Fahmi memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah sakit. Setelah mematikan mesin, lelaki itu tak segera turun dari mobil.
Dia termenung menunduk, menatap setir mobil dengan tatapan mata kosong. Misella. Kenapa wanita itu kembali di waktu yang tidak tepat. Semua yang terjadi itu adalah kesalahan dirinya. Fahmi menghela napas, mengatur detak jantungnya karena kesal pada diri sendiri.
Bodoh! Lelaki bodoh!
Kembalinya Misella membuat dirinya goyah dan pertahanannya runtuh dalam beberapa hari. Fakta teramat jelas, masih mencintai Misella. Sampai kapan pun Fahmi belum mampu melupakan wanita itu.
“Do you love her?”
Sebuah pertanyaan dari Misella satu bulan lalu, ketika pertemuan pertama sekembalinya Misella. Fahmi ingat kejadian itu. Dirinya berusaha untuk setia, namun pendiriannya goyah sejak kedatangan Misella.
“Yes. I love her.”
“Apa kamu masih mencintaiku?”
“Jangan tanyakan itu, aku sudah beristri, Sel. Kamu harus mengerti. Ada hati yang harus aku jaga.”
Di dalam mobil, Fahmi merenungi semuanya. Wanita cantik yang pernah akan dijadikan istri berusaha menggoyahkannya dan Fahmi tidak bisa menahan godaan terbesarnya. Memang, jika dibandingkan dari fisik, Misella mempunyai paras cantik bak bidadari, dan Misella lebih cantik dari Alia.
Sekarang menyakiti Alia lagi. Padahal Alia sudah memberi kesempatan kedua dan Fahmi masih berselingkuh dengan Misella. Dia sudah berjanji tidak akan menyakiti Alia. Detik itu juga, Fahmi tersenyum getir sambil bermonolog.
“Maaf Alia ... aku kembali menyakitimu. Seharusnya sudah cukup kamu menderita selama ini. Maaf ....”
Tiba-tiba Fahmi dikejutkan dengan suara ketukan kaca jendela mobil.
Tok! Tok! Tok!
“Kamu?”
“Cepat buka pintunya!”
Pintu mobil terbuka. Wanita itu segera masuk dan menutup pintu.
“Hey! Astaga. What are you doing?” kaget Fahmi.
“Kamu lupa sama janji kamu?” Wanita itu bertanya balik. “Aku menunggu kamu di kantin. Ternyata kamu melamun di mobil.”
Fahmi gelagapan. Tak terasa sepuluh menit yang lalu termenung di dalam mobil. Padahal ada janji sarapan bersama dengan wanita itu.
“Oh ... enggak lupa. Bagaimana? Mau sarapan sekarang?”
Fahmi bersiap-siap turun dari mobil, namun Misella menghentikannya. Dia menarik tangan Fahmi dan mengalungkan tangan di lehernya. Mencium pipi Fahmi berkali-kali.
“Ini di rumah sakit sayang,” ucap Fahmi mengingatkan. Takut kepergok orang lain.
“I don’t care.” Misella menatap dekat manik Fahmi dengan tatapan kerinduan. “I miss you.”
“Miss you too.”
“Kamu tidak sadar, ya? Dari kemarin kita tidak ada waktu untuk berduaan.”
Kepala Fahmi menoleh ke samping, berharap tidak ada seorang di sana. “Ya, tapi kan jangan di dalam mobil. Apalagi ini di tempat parkir rumah sakit.”
Misella tertawa. “Memangnya kenapa?” Misella tidak peduli lagi, sudah tidak kuat menahan rindu.
“Aku bisa kena masalah kalau ketahuan,” panik Fahmi.
Misella tidak menjawab. Dia semakin mendekati wajah Fahmi.
Tubuh Fahmi mulai menegang dan jantungnya berdetak saat Misella mendekatkan hidungnya seluruh wajahnya. Dia melumat bibir Fahmi dengan rakus dan ganas.
Keduanya sama-sama sangat menikmati ciuman itu dan ciuman semakin dalam. Kini berganti napas hangat meraba-raba wajah Misella seperti berusaha mengenalinya.
