Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka.
“Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella.
Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak.
“Hari ini dia nggak masak, Sel.”
Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia.
“Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella.
“Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi.
Misella memotong daging chicken steak itu dan memasukan ke dalam mulut, namun sayang hanya ujung bibir Misella yang mendapatkan kesempatan bersentuhan dengan makanan nikmat itu. Lidahnya belum sempat, karena didahului seorang perawat datang tergesa-gesa dan mereka mendapatkan informasi ada pasien yang melakukan bunuh diri.
”Maaf, Dok. Mengganggu makan siang. Ada pasien lagi, pasien percobaan bunuh diri!” katanya.
“Bunuh diri?!”
Misella cukup terkejut, dia bahkan langsung berdiri menghadap suster itu.
“Iya, Dok. Sekarang dia sedang ada di UGD.”
Sejujurnya Misella sangat lapar dan jam makan siang terganggu.
“Astaga! Apa di sana tidak ada dokter lain?!”
Emosi Misella memuncak, dengan kesal mengenakan jas putihnya seraya berjalan ke UGD. Wanita itu sama sekali tak melirik Fahmi sebelum pergi, dia harus bersikap profesional di saat bekerja.
Misella langsung masuk ke UGD dan menanyakan seorang pasien tersebut. Di sana sudah ada dokter umum yang menangani, perawat, dan ibu korban. Dan dia melepaskan alat penyangga tangannya.
“Pasien Chintya?”
Misella terkejut melihat wajah pasien itu. Rupanya pasien itu adalah adalah Chintya yang melompat dari atas gedung dan dia pasien yang beberapa hari Misella tangani.
Ya, Chintya melakukan konseling dengannya. Misella menyarankan agar Chintya di rawat di rumah sakit untuk beberapa hari, tapi ibunya menolak, dan mengajak anaknya kabur dari rumah sakit. Misella tidak habis pikir dengan ibu pasien, tidak mau menuruti perkataan dokter.
“Iya, Dok,” jawab sang Ibu pasien.
Wanita tua itu menangis khawatir sambil membersihkan ingus yang keluar dari hidung menggunakan tisu. Tatapan sendu melihat putrinya berbaring tidak sadar diri di ranjang pasien rumah sakit.
Dokter umum yang menanganinya memberitahu kepada mereka yang di sana, “Pasien ini sangat beruntung karena dia hanya fraktur ankle (patah pergelangan kaki), luka kecil dan lecet saat terjatuh. Beruntung dia jatuh di atas tumpukan kardus. Jadi tidak ada luka yang cukup serius, nyawa masih bisa terselamatkan,” jelas dokter yang menangani kondisi fisik Chintya.
Semua mendengar penjelasan dari dokter itu merasa lega sekaligus sedikit tenang. Misella mungkin juga merasa khawatir, dia merasa tidak memberikan yang terbaik untuk Chintya, merasa gagal menghalangi keinginan Chintya untuk melakukan bunuh diri dari suicidal thoughts.
Tanpa sadar Misella memarahi ibu dari pasien.
“Kan sudah aku bilang! Sudah kubilang kamu akan membunuh anakmu! Dia tertekan, dia depresi! Sekarang lihat! Chintya melakukan percobaan bunuh diri! Kamu puas sekarang?!”
“Di-dia bilang dia tidak mau di rawat di sini,” jawabnya dengan tergagap sambil menahan tangis.
Misella semakin kesal mendengar alasan dari sang Ibu Chintya. “Aku sudah menyarankan agar dia tetap berada di sini beberapa waktu, kenapa kamu membawanya kabur, huh!”
“I-ini-i bu-kan salahku.” Suara Ibu pasien gemetaran. Takut dengan Misella.
Dokter psikiater bernama Zeta datang dan memberikan si ibu sebuah kantong plastik.
“Tenanglah, bernapas pelan-pelan di kantong itu,” pinta Zeta sambil menepuk pundak sang ibu karena merasa kasihan.
“T-tapi, bagaimana kalau dia tidak bisa jalan, Dok?” Ibu pasien menunjuk anaknya yang sedang berbaring.
“Jangan khawatir, putrimu akan baik-baik saja,” kata Zeta menenangkan.
Zeta menyuruh Misella yang masih tampak marah untuk keluar dari ruangan karena akan membuat sang Ibu bertambah sedih. Sebelum keluar Misella memberi pengarahan pada perawat agar pasien itu ditransfer ke departemen psikiatri dan meminta konsultasi dari OS (Bedah Ortopedi, cabang operasi yang menyangkut sistem musculoskeletal).
Dokter umum berkata kepada ibu pasien untuk tidak menangis lagi. Putrinya masih hidup dan bisa berjalan.
“T-api, Dok ....”
