Beranda / Pernikahan / Kamu Menidurinya? / 4. Rindu Tak Tertahankan

Share

4. Rindu Tak Tertahankan

Fahmi memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah sakit. Setelah mematikan mesin, lelaki itu tak segera turun dari mobil.

Dia termenung menunduk, menatap setir mobil dengan tatapan mata kosong. Misella. Kenapa wanita itu kembali di waktu yang tidak tepat. Semua yang terjadi itu adalah kesalahan dirinya. Fahmi menghela napas, mengatur detak jantungnya karena kesal pada diri sendiri. 

Bodoh! Lelaki bodoh!

Kembalinya Misella membuat dirinya goyah dan pertahanannya runtuh dalam beberapa hari. Fakta teramat jelas, masih mencintai Misella. Sampai kapan pun Fahmi belum mampu melupakan wanita itu.

Do you love her?”

Sebuah pertanyaan dari Misella satu bulan lalu, ketika pertemuan pertama sekembalinya Misella. Fahmi ingat kejadian itu. Dirinya berusaha untuk setia, namun pendiriannya goyah sejak kedatangan Misella. 

Yes. I love her.”

“Apa kamu masih mencintaiku?”

“Jangan tanyakan itu, aku sudah beristri, Sel. Kamu harus mengerti. Ada hati yang harus aku jaga.”

Di dalam mobil, Fahmi merenungi semuanya. Wanita cantik yang pernah akan dijadikan istri berusaha menggoyahkannya dan Fahmi tidak bisa menahan godaan terbesarnya. Memang, jika dibandingkan dari fisik, Misella mempunyai paras cantik bak bidadari, dan Misella lebih cantik dari Alia.

Sekarang  menyakiti Alia lagi. Padahal Alia sudah memberi kesempatan kedua dan Fahmi masih berselingkuh dengan Misella. Dia sudah berjanji tidak akan menyakiti Alia. Detik itu juga, Fahmi tersenyum getir sambil bermonolog.

“Maaf Alia ... aku kembali menyakitimu. Seharusnya sudah cukup kamu menderita selama ini. Maaf ....”

Tiba-tiba Fahmi dikejutkan dengan suara ketukan kaca jendela mobil.

Tok! Tok! Tok!

“Kamu?”

“Cepat buka pintunya!”

Pintu mobil terbuka. Wanita itu segera masuk dan menutup pintu.

“Hey! Astaga. What are you doing?” kaget Fahmi.

“Kamu lupa sama janji kamu?” Wanita itu bertanya balik. “Aku menunggu kamu di kantin. Ternyata kamu melamun di mobil.”

Fahmi gelagapan. Tak terasa sepuluh menit yang lalu termenung di dalam mobil. Padahal ada janji sarapan bersama dengan wanita itu.

“Oh ... enggak lupa. Bagaimana? Mau sarapan sekarang?”

Fahmi bersiap-siap turun dari mobil, namun Misella menghentikannya. Dia menarik tangan Fahmi dan mengalungkan tangan di lehernya. Mencium pipi Fahmi berkali-kali.

“Ini di rumah sakit sayang,” ucap Fahmi mengingatkan. Takut kepergok orang lain.

I don’t care.” Misella menatap dekat manik Fahmi dengan tatapan kerinduan. “I miss you.”

Miss you too.” 

“Kamu tidak sadar, ya? Dari kemarin kita tidak ada waktu untuk berduaan.”

Kepala Fahmi menoleh ke samping, berharap tidak ada seorang di sana. “Ya, tapi kan jangan di dalam mobil. Apalagi ini di tempat parkir rumah sakit.”

Misella tertawa. “Memangnya kenapa?” Misella tidak peduli lagi, sudah tidak kuat menahan rindu. 

“Aku bisa kena masalah kalau ketahuan,” panik Fahmi.

Misella tidak menjawab. Dia semakin mendekati wajah Fahmi.

Tubuh Fahmi mulai menegang dan jantungnya berdetak saat Misella mendekatkan hidungnya seluruh wajahnya. Dia melumat bibir Fahmi dengan rakus dan ganas.

Keduanya sama-sama sangat menikmati ciuman itu dan ciuman semakin dalam. Kini berganti napas hangat meraba-raba wajah Misella seperti berusaha mengenalinya.