Tangan Fahmi menelusuri surai Misella, tangan satunya menyusup di leher Misella. Ciuman itu turun ke leher, meninggalkan tanda merah di leher Misella.
“Oh shit! ....” Misella berbisik pelan sambil mencari kancing celana Fahmi.
“Fuck!” desis Fahmi saat merasakan sensasi hangat, dia mendesah panjang.
Setelah keduanya merasa puas telah melakukan aksinya di dalam mobil. Fahmi mencium kening Misella, lalu berbisik pelan, “I love you.”
“I love you too, sayang,” balas Misella dan segera turun dari mobil.
Beberapa detik selanjutnya diikuti oleh Fahmi yang juga turun dari mobil. Dia sempat membenarkan pakaian yang tampak berantakan dan resleting celananya.
***
Alia turun dari mobil, langkah kaki panjangnya berjalan memasuki rumah sakit Havanna. Entah apa yang membuat dirinya mendatangi tempat kerja suaminya.
Nalurinya terlalu kuat bagi seorang wanita, dia membatin, “Apa mungkin Mas Fahmi sedang sarapan bersama wanita lain?”
“Selamat pagi, Bu,” sapa sekuriti rumah sakit dengan senyuman ramahnya.
“Pagi juga, Pak,” balas Alia saat kedatangannya disambut oleh sekuriti.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
Kepala Alia menoleh ke kanan kiri melihat keadaan sekitar. “Saya mau bertemu dengan Dokter Fahmi. Saya istrinya,” jawab Alia.
“Dokter Fahmi?” Scurity mencoba mengingat. “Seingat saya Beliau belum datang deh, Bu.”
Seketika Alia bingung, keningnya berkerut. “Belum datang? Tapi ... dia sudah berangkat dari tadi.”
“Iya, Bu. Dokter Fahmi belum datang.”
“Sebentar saya coba menghubungi suami saya.”
Alia berdiri agak menjauh dari sekuriti, dia mencoba menelfon Fahmi tapi tidak diangkat, hanya terdengar bunyi berdering saja. Alia mencoba melakukan panggilan sekali lagi, tidak diangkat juga. Wajah Alia mendadak pucat. Batinnya mulai gundah dan gundah. Jadi Alia putuskan untuk menunggu Fahmi datang.
“Bagaimana, Bu?” tanya sekuriti.
Alia menggeleng kepala bertanda panggilannya tidak diangkat oleh Fahmi. “Saya akan menunggu dia sampai datang,” putus Alia dan segera masuk ke dalam gedung rumah sakit setelah dipersilahkan oleh sekuriti.
Saat hendak mencari tempat duduk yang kosong di sana, tubuh Alia ditabrak dari arah belakang membuat ponsel yang dipegang jatuh ke lantai.
“Maaf ... maaf. Saya tidak sengaja,” ucap suara wanita membantu mengambil ponsel Alia yang jatuh. “Sekali lagi saya minta maaf. Saya tadi terburu-buru,” lanjutnya sembari menyodorkan ponsel milik Alia.
Alia sedikit terkejut dengan wanita yang tadi menabraknya, pasalnya wanita itu memiliki paras sangat cantik.
“Tidak apa-apa. Tidak perlu minta maaf, lagipula ponsel saya tidak rusak karena terjatuh.”
“Ah, saya jadi merasa tidak enak,” ujar wanita itu dengan sopan.
Alia tersenyum dan menggeleng pelan, lalu kedua matanya menangkap suaminya yang baru saja datang.
“Hai, Mas!” seru Alia sambil melambaikan tangan. Perasaanya sedikit lega.
Fahmi mendekati Alia. “Hai! Kok kamu ada di sini?” tanya Fahmi dengan nada tidak nyaman atas kedatangan Alia secara tak diduga.
Alia mengerutkan bingung dengan pertanyaan Fahmi. Memangnya salah jika dirinya datang ke tempat kerja suami?
Fahmi gelagapan. “Umm .... Maksudku, kamu sengaja kasih surprise? Tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi tahuku?”
Reaksi Fahmi saat itu, tidak tenang sama sekali.