Zeta memberikan isyarat agar dokter itu ikut keluar bersama Misella. Dia akan menenangkannya tapi kenapa ibu itu masih saja menangis.
Zeta pun paham, mungkin ibu itu syok. Dia meminta ibu itu bernapas pelan-pelan menggunakan kantong plastik yang diberikan tadi.
Untuk beberapa saat Zeta menarik napas dengan panjang melihat punggung Misella. Zeta cemas, Misella akan seperti itu kepada ibu pasien lainnya, seperti tadi, Misella tidak segan-segan berteriak kepala Ibu pasien.
“Wanita gila! Dia bahkan memarahi Ibu pasien tanpa merasa bersalah!” komentar Zeta dengan suara kecil.
Zeta menemui Misella untuk memberi nasehat agar tidak marah seperti tadi kepada ibu pasien, seharusnya Misella tahu betapa terpukulnya Ibu pasien ketika Putrinya bunuh diri yang hampir merebut nyawanya. “Kamu tidak bisa mengontrol emosimu? Kamu itu Dokter psikiater! Seharusnya tidak seperti itu kepada Ibu pasien!” ucap Zeta kesal. “Aku berteriak kepadanya, meneriaki bahwa dia hampir membunuh putrinya, Itu bukankah masalah besar,” jawab Misella enteng. Zeta tersenyum miring. “Bukan masalah besar katamu?!” Misella menghela napas. “Chintya, dia pasienku yang tidak mau diterapi dan ibunya membawa kabur dari rumah sakit.” “Sekarang putrinya, apa kamu ingin melihat ibunya yang dirawat psikiatri?” tanya Zeta dengan nada menyindir. Misella diam. Sejak dirinya mempunya mental illnes juga, dia menjadi sensitif pada orang yang yang mencoba bunuh diri, karena Misella beberapa kali pernah melakukan bunuh diri namun gagal. “Jika pasien meninggal, kamu memang akan kehilangan satu dari ribuan
Paksaan dari Misella membuatnya tidak ada pilihan lain. Tanpa pikir panjang lagi, Fahmi menyalakan mobilnya dan langsung menuju ke rumah Misella dengan kecepatan tinggi. Kira-kira membutuhkan sekitar waktu dua puluh menit agar sampai di rumah Misella. Sesampai di rumah Misella. Misella menyuruh Fahmi masuk setelah membuka pintu dan mengajak ke kamar lantai atas. Fahmi kaget setengah mati melihat barang-barang Misella berserakan di lantai bagaikan kapan pecah. "Are you okay?" tanya Fahmi dengan hati-hati, menghampiri Misella yang tidak seperti biasanya. "Tell me your problems, Baby ...." "I need you," ucap Misella dengan suara lirih dan tatapan mata redup. "Can you hug me?" Fahmi mengangguk. Tidak lupa memberikan senyuman lebar. "Of course, come here." Kedua tangan Fahmi terbuka lebar membiarkan Misella memeluk dirinya. "Kamu aman." "Five minutes." "Okay." Fahmi paham, dia memeluk erat tubuh Misella, sesekali mengecup pucuk kepala Misella, dan mengelus punggung Misella agar ten
Sentuhan menggelora. Begitu memabukkan.Misella bergerak gelisah menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh Fahmi. Kecupan di atas kulitnya. Sentuhan kilat yang mengatakan kepada Misella bahwa dirinya adalah milik Fahmi. Fahmi mencium perut Misella. Seluruh tubuh Misella bergetar. Kakinya mengejang. Misella ingin menjerit kala Fahmi menyatukan tubuhnya dengan Misella, lelaki itu terus mendesaknya dan hanya desahan yang keluar dari Fahmi. Sedangkan Misella menggigit bibir bawahnya, bukan karena rasa sakit namun karena rasa nikmat tiada tara.Fahmi meraung. Misella mengalungkan tangan di leher Fahmi, membiarkan milik Fahmi bekerja di mana seharusnya berada. Keduanya saling menatap dengan tatapan sayu, mulut setengah menganga sambil mendesah. Lalu Fahmi juga memainkan bibir Misella dan menggigit bibir bawahnya hingga kaki Misella lemas. Fahmi juga menunjukkan kemampuan bermain lidah dengan handal. Permainan Fahmi semakin membuatn