Tangan Fahmi menelusuri surai Misella, tangan satunya menyusup di leher Misella. Ciuman itu turun ke leher, meninggalkan tanda merah di leher Misella.

“Oh shit! ....” Misella berbisik pelan sambil mencari kancing celana Fahmi.

Fuck!” desis Fahmi saat merasakan sensasi hangat, dia mendesah panjang.

Setelah keduanya merasa puas telah melakukan aksinya di dalam mobil. Fahmi mencium kening Misella, lalu berbisik pelan, “I love you.”

“I love you too, sayang,” balas Misella dan segera turun dari mobil.

Beberapa detik selanjutnya diikuti oleh Fahmi yang juga turun dari mobil. Dia sempat membenarkan pakaian yang tampak berantakan dan resleting celananya. 

                                       *** 

Alia turun dari mobil, langkah kaki panjangnya berjalan memasuki rumah sakit Havanna. Entah apa yang membuat dirinya mendatangi tempat kerja suaminya.

Nalurinya terlalu kuat bagi seorang wanita, dia membatin, “Apa mungkin Mas Fahmi sedang sarapan bersama wanita lain?”

“Selamat pagi, Bu,” sapa sekuriti rumah sakit dengan senyuman ramahnya.

“Pagi juga, Pak,” balas Alia saat kedatangannya disambut oleh sekuriti.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”

Kepala Alia menoleh ke kanan kiri melihat keadaan sekitar. “Saya mau bertemu dengan Dokter Fahmi. Saya istrinya,” jawab Alia.

“Dokter Fahmi?” Scurity mencoba mengingat. “Seingat saya Beliau belum datang deh, Bu.”

Seketika Alia bingung, keningnya berkerut. “Belum datang? Tapi ... dia sudah berangkat dari tadi.”

“Iya, Bu. Dokter Fahmi belum datang.”

“Sebentar saya coba menghubungi suami saya.”

Alia berdiri agak menjauh dari sekuriti, dia mencoba menelfon Fahmi tapi tidak diangkat, hanya terdengar bunyi berdering saja. Alia mencoba melakukan panggilan sekali lagi, tidak diangkat juga. Wajah Alia mendadak pucat. Batinnya mulai gundah dan gundah. Jadi Alia putuskan untuk menunggu Fahmi datang.

“Bagaimana, Bu?” tanya sekuriti.

Alia menggeleng kepala bertanda panggilannya tidak diangkat oleh Fahmi. “Saya akan menunggu dia sampai datang,” putus Alia dan segera masuk ke dalam gedung rumah sakit setelah dipersilahkan oleh sekuriti.

Saat hendak mencari tempat duduk yang kosong di sana, tubuh Alia ditabrak dari arah belakang membuat ponsel yang dipegang jatuh ke lantai.

“Maaf ... maaf. Saya tidak sengaja,” ucap suara wanita membantu mengambil ponsel Alia yang jatuh. “Sekali lagi saya minta maaf. Saya tadi terburu-buru,” lanjutnya sembari menyodorkan ponsel milik Alia.

Alia sedikit terkejut dengan wanita yang tadi menabraknya, pasalnya wanita itu memiliki paras sangat cantik.

“Tidak apa-apa. Tidak perlu minta maaf, lagipula ponsel saya tidak rusak karena terjatuh.”

“Ah, saya jadi merasa tidak enak,” ujar wanita itu dengan sopan.

Alia tersenyum dan menggeleng pelan, lalu kedua matanya menangkap suaminya yang baru saja datang.

“Hai, Mas!” seru Alia sambil melambaikan tangan. Perasaanya sedikit lega. 

Fahmi mendekati Alia. “Hai! Kok kamu ada di sini?” tanya Fahmi dengan nada tidak nyaman atas kedatangan Alia secara tak diduga.

Alia mengerutkan bingung dengan pertanyaan Fahmi. Memangnya salah jika dirinya datang ke tempat kerja suami?

Fahmi gelagapan. “Umm .... Maksudku, kamu sengaja kasih surprise? Tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi tahuku?”

Reaksi Fahmi saat itu, tidak tenang sama sekali.

Sesuai dugaan Alia, Fahmi tampak tidak suka melihat dirinya berada di sana.