Sesuai dugaan Alia, Fahmi tampak tidak suka melihat dirinya berada di sana.
“Aku sudah kasih kabar ke Mas. Aku telfon nggak diangkat, aku kirim pesan nggak dibalas,” jawab Alia jujur.
Fahmi mendekati Alia, memegang pundaknya. “Sorry, sorry. Tadi ada urusan di luar.” Tarikan napas berusaha menenangkan Fahmi agar tidak terlihat mencurigakan.
“Urusan apa?”
Alia merasakan perbedaan dalam diri Fahmi saat di rumah sakit, berbeda sekali saat di rumah, Sikap dan perlakuan lebih dingin. Apa yang terjadi sebenarnya? Tadi pagi Fahmi terburu-buru berangkat bekerja, ternyata ada urusan.
“Biasa urusan sama Genta.”
Alia mengangguk, mencoba untuk percaya. “Nih aku bawain kamu bekal makanan buat sarapan dan makan siang.” Alia memperlihatkan paper bag makanan yang dia bawa.
Tangan Fahmi terulur menerima bekal dari Alia. “Ya ampun. Kamu nggak perlu repot-repot begini, Li. Datang ke tempat kerjaku hanya untuk mengantar makanan.”
Genta?
Alia sering sekali mendengar nama itu. Setiap kali dia bertanya pada Fahmi saat ada urusan dengan siapa, pasti dengan Genta. Sedikit agak curiga. Pasalnya Alia belum pernah bertemu dengan rekan Fahmi yang bernama Genta.
Alia hanya tersenyum tipis. Dia sempat melihat suaminya melirik berkali-kali ke arah wanita di sampingnya.
“Kalian saling kenal?” terka Alia dengan spontan menunjuk wanita di samping dirinya.
Wanita itu, Dia Misella. Misella menyelipkan anak rambut di belakang daun telinganya untuk menutupi kegugupannya. Sejak tadi dia memperhatikan interaksi pasangan suami istri tersebut.
“Ah, kita memang saling kenal,” balasnya.
Siapa sangka wanita yang tadi dia tabrak adalah istri dari dokter Fahmi.
“Iya. Dia bekerja di rumah sakit ini juga, bagian poli jiwa,” sahut Fahmi.
Tanpa ada rasa curiga, Alia hanya mengangguk paham lantas berpamitan pergi. Setelah Alia benar-benar pergi dari sana, Fahmi menarik tangan Misella ke lorong sepi dekat toilet dan saling berhadapan.
Mata Fahmi membulat besar. Menoleh kanan kiri, membaca keadaan.
“Kamu kok bisa sama Alia, sih!?” Fahmi sedikit kesal dan marah. Bagaimana mungkin kedua wanita itu bertemu dengan cara yang tak terduga. “Apa saja yang kamu katakan padanya?”
“Jadi, Alia itu istri kamu?”
“Ya.”
Bukan menjawab pertanyaan, melainkan Misella bertanya balik. Sejenak Misella menunduk lalu memandang wajah Fahmi yang memerah. Misella tertawa kecil.
“Aku baru pertama kali melihat istri kamu lho, Mas.”
“Tidak ada yang lucu,” dengus Fahmi. “Kenapa kamu tenang sekali?” Alis Fahmi terangkat. “Kalau ketahuan kan bahaya,” ngedumel Fahmi.
Misella menyilangkan kedua tangan di bawah dada. “Tenang, Mas. Nggak akan sampai ketahuan kok,” balas Misella dengan santai dan tidak merasa bersalah sama sekali. “Tadi aku nggak sengaja nabrak tubuh dia sampai ponselnya jatuh,” cerita Misella.
“Hanya itu?”
Misella mengangguk meyakinkan.
Fiuh. Fahmi merasa tenang. Akhirnya tidak membuat Alia curiga.
“Cantik juga istri kamu, Mas,” puji Misella dengan senyuman mengerikan. “Tapi, masih kalah jauh denganku. Aku lebih cantik darinya,” imbuh Misella dengan percaya diri.
