dari ucapan Alvaro.Dendam? Dia tidak terlihat seperti seseorang yang pendedam, terlebih, dia juga yang saat itu memberiku sebuah nasehat untuk menatap ke depan daripada terus terkungkung dalam balutan masa lalu dan sakit hati di saat Risa mencoba untuk masuk kembali ke dalam kehidupanku saat itu.Alvaro menatapku tajam, cukup lama dia memandangku hingga membuatku sedikit kikuk. Hingga kemudian dia berkata dengan suara lirih; "Aku ingin bercerita padamu, cerita yang menjadi bagian dari hidupku. Sebuah kisah yang sudah kusimpan dan berusaha kulupakan selama lebih dari dua puluh tahun."Dia berhenti, menjeda kalimatnya sebentar lalu kembali berkata, "Ketika aku bercerita, cukup dengarkan saja. Jangan banyak bertanya padaku terlebih dulu.""Al ...." Panggilku, membiarkan kalimatku mengambang dan menguap begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya i
Mencari Keberadaan Sang Kakak****Aku tidak sanggup lagi untuk melanjutkan kalimatku saat itu. Pikiran menjadi kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai anak laki-laki yang saat itu berusia 14 tahun, apa yang saat itu menimpa keluargaku adalah hal yang belum bisa ku cerna dan aku nalar sepenuhnya. Namun sebagai seorang anak dan adik, aku tahu kalau kakak dan ibuku dalam bahaya saat itu. Namun aku tidak tahu harus berbuat apa."Kamu tidak apa-apa?" Tanya pak Sulaiman padaku sambil memerhatikanku dengan seksama."Saya ... saya ingin mencari kakak saya, Pak. Tapi tidak tahu ke mana harus mencarinya," ucapku sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.Lelaki itu mengulurkan tangannya pelan, kemudian mengusap bahuku. "Ini sudah malam, sebentar lagi tugas bapak selesai dan akan digantikan dengan penjaga yang lain. Biar bapak antar pulang," ucapnya tulus.Aku memandang wajah pak Sulaiman dengan tetangga nanar. Ada perasaan haru sekaligus senang, setidaknya ada seseorang yang be
Alvaro; Cerita Pak Sulaiman****Aku masih terpaku di depan pintu kamar pak Sulaiman, dengan kaki lemas, aku berusaha untuk meninggalkan tempat itu sebelum beliau tahu kalau aku sedang menguping pembicaraan mereka. Namun nahas, ketika melangkah, kakiku tersandung kaki meja hingga menimbulkan suara gaduh. Dalam hitungan detik, lelaki paruh baya yang membawaku ke rumahnya itu telah berdiri di depanku.Dengan wajah penuh tanya, beliau memandangku. Kemudian sebuah kalimat tanya terlontar pelan, "Apa yang kamu lakukan di situ, Al?"Aku menatap nanar wajah pak Sulaiman, dalam keremangan cahaya lampu yang berasal dari kamar yang pintunya terbuka, bisa kulihat dengan jelas kecemasan di wajahnya."Benarkah yang tadi Bapak bicarakan, kalau kakak saya sebenarnya tidak dijemput oleh sopir bosnya? Lalu ... siapa yang membawa kakak saya, Pak?" Tanyaku dengan suara bergetar.Pak Sulaiman berjongkok di depanku sambil menatap tajam. Napasnya turun naik, seperti sedang menahan gejolak amarah. Kedua ta
Wanita Yang Dipanggil Ibu****"Iya, ibuku," jawab Al cepat.Mata lelaki di sampingku ini tiba-tiba berbinar saat dia menyebut kata ibu. Sebuah kebahagiaan terpancar di sana, hingga membuat mendung yang tadi bergelayut di matanya perlahan pudar.Ah ... tentu saja dia akan merasa bahagia, siapapun akan merasakan kebahagiaan, karena sejatinya, seorang ibu adalah sumber kebahagiaan bagi anak-anaknya."Kok malah melamun," ucapnya lagi, membuatku sedikit kaget dan buru-buru aku melempar senyum padanya untuk menutupi kegugupan."Aku tidak tahu harus berkata apa, Al. Jujur ... saat ini aku sebenarnya sedang bingung," kataku sejurus kemudian."Ah, aku lupa," ucap Alvaro sambil memukul jidatnya. Sepertinya dia menyadari sesuatu, sesuatu yang sedang ada dalam pikiranku."Maaf, sudah membuatmu bingung. Aku tahu saat ini kamu pasti bertanya-tanya tentang ibuku dan juga kisah hidupku tadi, kan?" Ujarnya, menebak dengan tepat apa yang ada di kepalaku saat itu."Iya. Tadi kamu sempat menceritakan te