“Aku sudah kasih kabar ke Mas. Aku telfon nggak diangkat, aku kirim pesan nggak dibalas,” jawab Alia jujur. 

Fahmi mendekati Alia, memegang pundaknya. “Sorry, sorry. Tadi ada urusan di luar.” Tarikan napas berusaha menenangkan Fahmi agar tidak terlihat mencurigakan.

“Urusan apa?”

Alia merasakan perbedaan dalam diri Fahmi saat di rumah sakit, berbeda sekali saat di rumah, Sikap dan perlakuan lebih dingin. Apa yang terjadi sebenarnya? Tadi pagi Fahmi terburu-buru berangkat bekerja, ternyata ada urusan.

“Biasa urusan sama Genta.”

Alia mengangguk, mencoba untuk percaya. “Nih aku bawain kamu bekal makanan buat sarapan dan makan siang.” Alia memperlihatkan paper bag makanan yang dia bawa.

Tangan Fahmi terulur menerima bekal dari Alia. “Ya ampun. Kamu nggak perlu repot-repot begini, Li. Datang ke tempat kerjaku hanya untuk mengantar makanan.”

Genta?

Alia sering sekali mendengar nama itu. Setiap kali dia bertanya pada Fahmi saat ada urusan dengan siapa, pasti dengan Genta. Sedikit agak curiga. Pasalnya Alia belum pernah bertemu dengan rekan Fahmi yang bernama Genta.

Alia hanya tersenyum tipis. Dia sempat melihat suaminya melirik berkali-kali ke arah wanita di sampingnya.

“Kalian saling kenal?” terka Alia dengan spontan menunjuk wanita di samping dirinya.

Wanita itu, Dia Misella. Misella menyelipkan anak rambut di belakang daun telinganya untuk menutupi kegugupannya. Sejak tadi dia memperhatikan interaksi pasangan suami istri tersebut.

“Ah, kita memang saling kenal,” balasnya.

Siapa sangka wanita yang tadi dia tabrak adalah istri dari dokter Fahmi. 

“Iya. Dia bekerja di rumah sakit ini juga, bagian poli jiwa,” sahut Fahmi. 

Tanpa ada rasa curiga, Alia hanya mengangguk paham lantas berpamitan pergi. Setelah Alia benar-benar pergi dari sana, Fahmi menarik tangan Misella ke lorong sepi dekat toilet dan saling berhadapan.

Mata Fahmi membulat besar. Menoleh kanan kiri, membaca keadaan.

“Kamu kok bisa sama Alia, sih!?” Fahmi sedikit kesal dan marah. Bagaimana mungkin kedua wanita itu bertemu dengan cara yang tak terduga. “Apa saja yang kamu katakan padanya?”

“Jadi, Alia itu istri kamu?”

“Ya.”

Bukan menjawab pertanyaan, melainkan Misella bertanya balik. Sejenak Misella menunduk lalu memandang wajah Fahmi yang memerah. Misella tertawa kecil.

“Aku baru pertama kali melihat istri kamu lho, Mas.”

“Tidak ada yang lucu,” dengus Fahmi. “Kenapa kamu tenang sekali?” Alis Fahmi terangkat. “Kalau ketahuan kan bahaya,” ngedumel Fahmi.

Misella menyilangkan kedua tangan di bawah dada. “Tenang, Mas. Nggak akan sampai ketahuan kok,” balas Misella dengan santai dan tidak merasa bersalah sama sekali. “Tadi aku nggak sengaja nabrak tubuh dia sampai ponselnya jatuh,” cerita Misella.

“Hanya itu?”

Misella mengangguk meyakinkan. 

Fiuh. Fahmi merasa tenang. Akhirnya tidak membuat Alia curiga.

“Cantik juga istri kamu, Mas,” puji Misella dengan senyuman mengerikan. “Tapi, masih kalah jauh denganku. Aku lebih cantik darinya,” imbuh Misella dengan percaya diri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yung
dasar jalang sama iblis,percuma sekolah tinggi tapi gk punya etitud,masa lalu ya masa lalu tak harus di ulang kembali tunggu aja karma dari tuhan apa rasanya pasangan kita di celup orang lain,tunggu aja kau pahmi kau akan dapat balasan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status