“ALIA!” Alia tersentak kaget saat suara Bu Linda menelusup telinganya. "Iya, Bu. Ada apa?” tanya Alia segera berdiri, menoleh ke arah Linda yang wajahnya sudah merah padam. Dia baru menyadari sejak tadi duduk melamun di waktu jam dinas. “Melamun dari tadi! Apa yang kamu pikirkan?!” tanya Bu Linda sinis. “Cuci muka dulu sana!” perintah Bu Linda. Alia segera meminta maaf dan keluar menuju toilet. Astaga. Baru pertama kali ini pikiran Alia selalu tertuju pada Fahmi. Ini sangat menggangu pekerjaannya, membuat Alia tak fokus sama sekali. Wanita itu menatap wajahnya di pantulan cermin wastafel. Ditambah lagi semalam menunggu Fahmi pulang hingga larut malam, sehingga jam tidurnya berkurang. Kepala Alia pening, tiba-tiba Alia mencoba menghubungi Fahmi. Panggilan pertama sama sekali tidak diangkat, dan panggilan kedua barulah ada jawaban dari Fahmi. “Hallo, Mas,” sapa Alia. “Aku ganggu enggak?” “Iya, La. Ada apa?” Hening sesaat. “Nanti malam mau aku masakin apa?” Pertanyaan itu tiba-ti
“Aku nggak nyangka ternyata wanita yang aku tabrak di airport itu Misella.” Erza geleng-geleng kepala mengingat kejadian satu bulan lalu, dirinya menasehati wanita yang sibuk bermain ponsel sambil berjalan, pantas saja wajah wanita itu tak asing bagi Erza. “Bukankah dia dulu pernah menjadi calon istrimu, Mi?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Erza. Fahmi mengerti, sebab kejadian gagalnya pernikahan Fahmi dan Misella, Erza sedang berada di luar negeri karena ada urusan yang mendadak. “Panjang ceritanya, Za.” Erza menepuk pundak Fahmi. “Lain kali bisa bercerita, nggak harus sekarang juga. Aku ini sahabatmu. Jadi kalau ada apa-apa datanglah kepadaku, aku akan menjadi pendengar baik.” Fahmi tersenyum lebar. “Thanks, bro!” Keduanya sedang berada di kantin untuk makan siang. Fahmi menatap bekal makan siang dari sang istrinya, sama sekali tidak di makan, hanya ditatap kosong. Rasa bersalah mulai memuncak dalam diri Fahmi sejak hubungan bertambah dekat dengan Misella, Fahmi
Satu jam Alia habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Alia menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja. Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Alia memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Alia malu pada Fahmi, masa sang suami lebih pandai memasak ketimbang sang istri? Jadi Alia tak mau kalah dari Fahmi. Alia ingin lebih pandai memasak, walaupun tangan sering terkena cipratan minyak panas. Semua makanan sudah terhidang dan tertata rapih di atas meja makan. Makanan sudah siap untuk dimakan. Alia melihat ke arah jam dinding, tak terasa sudah pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Fahmi pulang, Alia tidak sabar masakannya akan dinikmati oleh Fahmi. Alia bergegas naik tangga untuk melakukan ritual mandi. Lima belas menit berlalu, Al
Astaga. Ya Tuhan! Alia meremas dadanya, hatinya terasa begitu sakit dan dadanya sesak sekali. Sekuat tenaga tidak membiarkan air matanya jatuh. Alia bangkit, turun dari tangga, berjalan menuju dapur. Alia menatap sedih makanan. Tiga jam lebih menunggu Fahmi pulang untuk makan malam bersama, namun kekecewaan yang didapatkan bahwa Fahmi sudah makan di rumah sakit. Jadi selama ini Alia memasak sia-sia? Makanan terbuang sia-sia juga. Apakah masakannya tidak enak, sehingga Fahmi tak ingin makan di rumah? Setelah membereskan makanan, Alia segera masuk ke kamar. Pandangan pertama tertuju pada ponsel Fahmi menyala di nakas. Ada rasa sedikit penasaran, Alia meraih ponsel itu, rupanya ada satu pesan masuk. “Genta?” gumam Alia saat melihat nama kontak. Isi pesan dari Genta: Sudah tidur belum, Mas? Kening Alia berkerut. Tak paham. Sebenarnya siapa Genta itu? Kenapa Genta mengirimkan pesan seperti itu? Bukankah Genta itu laki-laki? Kenapa memanggil Fahmi dengan sebutan ‘Mas.’ Sangat tidak m