Keluarga Alvaro **** Sepanjang jalan, kami memilih untuk diam, berkutat dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik kea rah Alvaro yang fokus menyetir, wajahnya terlihat datar dengan ekpresi wajah yang tidak bisa kubaca. Iya, aku tidak tahu apakah dia saat itu sedang fokus menyetir atau sedang memikirkan sesuatu, entahlah.Hingga akhirnya mobil berbelok, memasuki sebuah perkampungan kemudian berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana. Dari dalam mobil, saya melihat dan memperhatikan rumah tersebut. Rumah yang berada di depanku, membuatku teringat dengan cerita Alvaro saat itu, gambaran rumah yang dia ceritakan saat itu sama bertahan.Apaakah ini rumah ….“Kita sudah sampai,” ucap Alvaro membuyarkan lamunan. “Aku—iya,” kataku gugup. Dengan cepat, Alvaro keluar dan daalam hitungan detik, dia sudah membuka pintu mobil untukku.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mengingat apakah benar ini adalah rumah yang pernah disebut dalam cerita waktu itu. Ketika aku meng
Kedatangan Bang Mirza****Aku yang masih disibukkan dengan pikiranku sendiri tentang ucapan Alvaro tadi, sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang. Aku baru menyadari ketika Alvaro menyentuh lenganku pelan, sentuhan yang serta-merta membuatku tersadar dari lamunan.“Marina, ini Pak Sulaiman, orang yang berjasa membuatku menjadi seperti yang kamu lihat saat ini,” ucap Alvaro pelaan sambil menatap ke arah pria paruh baya, namun masih terlihat gagah.“Jadi ini, Marina?” ucap pak Sulaiman sambil tersenyum memandangku, seolah dia sudah mengenalku sebelumnya. Tapi ini adalah pertemuan pertamaku dengannya, atau jangan-jangan Alvaro yang bercerita tentangku padanya?“Alvaro sering bercerita tentangmu setiap kali dia menelepon,” lanjutnya.Ah … ternyata benar, pak Sulaiman tahu dari Alvaro, tapi untuk apa dia bercerita tentang diriku pada pak Sulaiman. Tanpa sadar, aku menatap tajam Alvaro, meminta penjelasan tentang semuanya. “Oh, iya, aku sering bercerita pada pak Sulaiman tentang di
Karena Warisan****Aku meremas jari-jemariku, menunggu jawaban dari bang Mirza, sementara itu Rahma yang berdiri di belakangku tampak tegang. Dia sesekali memberi bahasa isyarat agar aku bersikap lebih tenang. Namun entah kenapa, saat itu aku benar-benar tidak bisa bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Mengingat apa yang pernah aku lalui saat itu, tidak sekalipun bang Mirza muncul bahkan di detik-detik terakhir kehidupan bang Asrul, adiknya sendiri. Aku tidak tahu, apakah ini sebuah perasaan dendam, namun yang pasti, setiap kali aku mengingat saat itu, hatiku terasa begitu sakit, seperti teriris sembilu.“Jadi, kamu mengungkit semua yang pernah kamu lakukan untuk Asrul, suamimu?” ucap bang Mirza dengan suara sedikit tertahan.Tunggu dulu … apa yang baru saja dikatakan bang Mirza tadi? Suami? Bang Asrul sakit hingga meninggal dunia, status kami saat itu sudah berpisah. Aku hanya mantan istri saat itu. Apakah bang Mirza lupa atau Cuma pura-pura lupa?“Sepertinya bang Mirza melu