Hari berganti hari, Minggu berganti minggu. Tidak terasa sudah satu bulan.Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Fahmi turun dari mobilnya, berlari sambil menutupi kepalanya dengan jas hitamnya. Fahmi masuk ke dalam rumah dengan keadaan sedikit basah, melepaskan sepatu pantofelnya dan memakai saldal rumah yang telah disediakan oleh Alia. Lelaki itu melangkah menuju kamarnya, membuka pelan pintu kamar agar kepulangannya tidak membuat Alia terbangun. Dia segera mengganti pakaian tidurnya untuk segera tidur.Fahmi melihat Alia tengah tertidur miring. Fahmi menelan saliva memperhatikan tubuh Alia yang hanya memakai lingerie, mempertontonkan punggung mulusnya. Sudah lama sekali Fahmi tak melihat istrinya memakai lingerie. Fahmi menaiki ranjang, membelai pipi Alia dengan lembut, menyelipkan helai rambut ke daun telinga, hal itu membuat Alia terbangun.“Kamu baru pulang?” tanya Alia dengan suara serak
Sebuah sensasi sangat luar biasa dirasakannya saat sebuah kehangatan menyentuh puncuk bagian dadanya berganti dari kanan ke kiri dan kembali lagi beberapa kali.“Oh, my God! Sial!" maki Alia dengan suara tertahan.Dia sangat menyukai permainan Fahmi. Alia paham sekali bagian tubuh yang sangat ingin suaminya sentuh adalah dua gundukan daging kenyal. Liat! Fahmi melahap tanpa henti seperti bayi kelaparan dan kehausan, kedua gundukan menggemaskan selalu membuatnya begitu tegang.Bisa dibilang sudah terlalu lama keduanya tidak merasakan kenikmatan hubungan suami istri dan syukur kini mampu merasakan arti dari rasa nikmat yang sesungguhnya.Fahmi melebarkan kaki Alia dengan tidak sabar dan menyuruh menaikkan pinggulnya sedikit. Seperti yang dibayangkan Fahmi, Alia mengeluarkan desahan panjang saat sesuatu berusaha masuk ke dalam miliknya dan berhasil untuk menjelajah celah sesak it
Satu jam Alia berdandan di depan meja rias. Kali ini dia ingin membuat Fahmi terpesona, jadi harus berdandan cantik bak unnie Korea. Sempat bingung memakai pakaian yang cocok untuknya karena jarang sekali keluar rumah kecuali bekerja. Terlalu lama memilih, jadi memutuskan untuk memakai dress vintage. Alia baru sadar beberapa pakaian sudah tak muat di badannya.“Apa aku gendutan, ya?” gumam Alia berdiri di cermin besar. Memang beberapa bulan ini Alia tidak pernah memperhatikan berat badan tubuhnya.“Sudah siap?” Fahmi tiba-tiba datang mengagetkan Alia. Lelaki itu berdiri ternganga melihat Alia. “You so beautiful, Alia,” pujinya.Alia tersipu malu. Kedua pipi merona merah. Tidak apa gendutan, Fahmi tetap memujinya cantik.***
“Apa?! Kamu sedang ada di Mall?!”Dalam sekejap Fahmi panik. Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Bagaimana kalau Alia dan Misella bertemu? Pertemuan untuk kedua kalinya bagi mereka. Ketakutan Fahmi mendadak menyerang, tak bisa membayangkan apabila Alia mengetahui dirinya dengan Misella mempunyai hubungan istimewa.“Sudah aku katakan. Jangan menghubungiku beberapa hari,” cetus Fahmi. Dia ingin berjuang agar rumah tangganya berjalan semestinya. Makanya mengajak Alia menonton film dan mengajak shoping.Misella pun menjelaskan di panggilan itu, bahwa tidak sengaja melihat Fahmi dengan Alia di Mall, dan ingin menyapa.Fahmi segera melarang niat Misella. Menyuruh untuk segera pulang. Tapi sudah terlambat saat kedua matanya melihat wanita cantik berdiri tak jauh, wanita itu melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali.Fahmi mematikan telepon, berjalan cepat ke arah Misella. “Apa yang kamu lakukan di sin
'Mas sudah makan belum?'Fahmi mendapatkan pesan dari Alia. Jari jemarinya langsung mengetik untuk membalas.'Sudah, La. Tadi aku makan di kantin.'Pesan Fahmi terkirim langsung ke nomor Alia dan Alia secepat kilat membalas pesan itu.'Bagus, deh. Kalau sudah makan. Mas sibuk nggak?''Lumayan, nih, La. Udah dulu, ya. Ada pasiennya.''Okay, deh. Semangat kerjanya, Mas.'Fahmi menyimpan ponselnya kembali setelah mengirimkan pesan— memberi tahu Alia, bahwa dia akan pulang agak terlambat, Fahmi fokus kembali ke pekerjaannya. “Panggil pasien selanjutnya,“ perintahnya kepada perawat.Perawat itu mengangguk. “Bu Dokter bisa masuk,” seru perawat membuka pintu dan mempersilahkan pasien. “Duduk dulu, ya,“ lanjutnya sambil menutup pintu.Fahmi baru selesai mencuci tangan. Tatapan kaget sekaligus heran dengan kening berkerut melihat Misella berada di ruangannya bersama wanita entah sia