“KAMU TULI?! AKU BILANG. AKU TIDAK LAPAR, ALIA!!!” bentak Fahmi dengan nada tinggi. Kedua bola mata menatap tajam ke Alia. DEG! Jantung Alia berdetak hebat. Dia tersentak kaget. Matanya sama sekali tidak berkedip. Pagi-pagi Alia sudah mendapatkan bentakan dari sang suami. “Kenapa kamu jadi membentakku?!” Alia tidak terima dibentak olehnya. “Memangnya aku salah menyuruhmu untuk sarapan?! Aku istrimu, Mas! Kalau kamu tidak mau sarapan, it's okay. Tidak perlu membentak segala!” cerocos Alia. Fahmi mengacak rambutnya hingga berantakan, kepalanya pening pagi-pagi sudah ribut dengan istrinya. Sadar telah membentak Alia dengan suara keras. Ada rasa penyesalahan sedikit telah membentak Alia. Fahmi tahu Alia type wanita yang tidak suka dibentak. “Maaf telah membentakmu,” sesal Fahmi. “Sudahlah aku berangkat sekarang,” pamitnya. Lelaki itu langsung meninggalkan Alia tanpa mencium keningnya seperti dulu lagi. Padahal tadi Alia akan mendekati Fahmi untuk menyalaminya, tapi Fahmi menghirauk
Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka. “Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella. Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak. “Hari ini dia nggak masak, Sel.” Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia. “Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella. “Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi. Misella memotong daging chicken steak it
Zeta menemui Misella untuk memberi nasehat agar tidak marah seperti tadi kepada ibu pasien, seharusnya Misella tahu betapa terpukulnya Ibu pasien ketika Putrinya bunuh diri yang hampir merebut nyawanya. “Kamu tidak bisa mengontrol emosimu? Kamu itu Dokter psikiater! Seharusnya tidak seperti itu kepada Ibu pasien!” ucap Zeta kesal. “Aku berteriak kepadanya, meneriaki bahwa dia hampir membunuh putrinya, Itu bukankah masalah besar,” jawab Misella enteng. Zeta tersenyum miring. “Bukan masalah besar katamu?!” Misella menghela napas. “Chintya, dia pasienku yang tidak mau diterapi dan ibunya membawa kabur dari rumah sakit.” “Sekarang putrinya, apa kamu ingin melihat ibunya yang dirawat psikiatri?” tanya Zeta dengan nada menyindir. Misella diam. Sejak dirinya mempunya mental illnes juga, dia menjadi sensitif pada orang yang yang mencoba bunuh diri, karena Misella beberapa kali pernah melakukan bunuh diri namun gagal. “Jika pasien meninggal, kamu memang akan kehilangan satu dari ribuan
Paksaan dari Misella membuatnya tidak ada pilihan lain. Tanpa pikir panjang lagi, Fahmi menyalakan mobilnya dan langsung menuju ke rumah Misella dengan kecepatan tinggi. Kira-kira membutuhkan sekitar waktu dua puluh menit agar sampai di rumah Misella. Sesampai di rumah Misella. Misella menyuruh Fahmi masuk setelah membuka pintu dan mengajak ke kamar lantai atas. Fahmi kaget setengah mati melihat barang-barang Misella berserakan di lantai bagaikan kapan pecah. "Are you okay?" tanya Fahmi dengan hati-hati, menghampiri Misella yang tidak seperti biasanya. "Tell me your problems, Baby ...." "I need you," ucap Misella dengan suara lirih dan tatapan mata redup. "Can you hug me?" Fahmi mengangguk. Tidak lupa memberikan senyuman lebar. "Of course, come here." Kedua tangan Fahmi terbuka lebar membiarkan Misella memeluk dirinya. "Kamu aman." "Five minutes." "Okay." Fahmi paham, dia memeluk erat tubuh Misella, sesekali mengecup pucuk kepala Misella, dan mengelus punggung Misella agar ten